Lompat ke isi

Sembah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-  + )
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 5: Baris 5:


== Etimologi ==
== Etimologi ==
Dalam [[bahasa Indonesia]], istilah ''sembah'' berarti untuk menghormati, hormat, penghormatan atau penyembahan. Hal ini juga sinonim dengan bahasa jawa, ''suhun''. Menurut [[Abdul Malik Karim Amrullah|Hamka]] dalam bukunya ''Dari Perbendaharaan Lama'' kata ini berasal dari bahasa jawa untuk posisi (''susunan'') tangan dalam pemujaan, dilakukan dengan tangan digenggam bersama-sama, telapak tangan bersentuhan dan jari-jari mengarah ke atas, lalu membungkuk. Pengaturan ini yang memiliki beberapa kesamaan dengan ''[[namaste]]'' dalam India disebut "''sembah''", yang digunakan untuk menghormati dan memuji. Dengan demikian "susuhunan" dapat merujuk kepada seseorang untuk memberikan "susunan" atau "sembah", orang. Kata lain untuk "''susuhunan''" adalah "''sesembahan''".<ref>HAMKA, Prof. Dr., ''Dari Perbendaharaan Lama'', Page 244, Cet. II, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982</ref> Namun, istilah sembah anehnya terdengar mirip dan serumpun dengan Bahasa Kamboja ''sampeah'', yang menunjukkan asal-usul atau koneksi yang sama.
Dalam [[bahasa Indonesia]], istilah ''sembah'' berarti untuk menghormati, hormat, penghormatan atau penyembahan. Hal ini juga sinonim dengan bahasa jawa, ''suhun''. Menurut [[Abdul Malik Karim Amrullah|Hamka]] dalam bukunya ''Dari Perbendaharaan Lama'' kata ini berasal dari bahasa jawa untuk posisi (''susunan'') tangan dalam pemujaan, dilakukan dengan tangan digenggam bersama-sama, telapak tangan bersentuhan dan jari-jari mengarah ke atas, lalu membungkuk. Pengaturan ini yang memiliki beberapa kesamaan dengan ''[[namaste]]'' dalam India disebut "''sembah''", yang digunakan untuk menghormati dan memuji. Dengan demikian "susuhunan" dapat merujuk kepada seseorang untuk memberikan "susunan" atau "sembah", orang. Kata lain untuk "''susuhunan''" adalah "''sesembahan''".<ref>HAMKA, Prof. Dr., ''Dari Perbendaharaan Lama'', Page 244, Cet. II, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982</ref> Namun, istilah sembah anehnya terdengar mirip dan serumpun dengan Bahasa Kamboja ''sampeah'', yang menunjukkan asal-usul atau koneksi yang sama.


Kata ''sembah yang'' dalam bahasa [[Bahasa Indonesia|Indonesia]] yang saat ini [[sinonim]] dengan ''[[Salat|shalat]]'' dalam Islam, yang berarti doa atau ibadah.<ref name="KBBI2">{{cite web|url=http://kbbi.web.id/sembahyang|title=Sembahyang|publisher=Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)|language=Indonesian|accessdate=28 May 2015}}</ref> Sebenarnya kata itu berasal dari gabungan dua kata, ''sembah dan hyang'' yang berarti "menyembah ''[[hyang]]''" ([[dewa]] atau roh kudus).
Kata ''sembah yang'' dalam bahasa [[Bahasa Indonesia|Indonesia]] yang saat ini [[sinonim]] dengan ''[[Salat|shalat]]'' dalam Islam, yang berarti doa atau ibadah.<ref name="KBBI2">{{cite web|url=http://kbbi.web.id/sembahyang|title=Sembahyang|publisher=Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)|language=Indonesian|accessdate=28 May 2015}}</ref> Sebenarnya kata itu berasal dari gabungan dua kata, ''sembah dan hyang'' yang berarti "menyembah ''[[hyang]]''" ([[dewa]] atau roh kudus).


