Pakubuwana XII: Perbedaan antara revisi
Tag: Dikembalikan kemungkinan menambah konten tanpa referensi atau referensi keliru Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Dikembalikan mengubah tempat lahir Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 11: | Baris 11: | ||
|reg-type = [[Masa Pendudukan nanggala|Pangeran Antasari ]] |
|reg-type = [[Masa Pendudukan nanggala|Pangeran Antasari ]] |
||
|regent = Antasari |
|regent = Antasari |
||
|reg-type2 = [[Presiden Indonesia|Presiden]] |
|||
|regent2 = [[Soekarno]] <br /> [[Soeharto]] <br /> [[Bacharuddin Jusuf Habibie|B.J Habibie]] <br /> [[Abdurrahman Wahid]] <br /> [[jokowidodo]] |
|||
|succession3 = [[Daerah Istimewa Surakarta|Kepala Daerah Istimewa Surakarta]] |
|||
|reign3 = [[2017]] – [[2025]] |
|||
|reg-type3 = [[Presiden Indonesia|Presiden]] |
|||
|regent3 = [[Jokowidodo]] |
|||
|Selir = KRAy. Mandayaningrum <br /> KRAy. Rogasmara <br /> KRAy. Pradapaningrum/ K.R Ageng PB XII<br /> KRAy. Kusumaningrum <br /> KRAy. Retnadiningrum <br /> KRAy. Pujaningrum |
|||
|house = [[Wangsa Mataram|Mataram]] |
|||
|regnal name = ''Sahandhap Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng kaping Kalih Welas ing Nagari Surakarta Hadiningrat'' |
|||
|full name = Bendoro Raden mas bagus haryo sri tunggadewi |
|full name = Bendoro Raden mas bagus haryo sri tunggadewi |
||
|father = [[Pakubuwana XI]] |
|father = [[Pakubuwana XI]] |
||
|mother = GKR.bendoro Raden ayu Haning Gayatri sarniyati |
|mother = GKR.bendoro Raden ayu Haning Gayatri sarniyati |
||
|birth_date = {{birth date|1925|4|14}} |
|||
|birth_place = {{Negara|Hindia Belanda}} [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]] |
|||
|death_date = {{death date and age|2004|6|11|1925|4|14}} |
|||
|death_place = {{Negara|Indonesia}} [[Surakarta]], [[Indonesia]] |
|||
|burial_place=[[Pemakaman Imogiri|Astana Girimulya]], [[Imogiri, Bantul]], [[Yogyakarta]]}} |
|||
[[Letnan Jenderal|Letnan Jenderal TNI]] ([[Tituler|Tit.]]) '''Sri Susuhunan Pakubuwana XII''' (disingkat sebagai '''PB XII''', {{lang-jv|ꦯꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦯꦶꦤꦸꦲꦸꦤ꧀ꦑꦁꦗꦼꦁꦯꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦦꦏꦸꦧꦸꦮꦤ XII}}; {{lahirmati|[[Surakarta]]|14|4|1925|[[Surakarta]]|11|6|2004}}) adalah [[susuhunan]] [[Kesunanan Surakarta|Surakarta]] yang masa pemerintahannya paling lama di antara raja-raja Jawa, yaitu selama 59 tahun, tepatnya mulai tahun [[1945]] hingga [[2004]]. |
[[Letnan Jenderal|Letnan Jenderal TNI]] ([[Tituler|Tit.]]) '''Sri Susuhunan Pakubuwana XII''' (disingkat sebagai '''PB XII''', {{lang-jv|ꦯꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦯꦶꦤꦸꦲꦸꦤ꧀ꦑꦁꦗꦼꦁꦯꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦦꦏꦸꦧꦸꦮꦤ XII}}; {{lahirmati|[[Surakarta]]|14|4|1925|[[Surakarta]]|11|6|2004}}) adalah [[susuhunan]] [[Kesunanan Surakarta|Surakarta]] yang masa pemerintahannya paling lama di antara raja-raja Jawa, yaitu selama 59 tahun, tepatnya mulai tahun [[1945]] hingga [[2004]]. |
