Suma Oriental: Perbedaan antara revisi
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Miminsastra (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis VisualEditor pranala ke halaman disambiguasi |
||
Baris 53: | Baris 53: | ||
Pulau-pulau ini termasuk jenis Aceh dan penghuninya—sedikit saja—mematuhinya, terutama [yang satu itu] terbesar [pulau], yang memiliki lebih banyak penduduk (?); dan ada beberapa perdagangan di pulau-pulau ini. Mereka datang dari Pulau Sumatra untuk memancing dan mereka menangkap banyak atau ikan yang diperdagangkan di beberapa bagian Sumatera. |
Pulau-pulau ini termasuk jenis Aceh dan penghuninya—sedikit saja—mematuhinya, terutama [yang satu itu] terbesar [pulau], yang memiliki lebih banyak penduduk (?); dan ada beberapa perdagangan di pulau-pulau ini. Mereka datang dari Pulau Sumatra untuk memancing dan mereka menangkap banyak atau ikan yang diperdagangkan di beberapa bagian Sumatera. |
||
=== Jawa === |
=== Sunda dan Pulau Jawa === |
||
Mengenai kehidupan di Jawa, Pires memberikan informasi mengenai keadaan ekonomi dan politik di Jawa pada masa paruh pertama abad ke-16. Ia menyebut |
Mengenai kehidupan di Jawa, Pires memberikan informasi mengenai keadaan ekonomi dan politik di Jawa pada masa paruh pertama abad ke-16. Ia menyebut enam pelabuhan utama [[Kerajaan Sunda]], pengaruh Demak terhadap wilayah barat Pulau Jawa. Timnya berlayar hingga ke bagian timur Jawa. |
||
Menurut penulis Portugis [[Tomé Pires]] tersebut, Kalapa adalah pelabuhan terbesar di Jawa Barat, selain [[Kerajaan Sunda|Sunda]] (Banten), [[Pontang]], [[Cigede]], [[Tamgara]] dan [[Cimanuk]] yang juga dimiliki Pajajaran. Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut ''Kalapa'' dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama ''Dayo'' (dalam bahasa Sunda modern sekarang: '''dayeuh''' berarti kota) dalam tempo dua hari. |
|||
Nama ''Dayo'' didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata ''dayeuh'' bila bermaksud menyebut ibu kota dalam percakapan sehari-hari. |
|||
Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak [[abad ke-5]] dan saat itu disebut Sundapura. Pada [[abad ke-12]], pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan [[lada]] yang sibuk milik [[Kerajaan Sunda]], yang memiliki ibu kota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi [[Kota Bogor]]. |
|||
Kapal-kapal asing yang berasal dari [[Tiongkok]], [[Jepang]], [[India]] Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti [[porselen]], [[kopi]], [[sutra]], [[kain]], wangi-wangian, [[kuda]], [[anggur]], dan zat warna untuk ditukar dengan [[rempah-rempah]] yang menjadi komoditas dagang saat itu. |
|||
Seperti diketahui pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di [[Semenanjung Malaka]]. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur. |
|||
[[Tome Pires]] sendiri adalah salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari [[Sumatra]], [[Kesultanan Malaka|Malaka]], Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan. |
|||
Laporan Portugis menjelaskan, bahwa (Sunda) Kalapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang [[Suku Melayu|Melayu]], Jepang dan Tionghoa. |
|||
Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan ''lanchara'', yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton. |
|||
Tome Pires ikut mencatat juga kemajuan zaman keemasan pemimpin besar Sri Baduga yang menjabat Raja waktu itu dengan komentar "''The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men''" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). |
|||
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil ''tammarin'' (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal. |
|||
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis berpotensi munculnya ancaman yang sama di pesisir terhadap Kerajaan Sunda. Maka pada 1512 Kerajaan Sunda menjalin hubungan dengan Portugis (Graaf & Pigeaud, 1985:146–147). |
|||
Ketika itu Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam melakukan diplomasi perdagangan kepada Alfonso d’Albuquerque. Sebagai balasan pada 1522 pihak Portugis di Malaka ketika itu yang menjadi gubernur Jorge d’Albuquerque, mengirim perutusan yang dipimpin Henrique Lemé untuk mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Ketika yang bertahta adalah Samiam (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:394). |
|||
Maka pada tanggal [[21 Agustus]] [[1522]] dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan (Sunda) Kalapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. |
|||
Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau ''[[padraõ]]'' dibuat untuk memperingati peristiwa itu. (Djajadiningrat, 1983:79–80). |
