Khawarij
Bagian dari sebuah seri tentang Muhakkimah |
---|
Portal Islam |
Khawārij (bahasa Arab: خوارج atau dibaca Khowaarij, secara harfiah memiliki arti "Mereka yang Keluar") juga dikenal sebagai Asy-Syurah (bahasa Arab: الشراة, translit. asy-Syurāt) ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang muncul pada Fitnah Pertama. Khawarij pada awalnya adalah pendukung Ali yang memberontak terhadap penerimaan Ali atas pembicaraan arbitrase untuk menyelesaikan konflik dengan penantangnya, Muawiyah, dalam Pertempuran Siffin pada tahun 657. Mereka menegaskan bahwa "penghakiman hanya milik Tuhan", yang menjadi semboyan mereka. Oleh karena itu, pemberontak seperti Muawiyah harus diperangi dan dibasmi menurut perintah Al-Qur'an. Ali mengalahkan Khawarij di Pertempuran Nahrawan pada tahun 658 M, tetapi pemberontakan mereka tetap berlanjut. Ali dibunuh pada tahun 661 M oleh seorang Khawarij yang membalas dendam atas kekalahan di Nahrawan.
Setelah pendirian Kekhalifahan Umayyah oleh Muawiyah pada tahun 661 M, para gubernurnya Umayyah berhasil mengendalikan kaum Khawarij. Kekosongan kekuasaan yang disebabkan oleh Fitnah Kedua (680–692) membuat dimulainya kembali pemberontakan anti-pemerintah oleh kaum Khawarij sehingga faksi Azariqah dan Najdat menguasai beberapa daerah di Persia dan Arabia. Perselisihan internal dan fragmentasi yang ada pada tubuh Khawarij sangat melemahkan mereka sebelum kekalahan mereka oleh Bani Umayyah pada 696–699. Pada tahun 740-an, pemberontakan Khawarij skala besar pecah di seluruh kekhalifahan, tetapi semuanya akhirnya dapat dipadamkan. Meskipun pemberontakan Khawarij berlanjut hingga periode Abbasiyah (750–1258), kelompok Khawarij yang paling militan secara bertahap dihilangkan, dan digantikan oleh Khawarij moderat semacam Ibadiyah, yang bertahan hingga hari ini di Oman dan beberapa bagian Afrika Utara. Namun, para penganut Ibadi kemudian menyangkal adanya hubungan dengan Khawarij dari Perang Saudara Muslim Kedua dan seterusnya, mengutuk mereka sebagai ekstremis.
Khawarij percaya bahwa setiap Muslim, terlepas dari keturunan atau etnisnya, memenuhi syarat untuk peran khalifah, asalkan mereka tidak tercela secara moral. Adalah tugas umat Islam untuk memberontak dan menggulingkan khalifah yang berdosa. Sebagian besar kelompok Khawarij dicap sebagai orang kafir Muslim yang telah melakukan dosa besar, dan yang paling militan menyatakan pembunuhan orang kafir tersebut sah, kecuali mereka bertobat. Banyak Khawarij adalah orator dan penyair yang terampil, dan tema utama puisi mereka adalah kesalehan dan kesyahidan. Khawarij abad kedelapan dan kesembilan berpartisipasi dalam perdebatan teologis dan, dalam prosesnya, berkontribusi pada teologi Islam arus utama.
Kebanyakan sejarah yang Khawarij berasal dari penulis non-Khawarij pada abad kesembilan dan kesepuluh memiliki tendensi untuk memusuhi sekte tersebut. Tidak adanya versi Khawarij dari sejarah mereka telah membuat sulit untuk mengungkap motif mereka yang sebenarnya. Sumber-sumber sejarah Muslim tradisional dan Muslim arus utama memandang Khawarij sebagai ekstremis agama yang memisahkan diri dari umat. Banyak kelompok ekstremis Muslim modern dibandingkan dengan Khawarij karena ideologi radikal dan militansinya. Di sisi lain, beberapa sejarawan Arab modern menekankan kecenderungan egaliter dan proto-demokratis kaum Khawarij. Sejarawan akademik modern umumnya terbagi dalam mengaitkan fenomena Khawarij dengan motivasi agama murni, faktor ekonomi, atau tantangan Badui (Arab nomaden) untuk pembentukan negara yang terorganisir, dengan beberapa menolak penjelasan tradisional tentang gerakan Khawarij yang dimulai di Siffin.