== Asal ==
== Asal ==
[[Berkas:Borobudur_-_Divyavadana_-_033_S,_The_King_goes_to_Protect_the_Hermits_(detail_3)_(11701405255).jpg|jmpl|''Gerakan Sembah'' yang digambarkan di [[Borobudur|candi Borobudur]]]]
[[Berkas:Borobudur_-_Divyavadana_-_033_S,_The_King_goes_to_Protect_the_Hermits_(detail_3)_(11701405255).jpg|jmpl|''Gerakan Sembah'' yang digambarkan di [[Borobudur|candi Borobudur]]]]
Pranāma atau [[Namaste]], bagian dari budaya India kuno telah menyebar ke [[Asia Tenggara|Asia tenggara]], yang merupakan bagian dari indosphere dari Pinggiran India, melalui [[Agama Hindu di Asia Tenggara|penyebaran agama Hindu]] dan [[Penyebaran agama Buddha di sepanjang Jalur Sutra|Buddha]] dari India. Sembah berasal dari ucapan penghormatan kuno yang dilakukan untuk menunjukkan antara [[Sujud (Buddhisme)|sujud]], atau menempelkan kedua tangan telapak tangan bersama-sama dan membungkuk ke tanah. Gerakan ini pertama kali muncul 4000 tahun yang lalu pada segel tanah liat dari [[Peradaban Lembah Sungai Indus|Peradaban Lembah Indus]].<ref>{{cite web | title = Economics of the Indus Valley Civilization | url = http://www.csuchico.edu/~cheinz/syllabi/asst001/fall97/2chd.htm | author = Chad Greenwood | deadurl = yes | archiveurl = https://web.archive.org/web/20071226125638/http://www.csuchico.edu/~cheinz/syllabi/asst001/fall97/2chd.htm | archivedate = 2007-12-26 | df = }}</ref> Hal ini kemudian dinamakan sebagai ''[[Anjali Mudra|Añjali Mudra]]'', dan budaya dharma endemik dari peradaban [[Umat Hindu|Hindu]]-[[Agama Buddha|Buddha]] di [[Subbenua India|benua India]].
Pranāma atau [[Namaste]], bagian dari budaya India kuno telah menyebar ke [[Asia Tenggara|Asia tenggara]], yang merupakan bagian dari indosphere dari Pinggiran India, melalui [[Agama Hindu di Asia Tenggara|penyebaran agama Hindu]] dan [[Penyebaran agama Buddha di sepanjang Jalur Sutra|Buddha]] dari India. Sembah berasal dari ucapan penghormatan kuno yang dilakukan untuk menunjukkan antara [[Sujud (Buddhisme)|sujud]], atau menempelkan kedua tangan telapak tangan bersama-sama dan membungkuk ke tanah. Gerakan ini pertama kali muncul 4000 tahun yang lalu pada segel tanah liat dari [[Peradaban Lembah Sungai Indus|Peradaban Lembah Indus]].<ref>{{cite web | title = Economics of the Indus Valley Civilization | url = http://www.csuchico.edu/~cheinz/syllabi/asst001/fall97/2chd.htm | author = Chad Greenwood | deadurl = yes | archiveurl = https://web.archive.org/web/20071226125638/http://www.csuchico.edu/~cheinz/syllabi/asst001/fall97/2chd.htm | archivedate = 2007-12-26 | df = }}</ref> Hal ini kemudian dinamakan sebagai ''[[Anjali Mudra|Añjali Mudra]]'', dan budaya dharma endemik dari peradaban [[Umat Hindu|Hindu]]-[[Agama Buddha|Buddha]] di [[Subbenua India|benua India]].


Pada awal abad pertama, peradaban Hindu-Buddha mulai menyebar pengaruh mereka di Indonesia, dan pada awal abad ke-4 pemerintahan Hindu telah mendirikan kekuasaan mereka di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, contoh nya seperti kerajaan [[Tarumanagara]] dan [[Kerajaan Kutai|Kutai]]. Pada abad ke-6 sampai ke-9, peradaban Hindu-Buddha berdiri kokoh di pulau Jawa, Bali dan Sumatera, bersamaan dengan naiknya kerajaan [[Sriwijaya]] dan [[Kerajaan Medang|Medang Mataram]]. Gambar ''sembah'' atau ''añjali mudra'' muncul dalam bas-relief ''[[Candi|candi-candi tua]]'' di Jawa, seperti di candi [[Borobudur]] dan [[Candi Prambanan|Prambanan]] pada abad ke-9. Dari itulah, gerakan sembah ini menjadi endemik di wilayah tersebut, terutama di Jawa dan Bali.
Pada awal abad pertama, peradaban Hindu-Buddha mulai menyebar pengaruh mereka di Indonesia, dan pada awal abad ke-4 pemerintahan Hindu telah mendirikan kekuasaan mereka di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, contoh nya seperti kerajaan [[Tarumanagara]] dan [[Kerajaan Kutai|Kutai]]. Pada abad ke-6 sampai ke-9, peradaban Hindu-Buddha berdiri kokoh di pulau Jawa, Bali dan Sumatera, bersamaan dengan naiknya kerajaan [[Sriwijaya]] dan [[Kerajaan Medang|Medang Mataram]]. Gambar ''sembah'' atau ''añjali mudra'' muncul dalam bas-relief ''[[Candi|candi-candi tua]]'' di Jawa, seperti di candi [[Borobudur]] dan [[Candi Prambanan|Prambanan]] pada abad ke-9. Dari itulah, gerakan sembah ini menjadi endemik di wilayah tersebut, terutama di Jawa dan Bali.


