Siti Walidah: Perbedaan antara revisi
k Bot: Penggantian teks otomatis (- + ) |
|||
Baris 21: | Baris 21: | ||
== Biografi == |
== Biografi == |
||
=== Kehidupan awal === |
=== Kehidupan awal === |
||
Nyai Ahmad Dahlan lahir dengan nama Siti Walidah di [[Kauman]], [[Yogyakarta]], pada tahun 1872. Ia adalah putri dari Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang [[ulama]] dan anggota [[Kesultanan Yogyakarta]];{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} daerah bertempatnya tokoh agama banyak dari [[keraton]].{{sfn|Wahyudi|2002|p=42}} Dia bersekolah di rumah, diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan |
Nyai Ahmad Dahlan lahir dengan nama Siti Walidah di [[Kauman]], [[Yogyakarta]], pada tahun 1872. Ia adalah putri dari Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang [[ulama]] dan anggota [[Kesultanan Yogyakarta]];{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} daerah bertempatnya tokoh agama banyak dari [[keraton]].{{sfn|Wahyudi|2002|p=42}} Dia bersekolah di rumah, diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan Alquran, dia membaca Alquran dalam [[abjad Jawi|naskah Jawi]].{{sfn|Sudarmanto|1996|p=189}} |
||
Nyai Ahmad Dahlan menikah dengan sepupunya, [[Ahmad Dahlan]].{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} Saat Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan [[Muhammadiyah]] saat itu, Nyai mengikuti suaminya dalam perjalanannya.{{sfn|Sudarmanto|1996|p=189}} Namun, karena beberapa dari pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini kerap kali menerima ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan yang dijadwalkan ke [[Banyuwangi]], [[Jawa Timur]] mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif di sana.{{sfn|Sudarmanto|1996|p=189}} |
Nyai Ahmad Dahlan menikah dengan sepupunya, [[Ahmad Dahlan]].{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} Saat Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan [[Muhammadiyah]] saat itu, Nyai mengikuti suaminya dalam perjalanannya.{{sfn|Sudarmanto|1996|p=189}} Namun, karena beberapa dari pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini kerap kali menerima ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan yang dijadwalkan ke [[Banyuwangi]], [[Jawa Timur]] mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif di sana.{{sfn|Sudarmanto|1996|p=189}} |
||
=== Sopo Tresno dan Aisyiyah === |
=== Sopo Tresno dan Aisyiyah === |
||
Pada tahun 1914 ia mendirikan Sopo Tresno, dia dan suaminya bergantian memimpin kelompok tersebut dalam |
Pada tahun 1914 ia mendirikan Sopo Tresno, dia dan suaminya bergantian memimpin kelompok tersebut dalam membaca Alquran dan mendiskusikan maknanya.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} Segera ia mulai berfokus pada ayat-ayat Alquran yang membahas isu-isu perempuan.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} Dengan mengajarkan membaca dan menulis melalui Sopo Tresno, pasangan ini memperlambat [[Kristenisasi]] di Jawa melalui sekolah yang disponsori oleh pemerintah kolonial.{{sfn|Wahyudi|2002|p=50}} |
||
Bersama suami dan beberapa pemimpin Muhammadiyah lainnya, Nyai Ahmad Dahlan membahas peresmian Sopo Tresno sebagai kelompok perempuan.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} Menolak proposal pertama, Fatimah, mereka memutuskan mengganti nama menjadi [[Aisyiyah]], berasal dari nama isteri [[Nabi Muhammad]], yakni [[Aisyah]].{{sfn|Wahyudi|2002|p=50}} Kelompok baru ini, diresmikan pada tanggal 22 April 1917, dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai kepala.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} Lima tahun kemudian organisasi menjadi bagian dari Muhammadiyah.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} |
Bersama suami dan beberapa pemimpin Muhammadiyah lainnya, Nyai Ahmad Dahlan membahas peresmian Sopo Tresno sebagai kelompok perempuan.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} Menolak proposal pertama, Fatimah, mereka memutuskan mengganti nama menjadi [[Aisyiyah]], berasal dari nama isteri [[Nabi Muhammad]], yakni [[Aisyah]].{{sfn|Wahyudi|2002|p=50}} Kelompok baru ini, diresmikan pada tanggal 22 April 1917, dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai kepala.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} Lima tahun kemudian organisasi menjadi bagian dari Muhammadiyah.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} |
||
Baris 33: | Baris 33: | ||
=== Kepemimpinan dan kehidupan selanjutnya === |
=== Kepemimpinan dan kehidupan selanjutnya === |
||
Setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah.{{sfn|Komandoko|2006|p=244}} Pada tahun 1926, |
Setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah.{{sfn|Komandoko|2006|p=244}} Pada tahun 1926, dia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Dia adalah wanita pertama yang memimpin konferensi seperti itu.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} Sebagai hasil dari liputan luas media di koran-koran seperti Pewarta Surabaya dan [[Sin Tit Po]], banyak perempuan terpengaruh untuk bergabung ke dalam Aisyiyah, sementara cabang-cabang lainnya dibuka di pulau-pulau lain di Nusantara.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}} |
||
Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934.{{sfn|Sudarmanto|1996|p=191}} Selama masa [[Pendudukan Jepang di Indonesia|pendudukan Jepang]], Aisyiyah dilarang oleh Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943, |
Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934.{{sfn|Sudarmanto|1996|p=191}} Selama masa [[Pendudukan Jepang di Indonesia|pendudukan Jepang]], Aisyiyah dilarang oleh Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943, dia kemudian bekerja di sekolah-sekolah dan berjuang untuk menjaga siswa dari paksaaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.{{sfn|Wahyudi|2002|p=59}} Selama masa [[Revolusi Nasional Indonesia]], dia memasak sup dari rumahnya bagi para tentara{{sfn|Sudarmanto|1996|p=191}}{{sfn|Ajisaka|Damayanti|2010|p=134}} dan mempromosikan dinas militer di antara mantan murid-muridnya.{{sfn|Wahyudi|2002|p=60}} Dia juga berpartisipasi dalam diskusi tentang perang bersama Jenderal [[Sudirman]] dan Presiden [[Sukarno]].{{sfn|Ajisaka|Damayanti|2010|p=134}} |
||
Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada pukul 01:00 siang pada tanggal 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang [[Masjid Gedhe Kauman]], Yogyakarta empat jam kemudian.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}}{{sfn|Wahyudi|2002|p=46}} [[Daftar Menteri Sekretaris Negara Indonesia|Sekretaris Negara]], [[Abdoel Gaffar Pringgodigdo]] dan [[Daftar Menteri Agama Indonesia|Menteri Agama]], [[Rasjidi]] mewakili pemerintah pada saat pemakamannya.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}}{{sfn|Wahyudi|2002|p=46}} |
Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada pukul 01:00 siang pada tanggal 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang [[Masjid Gedhe Kauman]], Yogyakarta empat jam kemudian.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}}{{sfn|Wahyudi|2002|p=46}} [[Daftar Menteri Sekretaris Negara Indonesia|Sekretaris Negara]], [[Abdoel Gaffar Pringgodigdo]] dan [[Daftar Menteri Agama Indonesia|Menteri Agama]], [[Rasjidi]] mewakili pemerintah pada saat pemakamannya.{{sfn|Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan}}{{sfn|Wahyudi|2002|p=46}} |
Revisi per 10 Juli 2019 10.21
Nyai Ahmad Dahlan | |
---|---|
Lahir | Siti Walidah 3 Januari 1872 Kauman, Yogyakarta, Hindia Belanda |
Meninggal | 31 Mei 1946 Kauman, Yogyakarta, Indonesia | (umur 74)
Makam | Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta |
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Pekerja sosial |
Tahun aktif | 1914–1946 |
Suami/istri | Ahmad Dahlan |
Anak | 6 |
Penghargaan | Pahlawan Nasional Indonesia |
Siti Walidah (3 Januari 1872 – 31 Mei 1946) lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, adalah tokoh emansipasi perempuan, istri dari pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan dan juga seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Biografi
Kehidupan awal
Nyai Ahmad Dahlan lahir dengan nama Siti Walidah di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872. Ia adalah putri dari Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta;[1] daerah bertempatnya tokoh agama banyak dari keraton.[2] Dia bersekolah di rumah, diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan Alquran, dia membaca Alquran dalam naskah Jawi.[3]
Nyai Ahmad Dahlan menikah dengan sepupunya, Ahmad Dahlan.[1] Saat Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah saat itu, Nyai mengikuti suaminya dalam perjalanannya.[3] Namun, karena beberapa dari pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini kerap kali menerima ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan yang dijadwalkan ke Banyuwangi, Jawa Timur mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif di sana.[3]
Sopo Tresno dan Aisyiyah
Pada tahun 1914 ia mendirikan Sopo Tresno, dia dan suaminya bergantian memimpin kelompok tersebut dalam membaca Alquran dan mendiskusikan maknanya.[1] Segera ia mulai berfokus pada ayat-ayat Alquran yang membahas isu-isu perempuan.[1] Dengan mengajarkan membaca dan menulis melalui Sopo Tresno, pasangan ini memperlambat Kristenisasi di Jawa melalui sekolah yang disponsori oleh pemerintah kolonial.[4]
