Lompat ke isi

Perang Aceh: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 125.161.104.70 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Mimihitam
Tag: Pengembalian
Membalikkan revisi 14205146 oleh Mimihitam (bicara)
Tag: Pembatalan
Baris 93: Baris 93:


* ''Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.''<ref>''Idem'' hal. 63</ref>
* ''Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.''<ref>''Idem'' hal. 63</ref>
*Dalam perang Aceh ini kita bisa belajar bahwa bukan hanya kekuatan fisik saja yang diperlukan untuk memenangkan perang,tetapi juga kekuatan pengetahuan dan strategi.Dalam perang informasi tentang musuh sama pentingnya seperti persenjataan dan jumlah pasukan.Kekalahan aceh dikarenakan aceh hanya mengandalkan kekuatan fisik saja sedangkan musuhnya hindia belanda menggunakan kecerdasan sebagai senjata utama mereka,bukan sekedar menyerang musuh sambil berteriak seperti orang bodoh.Ditambah lagi rakyat aceh juga gampang dipengaruhi belanda untuk menunjukkan lokasi griliyawan.Hal ini menunjukkan bahwa untuk menahlukan aceh cara offensive tidak selalu berhasil,tetapi belanda juga harus memakai cara yang ramah dengan membangun masjid dan jalan untuk memenangkan hati rakyat aceh pada saat itu.


== Rujukan ==
== Rujukan ==

Revisi per 22 September 2018 14.29

Perang Aceh

Panglima besar angkatan perang Belanda, Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak oleh penembak jitu Aceh pada tahun 1873
Tanggal1873-1914
1914-1942 (Perlawanan sporadis rakyat Aceh sampai hengkangnya Belanda)
LokasiAceh, Sumatra Utara
Hasil
Pihak terlibat
Belanda Kesultanan Aceh Kesultanan Aceh, Mujahidin Aceh
Tokoh dan pemimpin

Mayor Jenderal J.H. Köhler  
Jenderal Van Swieten
Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel  
Mayor Jenderal Karel van der Heijden (WIA)
Mayor Jenderal Henry Demmeni (DOW)
Mayor Jenderal Jan Jacob Karel de Moulin 


Van Heutsz

Kesultanan Aceh Sultan Mahmud Syah
Kesultanan Aceh Sultan Muhammad Daud Syah
Kesultanan Aceh Tuanku Hasyim Banta Muda
Kesultanan Aceh Teuku Imeum Lueng Bata
Kesultanan Aceh Habib Abdurrahman Az-Zahir
Kesultanan Aceh Panglima Polem
Kesultanan Aceh Teungku Chik di Tiro*
Kesultanan Aceh Teuku Umar*
Kesultanan Aceh Cut Nyak Dhien
Kesultanan Aceh Cut Nyak Meutia*


Kesultanan Aceh Teungku Fakinah
Kekuatan
50.000 Tentara Eropa
100.000 Tentara KNIL (5.000 orang bugis, 10.000 Madura, 50.000 orang Jawa)
Pasukan elit Maréchaussée
200.000+ mujahidin Aceh
Korban
100.000+ tewas 60-70.000 tewas
100.000 penduduk sipil tewas (pembantaian Belanda)
  • Meninggal dunia dalam pertempuran atau diracun

Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira

Latar belakang

Van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan ke Batee Iliek.

Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.

Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Periode

Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877. Panglima besar Belanda, Mayor Jenderal Karel van der Heijden kembali ke pasukannya setelah mendapatkan perawatan pada matanya yang tertembak

Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

Siasat Snouck Hurgronje

Snouck Hurgronje pada tahun 1930.

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasihatnya.

Taktik perang

Divisi Marsose pertama pada tahun 1892, Kapten Notten dan Letnan Nolthenius beserta komandan brigade

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah

Sultan Muhammad Daud Syah ketika menyerahkan diri pada Belanda pada tahun 1903

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.

Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).

Tanggapan

  • Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad, Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:
Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[1]
  • Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.[2]
  • Dalam perang Aceh ini kita bisa belajar bahwa bukan hanya kekuatan fisik saja yang diperlukan untuk memenangkan perang,tetapi juga kekuatan pengetahuan dan strategi.Dalam perang informasi tentang musuh sama pentingnya seperti persenjataan dan jumlah pasukan.Kekalahan aceh dikarenakan aceh hanya mengandalkan kekuatan fisik saja sedangkan musuhnya hindia belanda menggunakan kecerdasan sebagai senjata utama mereka,bukan sekedar menyerang musuh sambil berteriak seperti orang bodoh.Ditambah lagi rakyat aceh juga gampang dipengaruhi belanda untuk menunjukkan lokasi griliyawan.Hal ini menunjukkan bahwa untuk menahlukan aceh cara offensive tidak selalu berhasil,tetapi belanda juga harus memakai cara yang ramah dengan membangun masjid dan jalan untuk memenangkan hati rakyat aceh pada saat itu.

Rujukan

  1. ^ Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna. (terjemahan oleh Aboe Bakar)
  2. ^ Idem hal. 63

Lihat juga