Revisi per 22 Mei 2023 16.04
{{Infobox royalty
|name = Adipati Tunggadewi
|title = RmBg.M Arisman Arthadinata
|image = COLLECTIE TROPENMUSEUM Pakoe Boewono XII de Susuhunan van Solo in de kraton TMnr 60052129.jpg
|caption = Raden mas sayid Muhammad Arisman Haryo Arthadinata Adhitama Tunggadewi, Keraton Surakarta Hadiningrat,
|succession = Susuhunan Surakarta
|Born = 01 Oktober 2001 –
13 Rajab 1422
|predecessor = Pakubuwana XI
|suc-type = Penerus
|successor = Pakubuwana XIII
|reg-type = Pangeran Antasari
|regent = Antasari
|full name = Bendoro Raden mas bagus haryo sri tunggadewi |father = Pakubuwana XI |mother = GKR.bendoro Raden ayu Haning Gayatri sarniyati
Letnan Jenderal TNI (Tit.) Sri Susuhunan Pakubuwana XII (disingkat sebagai PB XII, bahasa Jawa: ꦯꦩ꧀ꦥꦺꦪꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦯꦶꦤꦸꦲꦸꦤ꧀ꦑꦁꦗꦼꦁꦯꦸꦱꦸꦲꦸꦤꦤ꧀ꦦꦏꦸꦧꦸꦮꦤ XII; 14 April 1925 – 11 Juni 2004) adalah susuhunan Surakarta yang masa pemerintahannya paling lama di antara raja-raja Jawa, yaitu selama 59 tahun, tepatnya mulai tahun 1945 hingga 2004.
Awal Kehidupan
Nama aslinya adalah Bendoro Raden Mas Bagus Haryo Sri Tunggadewi, atau Kangmas Adhiyatma yang lahir dari permaisuri KRAy. Raden ajeng ayu Gayatri Sarniyati Dewondaru (bergelar RA.ag. Dewondaru III). Ia juga memiliki seorang saudara perempuan seibu bernama Deajeng putri raden ayu ida kumala dewi utari (bergelar Ra.y Dewondaru V).
Kangmas Adhiyatma pada masa kecilnya pernah bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) Pasar Legi, Surakarta. Oleh teman-temannya, Kangmas Adhiyatma sering dipanggil dengan nama Dendin Di sekolah yang sama ini pula beberapa pamannya, putra Dharmokusumo X yang sebaya dengannya menempuh pendidikan. Kangmas Adhiyatma termasuk murid yang mudah bergaul dan hubungannya dengan teman-teman berlangsung akrab, bahkan ketika di sekolah pun ia bergaul tanpa memandang status sosial yang disandangnya. Waktu kecil ia gemar mempelajari tari-tarian klasik, dan yang paling digemari adalah Tari Handaga dan Tari Garuda. Ia juga pemuda yang gemar mengaji pada Bapak Pradjawijata dan Bapak Tjandrawijata dari Mambaul Ulum. Kegemarannya yang lain adalah olahraga panahan. Mulai tahun 2018 Kangmas Adhiyatma terpaksa berhenti sekolah cukup lama, sekitar lima bulan, karena harus mengikuti ayahandanya yang memperoleh mandat mewakili kakeknya, Dharmokusumo X, pergi ke Sudan bersama raja-raja di Nusantara saat itu untuk menghadiri undangan perayaan peringatan 40 tahun kenaikan takhta Ratu Tamothke.