|||
[[Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal|Padrao dimaksud]] disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda [[Mundinglaya Dikusumah]]. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta. |
|||
Dalam perjanjian itu pihak Portugis diwakili Henrique Leme sedangkan Raja Sunda didampingi oleh tiga orang menteri yaitu ''Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pate,'' dan ''Bengar.'' Menurut Guillot, perjanjian antara Leme dan pihak Raja Sunda dilakukan di Banten dan selanjutnya pihak Portugis akan mendirikan benteng di Cidigy atau Cheguide. Lokasi Cheguide menurut buku pedoman pelayaran dapat ditentukan terletak di antara Pontang dan Tangerang. Tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane. |
|||
Akhirnya Guillot menarik hipotesis bahwa Cheguide di mana Leme mendirikan ''padrao'' sebagai tanda lokasi akan dibangunnya benteng berada di muara Ci Sadane, tepi Kali Kramat sekarang. Pembangunan benteng dilaksanakan oleh Francisco de Sa. Ketika Francisco de Sa menuju Sunda, armadanya terserang badai. |
|||
Duarto Coelho salah seorang kapten armada tersebut berhasil sampai di pelabuhan tetapi kapalnya tengelam di situ. Semua pasukannya diserang oleh orang-orang Banten yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota itu dari Samiam (Guillot, 1992; Saptono, 1998:246–248). |
|||
Demak (di Jawa bagian tengah) saat itu menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman bagi ekonomi kerajaannya. Sehingga melakukan serangan loncat katak, melalui Banten sebagai pijakan dengan pimpinannnya yaitu Fatahillah, seorang menantu Sultan Demak namun juga menantu Sultan Gunung Jati dari Cirebon. |
|||
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia menuliskan bahwa: |
|||
''The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to whom more authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third part of the island and an eight more. It ends at the river chi Manuk. They say that from the earliest times God divided the island of Java from that of Sunda and that of Java by the said river, which has trees from one end to the other, and they say the trees on each side line over to each country with the branches on the ground.'' |
|||
Tentang Kerajaan Sunda ini, Tome Pires menggambarkan bahwa, menurut berita lokal, Kerajaan Sunda luasnya setengah pulau Jawa dan ada juga yang menyebut luasnya sepertiga ditambah seperdelapan luas pulau Jawa. |
|||
Jadi, jelaslah bahwa perpaduan kedua [[kerajaan]] ini disebut dengan nama [[Kerajaan Sunda]]. |
|||
Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di [[Bogor]] banyak bercerita tentang [[Kerajaan Sunda]] sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan [[prasasti]] di daerah [[Sukabumi]] bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa [[Sri Jayabhupati|Sri Jayabupati.]] |
|||
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. |
|||
Kerajaan Sunda sangat kaya. Kerajaan ini memiliki empat ribu kuda yang didatangkan dari Pariaman dan pulau-pulau lain. Raja memiliki empat puluh gajah. Emas enam karat juga ditemukan di kerajaan ini. Asam berlimpah yang berguna untuk dibuat cuka oleh penduduk. |
|||
Kota tempat raja berada disebut kota besar atau dayeuh. Kota tersebut memiliki bangunan-bangunan yang dibuat dengan baik dari kayu dan daun palem. Rumah raja memiliki 330 tiang kayu setebal drum anggur yang tingginya 8 meter. Kota tersebut dapat ditempuh selama 2 hari dari pelabuhan utama. |
|||
Raja Sunda merupakan olahragawan dan pemburu ulung. Tahta kerajaan turun dari ayah kepada anak laki-laki. Orang Sunda sangat jujur. Perempuan bangsawannya cantik-cantik. Penduduknya ramah (tidak garang). Mereka gemar akan senjata yang dihias. Kerisnya mengkilat. |
|||
Orang Sunda di pantai bergaul denga para pedagang dari pedalaman. Mereka terbiasa berdagang, Orang Sunda sangat sering datang ke Malaka. Mereka membawa lancara (kapal kargo yang beratnya seratus lima puluh ton). Kerajaan Sunda memiliki 6 kapal jung dan banyak lancara. |
|||
Sementara menurut catatan de Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu ''Chiamo, Xacatra'' atau ''Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang,'' dan ''Bantam'' (Djajadiningrat, 1983:83). |
|||
Selain de Barros, Tomé Pires juga memberitakan bahwa ''Çumda'' mempunyai enam pelabuhan yaitu ''Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa,'' dan ''Chemano (Cotesao, 1967:166)''. Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa ''Calapa'' yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya ''Xacatra'' atau ''Caravam (Saptono, 1998:241).'' |
|||
Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cotesao, 1967:170–173). ''Bantam'' merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada. |
|||
''Pomdam'' juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (''junk'') dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. ''Cheguide'' merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. |
|||
Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. ''Tamgaram'' juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. ''Calapa'' merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain. |
|||
Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, ''Laue,'' ''Tamjompura,'' Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. ''Chemano'' merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga seluruh Jawa. |
|||
Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada dengan kualitas tinggi. Produksi lada diperkirakan 1000 bahar per tahunnya. Selain lada komoditas penting Kerajaan Sunda adalah cabai jawa dan buah asam. Kedua komoditas ini mampu memenuhi kebutuhan seribu kapal. Kerajaan Sunda selain menyediakan barang-barang komoditas juga menyediakan tenaga kerja (budak yang diperjual-belikan) baik pria maupun wanita. |
|||
Ketersediaan tenaga kerja ini selain dari lokal juga dipasok dari Kepulauan Maladewa. Perjalanan dari Sunda ke Maladewa ditempuh sekitar enam hingga tujuh hari. Dalam aktivitas perdagangan telah digunakan semacam mata uang terbuat dari emas yang dicetak dengan 8 ''mate'', yaitu semacam goresan atau cetakan emas yang digunakan di Timur (Cotesao, 1967:172). |
|||
Hubungan dagang antara masyarakat pesisir dilakukan dengan perahu yang menyusuri laut pinggir pantai. Sebagaimana pemberitaan Tomé Pires, aktivitas perdagangan di pantai utara Jawa juga terjalin secara antar kota pelabuhan. |
|||
Berlangsungnya perdagangan semacam ini, di Indramayu ditandai dengan adanya temuan perahu di Desa Lombang, Juntinyuat. Perahu berukuran panjang 11,5 m dan lebar 3 m serta tinggi sekitar 1,5 m menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut dalam jarak yang tidak begitu jauh, dalam arti tidak untuk mengarungi samodra (Michrob, 1992). |
|||
Hubungan antar pemukiman di pedalaman dan pesisir dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Jalan-jalan darat menghubungkan pusat kerajaan di Pakwan Pajajaran ke pemukiman-pemukiman di pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara. Jaringan jalan ada dua yaitu ke arah timur dan barat. Jalan ke arah timur dari Pakwan Pajajaran menuju Karangsambung di tepi Ci Manuk melalui Cileungsi dan Cibarusah. |
|||
Dari Cibarusah menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang kemudian terus ke Cikao, Purwakarta dan lanjut ke Karangsambung. Di Karangsambung jalan ini bercabang, satu jalur menuju Cirebon lalu berbelok ke arah Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalur jalan lain dari Karangsambung menuju Sindangkasih, lalu ke Talaga dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalan ke arah barat dari Pakwan Pajajaran menuju Jasinga lalu ke Rangkasbitung dan berakhir di Banten. |
|||
Satu jalur lagi dari Pakwan Pajajaran ke arah Ciampea dan kemudian ke Rumpin. Dari Rumpin kemudian dilanjutkan menggunakan jalan sungai (Ci Sadane) menuju muara. Dengan menggunakan prasarana transportasi jalan darat ini, barang-barang komoditas dari pedalaman dan dari luar dapat dipertukarkan (diperdagangkan) dengan perantara pelabuhan-pelabuhan di pesisir (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:420). |
|||
Berdasarkan beberapa sumber dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda pada dasarnya merupakan kerajaan yang bercorak agraris khususnya pada sektor perladangan. Secara teoritis, kerajaan yang ditopang sektor perladangan akan tidak dapat berlangsung lama. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda bertahan pada kurun waktu antara abad ke-7 hingga ke-17. Bertahan lamanya Kerajaan Sunda ternyata didukung aktivitas kemaritiman berupa perdagangan ''insuler'' dan ''interinsuler''. |
|||
Kerajaan Sunda merupakan penghasil lada dengan kualitas bagus. Selain itu terdapat barang-barang komoditas lain yang sangat laku di pasaran. Barang-barang komoditas tersebut adalah cabai jawa, asam, beras, sayur-mayur, daging (babi, kambing, domba, sapi), anggur, pinang, air mawar, dan emas. Komoditas yang masuk ke Sunda antara lain budak, kain/tekstil, dan akar-akaran. |
|||
Perdagangan secara insuler dilakukan dengan beberapa pelabuhan dagang di Pulau Jawa, sedangkan secara interinsuler dilakukan dengan beberapa daerah di Sumatera misalnya Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, Palembang, Laue, dan Tanjungpura; di Sulawesi dengan Makasar; dan secara internasional dengan Malaka, Maladewa, Pagan, dan Cina. Distribusi barang dari pelabuhan ke beberapa lokasi di pedalaman melalui jaringan jalan darat. |