Bersama suami dan beberapa pemimpin Muhammadiyah lainnya, Nyai Ahmad Dahlan membahas peresmian Sopo Tresno sebagai kelompok perempuan.[1] Menolak proposal pertama, Fatimah, mereka memutuskan mengganti nama menjadi Aisyiyah, berasal dari nama isteri Nabi Muhammad, yakni Aisyah.[4] Kelompok baru ini, diresmikan pada tanggal 22 April 1917, dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai kepala.[1] Lima tahun kemudian organisasi menjadi bagian dari Muhammadiyah.[1]
Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan,[1] Dia juga berkhotbah menentang kawin paksa.[5] Dia juga mengunjungi cabang-cabang di seluruh Jawa.[1] Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra suami mereka.[5] Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah.[6]
Kepemimpinan dan kehidupan selanjutnya
Setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah.[7] Pada tahun 1926, dia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Dia adalah wanita pertama yang memimpin konferensi seperti itu.[1] Sebagai hasil dari liputan luas media di koran-koran seperti Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po, banyak perempuan terpengaruh untuk bergabung ke dalam Aisyiyah, sementara cabang-cabang lainnya dibuka di pulau-pulau lain di Nusantara.[1]
Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934.[8] Selama masa pendudukan Jepang, Aisyiyah dilarang oleh Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943, dia kemudian bekerja di sekolah-sekolah dan berjuang untuk menjaga siswa dari paksaaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.[9] Selama masa Revolusi Nasional Indonesia, dia memasak sup dari rumahnya bagi para tentara[8][10] dan mempromosikan dinas militer di antara mantan murid-muridnya.[11] Dia juga berpartisipasi dalam diskusi tentang perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno.[10]
Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada pukul 01:00 siang pada tanggal 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta empat jam kemudian.[1][12] Sekretaris Negara, Abdoel Gaffar Pringgodigdo dan Menteri Agama, Rasjidi mewakili pemerintah pada saat pemakamannya.[1][12]
Warisan
Pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Suharto sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971;[13] Ahmad Dahlan telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional sepuluh tahun sebelumnya.[14] Penghargaan tersebut diterima oleh cucunya, M Wardan.[1] Dia telah dibandingkan dengan pembela hak perempuan, Kartini dan gerilyawan, Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia.[15]
Dalam film Sang Pencerah yang dirilis pada tahun 2010 dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo, Nyai Ahmad Dahlan diperankan oleh Zaskia Adya Mecca sementara Ahmad Dahlan diperankan oleh Lukman Sardi.[16]
Kemudian pada tahun 2017, kisah hidup Nyai Ahamd Dahlan diangkat ke film Nyai Ahmad Dahlan. Dalam film yang disutradarai oleh Olla Atta Adonara tersebut, Nyai Ahmad Dahlan diperankan oleh Tika Bravani sementara Ahmad Dahlan diperankan oleh David Chalik .
Kehidupan pribadi
Nyai Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak dengan Ahmad Dahlan.[7]
Referensi
- Catatan kaki
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 42.
- ^ a b c Sudarmanto 1996, hlm. 189.
- ^ a b Wahyudi 2002, hlm. 50.
- ^ a b Wahyudi 2002, hlm. 47.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 53.
- ^ a b Komandoko 2006, hlm. 244.
- ^ a b Sudarmanto 1996, hlm. 191.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 59.
- ^ a b Ajisaka & Damayanti 2010, hlm. 134.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 60.
- ^ a b Wahyudi 2002, hlm. 46.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 61.
- ^ Komandoko 2006, hlm. 37.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 39.
- ^ Kurniasari 2010, Zaskia Adya Mecca.
- Bibliografi
- Ajisaka, Arya; Damayanti, Dewi (2010). Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka. ISBN 978-979-757-430-7.
- Komandoko, Gamal (2006). Kisah 124 Pahlawan & Pejuang Nusantara. Sleman: Pustaka Widyatama. ISBN 978-979-661-090-7.
- Kurniasari, Triwik (22 Agustus 2010). "Zaskia Adya Mecca: Juggling family and movies". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Januari 2012. Diakses tanggal 15 Januari 2012.
- "Nyai Ahmad Dahlan, Melawan Arus, Berdayakan Perempuan". Republika. Jakarta. 29 September 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Januari 2012. Diakses tanggal 14 Januari 2012.
- Sudarmanto, Y.B. (1996). Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-553-111-1.
- Wahyudi, Jarot (2002). "Nyai Ahmad Dahlan: Penggerak Perempuan Muhammadiyah". Dalam Burhanuddin, Jajat. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 39–67. ISBN 978-979-686-644-1.