Lompat ke isi

Wilopo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Hakim pandaraya (bicara | kontrib)
Hakim pandaraya (bicara | kontrib)
Baris 102: Baris 102:
Dalam menangani masalah buruh yang sering melakukan pemogokan, pemerintah menggunakan UU Darurat no. 16 tahun 1951. UU ini mengganti Peraturan Pelarangan Mogok dari pihak Militer yang sebelumnya digunakan. Namun, pada masa Kabinet Wilopo, tidak banyak terjadi pemogokan seperti sebelumnya. Sejak awal, pemerintahan Wilopo sudah membina hubungan baik dengan pihak buruh. Contohnya adalah sikap serikat-serikat buruh yang membantu pemerintahan dengan mengakhiri pomogokan buruh di lingkungan [[Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia|Pekerjaan Umum]] di [[Jawa Tengah]]. Selain itu, pihak buruh dari Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang berjumlah 30.000 orang juga membatalkan pemogokan.
Dalam menangani masalah buruh yang sering melakukan pemogokan, pemerintah menggunakan UU Darurat no. 16 tahun 1951. UU ini mengganti Peraturan Pelarangan Mogok dari pihak Militer yang sebelumnya digunakan. Namun, pada masa Kabinet Wilopo, tidak banyak terjadi pemogokan seperti sebelumnya. Sejak awal, pemerintahan Wilopo sudah membina hubungan baik dengan pihak buruh. Contohnya adalah sikap serikat-serikat buruh yang membantu pemerintahan dengan mengakhiri pomogokan buruh di lingkungan [[Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia|Pekerjaan Umum]] di [[Jawa Tengah]]. Selain itu, pihak buruh dari Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang berjumlah 30.000 orang juga membatalkan pemogokan.


Kebijakan lain yang dilakukan kabinet Wilopo adalah pemindahan tenaga kerja dari Jawa menuju wilayah perkebunan di luar pulau Jawa. Menurut Instruksi Menteri Perburuhan 8 Januari 1951 No. 90/51, pemerintah akan mengakomodasi dan memnjamin semua kebutuhan buruh termasuk keselamatan dan penghidupan buruh yang layak.
Kebijakan lain yang dilakukan kabinet Wilopo adalah pemindahan tenaga kerja dari Jawa menuju wilayah perkebunan di luar pulau Jawa. Menurut Instruksi Menteri Perburuhan 8 Januari 1951 No. 90/51, pemerintah akan mengakomodasi dan menjamin semua kebutuhan buruh termasuk keselamatan dan penghidupan buruh yang dipindahkan.


Beberapa jabatan yang pernah dipercayakan kepada Wilopo:
Beberapa jabatan yang pernah dipercayakan kepada Wilopo:

Revisi per 21 Juli 2023 11.45

Wilopo
Perdana Menteri Indonesia Ke-7
Masa jabatan
1 April 1952 – 30 Juli 1953
PresidenSoekarno
Perdana MenteriWilopo
Wakil PMPrawoto Mangkusasmito
Ketua Dewan Pertimbangan Agung Ke-6
Masa jabatan
1968–1978
PresidenSoeharto
Menteri Pertahanan Indonesia Ke-6
Masa jabatan
2 Juni 1953 – 30 Juli 1953
PresidenSoekarno
Menteri Luar Negeri Indonesia Ke-5
Masa jabatan
3 April 1952 – 29 April 1952
PresidenSoekarno
Menteri Perburuhan Indonesia
Masa jabatan
20 Desember 1949 – 6 September 1950
PresidenSoekarno
Perdana MenteriMohammad Hatta
Sebelum
Pendahulu
Kusnan
Pengganti
Soeroso
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1909-10-21)21 Oktober 1909
Purworejo, Keresidenan Kedu, Hindia Belanda
Meninggal20 Januari 1981(1981-01-20) (umur 71)
Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Partai politikPNI
ProfesiPolitikus
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Wilopo (21 Oktober 1909 – 20 Januari 1981) adalah Perdana Menteri Indonesia ke-7 yang menjabat pada 3 April 1952 - 30 April 1953 dan memimpin kabinet yang dikenal dengan nama Kabinet Wilopo. Kabinetnya pun pada akhirnya jatuh —sebagai akibat Peristiwa 17 Oktober 1952, karena ketidakpuasan kalangan militer terhadap debat berkepanjangan dalam parlemen sehingga tokoh-tokoh Angkatan Darat memaksa Presiden membubarkan kabinetnya.[1]