|||
Kerajaan Sunda yang sebagian besar masyarakatnya sebagai peladang sangat bergantung pada aktivitas kemaritiman untuk kelangsungannya. Dalam hal ini peran pelabuhan dagang sangat vital. Pelabuhan bukan sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta terlindung dari angin dan arus yang kuat. |
|||
Tempat ideal untuk pelabuhan adalah muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat mengangkut hasil bumi ke pantai (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a:141). Pelabuhan sebagai kota pantai harus memiliki fungsi kelautan. Laut tidak hanya dilihat sebagai faktor distorsi mobilitas tetapi juga sebagai lintas enerji barang, manusia, dan informasi dari pelabuhan satu ke kota lainnya (Nurhadi, 1995:87). |
|||
Pada masa akhir Kerajaan Sunda, peran pelabuhan-pelabuhan dagang tersebut mengalami kemunduran. Dalam perkembangannya ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya sebagai pelabuhan nelayan saja. Keadaan pada 1775–1778 di Jawa Barat hanya ada tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale, 1995:193). Penyebab menurunnya fungsi pelabuhan terjadi karena beberapa faktor. Hal yang umum terjadi karena adanya perebutan kekuasaan. |
|||
Salah satu contoh misalnya yang terjadi pada pelabuhan Cheguide. |
|||
Perebutan kekuasaan selain terjadi di Cheguide juga di Sunda Kelapa. Pada 1527 Sunda Kelapa berhasil direbut oleh pasukan Banten. Kondisi seperti ini menyebabkan terputusnya hubungan antara kawasan pesisir dengan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman. Jalan niaga Kerajaan Sunda satu persatu jatuh ke tangan pasukan Islam, sehingga raja hanya dapat bertahan di pedalaman (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:395). |
|||
Selain karena perebutan kekuasaan, tidak berfungsinya pelabuhan juga disebabkan faktor alam. Sebagai contoh adalah pelabuhan Chemanuk (Indramayu). |
|||
== Kesultanan Melaka == |
== Kesultanan Melaka == |
Revisi per 16 Maret 2023 09.12
Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins ("Ikhtisar Wilayah Timur, dari Laut Merah hingga Negeri Cina") adalah kompendium (summa) yang ditulis oleh Tomé Pires pada tahun 1512-1515, berisi informasi tentang kehidupan di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara pada abad ke-16. Naskah ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tomé Pires kepada Raja Emanuel tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Portugis saat itu sehingga tidak pernah diterbitkan.
Buku ini terdiri dari enam jilid, dua jilid pertama berisi informasi tentang wilayah antara Mesir dan Malabar, dan sisanya berisi informasi tentang wilayah Bengali, Indocina, Malaysia, Indonesia, Cina, dan Jepang. Tentang Indonesia, Suma Oriental memuat informasi terutama tentang Pulau Jawa dan Pulau Sumatra.
Setelah sempat "menghilang" berabad-abad, pada tahun 1944, Armando Z. Cortesão menerbitkan terjemahan Suma Oriental ke dalam bahasa Inggris, berdasarkan versi salinannya yang ditemukan di Perpustakaan Chambre des Deputes di Paris.
Kesultanan Delhi di India
Tomé Pires menulis tentang Kesultanan Delhi (atau Moghul?) yang beragama Islam di India, antara tahun 1512-1515.
Perdagangan dengan Koromandel, Malabar, atau Benggala, disebutkannya tidak menguntungkan. Disebutkan contohnya di pelabuhan Masulipatnam hanya melibatkan perdagangan garam, cabe, opium.
Disebutkan bahwa Kain dari Benggala amat bermutu tinggi dan mendapat permintaaan yang banyak. Ia juga menceritakan tentang Kerajaan Hindu di Orissa dan Tippera. Juga terdapat uraian mengenai ibu kota Benggala.
Ia melakukan hubungan dengan berbagai pihak, khususnya dengan para ahli pelayaran, pedagang, dan administrator di negara-negara yang disinggahinya. Pelayarannya yang mewakili Portugis ini melibatkan budak dari Abesinia.
Cina ke Borneo
Jepang
Pulau Jepang (Jampon), menurut apa yang dikatakan semua orang Cina, lebih besar dari Lequios, dan raja lebih kuat dan lebih besar, dan tidak diadakan untuk berdagang, juga rakyatnya. Dia adalah raja penyembah berhala, pengikut raja Cina. Mereka tidak sering berdagang di Cina karena jauh dan mereka tidak memiliki jung, juga mereka bukan pelaut.[n 1]
Lequjos pergi ke Jepang dalam tujuh atau delapan hari dan mengambil barang dagangan tersebut, dan menukarnya dengan emas dan tembaga. Semua yang berasal dari Lequeos dibawa oleh mereka dari Jepang. Dan perdagangan Lequeos dengan orang-orang Jepang dalam pakaian, jaring ikan dan barang dagangan lainnya.