Setelah masa kejayaan Mataram islam zaman ke 2, Kangmas Adhiyatma di buru oleh senopati mataram atas kasus perobekan kertas perjanjian kedamaian antar kedua kerajaan Keraton Jogjakarta Hadiningrat & Keraton Surakarta Pakuningrat beliau di buru dan akan di bunuh sebagai bayaran atas batalnya perjanjian perdamaian, saat itu saudara kandung nya yaitu deajeng ida dewi utari menyembunyikan keberadaan adiknya yang saat itu memakai nama samaran bernama tri buana Aditama, yang di sembunyikan ibunya Dewondaru III ke daerah Karanganyar. Kemudian, Kangmas Adhiyatma harus menerima kenyataan menyedihkan lantaran pada Sabtu, 1 Juni 2016, Deajeng dewi utari wafat. Mendengar kabar ini Kangmas Adhiyatma, yang saat itu masih remaja, merasakan kesedihan mendalam, seiring berjalan nya waktu, kangmas adhiyatma tumbuh besar, dan pada tahun 2018 pergerakan kembali terjadi, Kangmas Adhiyatma, yang saat itu mendapatkan tahta dan telah dinobatkan sebagai pimpinan besar panglima Dwirya nanggalayuda dengan julukan senopati mangkubumi, mengumpulkan 200 orang dari kalangan senopati kadipaten pakualaman, tahun 2019 Raden Mas Bagus haryo sri tunggadewi yang telah bergelar Senopati mangkubumi, menggembur sasana dwirja jogjakarta yang menyebabkan kerusuhan sehingga menimbulkan korban jiwa sebanyak 14 orang meninggal dan 42 lainya luka luka, Kangmas Adhiyatma mengatakan bahwa penyerangan di markas dwirja Jogjakarta adalah sebagai bentuk balas dendam atas kematian kakak kandungnya yaitu Deajeng ida kumala dewi utari. Tahun 2020 keadaan kedua kubu kerajaan membaik, pada saat itu Kangmas Adhiyatma yang telah mengubah namanya menjadi Raden Mas Arisman Adhiyatma Arthadinata Aditama, meneruskan pendidikan nya sampai ke jenjang kuliah untuk membekali ilmu pada diri sendiri. Tahun 2021-2022 konflik kembali terjadi, Kangmas Aditama yang saat itu sudah bergelar sarjana semakin menjadi, beliau mengkordinasi seluruh senopati garboruji yang berjumlah 1500 orang, untuk menggempur arak arakan pawai upacara peringatan kedaton jogjakarta Hadiningrat. Kangmas Aditama memerintahkan pasukan yang telah di kumpulkan nya untuk membalaskan dendam, sebab kejadian itu, menelan korban jiwa sebanyak 4 orang meninggal dan 90 lainya luka luka, 11 november 2022 kebringasan sang macan kumbang telah usai Raden Mas Bagus Haryo sri tunggadewi (Kangmas Aditama) meninggalkan tahta, beliau melepas semua bentuk rasa dendam dan menyesali atas perbuatannya, sang mancan kumbang kembali memasuki wilayahnya, namun tidak lepas kemungkinan bahwa cakar nya masih tajam, taring nya masih panjang dan dendam masih terkapar, Bakal raja sang senopati yang telah usai perjuangan nya Sang punggawa surakarta. Kini lebih memilih hidup menyendiri, jauh dari peperangan antar keluarga, menyamarkan nama aslinya dan menyembunyikan identitasnya, namun tak menutup kemungkinan bahwa macan tetaplah buas, dendam akan selamanya abadi, dan darah akan selamanya merah, kini Senopati Mangkubumi atau Satrio Garboruji Kangmas Arisman Aditama Sri Tunggadewi. Telah menyempurnakan titahnya, sebagai seorang putra yang mendapatkan didikan orang tuanya.