Pendidikan

Setelah menamatkan HIS di Purworejo, Wilopo kemudian melanjutkan pendidikannya ke MULO di kota Magelang dengan bantuan seorang paman, Dokter Soekadi adik kandung ayahnya.[2] Kemudian Wilopo mengenyam pendidikan tingkat Algemene Middelbare School (AMS) B di Yogyakarta pada tahun 1927 dengan menerima beasiswa dari Pemerintah Hindia Belanda.[3] Ia sempat menjadi anggota Jong Java dan ditawari masuk Pemuda Indonesia tetapi Ia menahan diri untuk tidak aktif karena diancam oleh direktur sekolah dan takut beasiswanya dicabut oleh pemerintah kolonial.[3]

Setelah lulus dari AMS B, ia sempat melanjutkan pendidikan ke Technische Hoogeschool (TH Bandung) pada tahun 1931, namun tidak selesai karena kesibukannya mengajar di Taman Siswa di kota Sukabumi [2]. Wilopo lalu pindah ke Rechtshogeschool (RHS) te Batavia untuk kuliah jurusan hukum pada tahun 1933.[3][4] Di Jakarta, Wilopo terus memperdalam kegiatan politiknya. Sembari belajar hukum di kampusnya, ia juga aktif dalam partai dan beberapa organisasi pemuda di Jakarta. Dirinya juga bekerja sebagai pengajar di beberapa sekolah dan menjadi penulis untuk beberapa surat kabar Belanda. Banyaknya kesibukan menyebabkan dia kurang sempat mempelajari buku-buku hukum. Hal itu menyebabkan studi Wilopo yang harusnya dapat diselesaikan selama lima tahun, tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu tersebut. Beruntung pada tahun 1939 terjadi keadaan darurat menghadapi invasi Jepang ke Hindia Belanda, sehingga Dekan RHS memutuskan bahwa seluruh mahasiswa yang sudah mencapai D-II dianggap sebagai sarjana. [3]

Karier

Menteri Perburuhan (1947-1948)

Amir Syarifudin dilantik menjadi Perdana Menteri (PM) untuk kedua kalinya pada tanggal 3 Juli 1947. Wilopo kemudian diberi wewenang untuk mendampingi S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhuan. Sebagai Menteri Muda Perburuhan, Wilopo telah menyusun Undang-Undang Perburuhan dan Undang-Undang Kecelakaan, mengingat sejak pecahnya perang, bantuan yang diberikan pada buruh maupun korban belum memiliki kekuatan hukum yang tetap [2]. Dirinya kemudian tetap dipercaya sebagai Menteri Perburuhan saat Mohammad Hatta menjadi PM di era Republik Indonesia Serikat yang singkat.

Menteri Perekonomian (1951-1952)

Memasuki era parlementer, Wilopo yang merupakan anggota PNI diangkat menjadi Menteri Perekonomian pada tanggal 16 Juli 1951 dalam Kabinet Sukiman [5]. Sebagai Menteri Perekonomian dalam kabinet kedua ini, Wilopo dihadapkan pada masalah inflasi. Meningkatnya harga beras membuat masyarakat semakin gelisah. Dalam menghadapi hal tersebut Wilopo sebagai menteri perekonomian, mengumpulkan wakil-wakil organisasi pedagang dan pemilik penggilingan. Mereka dimintai bantuan untuk berusaha bersama pemerintah menurunkan kembali harga beras. Setelah mendengar saran dan keluhan mereka, Wilopo lantas memerintahkan Jendral Kementrian Perekonomian, Mohammad Sediono untuk mengumumkan ke seluruh Indonesia bahwa mulai tengah malam pada waktu yang telah ditentukan, tiap persediaan beras lebih dari dua bal tidak boleh dipindahkan tanpa izin, selain itu semua penggilingan beras ditempatkan dibawah pengawasan pemerintah. Selain itu juga direncanakan selama dua tahun mendatang impor beras mencapai 700.000 ton. Dengan kebijakan-kebijakan tersebut dalam waktu singkat harga beras menurun dari Rp 3,50 menjadi Rp2,50 per liternya.