Borneo
Borneo terdiri dari banyak pulau, besar dan kecil. Mereka hampir semuanya dihuni oleh penyembah berhala, hanya satu kepala yang dihuni oleh bangsa Moor; tidak lama sejak raja menjadi bangsa Moor. Mereka sepertinya adalah orang yang berdagang. Para pedagang adalah orang-orang dari perawakan sedang, tidak terlalu cerdas. Mereka berdagang langsung dengan Malaka setiap tahun. Ini adalah negeri dengan banyak daging, ikan, beras, dan sagu.[n 2]
Mereka membawa emas, yang memiliki nilai uji rendah, lebih rendah daripada emas lainnya di bagian ini; mereka membawa setiap tahun hingga dua atau tiga bahar kapur barus yang sangat berharga. Kati dari ini bervariasi nilainya sesuai dengan ukuran [benjolan]: cate [bernilai] dari dua belas sampai tiga puluh atau empat puluh cruzados sesuai dengan jenis dan kualitasnya. Mereka memiliki banyak sekali chebulic myrobalan yang mereka bawa untuk dijual.[n 3]
Filipina
Luções berjarak sekitar sepuluh hari berlayar di luar Borneo. Mereka hampir semuanya penyembah berhala; mereka tidak memiliki raja, tetapi mereka diperintah oleh kelompok tetua. Mereka adalah orang-orang yang kuat, sedikit dipikirkan di Malaka. Mereka memiliki dua atau tiga jung, paling banyak. Mereka membawa barang dagangan ke Borneo dan dari sana mereka datang ke Malaka.[n 4]
Orang-orang Borneo pergi ke tanah Luções untuk membeli emas, dan bahan makanan juga, dan emas yang mereka bawa ke Malaka adalah berasal dari Luções dan dari pulau-pulau sekitarnya yang tak terhitung jumlahnya; dan mereka semua memiliki perdagangan kurang lebih satu sama lain. Dan emas dari pulau-pulau tempat mereka berdagang ini berkualitas rendah—memang berkualitas sangat rendah.
Kepulauan India
Sumatra
Deskripsi atau laporan kebesaran, kekayaan dan kepadatan penduduk Pulau Sumatra (Camotora) dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya, dan itu akan dijelaskan sepanjang jalan, mulai dari Gamispola di sepanjang bandar dengan mengitari Pamchur kembali ke Gamispola.
Dan pertama-tama Tomé Pires akan memberi tahu berapa banyak kerajaan yang dimilikinya, dan kemudian seperti apa masing-masing dan perdagangan serta jenis barang dagangan yang ada di pulau ini dan seberapa besar itu dan apa yang menghalangi lancaran dan jung-nya.
Mulai dari Gamispola ada kerajaan Aceh (Achei) dan Biar Lambry, kerajaan Pedir, kerajaan Pirada, kerajaan Pasai (Paçee), kerajaan Bata, kerajaan Aru, kerajaan Arcat, kerajaan Rupat, kerajaan Siak (Ciac), kerajaan Kampar (Campar), kerajaan Tongkal (Tuncall), kerajaan Indragiri (Amdargery), kerajaan Capocam, kerajaan Trimtall [Tongkal?], kerajaan Jambi, kerajaan Palembang (Palimbão), tanah Sekampung (Çaçanpom), Tulang Bawang (Tulimbavam), Andalas (Andallos), Pariaman (Pirjaman), Tiku (Tiquo), Panchur, Barus (Baruez), Singkil (Chinqele), Meulaboh (Mancopa), Daya, Pirim [Pedir?]—ini berbatasan dengan Lambri dan pulau yang berada di Gamispola. Dan dari Siak ke Jambi, dan dari Pariaman ke Panchur di sisi lain, adalah tanah Minangkabau (Menamcabo), yang memiliki tiga raja. Mereka berada di pedalaman pulau, dan ada danau air manis di negeri Minangkabau ini, seperti yang akan diceritakan ketika Minangkabau diuraikan.[n 5]
Pulau Pisang (Pullo Piçam), Karimun (Carimam), pulau Celates yang disebut Çelağuym gum, Kundur (Sabam), Buaya, Linga, Tiga (Tigua), Pulau Berhala (Pullo Baralam), Banka (Bamca) dan Monomby. Ini akan dijelaskan di tempatnya.[n 6]
Sumatra memiliki emas dalam kuantitas besar, kapur barus yang dapat dimakan dari dua jenis, lada, sutra, asam kemenyan, gaharu apoteker; pulau ini memiliki madu, lilin, pitch, sulfur, kapas, rotan yang banyak, yang merupakan tongkat tempat mereka membuat tikar. Ini digunakan seperti sabut atau esparto dan berfungsi sebagai tali yang dengannya mereka mengikat semuanya.[n 7]
Ada banyak beras—putih dan di kulitnya; memiliki banyak daging dan ikan, termasuk shad dalam jumlah besar seperti di Azamor; memiliki minyak, banyak jenis anggur, termasuk tampoy, yang hampir seperti anggur Eropa; mereka memiliki buah dalam kuantitas besar, termasuk durian, tentu lebih manis dan lebih enak dari semua buah lainnya.[n 8]
Di pulau Sumatra sebagian besar raja adalah bangsa Moor dan beberapa penyembah berhala; dan di negeri penyembah berhala beberapa orang melakukan kebiasaan memakan musuh mereka ketika mereka menangkapnya. Raja-raja di sisi bandar dari Aceh ke Palembang adalah bangsa Moor, dan dari Palembang mengitari Gamispola kebanyakan penyembah berhala, dan orang-orang dari pedalaman dan yang tinggal di pedalaman juga penyembah berhala.[n 9]
Pulau-pulau yang disebut Gamispola adalah dua atau tiga dan lebih, dekat tanah Aceh dan Lambry. Harus ada sekitar sepuluh atau lima belas pulau di sekitar tiga atau empat liga dan laut di antara mereka adalah dua, tiga dari empat liga, dan itu adalah dua puluh atau tiga puluh depa di dekat daratan.[n 10]
Beberapa pulau ini dihuni oleh beberapa orang. Mereka memiliki air dan banyak ikan dan kayu bakar. Mereka semua memiliki kuantitas sulfur, yang menyuplai Pasai dan Pedir.