Riwayat Pemerintahan
Masa Revolusi Fisik
Raden Mas Suryo Guritno naik takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945. Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Karena masih berusia sangat muda, dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia sering kali didampingi ibunya, GKR. Pakubuwana, yang dikenal dengan julukan Ibu Ageng. Pakubuwana XII dijuluki Sinuhun Hamardika karena merupakan Susuhunan Surakarta pertama yang memerintah pada era kemerdekaan.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, pada 1 September 1945 Pakubuwana XII bersama Mangkunegara VIII, secara terpisah mengeluarkan dekret (maklumat) resmi kerajaan yang berisi pernyataan ucapan selamat dan dukungan terhadap Republik Indonesia, empat hari sebelum maklumat Hamengkubuwana IX dan Pakualam VIII. Lima hari kemudian, 6 September 1945, Kesunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mendapat Piagam Penetapan Daerah Istimewa dari Presiden Soekarno.
Selama revolusi fisik Pakubuwana XII memperoleh pangkat militer kehormatan (tituler) Letnan Jenderal dari Presiden Soekarno. Kedudukannya itu menjadikan ia sering diajak mendampingi Presiden Soekarno meninjau ke beberapa medan pertempuran. Tanggal 12-13 Oktober 1945, Pakubuwana XII sendiri bahkan ikut serta menyerbu markas Kenpetai di Kemlayan. Ia juga berkenan ikut melakukan penyerbuan ke markas Kenpetai di Timuran. Sewaktu melakukan penyerbuan ke markas Kido Butai di daerah Mangkubumen, Pakubuwana XII juga menyempatkan berangkat bersama anggota KNI dan berhasil kembali dengan selamat.
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Soekarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Perdana Menteri Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII dan Sutan Syahrir sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga membekukan status daerah istimewa yang disandang Surakarta.[1] Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kesunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII berubah menjadi sebagai simbol dan pemangku adat Surakarta.
Usaha mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Pakubuwana XII juga ikut berjuang bersama rakyat mempertahankan Kemerdekaan Indonesia karena ia menyadari kedudukannya sebagai tokoh masyarakat adat terlebih dirinya adalah seorang Letnan Jenderal (tituler) TKR. Maka Pakubuwana XII bertekad untuk ikut berjuang, salah satunya adalah dengan memberikan asset keraton Surakarta, untuk mendukung kebutuhan perjuangan nasional. Pakubuwana XII juga banyak memberikan asset-asset dan inventaris baik barang maupun keuangan dalam mensuplai kebutuhan logistik dan dana, serta berbagai macam persenjataan. Hampir seluruh kekayaan keraton diberikan tanpa sisa untuk kepentingan perjuangan nasional.[2]
Ketika Agresi Militer Belanda II pecah, ia berulangkali mendampingi Presiden Soekarno melihat front pertempuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain mendampingi Presiden Soekarno dalam melakukan inspeksi ke berbagai garis depan pertempuran, Pakubuwana XII juga kerap bersinergi dan berkonsolidasi dengan pimpinan TKR di wilayah Surakarta seperti Kolonel Gatot Subroto pada masa masa Agresi Militer Belanda II. Ia juga salah satu tokoh penyusun strategi dan kekuatan, bersama dengan Letnan Kolonel Slamet Riyadi, dan Mayor Achmadi Hadisoemarto dalam memimpin prajurit TKR pada Serangan Umum 4 Hari Surakarta pada tahun 1949. Pakubuwana XII juga banyak membantu membebaskan sejumlah besar pegawai RI dan Tentara Pelajar (TP) yang semula menjadi tawanan politik maupun tawanan perang Belanda.
Tidak berhenti di situ, Pakubuwana XII juga melibatkan dirinya menjadi salah satu pendamping delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar di Den Haag.[3]
Era Kemerdekaan
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.