Perdana Menteri

Kabinet Sukiman jatuh pada tanggal 23 Februari 1952. Presiden Soekarno lantas menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur untuk membentuk kabinet yang baru pada tanggal 19 Maret 1952. Keputusan ini disahkan cera resmi sesuai Keputusan Presiden no. 71 tahun 1952. Sebelum menunjuk Wilopo, Presiden telah berunding dengan Mr. Tambunan, selaku Ketua Parlemen dan parlemen menyatakan mendukung keputusan tersebut. Pada hari Kamis, 3 April 1952, Presiden melantik Kabinet Wilopo secara resmi. Dengan dilantiknya kabinet yang baru menandai berakhirnya masa kekosongan pemerintahan yang telah berlangsung selama 40 hari.

Program kerja yang diusung kabinet ini juga tidak jauh berbeda dengan program kerja dua kabinet sebelumnya. Wilopo hanya melengkapi dan menyempurnakan beberapa hal yang dianggap penting untuk dimasukan dalam program kerjanya, hal ini mengingat bahwa Indonesia yang baru saja merdeka saat itu memiliki masalah kompleks yang tidak dapat diselesaikan oleh satu periode kabinet saja [6].

Organisasi Negara

Salah satu program kerja organisasi negara yang dikerjakan pemerintah adalah persiapan pemilu. Diadakannya pemilu diharapkan mampu membawa ketenangan politik dan kestabilan pemerintahan, mengingat jatuh bangunnya kabinet yang tidak mampu bertahan lama dalam pemerintahan. Pada masa Kabinet Wilopo inilah lahir Rancangan Undang Undang Pemilu. Kepada Parlemen, pemerintah meminta prioritas pertama kepada pembahasaan RUU ini. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya pada tanggal 1 April 1953 Kabinet bersama Parlemen telah berhasil menyelesaikan UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu yang disahkan tanggal 4 April 1953. UU ini mengatur tentang pemilihan anggota konstituante diikuti anggota DPR. Pemilu akhirnya dilaksanakan dua tahun kemudian (Pemilu 1955).

Hal lain yang disorot dalam program kerja ini adalah otonomi daerah. Indonesia telah memiliki UU no. 2 tahun 1948 menyangkut otonomi daerah, namun permasalahan otonomi daerah ini tidak hanya sebatas permasalahan undang-undang dan peraturan saja. Masalah perkembangan politik di berbagai daerah seperti tenaga ahli, sumber keuangan dan sebagainya juga menjadi perhatian dalam menyelesaikan permasalahan otonomi daerah ini. Untuk menambah kemajuan daerah, rencana penyelengaraan pembangunan bagian-bagian luar Jawa akan didahulukan oleh pemerintah. Proyek-proyek lokal yang sudah ada, seperti proyek pembuatan jalan juga akan mendapatkan perhatian lebih, baik mengenai biaya maupun pelaksanaannya. Salah satu RUU tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan juga disiapkan oleh Kabinet Wilopo.

Bidang Kemakmuran

Masalah kemakmuran rakyat menjadi salah satu sorotan utama dalam program kerja kabinet Wilopo mengingat ketidakstabilan ekonomi dan politik yang terjadi sangat berimbas pada masyarakat. Wilopo sebagai Perdana Menteri juga melakukan banyak kebijakan dalam bidang ekonomi, sosial dan lainnya guna meningkatkan kemakmuran rakyat. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan Kabinet Wilopo antara lain kenaikan gaji pokok pegawai negeri sebesar 20% dan harus mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Mei. Meskipun negara sedang mengalami krisis, kenaikan gaji ini tetap diberikan namun pembagian jatah beras kepada pegawai dihentikan dan hadiah lebaran juga tidak diberikan. Pemerintah juga memonopoli peredaran beras di Indonesia karena menurunnya hasil panen dan mahalnya biaya impor beras dari luar negeri. Instansi yang mengurus soal perberasan tersebut diberi nama Badan Urusan Bahan Makanan (UBM) atau sekarang bernama Badan Urusan Logistik (BULOG).

