Aceh: Perbedaan antara revisi
Baris 195: | Baris 195: | ||
Sejak tahun 1999, Nanggroe Aceh Darussalam telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 4 pemerintahan kota dan 17 kabupaten sebagai berikut: |
Sejak tahun 1999, Nanggroe Aceh Darussalam telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 4 pemerintahan kota dan 17 kabupaten sebagai berikut: |
||
{{Daftar Daerah Tingkat II Nanggroe Aceh Darussalam}} |
{{Daftar Daerah Tingkat II Nanggroe Aceh Darussalam}} |
||
===Gampông=== |
|||
Gampông atau disebut kampung dalam bahasa Melayu, merupakan sebuah sistem pemerintahan setingkat desa sekarang yang bediri secara otonom. Sebuah gampông dipimpin oleh kepala desa yang disebut Keuchik atau Geuchik dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Peut. |
|||
Revisi per 6 Agustus 2006 05.30
Aceh beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain, lihat Aceh (disambiguasi).
Nanggröe Aceh Darussalam نڠغرو اتچيه دارالشلام | |
---|---|
Motto: "Pancacita" (dari bahasa Sansekerta yang artinya "Lima cita-cita") | |
Negara | Indonesia |
Dasar hukum pendirian | UU RI No. 24/1956 UU RI No. 44/1999 UU RI No. 18/2001 |
Tanggal | 7 Desember 1959 (hari jadi) |
Ibu kota | Banda Aceh (dahulu Koetaradja) |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar
|
Pemerintahan | |
• Gubernur | Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M.Si. (Penjabat Gubernur) |
Luas | |
• Total | 55,390 km2 km2 (Formatting error: invalid input when rounding sq mi) |
Populasi | |
• Total |
|
Demografi | |
• Agama | Islam (97,6%), Kristen (1,7%), Hindu (0,08%), Budha (0,55%) |
• Bahasa | Aceh, Indonesia dll |
Kode Kemendagri | 11 |
Kode BPS | 11 |
Lagu daerah | Bungong Jeumpa |
Situs web | http://www.nad.go.id |
Nanggröe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Sejarah
- Artikel utama: Sejarah Aceh
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Sultan Aceh
- 1496-1528 Sultan Ali Mughayat Syah. Ayahanda daripada:
- 1528-1537 Sultan Salahuddin. Kakanda daripada :
- 1537-1568 Sultan Alauddin al Qahhar. Ayahanda daripada:
- 1568-1575 Sultan Husain Ali Riayat Syah. Ayahanda daripada:
- 1575 Sultan Muda
- 1575-1576 Sultan Sri Alam. ananda daripada Alauddin al Qahhar
- 1576-1577 Sultan Zainal Abidin 1576-1577. Cucu daripada Alauddin al Qahhar
- 1577-1589 Sultan Alauddin Mansur Syah Ibni Almarhum Sultan Mansur Syah I (Sultan Perak 1549-1577). Kakanda Sultan Ahmad Tajuddin Syah, Sultan Perak
- 1589-1596 Sultan Buyong
- 1596-1604 Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil. Grandson (via son) of a brother of the father of 1st Sultan Ali Mughayat Syah dan Ayahanda daripada:
- 1604-1607 Sultan Ali Riayat Syah
- 1590-27 Desember 1636 Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Cucu (dari anak perempuan) Sultan Alauddin Riayat Syah
- 1636-1641 Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah. Anak Sultan Pahang, Ahmad Syah II
- 1641-1675 Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam. Putri Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam dan janda Sultan Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah
- 1675-1678 Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam
- 1678-1688 Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah
- 1688-1699 Sri Ratu Kamalat Syah Zinatuddin
- 1699-1702 Sultan Badrul Alam Syarif Hashim Jamaluddin
- 1702-1703 Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui
- 1703-1726 Sultan Jamal ul Alam Badrul Munir
- 1726 Sultan Jauhar ul Alam Aminuddin
- 1726-1727 Sultan Syamsul Alam
- 1727-1735 Sultan Alauddin Ahmad Syah
- 1735-1760 Sultan Alauddin Johan Syah
- 1750-1781 Sultan Mahmud Syah
- 1764-1785 Sultan Badruddin
- 1775-1781 Sultan Sulaiman Syah
- 1781-1795 Alauddin Muhammad Daud Syah
- 1795-1815 dan 1818-1824 Sultan Alauddin Jauhar ul Alam
- 1815-1818 Sultan Syarif Saif ul Alam
- 1824-1838 Sultan Muhammad Syah
- 1838-1857 Sultan Sulaiman Syah
- 1857-1870 Sultan Mansur Syah
- 1870-1874 Sultan Mahmud Syah
- 1874-1903 Sultan Muhammad Daud Syah
Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
Segala Hal Tentang Kerajaan Aceh
- Dalam
- Istana Darut Donya
- Cap Sikureung (cap sembilan)
- Meuligoe
- Gajah Putih
- Pasukan Gajah
Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Salah satu catatan penting pada Perang Aceh adalah tewasnya empat jenderal Belanda, yaitu Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin. Tewasnya empat jenderal Belanda merupakan peristiwa satu-satunya yang pernah dialami Belanda dalam sejarah perjalanan kerajaan tersebut dalam menyerang wilayah lainnya.