Etimologi
Istilah Al-Khariji digunakan sebagai eksonim oleh lawan mereka ketika kelompok tersebut meninggalkan tentara Khalifah Ali selama Fitnah Pertama. Istilah ini berasal dari akar bahasa Arab خ ر ج, yang memiliki arti utama "meninggalkan" atau "keluar",[1] seperti pada kata dasarnya خرج, ḵẖaraja, "keluar". Mereka menyebut diri mereka sendiri Asy-Syurah ("Para Pedagang"), yang mereka pahami dalam konteks kitab suci Islam (Qur'an Al-Baqarah:207) dengan pemaknaan bahwa "mereka telah memperdagangkan barang fana, yaitu kehidupan dunia, dengan kehidupan lain yang lebih kekal, yaitu "kehidupan akhirat".[2][3]
Sumber primer dan klasik
Hampir tidak ada sumber Khawarij utama yang bertahan, kecuali karya penulis dari satu-satunya sekte Khawarij yang masih hidup yaitu Ibadiyah. Kebanyakan sumber mengenai Khawarij berasal dari kutipan yang ada dalam karya non-Kharwarij.[4] Karena kebanyakan sumber informasi utama berasal dari karya di luar golongan mereka dan berasal dari periode berikutnya,[5] maka transmisi, pengumpulan, dan klasifikasi mengenai golongan Khawarij sering kali telah mengalami perubahan dan distorsi.[6]
Sumber-sumber non-Khawarij terbagi dalam dua kategori, yaitu sejarah dan karya heresiografi yang saat itu disebut sebagai sastra al-firaq (persektean).[4] Sejarah Khawarij ditulis jauh lebih lambat dari peristiwa yang sebenarnya, dan banyak perselisihan teologis serta politik di antara umat Islam awal telah diselesaikan pada saat itu. Sebagai perwakilan dari ortodoksi yang muncul,[7] penulis Sunni serta Syiah [8] yang menulis tentang Khawarij memandang peristiwa asli sejarah Khawarij melalui kacamata pandangan mereka.[7] Sumber-sumber mengenai Khawarij yang berasal dari luar golongan mereka sering kali langsung memicu polemik, hal ini dikarenakan penulis cenderung menggambarkan sekte mereka sendiri sebagai perwakilan sebenarnya dari Islam asli dan menempatkan Khawarij sebagai sekte sesat yang wajib dimusuhi.[4][9] Meskipun penulis Sunni maupun Syiah menggunakan sumber Khawarij yang sebelumnya sudah tidak ada lagi dan juga sumber non-Khawarij, terjemahan mereka tentang peristiwa kemunculan Khawarij tersebut telah banyak diubah sebagai topos sastra.[6][a]
Berdasarkan hadits Nabi Muhammad yang menubuatkan munculnya 73 sekte dalam Islam, yang salah satunya akan diselamatkan dan yang lainnya dikutuk sebagai sesat, para heresiografer (peneliti aliran sesat) kemudian sangat mementingkan pengklasifikasian apa yang mereka anggap sebagai sekte sesat dan doktrin sesat mereka.[12] Akibatnya, pandangan sekte tertentu kemudian diubah dan dikarang-karang sendiri agar sesuai dengan klasifikasi kesesatan, dan terkadang ada beberapa sekte fiktif yang dibuat-buat dengan tujuan untuk disesat-sesatkan.[6][13] Selain itu, laporan para heresiografer sering kali membingungkan dan kontradiktif karena mereka membuat rekonstruksi tentang "apa yang sebenarnya terjadi" dengan mencocok-cocokkan motif sebenarnya dari kaum Khawarij agar sesuai dengan keinginan penulis.