Lompat ke isi

Pakubuwana X: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 58: Baris 58:


== Kisah Kelahiran ==
== Kisah Kelahiran ==
Nama lahirnya (''asma timur'') adalah '''Raden Mas Malikul Kusno''', putra [[Pakubuwana IX]] yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah, pada tanggal [[29 November]] [[1866]]. Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga [[Ranggawarsita]].
Nama lahirnya (''asma timur'') adalah '''Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno''', putra [[Pakubuwana IX]] yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah, pada tanggal [[29 November]] [[1866]]. Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar ''Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI''.


Dikisahkan, pada saat Ayu Kustiyah baru mengandung, [[Pakubuwana IX]] bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. [[Ranggawarsita]] menjawab kelak akan lahir ''hayu''. [[Pakubuwana IX]] kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa [[putra mahkota]] dari Ayu Kustiyah.
Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga [[Ranggawarsita]]. Dikisahkan, pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, [[Pakubuwana IX]] bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. [[Ranggawarsita]] menjawab kelak akan lahir ''hayu''. [[Pakubuwana IX]] kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa [[putra mahkota]] dari Ayu Kustiyah.


Selama berbulan-bulan [[Pakubuwana IX]] menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, Ayu Kustiyah melahirkan Malikul Kusno. [[Pakubuwana IX]] dengan bangga menuduh ramalan [[Ranggawarsita]] meleset.
Selama berbulan-bulan [[Pakubuwana IX]] menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAY. Kustiyah melahirkan Sayiddin Malikul Kusno. [[Pakubuwana IX]] dengan bangga menuduh ramalan [[Ranggawarsita]] meleset.


[[Ranggawarsita]] menjelaskan bahwa istilah ''hayu'' bukan berarti ''ayu'' atau "cantik", tetapi singkatan dari ''rahayu'', yang berarti "selamat". Mendengar jawaban [[Ranggawarsita]] ini, [[Pakubuwana IX]] merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.
[[Ranggawarsita]] menjelaskan bahwa istilah ''hayu'' bukan berarti ''ayu'' atau "cantik", tetapi singkatan dari ''rahayu'', yang berarti "selamat". Mendengar jawaban [[Ranggawarsita]] ini, [[Pakubuwana IX]] merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.
Baris 74: Baris 74:
Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, [[Kasunanan Surakarta]] mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di [[Hindia-Belanda]].
Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, [[Kasunanan Surakarta]] mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di [[Hindia-Belanda]].


Dalam bidang sosial-ekonomi, Pakubuwana X memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton. Infrastruktur moderen kota [[Surakarta]] banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan [[Pasar Gede Harjonagoro]], [[Stasiun Solo Jebres]], [[Stasiun Solo-Kota]] (Sangkrah), [[Stadion Sriwedari]], [[Kebun Binatang Jurug]], jembatan Jurug yang melintasi [[Bengawan Solo]] di timur kota, [[Taman Balekambang]], [[gapura]]-gapura di batas Kota [[Surakarta]], rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga [[Tionghoa]].
Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial [[Hindia Belanda]], Pakubuwana X memberikan kebebasan ber[[organisasi]] dan penerbitan [[media massa]]. Ia mendukung pendirian organisasi [[Sarekat Dagang Islam]], salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di [[Indonesia]]. [[Kongres Bahasa Indonesia|Kongres Bahasa Indonesia I]] di Surakarta ([[1938]]) diadakan pada masa pemerintahannya.


Pada tanggal [[21 Januari]] [[1932]], Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan ''Sri Maharaja'' dari [[Ratu Wilhelmina]] dari [[Belanda]] berupa ''Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo'' dengan sebutan raja dalam [[Bahasa Belanda]] ''Zijne Vorstelijke Hoogheid''.
Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan [[Pasar Gede Harjonagoro]], [[Stasiun Solo Jebres]], [[Stasiun Solo-Kota]] (Sangkrah), [[Stadion Sriwedari]], [[Kebun Binatang Jurug]], jembatan Jurug yang melintasi [[Bengawan Solo]] di timur kota, [[Taman Balekambang]], [[gapura]]-gapura di batas Kota [[Surakarta]], rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga [[Tionghoa]].


Meskipun berada dalam tekanan [[politik]] pemerintah kolonial [[Hindia Belanda]], Pakubuwana X memberikan kebebasan ber[[organisasi]] dan penerbitan [[media massa]]. Ia mendukung pendirian organisasi [[Sarekat Dagang Islam]], salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di [[Indonesia]]. [[Kongres Bahasa Indonesia|Kongres Bahasa Indonesia I]] di Surakarta ([[1938]]) diadakan pada masa pemerintahannya.
Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal [[1 Februari]] [[1939]]. Ia disebut sebagai ''Sinuhun Wicaksana'' atau raja besar dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar [[Pakubuwana XI]].