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai di tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personil tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.
Masa Republik Indonesia
Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk provinis-provinsi baru.
Darul Islam / Tentara Islam Indonesia
Gerakan Aceh Merdeka
Aceh hingga kini masih didera konflik berkepanjangan yang disebabkan keinginan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro ingin memisahkan Aceh dari Indonesia karena ketidakadilan dan kezaliman Pemerintah Pusat dan TNI/Polri terhadap rakyat Aceh.
Penerapan Darurat Militer
Penerapan Darurat Sipil
Sosial kemasyarakatan
Suku bangsa
Provinsi NAD terdiri dari 10 suku asli, yaitu Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Aneuk Jamee, Suku Melayu Tamiang, Suku Kluet, Suku Devayan, Suku Sigulai, Suku Haloban dan Suku Julu. Suku Aceh tersebar terutama di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan.
Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran Agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu tua (nama nama desa yang diambil dari bahasa India, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh.
Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana asal Tiongkok Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran / Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Banda / Bandar arti: Pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya - Lamno (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan Nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lamno, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lamno. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lamno di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lamno, pimpinan Raja Mereuhoem Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Pada saat ini umumnya mereka semua sudah memeluk agama Islam.
Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti, Marco Polo, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di tanah Aceh.
Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia.
Meskipun banyak yang menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-hari, namun tidak berarti bahwa corak dan ragam bahasa Aceh yang digunakan sama. Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa di daerah lain; bahasa Aceh bisa berbeda dalam pemakaiannya, bahkan untuk kata-kata yang bermakna sama. Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyaknya percampuran bahasa, terutama di daerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga karena kelestarian bahasa aslinya.
Bahasa lain yang digunakan di Acah adalah Bahasa Gayo yang dituturkan di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Serbajadi, Aceh Timur. Bahasa Simeulue dan beberapa bahasa lainnya di kabupaten Simeulue, Melayu Tamiang, Alas, Aneuk Jamee yang merupakan dialek Bahasa Minangkabau dan Bahasa Kluet.
Agama
Mayoritas penduduk di provinsi NAD memeluk agama Islam. Selain itu provinsi NAD memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.
Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti
Pemerintahan
Sejak tahun 1999, Nanggroe Aceh Darussalam telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 4 pemerintahan kota dan 17 kabupaten sebagai berikut:
Gampông
Gampông atau disebut kampung dalam bahasa Melayu, merupakan sebuah sistem pemerintahan setingkat desa sekarang yang bediri secara otonom. Sebuah gampông dipimpin oleh kepala desa yang disebut Keuchik atau Geuchik dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Peut.
Mukim
Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat kecamatan yang dahulu diberlakukan pada saat Kesultanan Aceh. Sebuah mukim terdiri dari beberapa buah desa yang disebut gampông. Di tiap-tiap mukim didirikan sebuah masjid yang dipergunakan untuk shalat Jumat. Mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Lapan.
Nanggroë
Nanggroë merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat kabupaten pada masa sekarang. Dalam bahasa Melayu, nanggroë disebut juga kenegerian. Sebuah nanggroë terdiri dari mukim-mukim layaknya sekarang sebuah kabupaten terdiri dari kecamatan-kecamatan. Sebuah nanggroë dipimpin oleh hulubalang yang bergelar Teuku.
