Lompat ke isi

Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak 4 perubahan teks pertama (oleh 114.4.221.24 dan X0X758) setelah revisi 14957579 oleh Bagas Chrisara
X0X758 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menghilangkan bagian [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 21: Baris 21:


Berkebalikan dari [[Pemberontakan Raden Ronggo|perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo]] sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar [[Rembang]] dan [[Lasem, Rembang|Lasem]]) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata ber[[agama Islam]].<ref name=carey/>
Berkebalikan dari [[Pemberontakan Raden Ronggo|perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo]] sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar [[Rembang]] dan [[Lasem, Rembang|Lasem]]) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata ber[[agama Islam]].<ref name=carey/>

== Latar belakang ==
=== Pemerintahan Daendels dan Raffles ===
Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal [[Herman Willem Daendels]] di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh Prancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara yang menyebabkan terjadinya [[Herman Willem Daendels#Daendels di Hindia Belanda|kebencian dari pihak keraton Jawa]]. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalur antara [[Anyer]] dan [[Panarukan]], hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah ''mancanegara'' (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan [[Ronggo Prawirodirjo III|Raden Ronggo]]. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa [[Sultan Hamengkubuwana II]] membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.<ref name=carey/>

Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin [[Thomas Stamford Bingley Raffles]] memberikan dukungan kepada [[Sultan Hamengkubuwana II]], pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan [[Sultan Hamengkubuwana II]] turun tahta secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu [[Hamengkubuwana III|Sultan Hamengkubuwana III]]. Perisitwa ini dikenal dengan nama [[Geger Sepehi]]. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda [[Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen|van der Capellen]]. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu [[Hamengkubuwana IV]] yang berusia 10 tahun (1814), sementara [[Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus wali Raja ]]sedangkan Patih Danuredjo III bertindak sebagai wali Raja.<ref name=carey/>

=== Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert ===
Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Sebagai putra tertua Hamengkubuwana III meskipun bukan dari istri resmi (permaisuri), ia merasa sangat sakit hati dan sempat berpikir untuk bunuh diri karena kecewa. Pada tahun 1823, tahta keraton yang seharusnya diduduki wali sultan yang masih balita ternyata ditempati oleh Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga sangat melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk di atas tahta.<ref name=carey/>

Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak ''Puwasa'' agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.<ref name=carey/>

=== Mulainya perang ===
Pada pertengahan bulan [[Mei]] [[1825]], Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari [[Yogyakarta]] ke [[Magelang]] melewati [[Muntilan]] dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.<ref name=carey/>

Pada hari Rabu, [[20 Juli]] [[1825]], pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.<ref name=carey/> Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan dia. Sedangkan [[Raden Ayu Retnaningsih]] (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat "''Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati''"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan [[Diponegoro]]. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.<ref name=carey/> Perjuangan Diponegoro dibantu [[Kyai Maja|Kyai Mojo]] yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

=== Perang sabil ===
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan perang [[jihad]] melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana.<ref name=oldandnew>{{cite book|author1=J. Kathirithamby-Wells|editor1-last=Mackerras|editor1-first=Colin|title=Culture and Society in the Asia-Pacific|date=1998|publisher=Routledge|page=23|url=http://books.google.com/books?id=oE_PX09fyGkC&pg=PA23&dq=Java+War+1825+jihad&hl=en&sa=X&ei=OPQQVMoRgbHIBPyvgNAK&ved=0CCYQ6AEwAg#v=onepage&q=Java%20War%201825%20jihad&f=false|chapter=The Old and the New}}</ref> Infiltrasi pihak Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.<ref name=carey/>

Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, se[[orang indo]], menyebutkan bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.<ref name=carey/>


== Jalan peperangan ==
== Jalan peperangan ==

Revisi per 9 April 2019 22.34

Perang Diponegoro

Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman
Tanggal1825-1830
LokasiJawa
Hasil Pangeran Diponegoro dibuang ke Makassar;[1] pemberontakan berakhir
Pihak terlibat
Belanda
Golongan Jawa yang pro-Belanda
Milisi Pro-Pangeran Diponegoro
Tentara Tionghoa
Tokoh dan pemimpin
Jendral De Kock Pangeran Diponegoro
Kekuatan
50.000 100.000
Korban
Serdadu Eropa:
~8.000
Serdadu Jawa:
7.000[2]
20,000 tewas dalam perang[3]
Milisi dan sipil:
200.000 korban jiwa [2][4][5][6]

Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock[7] yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.[8]

Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.[8]

Jalan peperangan

Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830
Diponegoro
Alibasah Sentot

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pencarian Diponegoro di Magelang.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Pertempuran di Pluntaran.

Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.[9] Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

Pranala luar

  1. ^ Toby Alice Volkman: Sulawesi: island crossroads of Indonesia, Passport Books, 1990, ISBN 0844299065, page 73.
  2. ^ a b Jaap de Moor: Imperialism and War: Essays on Colonial Wars in Asia and Africa, BRILL, 1989, ISBN 9004088342, page 52.
  3. ^ Clodfelter, Michael, Warfare and Armed Conflict: A Statistical Reference to Casualty and Other Figures, 1618-1991
  4. ^ Eric Oey: Java, Volume 3, Tuttle Publishing, 2000, ISBN 9625932445, page 146
  5. ^ Renate Loose, Stefan Loose, Werner Mlyneck: Travel Handbuch Bali& Lombok, CQ Press, 2010, ISBN 0872894347, page 61.
  6. ^ Dan La Botz: Made in Indonesia: Indonesian Workers Since Suharto, South End Press, 2001, ISBN 0896086429, page 69.
  7. ^ Kompas, diakses 14 Mei 2007
  8. ^ a b Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.
  9. ^ M.C. Ricklefs: A History of modern Indonesia since 1300, p. 117.