Perdana Menteri Wilopo juga menyiapkan beberapa kebijakan guna meningkatkan nilai ekspor Indonesia. Kebijakan tersebut diantaranya menurunkan pajak ekspor dan menghapus sistem “sertifikat” yang sebelumnya diadakan untuk menaikkan pendapatan negara dengan mengorbankan barang ekspor bernilai tinggi. Jumlah barang ekspor juga ditingkatkan dengan cara memulai pembangunan pabrik-pabrik di bidang industri seperti Pabrik Semen di Gresik atau Pabrik Pemintalan di Cilacap untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di lain pihak, kebijakan impor juga di revisi. Contohnya dengan cara menaikkan pajak terhadap barang-barang non esential dan mewajibkan para importer membayar uang muka sebesar 40 persen. Hal ini dapat menjadi alat penyaring barang-barang import yang masuk ke Indonesia.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan kabinet ternyata tidak benar-benar mampu menyelamatkan keadaan Indonesia dari krisis ekonomi. Indonesia harus menghadapi keadaan pahit yakni jatuhnya harga komoditi ekspor di pasaran dunia semasa perang Korea. Pajak ekspor yang sebelumnya merupakan sumber pendapatan mengalami penurunan mencapai jumlah Rp 2,610 milyar, sehingga kabinet Wilopo mengalami defisit sebesar Rp 4 milyar. Pemerintah harus mengeluarkan tindakan drastis dalam pengeluaran negara. Salah satunya adalah menghentikan kenaikan pendapatan para menteri dan pejabat tinggi lainnya. Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 1952-1953 diajukan ke DPR. Usul UU Anggaran Negara Tahun 1952/1953 diajukan secara berangsur mulai tanggal 13 Desember 1952 sampai 17 September 1953. Pengajuan RAPBN ini juga dikarenakan defisit anggaran belanja tahun 1952 yang mencapai 4 milyar rupiah. Akhirnya dengan menggunakan hak Budgetnya, parlemen ikut menggariskan kebijaksanaan yang akan ditempuh pemerintah.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarakan Kabinet Wilopo terhitung sukses karena kebijakan-kebijakan tersebut dapat menyelamatkan bangsa dari krisis pangan dan keadaan ekonomi yang serba tidak menentu pada saat itu. Menurut Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, bahwa keberhasilan yang terpenting dari kabinet ini adalah dibidang ekonomi. Menurunya tindakan-tindakan yang diambil Wilopo untuk menghadapi keseimbangan neraca pembayaran adalah sangat baik.4

Bidang Keamanan

Salah satu aspek penting untuk dapat membuat atau melakukan kebijakan dari pemerintah adalah terjaminnya keamanan dan ketertiban. Sinergi antara pemerintah dan pihak militer harusnya menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan gangguan keamanan yang masih sering terjadi saat itu. Namun sayangnya, bidang militer jugalah yang nantinya menjadi salah satu penyebab jatuhnya Kabinet Wilopo saat demonstrasi oleh pihak militer pada Peristiwa 17 Oktober 1952. Meskipun demikian pemerintah tetap mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Kebijakan untuk menghapus SOB (Staat van Oorlog en Beleg), suatu peraturan keadaan darurat perang yang dibuat oleh pemerintahan Belanda pada masa Hindia Belanda, juga dilakukan menyusul tidak adanya masalah yang terlalu berat karena antara parlemen dan pemerintah mnghendaki penghapusan keadaan SOB tersebut. Pemerintah tidak akan mencabut status SOB tersebut sekaligus melainkan secara bertahap. Hal ini dilakukan karena dalam menghapuskan status SOB tersebut diperlukan persiapan yang panjang, seperti harus ada ketentuan bahwa pihak-pihak sipil dan polisi telah siap untuk menerima pemindahan tanggung jawab. Semua tawanan SOB akan dibebaskan kecuali mereka yang terbukti bersalah. Mengingat dalam penangkapan tahanan SOB sering dilakukan tanpa bukti yang kuat. Pemerintah juga akan membuat UU yang baru mengenai keadaan darurat perang sebagai pengganti peraturan SOB yang merupakan warisan dari Hindia Belanda. SOB sendiri dilaksanakan oleh Pemerintahan Natsir untuk meredam protes dan pemogokan yang dilancarkan PKI serta kelompok pendukungnya seperti BTI (Barisan Tani Indonesia) dan SOBSI.

Tugas lain bagi Wilopo dan pemerintahnnya yang sangat berat adalah menangani masalah angkatan perang yang pada waktu itu masih sangat heterogen. Pemerintah terus mengusahakan menggabungkan beragam kesatuan angkatan perang dalam sebuah kesatuan yang homogen yang diperlukan oleh negara yang modern. Selain itu karena desakan ekonomi, pemerintah perlu mengurangi anggaran dana dalam Kementerian Pertahanan. Namun, karena gangguan keamanan yang terjadi seperti Pemberontakan Andi Aziz dan munculnya Republik Maluku Selatan membuat pemerintah sulit melakukan demobilisasi dan peremajaan Angkatan Perang.