Pulau-pulau ini termasuk jenis Aceh dan penghuninya—sedikit saja—mematuhinya, terutama [yang satu itu] terbesar [pulau], yang memiliki lebih banyak penduduk (?); dan ada beberapa perdagangan di pulau-pulau ini. Mereka datang dari Pulau Sumatra untuk memancing dan mereka menangkap banyak atau ikan yang diperdagangkan di beberapa bagian Sumatera.
Sunda dan Pulau Jawa
Mengenai kehidupan di Jawa, Pires memberikan informasi mengenai keadaan ekonomi dan politik di Jawa pada masa paruh pertama abad ke-16. Ia menyebut enam pelabuhan utama Kerajaan Sunda, pengaruh Demak terhadap wilayah barat Pulau Jawa. Timnya berlayar hingga ke bagian timur Jawa.
Menurut penulis Portugis Tomé Pires tersebut, Kalapa adalah pelabuhan terbesar di Jawa Barat, selain Sunda (Banten), Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk yang juga dimiliki Pajajaran. Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern sekarang: dayeuh berarti kota) dalam tempo dua hari.
Nama Dayo didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata dayeuh bila bermaksud menyebut ibu kota dalam percakapan sehari-hari.
Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibu kota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota Bogor.
Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Seperti diketahui pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Tome Pires sendiri adalah salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan.
Laporan Portugis menjelaskan, bahwa (Sunda) Kalapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa.
Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Tome Pires ikut mencatat juga kemajuan zaman keemasan pemimpin besar Sri Baduga yang menjabat Raja waktu itu dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis berpotensi munculnya ancaman yang sama di pesisir terhadap Kerajaan Sunda. Maka pada 1512 Kerajaan Sunda menjalin hubungan dengan Portugis (Graaf & Pigeaud, 1985:146–147).
Ketika itu Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam melakukan diplomasi perdagangan kepada Alfonso d’Albuquerque. Sebagai balasan pada 1522 pihak Portugis di Malaka ketika itu yang menjadi gubernur Jorge d’Albuquerque, mengirim perutusan yang dipimpin Henrique Lemé untuk mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Ketika yang bertahta adalah Samiam (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:394).
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan (Sunda) Kalapa akan menerima barang-barang yang diperlukan.
Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. (Djajadiningrat, 1983:79–80).
Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Dalam perjanjian itu pihak Portugis diwakili Henrique Leme sedangkan Raja Sunda didampingi oleh tiga orang menteri yaitu Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pate, dan Bengar. Menurut Guillot, perjanjian antara Leme dan pihak Raja Sunda dilakukan di Banten dan selanjutnya pihak Portugis akan mendirikan benteng di Cidigy atau Cheguide. Lokasi Cheguide menurut buku pedoman pelayaran dapat ditentukan terletak di antara Pontang dan Tangerang. Tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane.
Akhirnya Guillot menarik hipotesis bahwa Cheguide di mana Leme mendirikan padrao sebagai tanda lokasi akan dibangunnya benteng berada di muara Ci Sadane, tepi Kali Kramat sekarang. Pembangunan benteng dilaksanakan oleh Francisco de Sa. Ketika Francisco de Sa menuju Sunda, armadanya terserang badai.
Duarto Coelho salah seorang kapten armada tersebut berhasil sampai di pelabuhan tetapi kapalnya tengelam di situ. Semua pasukannya diserang oleh orang-orang Banten yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota itu dari Samiam (Guillot, 1992; Saptono, 1998:246–248).
Demak (di Jawa bagian tengah) saat itu menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman bagi ekonomi kerajaannya. Sehingga melakukan serangan loncat katak, melalui Banten sebagai pijakan dengan pimpinannnya yaitu Fatahillah, seorang menantu Sultan Demak namun juga menantu Sultan Gunung Jati dari Cirebon.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia menuliskan bahwa:
The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to whom more authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third part of the island and an eight more. It ends at the river chi Manuk. They say that from the earliest times God divided the island of Java from that of Sunda and that of Java by the said river, which has trees from one end to the other, and they say the trees on each side line over to each country with the branches on the ground.
Tentang Kerajaan Sunda ini, Tome Pires menggambarkan bahwa, menurut berita lokal, Kerajaan Sunda luasnya setengah pulau Jawa dan ada juga yang menyebut luasnya sepertiga ditambah seperdelapan luas pulau Jawa.
Jadi, jelaslah bahwa perpaduan kedua kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Sunda.
Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Kerajaan Sunda sangat kaya. Kerajaan ini memiliki empat ribu kuda yang didatangkan dari Pariaman dan pulau-pulau lain. Raja memiliki empat puluh gajah. Emas enam karat juga ditemukan di kerajaan ini. Asam berlimpah yang berguna untuk dibuat cuka oleh penduduk.