== Sosial dan budaya ==
== Sosial dan budaya ==
[[Berkas:KITLV_3904_-_Kassian_Céphas_-_Serimpi_of_the_Sultan_of_Jogjakarta_a_sembah_prior_to_a_dance_called_Semang_I_-_Around_1885.tif|kiri|jmpl|260x260px|Foto [[Srimpi|Serimpi]] pada akhir abad ke-19 penari melakukan ''sembah'' di ''[[keraton]]'' Yogyakarta oleh [[Kassian Cephas]]. ''Sembah'' adalah iktikad yang ditetapkan kerajaan Jawa.]]
[[Berkas:KITLV_3904_-_Kassian_Céphas_-_Serimpi_of_the_Sultan_of_Jogjakarta_a_sembah_prior_to_a_dance_called_Semang_I_-_Around_1885.tif|kiri|jmpl|260x260px|Foto [[Srimpi|Serimpi]] pada akhir abad ke-19 penari melakukan ''sembah'' di ''[[keraton]]'' Yogyakarta oleh [[Kassian Cephas]]. ''Sembah'' adalah iktikad yang ditetapkan kerajaan Jawa.]]
Sembah adalah iktikad yang ditetapkan dan gestur yang lazim di ''[[keraton]]'' atau kerajaan Jawa di [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]] dan [[Kasunanan Surakarta|Surakarta]], di mana sangat penting untuk menyapa seorang raja (Sultan atau [[Sunan]]), pangeran dan bangsawan Jawa dengan gerakan ini. Sembah diwajibkan di kalangan ''ningrat'' dan ''[[Priayi|priyayi]]'', di mana ketinggian mengangkat genggaman tangan sesuai dengan tinggi status sosial dari seseorang yang bersangkutan. Semakin tinggi ''sembahan'' diangkat, semakin rendah tubuh dibungkukkan, semakin tinggi status sosial seseorang yang dihormati dengan gerakan ini.
Sembah adalah iktikad yang ditetapkan dan gestur yang lazim di ''[[keraton]]'' atau kerajaan Jawa di [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]] dan [[Kasunanan Surakarta|Surakarta]], di mana sangat penting untuk menyapa seorang raja (Sultan atau [[Sunan]]), pangeran dan bangsawan Jawa dengan gerakan ini. Sembah diwajibkan di kalangan ''ningrat'' dan ''[[Priayi|priyayi]]'', di mana ketinggian mengangkat genggaman tangan sesuai dengan tinggi status sosial dari seseorang yang bersangkutan. Semakin tinggi ''sembahan'' diangkat, semakin rendah tubuh dibungkukkan, semakin tinggi status sosial seseorang yang dihormati dengan gerakan ini.