[14] Menurut sejarawan Hannah-Lena Hagemann dan Peter Verkinderen, sumber sejarah non-Khawarij kadang-kadang menggunakan Khawarij sebagai contoh buruk dalam berbagai masalah, seperti masalah "status Ali, bahaya perselisihan komunal, atau aspek hukum pemberontakan".[15] Sumber Ibadi, di di sisi lain, dapat dikategorikan sebagai hagiografi dan sumber-sumber tersebut memiliki muatan pelestarian identitas kelompok Khawarij. Untuk tujuan tersebut, sumber Ibadi sering kali membuat-buat cerita atau mengubah peristiwa yang pernah terjadi untuk meromantisasi dan mengagungkan pemberontakan Khawarij awal dan pemimpin mereka sebagai simbol identitas kelompok.[16] Meski begitu, sumber-sumber Ibadi juga memusuhi kelompok Khawarij lainnya.[17] Sumber-sumber tentang Khawarij, baik yang berasal dari Ibadi, historiografis, atau heresiografis, sering kali tidak melaporkan peristiwa sebagaimana yang sebenarnya terjadi. Para penulis tersebut lebih suka menunjukkan bagaimana cara dirinya dalam memandang Khawarij, dan ingin pembacanya melihat peristiwa yang mereka baca sebagai kenyataan.[6][18]
Sumber-sumber mengenai Khawarij yang temasuk ke dalam kategori historiografi antara lain adalah Sejarah Para Nabi dan Raja karya Ath-Thabari (wafat 923), Al-Asyraf dari Al-Baladzuri (w. 892),[b] Al-Kamil dari al-Mubarrad (w. 899), dan Padang Emas dari Al-Mas'udi (w. 956).[20] Sumber penting lainnya termasuk sejarah dari Ibnul Atsir al-Jaziri (w. 1233), dan Ibnu Katsir (w. 1373), tetapi kedua penulis tersebut banyak mengambil materi dari Ath-Thabari.[4] Inti informasi dalam sumber-sumber historiografi tersebut didasarkan pada karya sejarawan terdahulu seperti Abu Mikhnaf (wafat 773), Ma'mar bin al-Mutsanna (wafat 825), dan Al-Mada'ini (wafat 843).[20] Penulis yang pada umumnya masuk ke dalam kategori heresiografi meliputi Al-Asy'ari (wafat 935),[c] Abu Mansur Al-Baghdadi (w. 1037),[d] Ibnu Hazm (w. 1064),[e] Asy-Syahrastani (w. 1153 ),[f] dan lain-lainnya.[4][9] Karya terkemuka di antara orang Ibadi yang bertahan adalah tulisan heresiografi abad kedelapan dari Salim bin Dzakwan.[21] Tulisan ini membedakan para Ibadi dengan kelompok Khawarij lain yang diperlakukan sebagai ekstremis.[22] Al-Kasyf wal Bayan, sebuah karya abad ke-12 oleh Al-Qalhati, adalah contoh lain dari tulisan heresiografi Ibadi dan membahas asal-usul kaum Khawarij dan perpecahan di dalam pergerakan Khawarij.[4]
Asal-usul
Kaum Khawarij merupakan bagian dari sekte pertama yang muncul dalam Islam.[23] Mereka berasal dari Fitnah Pertama, perebutan kepemimpinan politik atas umat, setelah pembunuhan khalifah ketiga Utsman pada tahun 656 M.[24]
Tahun-tahun terakhir pemerintahan Utsman ditandai dengan meningkatnya ketidakpuasan dari berbagai kelompok dalam komunitas Muslim. Pengunggulan atas kerabatnya yang berasal dari Dinasti Umayyah dikritik oleh beberapa Sahabat di Madinah.[g] Para pemukim Muslim awal di kota garnisun Kufah dan Fustat, merasa statusnya terancam oleh beberapa faktor selama periode Utsman. Utsman benar-benar melakukan campur tangan dalam urusan provinsi,[h] Kepadatan kota-kota garnisun karena masuknya suku Arab secara terus-menerus, mengurangi pendapatan dari penaklukan Muslim awal, dan mengembangkan pengaruh dari bangsawan suku Arab pra-Islam.[28] Oposisi yang dilakukan oleh pendatang awal Irak, yang dikenal sebagai qurra (yang mungkin berarti "pembaca Al-Qur'an"), dan orang Mesir berubah menjadi pemberontakan terbuka pada tahun 656. Didorong oleh beberapa elit Madinah yang tidak puas, para pemberontak berbaris di Madinah, membunuh Utsman pada Juni 656 M.[27] Pembunuhannya memicu perang saudara.[29]