Sagoë
Sagoë yang dalam bahasa Melayu disebut Sagi, merupakan suatu sistem pemerintahan yang setingkat dengan provinsi pada masa sekarang ini. Sebuah sagoë merupakan kumpulan dari nanggroë-nanggroë, layaknya provinsi yang terdiri dari kabupaten-kabupaten. Sistem pemerintahan ini pada masa yang lampau hanya terdapat di wilayah kabupaten Aceh Besar sekarang. Oleh karenanya Aceh Besar sering disebut pula dengan nama Acèh Lhèë Sagoë atau Aceh Tiga Sagi. Ada 3 sagoë di Aceh Besar (Acèh Rayek), yaitu Sagoë XXII, Sagoë XXV, dan Sagoë XXVI.
Kaway
Kondisi dan sumber daya alam
Kondisi alam
Keanekaragaman hayati
Sumber daya alam
Perekonomian
Tenaga Kerja
Ekspor & Impor
Pertanian & perkebunan
Perikanan
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
Pasca-tsunami 2004
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.
Lihat juga: Panglima Laôt
Industri
Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya
Pertambangan
Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat, Batugamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan
Pariwisata
- Masjid Raya Baiturrahman
- Taman Putroe Phang
- Pinto Khop
- Kuburan Kerkhoff Peucut
- Danau Laut Tawar
- Danau Aneuk Laot
- Iboih
- Benteng Indrapatra
Seni dan Budaya
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
- Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
- Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
- Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Sastra
- Bustanussalatin
- Hikayat Prang Sabi
- Hikayat Malem Diwa
Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan Bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.
Rumah Tradisional
Rumoh Aceh
Tarian
- Tari Seudati
- Tari Saman
- Rapai Geleng
- Rateb Meuseukat
- Likok Pulo
- Ranup Lampuan
- Tarek Pukat
- Tari Guel, dari Gayo
- Tari Bines, dari Gayo
Sastra
Makanan Khas
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi NAD.
Pahlawan
Perempuan :
Pria :
- Sultan Iskandar Muda
- Teungku Chik Di Tiro
- Teuku Umar
- Panglima Polem
- Teuku Nyak Arif
- Teungku Muhammad Daud Beureueh
Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah Pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (sembilan jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).
Tokoh Asal Aceh Ban Sigom Donya
- Sheikh Hamzah al-Fansuri
- Sheikh Nuruddin ar-Raniry
- Sheikh Abdurrauf atau lebih kesohor dengan nama Syiah Kuala
- Tun Sri Lanang
- Ismail al-Asyi
- Mr Teuku Mohammad Hassan
- Mohamad Kasim Arifin
- Teungku Hasan Muhammad di Tiro
- P.Ramlee atau Teuku Zakaria Teuku Nyak Puteh
- Tan Sri Sanusi Juned
- YB Dato Seri Paduka Haji Badruddin Amiruldin
- Yap Thiam Hien
Lihat pula
Pranala luar
- (Indonesia) Situs resmi pemerintah provinsi
- (Melayu)(Inggris) Situs resmi Gerakan Aceh Merdeka
- (Inggris)(Melayu) The Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic
- (Indonesia) Situs resmi Sentral Informasi Referendum Acheh (SIRA)
- (Indonesia) UURI No.18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
- (Indonesia) Harian Serambi Indonesia - Suratkabar Aceh
- (Indonesia) Situs Berita Terkini AcehKita
- (Indonesia) Media Center Aceh - Aliansi Jurnalis Independen Panduan dan Pusat Informasi bagi Jurnalis Peliput Aceh
- (Inggris) [1] - "information about Aceh culture and its heritage"
- (Indonesia) Blog Pusat Informasi Dan Berita Acheh
- (Indonesia) Pusat Informasi dan Inspirasi Rakyat Aceh (PIIRA) aCehpO
- (Indonesia)(Inggris) [http://achehnese.com/ Pusat Informasi Dan Inovasi
- (Indonesia)(Inggris)style="background:#FFC7C7; vertical-align:middle; text-align:center; " class="table-no"|Tidak Situs Aceh Flyktning Foreningen Norway- masyarakat pengungsi Aceh di Norwegia
- (Indonesia)(Inggris) AcehKids.org/ Program Taman Bacaan Anak dan Komunitas di Aceh
- (Inggris) [http://www.acheh-eye.org/ The Conflict, The People, economics and Politics\
- (Indonesia) Aceh Institute/ Lembaga Kajian Independen Aceh
- ^ "Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan (Permendagri No.137-2017) - Kementerian Dalam Negeri - Republik Indonesia". www.kemendagri.go.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-29. Diakses tanggal 2018-07-09.