Baris 25: Baris 25:
Dalam budaya Jawa dan Sunda, biasanya tidak ada kata-kata yang diucapkan selama melakukan ''sembah''. Namun, dalam budaya Bali kata yang sering diucapkan dengan ''sembah'' saat menyapa seseorang adalah ''om swastiastu'',<ref>{{Cite web|url=http://www.baliadvertiser.biz/articles/kulturekid/2007/greet_balinese.html|title=How should I greet a Balinese?|archive-url=https://web.archive.org/web/20150923181743/http://www.baliadvertiser.biz/articles/kulturekid/2007/greet_balinese.html|archive-date=2015-09-23|dead-url=yes}}</ref> yang seasal dengan kata ''sawatdee'' dalam bahasa [[Bahasa Thai|Thailand]], yang berasal dari [[Bahasa Sanskerta|bahasa Sansekerta]]. Dalam bahasa Sansekerta, kata ''svasti'' bermakna yang aman, bahagia dan sejahtera, dan ''astu'' yang bermakna berarti mudah-mudahan. Dengan demikian, ''[[Om Swastiastu]]'' berarti: "Oh Tuhan, aku berharap semua kebaikan (keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan) datang dari segala arah."<ref>{{Cite web|url=https://baliround.wordpress.com/2012/01/08/om-swastyastu/|title=Om Swastyastu}}</ref> Namun, pada zaman Indonesia kuno, tampaknya bahwa kata "swasti" adalah kata yang diucapkan ''saat sembah'', dengan bukti yang terlutis dalam beberapa prasasti batu yang ditemukan di Jawa dan Sumatera yang dimulai dengan rumus ''svasti'' di awal; seperti abad ke-7 [[Prasasti Kedukan Bukit|Prasasti kedukan Bukit]] yang mulai dengan: ''svasti! kesalehan kuat sri śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śuklapakşa vulan vaiśākha.''
Dalam budaya Jawa dan Sunda, biasanya tidak ada kata-kata yang diucapkan selama melakukan ''sembah''. Namun, dalam budaya Bali kata yang sering diucapkan dengan ''sembah'' saat menyapa seseorang adalah ''om swastiastu'',<ref>{{Cite web|url=http://www.baliadvertiser.biz/articles/kulturekid/2007/greet_balinese.html|title=How should I greet a Balinese?|archive-url=https://web.archive.org/web/20150923181743/http://www.baliadvertiser.biz/articles/kulturekid/2007/greet_balinese.html|archive-date=2015-09-23|dead-url=yes}}</ref> yang seasal dengan kata ''sawatdee'' dalam bahasa [[Bahasa Thai|Thailand]], yang berasal dari [[Bahasa Sanskerta|bahasa Sansekerta]]. Dalam bahasa Sansekerta, kata ''svasti'' bermakna yang aman, bahagia dan sejahtera, dan ''astu'' yang bermakna berarti mudah-mudahan. Dengan demikian, ''[[Om Swastiastu]]'' berarti: "Oh Tuhan, aku berharap semua kebaikan (keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan) datang dari segala arah."<ref>{{Cite web|url=https://baliround.wordpress.com/2012/01/08/om-swastyastu/|title=Om Swastyastu}}</ref> Namun, pada zaman Indonesia kuno, tampaknya bahwa kata "swasti" adalah kata yang diucapkan ''saat sembah'', dengan bukti yang terlutis dalam beberapa prasasti batu yang ditemukan di Jawa dan Sumatera yang dimulai dengan rumus ''svasti'' di awal; seperti abad ke-7 [[Prasasti Kedukan Bukit|Prasasti kedukan Bukit]] yang mulai dengan: ''svasti! kesalehan kuat sri śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śuklapakşa vulan vaiśākha.''


Hari ini, gestur Sembah telah diadopsi, terutama di [[Pariwisata di Indonesia|parawisata di Indonesia]], seperti yang dilakukan oleh pramugari dari Maskapai [[Garuda Indonesia]] untuk menyapa penumpang sebelum dan setelah penerbangan,<ref>{{Cite web|url=https://www.garuda-indonesia.com/id/en/garuda-indonesia-experience/service-concept/index.page|title=The concept of Indonesian hospitality is applied into several icons to delight the five senses|publisher=Garuda Indonesia}}</ref> dan Sembah juga biasa dilakukan sebagai ucapan selamat datang oleh staf di hotel, resor, dan spa di seluruh Indonesia.
Hari ini, gestur Sembah telah diadopsi, terutama di [[Pariwisata di Indonesia|parawisata di Indonesia]], seperti yang dilakukan oleh pramugari dari Maskapai [[Garuda Indonesia]] untuk menyapa penumpang sebelum dan setelah penerbangan,<ref>{{Cite web|url=https://www.garuda-indonesia.com/id/en/garuda-indonesia-experience/service-concept/index.page|title=The concept of Indonesian hospitality is applied into several icons to delight the five senses|publisher=Garuda Indonesia}}</ref> dan Sembah juga biasa dilakukan sebagai ucapan selamat datang oleh staf di hotel, resor, dan spa di seluruh Indonesia.