Setelah itu, sepupu dan menantu Muhammad, Ali, menjadi khalifah dengan bantuan orang-orang Madinah dan para pemberontak. Dia segera ditantang oleh sahabat awal Muhammad, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta janda Muhammad, Aisyah, yang berpendapat bahwa pemilihannya adalah tidak sah karena melibatkan pembunuh Utsman dan karenanya, majelis syura harus dipanggil untuk memilih khalifah baru. Ali mengalahkan mereka pada bulan November 656 di Pertempuran Unta.[30] Kemudian, Muawiyah bin Abi Sufyan, kerabat Utsman dan gubernur Suriah, mencela pemilihan Ali, berpendapat bahwa pembunuh Utsman berada di kamp Ali dan menghindari hukuman. Keduanya saling berhadapan di Pertempuran Siffin pada Juli 657. Di ambang kekalahan, Muawiyah memerintahkan prajuritnya untuk mengibarkan mushaf Al-Quran di tombak mereka sebagai sinyal untuk menghentikan pertarungan dan merundingkan perdamaian. Orang-orang qurra yang ada di pasukan Ali digerakkan oleh isyarat,[31] yang mereka tafsirkan sebagai seruan kepada Kitabullah,[32][33] dan menuntut agar Ali segera menghentikan pertempuran. Meskipun awalnya tidak mau, Ali kemudian menyerah di bawah tekanan dan ancaman kekerasan terhadapnya oleh orang-orang qurra.[31][34][33] Panitia arbitrase yang terdiri dari perwakilan Ali dan Muawiyah dibentuk dengan mandat untuk menyelesaikan perselisihan menurut Al-Qur'an dan sunnah.[31][35][i] Ketika sebagian besar pasukan Ali menerima kesepakatan tersebut, ada satu kelompok yang mencakup sebagian besar dari suku Tamim, dengan keras menolak arbitrase dan mengangkat slogan "Tiada hukum kecuali hukum Allah" Lā hukma illā Allah.[34]
Harurah
Saat Ali berbaris kembali ke ibukotanya di Kufah, kebencian yang meluas terhadap arbitrase berkembang di pasukannya. Sebanyak 12.000 pembangkang[j] memisahkan diri dari satuan dan mendirikan kemah di Harurah, sebuah tempat dekat Kufah. Dengan demikian mereka dikenal sebagai orang Haruriyyah.[38] Mereka berpendapat bahwa Utsman pantas mati karena nepotismenya dan tidak memerintah sesuai dengan Al-Qur'an, dan bahwa Ali adalah khalifah yang sah , sementara Muawiyah adalah seorang pemberontak.[39] Mereka percaya bahwa Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa sebagai seorang pemberontak, Muawiyah tidak berhak atas arbitrase, melainkan harus diperangi sampai dia bertobat, menunjuk ke ayat Al-Qur'an:[39]
Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (Al-Qur'an Surah Al-Hujurat ayat 9)
