Industrialisasi berorientasi ekspor: Perbedaan antara revisi
Fitur saranan suntingan: 3 pranala ditambahkan. |
k +{{Perdagangan internasional}} |
||
Baris 11: | Baris 11: | ||
== Catatan kaki == |
== Catatan kaki == |
||
{{Reflist|30em}} |
{{Reflist|30em}} |
||
{{Perdagangan internasional}} |
|||
[[Kategori:Industri]] |
[[Kategori:Industri]] |
Revisi terkini sejak 4 April 2023 16.32
Industrialisasi berorientasi ekspor (IOE) kadang-kadang disebut industrialisasi orientasi ekspor (IOE) atau pertumbuhan yang didorong oleh ekspor adalah semacamperdagangan dan kebijakan ekonomi yang memiliki tujuan untuk mempercepat proses industrialisasi suatu negara dengan cara mengekspor barang-barang yang keunggulan komparatifnya dimiliki oleh negara pengekspor tersebut. Pertumbuhan yang didorong oleh ekspor menyiratkan pembukaan pasar dalam negeri untuk kompetisi asing dengan imbalan akses pasar di negara lainnya.
Namun, industrialisasi berorientasi ekspor tidak selalu berlaku untuk semua pasar dalam negeri karena pemerintah mungkin bertekad melindungi industri baru agar mereka dapat tumbuh dan mampu mengeksploitasi keunggulan komparatif di masa depan. Selain itu, pada kenyataannya, kebalikannya dapat terjadi. Sebagai contoh, banyak negara Asia Timur menghambat impor secara besar-besaran dari tahun 1960-an hingga tahun 1980-an untuk melindungi industri dalam negerinya masing-masing.
Pengurangan hambatan berupa pengurangan bea, nilai tukar mengambang (devaluasi nilai mata uang negara sering kali digunakan ntuk mendukung berjalannya ekspor), dan dukungan pemerintah terhadap sektor ekspor adalah contoh kebijakan yang diterapkan untuk mendorong industrialisasi berorientasi ekspor dan pada akhirnya, pembangunan ekonomi. Industrialisasi berorientasi ekspor adalah ciri khas dari pengembangan ekonomi nasional Macan Asia: Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura pada periode pasca-Perang Dunia II .
Pertumbuhan yang didorong ekspor adalah sebuah siasat ekonomi yang digunakan oleh beberapa negara berkembang. Siasat ini berupaya untuk menemukan celah (peluang) dalam ekonomi dunia untuk jenis ekspor tertentu. Industri yang memproduksi ekspor ini dapat menerima subsidi pemerintah dan akan diberikan akses yang lebih mudah dalam pasar lokal. Dengan menerapkan siasat ini, negara berharap akan memperoleh mata uang keras yang cukup untuk mengimpor komoditas yang diproduksi dengan harga yang lebih murah di tempat lain.[1]
Selain itu, pembelajaran matematika terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan yang didorong ekspor menyebabkan tertekannya pertumbuhan upah dan berkaitan dengan pertumbuhan produktivitas komoditas yang tak dapat didagangkan dalam sebuah negara dengan mata uang yang bernilai terlalu rendah. Di negara-negara tersebut, pertumbuhan produktivitas komoditas ekspor lebih besar dari pertumbuhan upah proporsional dan pertumbuhan produktivitas komoditas yang tak dapat didagangkan. Oleh karena itu, harga ekspor menurun di negara dengan pertumbuhan yang didorong ekspor dan membuatnya semakin kompetitif dalam perdagangan internasional.[2]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Goldstein, Joshua S., and Jon C. Pevehouse. International Relations. 8th ed. New York: Pearson Longman, 2008.
- ^ Ünal, Emre (1 June 2016). "A comparative analysis of export growth in Turkey and China through macroeconomic and institutional factors". Evolutionary and Institutional Economics Review. 13 (1): 57–91. doi:10.1007/s40844-016-0036-3.