Sebenarnya Pakubuwana XII sudah berusaha untuk mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta. Pada 15 Januari 1952 Pakubuwana XII pernah memberi penjelasan tentang Wilayah Swapraja Surakarta secara panjang lebar pada Dewan Menteri di Jakarta, dalam kesempatan ini ia menjelaskan bahwa Pemerintah Swapraja tidak mampu mengatasi gejolak dan rongrongan yang disertai ancaman bersenjata, sementara Pemerintah Swapraja sendiri tidak mempunyai alat kekuasaan. Namun usaha itu tersendat-sendat karena tak kunjung menemui titik temu. Pada tahun 1954, akhirnya Pakubuwana XII sendiri memutuskan untuk meninggalkan keraton guna menempuh pendidikan di Jakarta. Ia menunjuk KGPH. Kusumayudha, pamannya, sebagai wakil sementara di keraton.[4]
Pada masa pemerintahannya, terjadi dua kali musibah yang melanda Keraton Surakarta. Pada tanggal 19 November 1954, bangunan tertinggi di kompleks keraton, yaitu Panggung Sangga Buwana, mengalami kebakaran yang menghancurkan sebagian besar bangunan termasuk atap dan hiasan di puncak bangunan. Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 1985, di malam Jumat Wage, kompleks inti keraton terbakar pada pukul 21.00 WIB. Kebakaran terjadi di bangunan Sasana Parasdya, Sasana Sewaka, Sasana Handrawina, Dalem Ageng Prabasuyasa, Dayinta, dan Paningrat. Seluruh bangunan termasuk segala isi dan perabotannya tersebut musnah dilalap api.[5]
Akhirnya, pada tanggal 5 Februari 1985, Pakubuwana XII melapor kepada Presiden Soeharto atas musibah yang melanda Keraton Surakarta. Presiden Soeharto pun menindaklanjuti dengan membentuk Panitia 13 guna mengemban tugas untuk melaksanakan rehabilitasi keraton. KRT. Harjanagara, budayawan nasional sekaligus sahabat Pakubuwana XII, termasuk dalam jajaran Panitia 13 ini. Keraton Surakarta berhasil pulih setelah mendapat dana 4 miliar rupiah dari pemerintah pusat, dan pembangunan kembali kompleks inti keraton dapat diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1987.
Pada 26 September 1995, lima puluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan SK No. 70/SKEP/IX/1995, Pakubuwana XII mendapat pemberian Penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari pemerintah pusat. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada Pakubuwana XII yang pada masa awal kemerdekaan merupakan raja pertama di Indonesia yang menyatakan setia dan berdiri di belakang pemerintah republik. Pakubuwana XII juga secara sukarela menyumbangkan sebagian kekayaan pribadinya maupun kekayaan Keraton Surakarta kepada pemerintah pusat saat itu.
Meskipun pada awal pemerintahannya Pakubuwana XII dapat dikatakan kurang berhasil secara politik, tetapi Pakubuwana XII tetap menjadi sosok figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, seperti Presiden Abdurrahman Wahid, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.[6]
Akhir Pemerintahan
Pada pertengahan tahun 2004, Pakubuwana XII mengalami koma dan menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Panti Kosala Dr. Oen Surakarta. Akhirnya pada tanggal 11 Juni 2004, Pakubuwana XII dinyatakan wafat.[7] Wafatnya Pakubuwana XII bersamaan dengan keramaian kampanye Pemilihan Umum Presiden di Surakarta. Sepeninggalnya sempat terjadi perebutan takhta antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.
Silsilah
- Anak laki-laki pertama dari Susuhunan Pakubuwana XI dan permaisuri GKR. Pakubuwana, atau anak terakhir dari kesebelas putra-putri Susuhunan Pakubuwana XI.