== Dalam Tarian ==
== Dalam Tarian ==

Revisi per 28 November 2018 13.15

Sembah sebagai bagian dari tari pendet

Sembah adalah ucapan dan gestur dari Indonesia sebagai cara untuk menunjukkan rasa hormat. Saat melakukan sembah, seseorang menempelkan kedua telapak tangan nya secara khidmat seperti sedang berdoa yang bernama suhun atau susuhun dalam Bahasa Jawa; atau menyusun sepuluh jari, dan menempatkan nya di depan dada, lalu meletakkan formasi tangan itu ke dagu, atau sampai ibu jari nya menyentuh ujung hidung, sambil sedikit membungkuk.[1]

Sembah adalah gestur yang endemik dan lazim dalam kebudayaan daerah Indonesia yang mengandung unsur warisan budaya dharma seperti di Bali, Jawa, dan Sunda, sesuai dengan perjanjian Indonesia Hindu-Buddha masa lampau. Sembah ini serumpun dengan Kamboja sampeah dan Thailand wai. Semua macam salam ini berasal dari Añjali Mudra dari India yang digunakan dalam namaste.

Etimologi

Dalam bahasa Indonesia, istilah sembah berarti untuk menghormati, hormat, penghormatan atau penyembahan. Hal ini juga sinonim dengan bahasa jawa, suhun. Menurut Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama kata ini berasal dari bahasa jawa untuk posisi (susunan) tangan dalam pemujaan, dilakukan dengan tangan digenggam bersama-sama, telapak tangan bersentuhan dan jari-jari mengarah ke atas, lalu membungkuk. Pengaturan ini yang memiliki beberapa kesamaan dengan namaste dalam India disebut "sembah", yang digunakan untuk menghormati dan memuji. Dengan demikian "susuhunan" dapat merujuk kepada seseorang untuk memberikan "susunan" atau "sembah", orang. Kata lain untuk "susuhunan" adalah "sesembahan".[2] Namun, istilah sembah anehnya terdengar mirip dan serumpun dengan Bahasa Kamboja sampeah, yang menunjukkan asal-usul atau koneksi yang sama.

Kata sembah yang dalam bahasa Indonesia yang saat ini sinonim dengan shalat dalam Islam, yang berarti doa atau ibadah.[3] Sebenarnya kata itu berasal dari gabungan dua kata, sembah dan hyang yang berarti "menyembah hyang" (dewa atau roh kudus).

Asal

Gerakan Sembah yang digambarkan di candi Borobudur

Pranāma atau Namaste, bagian dari budaya India kuno telah menyebar ke Asia tenggara, yang merupakan bagian dari indosphere dari Pinggiran India, melalui penyebaran agama Hindu dan Buddha dari India. Sembah berasal dari ucapan penghormatan kuno yang dilakukan untuk menunjukkan antara sujud, atau menempelkan kedua tangan telapak tangan bersama-sama dan membungkuk ke tanah. Gerakan ini pertama kali muncul 4000 tahun yang lalu pada segel tanah liat dari Peradaban Lembah Indus.[4] Hal ini kemudian dinamakan sebagai Añjali Mudra, dan budaya dharma endemik dari peradaban Hindu-Buddha di benua India.

Pada awal abad pertama, peradaban Hindu-Buddha mulai menyebar pengaruh mereka di Indonesia, dan pada awal abad ke-4 pemerintahan Hindu telah mendirikan kekuasaan mereka di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, contoh nya seperti kerajaan Tarumanagara dan Kutai. Pada abad ke-6 sampai ke-9, peradaban Hindu-Buddha berdiri kokoh di pulau Jawa, Bali dan Sumatera, bersamaan dengan naiknya kerajaan Sriwijaya dan Medang Mataram. Gambar sembah atau añjali mudra muncul dalam bas-relief candi-candi tua di Jawa, seperti di candi Borobudur dan Prambanan pada abad ke-9. Dari itulah, gerakan sembah ini menjadi endemik di wilayah tersebut, terutama di Jawa dan Bali.