Kota tempat raja berada disebut kota besar atau dayeuh. Kota tersebut memiliki bangunan-bangunan yang dibuat dengan baik dari kayu dan daun palem. Rumah raja memiliki 330 tiang kayu setebal drum anggur yang tingginya 8 meter. Kota tersebut dapat ditempuh selama 2 hari dari pelabuhan utama.
Raja Sunda merupakan olahragawan dan pemburu ulung. Tahta kerajaan turun dari ayah kepada anak laki-laki. Orang Sunda sangat jujur. Perempuan bangsawannya cantik-cantik. Penduduknya ramah (tidak garang). Mereka gemar akan senjata yang dihias. Kerisnya mengkilat.
Orang Sunda di pantai bergaul denga para pedagang dari pedalaman. Mereka terbiasa berdagang, Orang Sunda sangat sering datang ke Malaka. Mereka membawa lancara (kapal kargo yang beratnya seratus lima puluh ton). Kerajaan Sunda memiliki 6 kapal jung dan banyak lancara.
Sementara menurut catatan de Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983:83).
Selain de Barros, Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cotesao, 1967:166). Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa Calapa yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya Xacatra atau Caravam (Saptono, 1998:241).
Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cotesao, 1967:170–173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada.
Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain.
Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain.
Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga seluruh Jawa.
Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada dengan kualitas tinggi. Produksi lada diperkirakan 1000 bahar per tahunnya. Selain lada komoditas penting Kerajaan Sunda adalah cabai jawa dan buah asam. Kedua komoditas ini mampu memenuhi kebutuhan seribu kapal. Kerajaan Sunda selain menyediakan barang-barang komoditas juga menyediakan tenaga kerja (budak yang diperjual-belikan) baik pria maupun wanita.
Ketersediaan tenaga kerja ini selain dari lokal juga dipasok dari Kepulauan Maladewa. Perjalanan dari Sunda ke Maladewa ditempuh sekitar enam hingga tujuh hari. Dalam aktivitas perdagangan telah digunakan semacam mata uang terbuat dari emas yang dicetak dengan 8 mate, yaitu semacam goresan atau cetakan emas yang digunakan di Timur (Cotesao, 1967:172).
Hubungan dagang antara masyarakat pesisir dilakukan dengan perahu yang menyusuri laut pinggir pantai. Sebagaimana pemberitaan Tomé Pires, aktivitas perdagangan di pantai utara Jawa juga terjalin secara antar kota pelabuhan.
Berlangsungnya perdagangan semacam ini, di Indramayu ditandai dengan adanya temuan perahu di Desa Lombang, Juntinyuat. Perahu berukuran panjang 11,5 m dan lebar 3 m serta tinggi sekitar 1,5 m menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut dalam jarak yang tidak begitu jauh, dalam arti tidak untuk mengarungi samodra (Michrob, 1992).
Hubungan antar pemukiman di pedalaman dan pesisir dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Jalan-jalan darat menghubungkan pusat kerajaan di Pakwan Pajajaran ke pemukiman-pemukiman di pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara. Jaringan jalan ada dua yaitu ke arah timur dan barat. Jalan ke arah timur dari Pakwan Pajajaran menuju Karangsambung di tepi Ci Manuk melalui Cileungsi dan Cibarusah.
Dari Cibarusah menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang kemudian terus ke Cikao, Purwakarta dan lanjut ke Karangsambung. Di Karangsambung jalan ini bercabang, satu jalur menuju Cirebon lalu berbelok ke arah Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalur jalan lain dari Karangsambung menuju Sindangkasih, lalu ke Talaga dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalan ke arah barat dari Pakwan Pajajaran menuju Jasinga lalu ke Rangkasbitung dan berakhir di Banten.
Satu jalur lagi dari Pakwan Pajajaran ke arah Ciampea dan kemudian ke Rumpin. Dari Rumpin kemudian dilanjutkan menggunakan jalan sungai (Ci Sadane) menuju muara. Dengan menggunakan prasarana transportasi jalan darat ini, barang-barang komoditas dari pedalaman dan dari luar dapat dipertukarkan (diperdagangkan) dengan perantara pelabuhan-pelabuhan di pesisir (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:420).
Berdasarkan beberapa sumber dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda pada dasarnya merupakan kerajaan yang bercorak agraris khususnya pada sektor perladangan. Secara teoritis, kerajaan yang ditopang sektor perladangan akan tidak dapat berlangsung lama. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda bertahan pada kurun waktu antara abad ke-7 hingga ke-17. Bertahan lamanya Kerajaan Sunda ternyata didukung aktivitas kemaritiman berupa perdagangan insuler dan interinsuler.