Mereka berpendapat bahwa dengan menyetujui arbitrasi, Ali melakukan dosa besar karena menolak hukum Allah dan berusaha untuk menggantikan hukum Allah yang jelas terdapat dalam Al-Qur'an dengan hukum manusia. Motivasi itulah yang mendorong orang-orang Haruriyyah ini mengangkat slogan "hukum hanya milik Allah semata".[40] Dari ungkapan mereka itu, orang-orang Haruriyyah dikenal sebagai Muhakimmah.[41]
Ali mengunjungi perkemahan Harurah dan berusaha untuk membawa kembali orang-orang Haruriyah tersebut ke dalam satuannya. Ali beralasan bahwa merekalah yang memaksanya untuk menerima pengajuan arbitrase meskipun dia keberatan. Mereka mengakui bahwa mereka telah berdosa tetapi bersikeras bahwa mereka bertobat dan meminta Ali untuk melakukan hal yang sama, yang kemudian dilakukan oleh Ali secara umum dan ambigu. Pasukan di Harurah kemudian mengembalikan kesetiaan mereka kepada Ali dan kembali ke Kufah, dengan syarat perang melawan Muawiyah dilanjutkan dalam waktu enam bulan.[42]
Nahrawan
Ali menolak untuk mengecam proses arbitrase yang terus berlanjut meskipun pasukan di Harura kembali setia padanya. Pada bulan Maret 658, Ali mengirim delegasi, yang dipimpin oleh Abu Musa Al-Asy'ari, untuk melaksanakan pembicaraan.[34] Pasukan yang menentang arbitrase setelah itu mengutuk keputusan Ali dan memilih Abdullah bin Wahab Ar-Rasibi yang saleh sebagai khalifah mereka. Untuk menghindari deteksi, mereka keluar dari Kufah dalam kelompok kecil dan pergi ke sebuah tempat bernama Nahrawan di tepi timur Tigris. Sekitar lima ratus rekan mereka yang berada di Basrah diberitahu dan bergabung dengan mereka di Nahrawan. Gabungan atas pasukan Ali yang menolak arbitrase dan sebagian rekan mereka dari Basrah dilaporkan berjumlah hingga 4.000 orang.[43][44] Mereka menyatakan Ali dan para pengikutnya sebagai kafir, dan dianggap telah membunuh beberapa orang yang tidak memiliki pandangan yang sama.[43][45]
Sementara itu, para arbiter menyatakan bahwa Utsman telah dibunuh secara tidak adil oleh para pemberontak. Mereka tidak dapat menyepakati hal-hal substantif lainnya dan prosesnya gagal. Ali mencela perilaku pihak delegasi Muawiyah, yaitu Amru bin Ash karena bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, dan mengumpulkan para pendukungnya untuk mengobarkan perang baru melawan Muawiyah.[46][47] Dia mengundang Khawarij untuk bergabung dengannya seperti sebelumnya. Mereka menolak dan tetap menunggu pengakuan Ali bahwa dirinya telah tersesat dan mau bertobat. Melihat tidak ada peluang rekonsiliasi, Ali memutuskan untuk berangkat ke Suriah tanpa mereka.[48] Namun, dalam perjalanan, dia menerima berita tentang pembunuhan seorang musafir oleh kaum Khawarij, yang kemudian diikuti dengan pembunuhan terhadap utusannya, yang telah dikirim untuk menyelidiki mereka.[k] Dia didesak oleh para pengikutnya, yang mengkhawatirkan keluarga dan harta benda mereka di Kufah, untuk berurusan dengan kaum Khawarij terlebih dahulu.[51] Setelah Khawarij menolak untuk menyerahkan para pembunuh, anak buah Ali menyerang perkemahan mereka, yang berakibat pada kekalahan telak di pihak Khawarij di Pertempuran Nahrawan (Juli 658 M), di mana Ar-Rasibi dan sebagian besar pendukungnya dibunuh.[52] Sekitar 1.200 Khawarij menyerah dan selamat.