Sosial dan budaya

Foto Serimpi pada akhir abad ke-19 penari melakukan sembah di keraton Yogyakarta oleh Kassian Cephas. Sembah adalah iktikad yang ditetapkan kerajaan Jawa.

Sembah adalah iktikad yang ditetapkan dan gestur yang lazim di keraton atau kerajaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta, di mana sangat penting untuk menyapa seorang raja (Sultan atau Sunan), pangeran dan bangsawan Jawa dengan gerakan ini. Sembah diwajibkan di kalangan ningrat dan priyayi, di mana ketinggian mengangkat genggaman tangan sesuai dengan tinggi status sosial dari seseorang yang bersangkutan. Semakin tinggi sembahan diangkat, semakin rendah tubuh dibungkukkan, semakin tinggi status sosial seseorang yang dihormati dengan gerakan ini.

Sembah juga adalah gestur sosial yang umum di Bali, di mana warisan etiket dan kebiasaan Hindu, masih dilakukan dan diwariskan sampai saat ini. Namun, dalam tradisi Bali sembah sebagai gestur sapaan biasanya dilakukan dengan menempelkan kedua telapak tangan dan menaruhnya lebih rendah dari dagu, sedangkan sembah dengan kedua tangan ditempel dan ditaruh di atas dahi, biasanya dilakukan hanya untuk Dewa-Dewa sebagai bentuk pemujaan, seperti sembahyang, atau dikenal sebagai kramaning sembah.

Dalam tradisi Sunda dari Jawa Barat, sembah sering mengganti jabat tangan modern yang dilakukan secara timbal balik; dengan hampir menyentuhkan ujung jari satu sama lain, kemudian mengangkatnya ke depan wajah sampai ibu jari menyentuh ujung dari hidung sendiri.

Dalam budaya Jawa dan Sunda, biasanya tidak ada kata-kata yang diucapkan selama melakukan sembah. Namun, dalam budaya Bali kata yang sering diucapkan dengan sembah saat menyapa seseorang adalah om swastiastu,[5] yang seasal dengan kata sawatdee dalam bahasa Thailand, yang berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam bahasa Sansekerta, kata svasti bermakna yang aman, bahagia dan sejahtera, dan astu yang bermakna berarti mudah-mudahan. Dengan demikian, Om Swastiastu berarti: "Oh Tuhan, aku berharap semua kebaikan (keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan) datang dari segala arah."[6] Namun, pada zaman Indonesia kuno, tampaknya bahwa kata "swasti" adalah kata yang diucapkan saat sembah, dengan bukti yang terlutis dalam beberapa prasasti batu yang ditemukan di Jawa dan Sumatera yang dimulai dengan rumus svasti di awal; seperti abad ke-7 Prasasti kedukan Bukit yang mulai dengan: svasti! kesalehan kuat sri śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śuklapakşa vulan vaiśākha.

Hari ini, gestur Sembah telah diadopsi, terutama di parawisata di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh pramugari dari Maskapai Garuda Indonesia untuk menyapa penumpang sebelum dan setelah penerbangan,[7] dan Sembah juga biasa dilakukan sebagai ucapan selamat datang oleh staf di hotel, resor, dan spa di seluruh Indonesia.

Dalam Tarian

Gestur Sembah ini sering dilakukan dalam Tarian Tradisional Indonesia, seperti Tari Persembahan dari Lampung, Tari Tanggai dari Palembang, juga varian tarian Melayu dari Jambi dan Riau. DiJawa dan Bali, gestur sembah sering dimasukkan ke dalam gerakan tari, seperti bedhaya, serimpi, wayang orang, panyembrama dan tarian pendet.

Lihat juga

References

  1. ^ "Sembah" (dalam bahasa Indonesian). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Diakses tanggal 28 May 2015. 
  2. ^ HAMKA, Prof. Dr., Dari Perbendaharaan Lama, Page 244, Cet. II, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982
  3. ^ "Sembahyang" (dalam bahasa Indonesian). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Diakses tanggal 28 May 2015. 
  4. ^ Chad Greenwood. "Economics of the Indus Valley Civilization". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-12-26. 
  5. ^ "How should I greet a Balinese?". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-23. 
  6. ^ "Om Swastyastu". 
  7. ^ "The concept of Indonesian hospitality is applied into several icons to delight the five senses". Garuda Indonesia.