Bidang Perburuhan

Program Kabinet Wilopo dalam bidang perburuhan dititik beratkan pada usaha melengkapi UU Perburuhan. UU ini bertujuan meningkatkan derajat buruh guna menjamin proses Produksi Nasional. Kemakmuran buruh dapat memengaruhi produktivitas buruh. Produktivitas buruh yang baik dapat meningkatkan produksi nasional dan memperbesar income guna memperbaiki kesejahteraan rakyat. Politik upah yang digunakan pemerintah juga tidak hanya melihat kebutuhan para buruh saja. Tindakan-tindakan di lapangan seperti jaminan sosial, perumahan buruh, tanggungan-tanggungan kecelakaan sakit, pensiunan dan lain sebagainya harus melihat kekuatan dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam memenuhi semua kebutuhan tersebut, pemerintah juga harus memperhatikan keadaan ekonomi negara agar tidak sampai terjadi inflasi.

Dalam menangani masalah buruh yang sering melakukan pemogokan, pemerintah menggunakan UU Darurat no. 16 tahun 1951. UU ini mengganti Peraturan Pelarangan Mogok dari pihak Militer yang sebelumnya digunakan. Namun, pada masa Kabinet Wilopo, tidak banyak terjadi pemogokan seperti sebelumnya. Sejak awal, pemerintahan Wilopo sudah membina hubungan baik dengan pihak buruh. Contohnya adalah sikap serikat-serikat buruh yang membantu pemerintahan dengan mengakhiri pomogokan buruh di lingkungan Pekerjaan Umum di Jawa Tengah. Selain itu, pihak buruh dari Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang berjumlah 30.000 orang juga membatalkan pemogokan.

Kebijakan lain yang dilakukan kabinet Wilopo adalah pemindahan tenaga kerja dari Jawa menuju wilayah perkebunan di luar pulau Jawa. Menurut Instruksi Menteri Perburuhan 8 Januari 1951 No. 90/51, pemerintah akan mengakomodasi dan menjamin semua kebutuhan buruh termasuk keselamatan dan penghidupan buruh yang dipindahkan.

Beberapa jabatan yang pernah dipercayakan kepada Wilopo:

Referensi

  1. ^ MHD, Syafaruddin Usman (2001). Keterlibatan Umar Islam dalam Sejarah Politik RI. Hlm. 23. Pontianak: Yayasan Insyaf (Foundation) dan CV Insyaf Pontianak.
  2. ^ a b c "BAB II Latar Belakang Kehidupan Wilopo" (PDF). Diakses tanggal 2023-07-20. 
  3. ^ a b c d "Tjipto hingga Leimena: Penerima Beasiswa yang Membangkang Belanda". tirto.id. Diakses tanggal 2020-08-20. 
  4. ^ Mohamad, Goenawan; Publishing, TEMPO (2012). Catatan pinggir 2: Kumpulan esai pendek di majalah Tempo September 1981 sampai Desember 1985 (dalam bahasa Inggris). Tempo Publishing. ISBN 978-979-9065-52-0. 
  5. ^ Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 1951 tertanggal 19 Juli 1951, Wilopo diangkat sebagai Menteri Perekonomian sejak 16 Juli 1951.
  6. ^ "BAB IV PROGRAM KERJA PEMERINTAHAN KABINET WILOPO" (PDF). Diakses tanggal 2023-07-20. 
Jabatan politik
Didahului oleh:
Sukiman Wirjosandjojo
Perdana Menteri Indonesia
1952–1953
Diteruskan oleh:
Ali Sastroamidjojo
Didahului oleh:
Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Menteri Pertahanan Indonesia
1953
Diteruskan oleh:
Iwa Kusumasumantri
Didahului oleh:
Achmad Soebardjo
Menteri Luar Negeri Indonesia
1952
Diteruskan oleh:
Moekarto Notowidigdo
Didahului oleh:
Kusnan
Menteri Pemburuan Indonesia
1949–1950
Diteruskan oleh:
Soeroso
Jabatan pemerintahan
Didahului oleh:
RAA Wiranatakusuma
Ketua Dewan Pertimbangan Agung
1968–1978
Diteruskan oleh:
Idham Chalid