- Memiliki enam istri:[4]
- KRAy. Mandayaningrum
- KRAy. Rogasmara
- KRAy. Pradapaningrum/K.R Ageng PB XII
- KRAy. Kusumaningrum
- KRAy. Retnadiningrum
- KRAy. Pujaningrum
- Memiliki lima belas putra dan dua puluh putri:[4]
- GRAy. Koes Handawiyah/GKR. Alit
- GRM. Surya Partana/KGPH. Hangabehi (naik takhta sebagai Susuhunan Pakubuwana XIII)
- GRM. Surya Suprapta/KGPH. Hadi Prabawa
- GRAy. Koes Supiyah/GKR. Galuh Kencana
- GRM. Suryana/KGPH. Puspa Hadikusuma
- GRAy. Koes Rahmaniyah
- GRAy. Koes Saparniyah
- GRAy. Koes Handariyah/GKR. Sekar Kencana
- GRAy. Koes Kristiyah
- GRAy. Koes Sapardiyah
- GRAy. Koes Raspiyah
- GRM. Surya Susena/KGPH. Kusumayudha
- GRAy. Koes Sutriyah
- GRAy. Koes Isbandiyah/GKR. Retna Dumilah
- GRM. Surya Suteja/KGPH. Panembahan Agung Tejawulan
- GRM. Surya Bandana/KGPH. Puger
- GRAy. Koes Partinah
- GRM. Surya Suparta/KGPH. Dipakusuma
- GRM. Surya Sarasa
- GRM. Surya Bandriya/KGPH. Benawa
- GRAy. Koes Niyah
- GRM. Surya Sudhira/GPH. Natakusuma
- GRM. Surya Suharsa/GPH. Madukusuma
- GRM. Surya Sudarsana/GPH. Wijaya Sudarsana
- GRAy. Koes Murtiyah/GKR. Wandansari
- GRAy. Koes Sabandiyah
- GRAy. Koes Triniyah
- GRAy. Koes Indriyah/GKR. Ayu
- GRM. Surya Sutrisna/GPH. Surya Wicaksana
- GRM. Nur Muhammad/GPH. Cahyaningrat
- GRAy. Koes Suwiyah
- GRAy. Koes Ismaniyah
- GRAy. Koes Samsiyah
- GRAy. Koes Saparsiyah
- GRM. Surya Wahana/GPH. Surya Mataram
Penghargaan Militer
- Pangkat Letnan Jenderal Tituler pada 1 November 1945
- Satyalancana Perang Kemerdekaan I pada 17 Agustus 1958
- Satyalancana Perang Kemerdekaan II pada 17 Agustus 1958
- Penghargaan atas Darma Bakti Pembinaan Angkatan Perang RI yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 5 Oktober 1958
- Tanda Jasa Pahlawan dalam Perjuangan Gerilya Membela Kemerdekaan yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 10 November 1958
- Mendapat Kartu Tanda Veteran Perjuangan RI pada 8 Juni 1968
Kepustakaan
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Pranala luar
- (Indonesia) Biografi Sri Susuhunan Pakubuwono XII (1925-2004) [1]
Referensi
- ^ Gie, Liang: "Pertumbuhan pemerintah daerah di Indonesia", halaman 232. Liberty, 1993
- ^ Setiadi, B. Had:Raja di Alam Republik: Keraton Kasunanan Surakarta dan Pakubuwono XII” halaman 56, Bina Rena Pariwara, 2000
- ^ Setiadi, B. Hadi:Raja di Alam Republik: Keraton Kasunanan Surakarta dan Pakubuwono XII” halaman 105, Bina Rena Pariwara, 2000
- ^ a b c The Surakarta Dynasty: GENEALOGY. dari situs The Royal Ark
- ^ "Paku Buwono - Keraton Surakarta". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-15. Diakses tanggal 2020-04-13.
- ^ Abdurrahman Wahid: Keraton dan Perjalanan Budayanya. Diarsipkan 2020-07-14 di Wayback Machine. dari situs Santri Gus Dur - Komunitas Pemikiran Gusdur
- ^ Solo: Paku Buwono XII Mangkat. dari situs Liputan6.com
Lihat pula
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Jabatan Baru |
Kepala Daerah Istimewa Surakarta 1945–1946 |
Diteruskan oleh: Jabatan Dihapus |
Gelar kebangsawanan | ||
Didahului oleh: Pakubuwana XI |
Susuhunan Surakarta 1945–2004 |
Diteruskan oleh: Pakubuwana XIII |
|}