Lompat ke isi

Korupsi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
RobotQuistnix (bicara | kontrib)
k robot Adding: it, ru
memindahkan suntingan pengguna 202.155.128.7 ke halaman pembicaraan (isi tidak integral), wikifisasi
Baris 11: Baris 11:
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk [[pemerintah|pemerintahan]] rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan [[dukungan]] untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah [[kleptokrasi]], yang arti harafiahnya ''pemerintahan oleh para pencuri'', di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk [[pemerintah|pemerintahan]] rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan [[dukungan]] untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah [[kleptokrasi]], yang arti harafiahnya ''pemerintahan oleh para pencuri'', di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.


Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan [[narkotika]], [[pencucian uang]], dan [[prostitusi]], korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan [[kriminalitas|kejahatan]].


Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Korupsi lahir di tengah situasi dimana oligharki politik mendominasi dalam pembuatan kebijakan publik di satu sisi dan tiadanya public accountability sebagai mekanisme pertanggungjawaban kekuasaan di sisi yang lain. Kondisi ini diperparah dengan sempitnya ruang partisipasi politik karena tidak adanya peluang dalam sistem politik yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban wakil rakyat di parlemen. Tali mandat antara pemilih dengan wakilnya di parlemen terputus karena para wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilu justru mengabdi pada kepentingan partai politik dan kelompok kepentingan yang menjadi cukong politiknya, daripada menyuarakan kepentingan rakyat.

Realitas oligharki elit politik kian korup karena ditopang oleh struktur sosial paternalistik dan patriarkhis yang melahirkan ketidakberdayaan rakyat dalam mengontrol pemerintahan. Sebaliknya, kesadaran politik rakyat dikontrol oleh tokoh-tokoh yang sebagian besar adalah perpanjangan tangan kekuasaan. Perselingkuhan elit masyarakat dengan penguasa menyebabkan tiadanya peluang bagi rakyat untuk dapat mendesakkan kepentingannya.

Lemahnya kontrol publik memiliki dampak yang sangat luas terutama pada usaha reformasi birokrasi pemerintahan. Korupsi berkembang subur di birokrasi, terutama yang menjadi ujung tombak pelayanan mendasar kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik. Dengan pelayanan yang buruk, publik harus membayar mahal. Kekuasaan politik tidak memiliki prioritas untuk membuat perubahan di birokrasi dan memperbaiki pelayanan kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyat. Birokrasi justru menjadi mesin keuangan politik bagi kekuatan oligharki yang berkuasa.

Korupsi kian mencemaskan setelah implementasi Otonomi Daerah. Arah desentralisasi yang membawa semangat keadilan distributif sumber-sumber negara yang selama 32 tahun dikuasai secara otoriter oleh pemerintah pusat kini justru menjadi ajang distribusi korupsi dimana aktor dan areal korupsi kian meluas. Praktek korupsi tidak lagi terorganisir dan terpusat, tetapi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya pusat-pusat kekuasaan baru.

Hukum yang seharusnya memberikan jaminan terwujudnya keadilan dan penegakan aturan juga tak luput dari ganasnya korupsi. Mafia peradilan kian merajalela dan lembaga peradilan tak ubah laksana lembaga lelang perkara yang membuat buncit perut aparat penegak hukum busuk. Rasa keadilan digadaikan oleh praktek suap menyuap. Intervensi politik terhadap proses hukum menyebabkan lembaga peradilan hanya menjadi komoditas politik kekuasaan. Tidak ada kasus korupsi yang benar-benar divonis setimpal dengan perbuatannya. Dengan kekuasaan uang dan perlindungan politik, koruptor dapat menghirup udara bebas tanpa perlu takut dijerat hukum.

Tidak sedikitpun terlihat ada kemauan politik (will) dari pemerintah untuk memberantas praktek mega korupsi. Krisis ekonomi yang dituding banyak pihak merupakan akibat dari praktek korupsi tidak dijadikan pelajaran. Konglomerat akbar yang melakukan kejahatan ekonomi justru diproteksi. Utang bernilai triliunan yang seharusnya mereka bayar dibebankan kepada pemerintah yang memicu hilangnya mekanisme jaring pengaman sosial seperti penghapusan subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk dan BBM. Korupsi telah menyebabkan kemiskinan struktural yang kronis.

Korupsi membuat mekanisme pasar tidak berjalan. Proteksi, monopoli dan oligopoli menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan distorsi pada distribusi barang/jasa, dimana pengusaha yang mampu berkolaborasi dengan elit politik mendapat akses, konsesi dan kontrak-kontrak ekonomi dengan keuntungan besar. Persaingan usaha yang harus dimenangkan dengan praktek suap menyuap mengakibatkan biaya produksi membengkak. Ongkos buruh ditekan serendah mungkin sebagai kompensasi biaya korupsi yang sudah dikeluarkan pelaku ekonomi.


== Kondisi yang mendukung munculnya korupsi ==
== Kondisi yang mendukung munculnya korupsi ==
* Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
* Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan [[demokrasi|demokratik]].
* Kurangnya [[transparansi (politik)|transparansi]] di pengambilan keputusan pemerintah
* Kurangnya [[transparansi (politik)|transparansi]] di pengambilan keputusan pemerintah
* Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
* Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.

Revisi per 2 Maret 2006 14.43

Semua bentuk pemerintahan rentan terhadap praktek korupsi

Definisi korupsi (Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur:

  • melanggar hukum yang berlaku
  • penyalahgunaan wewenang
  • merugikan negara
  • memperkaya pribadi/diri sendiri

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

  • Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
  • Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
  • Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
  • Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
  • Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
  • Lemahnya ketertiban hukum.
  • Lemahnya profesi hukum.
  • Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
  • Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
  • Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
  • Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

Dampak Negatif

Demokrasi

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi juga menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Suharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

Kesejahteraan Umum Negara

Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan

Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.

Penyogokan: pesogok dan penerima sogokan

Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.

Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.

Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut (disusun menurut abjad):

Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss

Menurut survei yang sama, tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun menurut abjad):

Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Kenya, Nigeria, Pakistan, Filipina, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina

Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut.

Sumbangan kampanye dan "uang lembek"

Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.

Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.

Tuduhan korupsi sebagai alat politik

Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat China, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

Mengukur korupsi

Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.

Referensi

Lihat pula

Pranala luar