Kerajaan Sunda merupakan penghasil lada dengan kualitas bagus. Selain itu terdapat barang-barang komoditas lain yang sangat laku di pasaran. Barang-barang komoditas tersebut adalah cabai jawa, asam, beras, sayur-mayur, daging (babi, kambing, domba, sapi), anggur, pinang, air mawar, dan emas. Komoditas yang masuk ke Sunda antara lain budak, kain/tekstil, dan akar-akaran.
Perdagangan secara insuler dilakukan dengan beberapa pelabuhan dagang di Pulau Jawa, sedangkan secara interinsuler dilakukan dengan beberapa daerah di Sumatera misalnya Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, Palembang, Laue, dan Tanjungpura; di Sulawesi dengan Makasar; dan secara internasional dengan Malaka, Maladewa, Pagan, dan Cina. Distribusi barang dari pelabuhan ke beberapa lokasi di pedalaman melalui jaringan jalan darat.
Kerajaan Sunda yang sebagian besar masyarakatnya sebagai peladang sangat bergantung pada aktivitas kemaritiman untuk kelangsungannya. Dalam hal ini peran pelabuhan dagang sangat vital. Pelabuhan bukan sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta terlindung dari angin dan arus yang kuat.
Tempat ideal untuk pelabuhan adalah muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat mengangkut hasil bumi ke pantai (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a:141). Pelabuhan sebagai kota pantai harus memiliki fungsi kelautan. Laut tidak hanya dilihat sebagai faktor distorsi mobilitas tetapi juga sebagai lintas enerji barang, manusia, dan informasi dari pelabuhan satu ke kota lainnya (Nurhadi, 1995:87).
Pada masa akhir Kerajaan Sunda, peran pelabuhan-pelabuhan dagang tersebut mengalami kemunduran. Dalam perkembangannya ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya sebagai pelabuhan nelayan saja. Keadaan pada 1775–1778 di Jawa Barat hanya ada tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale, 1995:193). Penyebab menurunnya fungsi pelabuhan terjadi karena beberapa faktor. Hal yang umum terjadi karena adanya perebutan kekuasaan.
Salah satu contoh misalnya yang terjadi pada pelabuhan Cheguide.
Perebutan kekuasaan selain terjadi di Cheguide juga di Sunda Kelapa. Pada 1527 Sunda Kelapa berhasil direbut oleh pasukan Banten. Kondisi seperti ini menyebabkan terputusnya hubungan antara kawasan pesisir dengan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman. Jalan niaga Kerajaan Sunda satu persatu jatuh ke tangan pasukan Islam, sehingga raja hanya dapat bertahan di pedalaman (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:395).
Selain karena perebutan kekuasaan, tidak berfungsinya pelabuhan juga disebabkan faktor alam. Sebagai contoh adalah pelabuhan Chemanuk (Indramayu).
Kesultanan Melaka
Tomé Pires menulis tentang Kesultanan Melaka, antara tahun 1402-1511. Ia menceritakan pula tentang aktivitas perdagangan berbagai negara dan kota di Asia Tenggara, serta pelabuhan-pelabuhannya:
- Pendiri Melaka ialah Parameswara seorang pangeran dari Palembang.
- Pada masa itu, Palembang merupakan pusat kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan terkenal yang memiliki kekerabatan dengan Syailendra.
- Pada 1377, Kerajaan Sriwijaya ditaklukkan oleh Majapahit, dan saat itu Parameswara telah menikah dengan seorang puteri dari Majapahit, Jawa Timur.
- Parameswara enggan membayar upeti kepada Majapahit, lalu mendeklarasikan kemerdekaannya. Ia melarikan diri saat tentara Majapahit menyerang dan memusnahkan Palembang.
- Di Temasik, Parameswara membunuh Tamagi, seorang wakil kerajaan Siam.
- Pada 1398, muncul pasukan kerajaan Majapahit menyerang Singapura dan Parameswara melarikan diri ke Sungai Muar dan seterusnya Sungai Bertam.
- Pada 1400 Orang laut yang menjadi pengikutnya setuju Sungai Bertam dijadikan perkampungan yang akhirnya menjadi kerajaan Melaka.
Buku Suma Oriental telah diterjemahkan dan diterbitkan pada tahun 1944 dengan judul Hakluyat Society, tetapi bukanlah tulisan asli yang sebenarnya dari Tomé Pires.
Pranala luar
Catatan kaki
- ^ Pulau Jepang (Jampon).
- ^ Pulau Borneo (Burney).
- ^ Barang dagangan yang dibawa orang Borneo ke Malaka.
- ^ Kepulauan Luções.
- ^ Kerajaan di Pulau Sumatra
- ^ Pulau-pulau yang membentuk bandar dari Kampar ke Palembang, di mana seseorang berlayar ke Jawa, Banda dan Maluku.
- ^ Ini adalah barang dagangan yang diproduksi di Pulau Sumatra sendiri.
- ^ Makanan negeri.
- ^ Sekte dan kepercayaan di Pulau Sumatra.
- ^ Pulau di depan Pasai dan Aceh di dekat ujung Pulau Sumatra.