[53] Pertumpahan darah menyegel perpecahan Khawarij dari pengikut Ali,[52] dan mereka terus melancarkan pemberontakan melawan kekhalifahan. Lima pemberontakan kecil Khawarij yang mengikuti Nahrawan, masing-masing berjumlah sekitar 200 orang, dipadamkan selama pemerintahan Ali.[53][54] Khawarij menyerukan balas dendam yang akhirnya menyebabkan pembunuhan Ali oleh seorang Khawarij yang terkenal bernama Abdurrahman bin Muljam.[52] Ibnu Muljam membunuh Ali dengan pedang beracun saat Ali memimpin salat subuh pada tanggal 26 Januari 661 di masjid Kufah.[55]
Sejarah berikutnya
Di bawah Muawiyah
Diangkatnya Muawiyah ke tampuk kekuasaan kekhalifahan pada Agustus 661 memberikan dorongan baru bagi pemberontakan Khawarij. Para Khawarij di Nahrawan yang tidak mau melawan Ali dan telah meninggalkan medan perang, memberontak melawan Muawiyah. Di bawah kepemimpinan Farwah bin Naufal al-Asyja'i dari Bani Murrah, sekitar 500 dari orang-orang Khawarij menyerang perkemahan Muawiyah di Nukhailah (sebuah tempat di luar Kufah) di mana Farwah mampu mendapatkan baiat dari orang-orang Kufah. Dalam pertempuran berikutnya, kaum Khawarij memukul mundur serangan mendadak pertama yang dilakukan oleh pasukan Muawiyah, meski pada akhirnya dikalahkan dan kebanyakan dari mereka terbunuh.[56][57] Tujuh pemberontakan kemudian dilancarkan oleh orang-orang Khawarij Kufah, dengan jumlah pemberontak dalam pemberontakan bervariasi antara 20 hingga 400 orang, dikalahkan oleh gubernur Al-Mughirah bin Syu'bah.[57] Pemberontakan yang paling terkenal adalah Mustawrid bin Ullafah, yang diakui sebagai khalifah oleh orang Khawarij Kufah pada tahun 663. Dengan sekitar 300 pengikut, dia meninggalkan Kufah dan pindah ke Behrasir.[58][59] Di sana, dia menghadapi wakil gubernur Simak bin Ubaid al-Absi dan mengundangnya untuk mencela Utsman dan Ali "yang telah membuat bid'ah dalam agama dan mengingkari kitab suci".[60] Simak menolak dan Mustawrid, alih-alih melawannya secara langsung, memutuskan untuk menghabiskan dan memecah pasukan Simak dengan memaksa mereka untuk mengejar pasukannya. Mustawrid kemudian pindah ke Madhar dekat Basra dan disusul oleh 300 pasukan terdepan dari pasukan Simak. Meskipun Mustawrid mampu menahan pasukan kecil ini, dia melarikan diri lagi menuju Kufah ketika pasukan utama Simak, di bawah komando Ma'qil bin Qais tiba. Menghindari penjaga depan Ma'qil yang terdiri dari 600 orang, Mustawrid memimpin serangan mendadak ke pasukan utama Ma'qil dan menghancurkannya. Sementara itu, penjaga terdepan kembali dan menyerang kaum Khawarij dari belakang. Hampir semua pemberontak tersebut terbunuh.[58][59]
Perkembangan Khawarij di Kufah mati sekitar tahun 663,[l] dan Basrah menjadi pusat Khawarij. Ziyad bin Abihi dan putranya Ubaydullah bin Ziyad, yang secara berturut-turut menjadi gubernur Irak, menangani kaum Khawarij dengan kasar, dan lima pemberontakan yang dilancarkan oleh orang Khawarij yang biasanya melibatkan sekitar 70 orang, ditumpas.