== Peran Politik ==
Selama pemerintahannya yang panjang, dalam menghadapi 10 orang [[Gubernur Jenderal]] dan 13 [[residen]] secara silih berganti, Pakubuwana X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai ''teman'' pemerintah [[Hindia Belanda]]. Tetapi kewibawaannya sebagai [[raja]] [[Jawa]] di mata rakyat semakin meningkat. ''Loyatitasnya'' kepada [[Hindia Belanda]] memang tidak meragukan Kontrak Politik yang ditandatanganinya ketika naik tahta sebagai Susuhunan di tahun [[1893]]. Pakubuwana X sadar sebagai cucu [[Pakubuwana VI]] yang di tahun [[1831]] dibuang [[Belanda]] ke [[Ambon]], ia merasa harus meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.

Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas [[politik]] dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke ([[1914]]-[[1918]]) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari ''De Locomotief'', surat kabar ber[[bahasa Belanda]] yang terbit di [[Semarang]]. Khususnya berita mengenai [[Perang Dunia I]], Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada [[Jerman]] sebagaimana banyak orang [[Indonesia]] saat itu, termasuk orang-orang [[Sarekat Islam]].

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider ([[1905]]-[[1908]]) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat ''incognito'', kunjungannya ke [[Semarang]], [[Surabaya]], [[Ambarawa]], dan [[Salatiga]] (antara tahun [[1903]] dan [[1906]]) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan [[politik]] Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai [[raja]] [[Jawa]]. Ia juga melawat ke [[Bali]] dan [[Lombok]], serta [[Lampung]]. Serta peranan Pakubuwana X sebagai [[imam]] bagi masyarakat [[muslim]] di [[Surakarta]], sangat diperhitungkan [[Belanda]].

== Akhir Pemerintahan ==
Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal [[1 Februari]] [[1939]]. Ia disebut sebagai ''Sinuhun Wicaksana'' atau raja besar dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya, BRM. Antasena, yang kemudian bergelar [[Pakubuwana XI]].
{{clr}}
{{clr}}



Revisi per 6 Januari 2014 10.54

Sri Susuhunan Pakubuwana X
Pakubuwana X
Sunan Surakarta
Masa jabatan
1893–1939
Sebelum
Pendahulu
Pakubuwana IX
Pengganti
Pakubuwana XI
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
GRM Sayiddin Malikul Kusno

1866
Belanda Surakarta
Meninggal1939
Belanda Surakarta
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X (29 November 1866 – 1 Februari 1939) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 18931939.

Kisah Kelahiran

Nama lahirnya (asma timur) adalah Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno, putra Pakubuwana IX yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah, pada tanggal 29 November 1866. Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI.

Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga Ranggawarsita. Dikisahkan, pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari Ayu Kustiyah.

Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAY. Kustiyah melahirkan Sayiddin Malikul Kusno. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.

Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita ini, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.

Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipura.

Masa Pemerintahan

Kereta khusus untuk mengangkut jenazah Pakubuwana X ke Yogyakarta menuju pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.

Malikul Kusno naik takhta sebagai Pakubuwana X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Pakubuwana X menikah dengan GKR. Hemas (putri Sultan Hamengkubuwono VII) dan dikaruniai seorang putri yang bernama GKR. Pembayun.

Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia-Belanda.

Dalam bidang sosial-ekonomi, Pakubuwana X memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gede Harjonagoro, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.

Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam Bahasa Belanda Zijne Vorstelijke Hoogheid.

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Peran Politik

Selama pemerintahannya yang panjang, dalam menghadapi 10 orang Gubernur Jenderal dan 13 residen secara silih berganti, Pakubuwana X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat semakin meningkat. Loyatitasnya kepada Hindia Belanda memang tidak meragukan Kontrak Politik yang ditandatanganinya ketika naik tahta sebagai Susuhunan di tahun 1893. Pakubuwana X sadar sebagai cucu Pakubuwana VI yang di tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon, ia merasa harus meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.

Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam.

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung. Serta peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat muslim di Surakarta, sangat diperhitungkan Belanda.

Akhir Pemerintahan

Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sinuhun Wicaksana atau raja besar dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya, BRM. Antasena, yang kemudian bergelar Pakubuwana XI.

Kepustakaan

  • Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu


Didahului oleh:
Pakubuwana IX
Sunan Surakarta
1893-1939
Diteruskan oleh:
Pakubuwana XI