[57] Tokoh terkemuka Khawarij di Basrah di antaranya adalah sepupu Qarib bin Murrah al-Azdi dan Zuhhaff ibn Zahr al-Tayyi. Pada tahun 672/673 M, mereka memberontak di Basrah dengan pasukan berkekuatan 70 orang. Mereka dilaporkan telah terlibat dalam pembunuhan acak orang-orang di jalan-jalan dan masjid Basrah sebelum terpojok di sebuah rumah, di mana mereka akhirnya dibunuh dan tubuh mereka disalib. Setelah itu, Ziyad dilaporkan telah menganiaya pengikut mereka dengan kejam.[62] Ibnu Ziyad memenjarakan Khawarij mana pun yang dia curigai berbahaya dan mengeksekusi beberapa simpatisan Khawarij yang secara terbuka mencela dirinya.[63] Di saat memerintah, Ziyad dan putranya dikatakan telah membunuh 13.000 Khawarij. Sebagai hasil dari tindakan represif ini, beberapa Khawarij meninggalkan aksi militer, mengadopsi pasifisme politik dan menyembunyikan keyakinan agama mereka.[64] Di antara orang-orang Khawarij yang pasif tersebut, yang paling terkenal adalah Abu Bilal Mirdas bin Udayyah al-Tamimi. Salah satu orang Khawarij paling awal yang memisahkan diri di Siffin, dia sangat dihormati oleh para pasifis Khawarij di Basrah. Diprovokasi oleh penyiksaan dan pembunuhan seorang wanita Khawarij oleh Ibnu Ziyad, Abu Bilal meninggalkan Basrah dan memberontak pada tahun 680/681 dengan 40 orang. Tak lama setelah mengalahkan pasukan Basrah berkekuatan 2.000 orang di Ahwaz, dia bertemu dengan pasukan yang lebih besar yang terdiri dari 3.000 atau 4.000 di Fars yang terletak di selatan Persia.[65] Tindakannya dikatakan telah membangkitkan para pasifs dan berkontribusi pada peningkatan militansi Khawarij di periode berikutnya.[66]
Fitnah Kedua
Setelah kematian Muawiyah pada tahun 680 M, perang saudara terjadi lagi yang disebabkan karena keinginan untuk mendapatkan kepemimpinan komunitas Muslim. Orang-orang Hijaz (di mana Mekah dan Madinah berada) memberontak melawan putra dan penerus Muawiyah, Yazid. Abdullah bin Zubair, putra Zubair bin al-Awwam yang berbasis di Mekah adalah lawan Yazid yang paling menonjol.[67] Ketika Yazid mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan pada tahun 683 M dan melakukan pengepungan terhadap Mekah, Khawarij dari Basrah turut memperkuat barisan Ibnu Zubair.[64] Setelah kematian Yazid pada bulan November, Ibnu Zubair memproklamasikan dirinya sebagai khalifah dan secara terbuka mengutuk pembunuhan Utsman. Kedua tindakan tersebut mendorong Khawarij untuk meninggalkan barisan Ibnu Zubair.[68] Mayoritas orang-orang Khawarij, termasuk Nafi bin al-Azraq dan Najdah bin Amir al-Hanafi, pergi ke Basrah, sedangkan sisanya berangkat ke Yamamah, di Arabia tengah, di bawah pimpinan Abu Talut Salim ibn Matar. Kemudian Ibnu Ziyad diusir oleh kepala suku di Basrah yang saat itu terjadi perselisihan antar suku. Ibnu al-Azraq dan Khawarij militan lainnya mengambil alih kota, membunuh wakil yang ditinggalkan oleh Ibnu Ziyad dan membebaskan 140 orang Khawarij dari penjara.[69][70] Selepas kejadian tersebut, orang-orang Basrah mengakui Ibnu Zubair dan menunjuk Umar bin Ubaidullah bin Ma'mar sebagai gubernur kota. Umar mengusir orang-orang Ibnu al-Azraq dari Basrah dan mereka melarikan diri ke Ahwaz.[71][72]
Azariqah
Dari Ahwaz, Ibnu al-Azraq menyerbu pinggiran kota Basrah. Pengikutnya disebut Azariqah berdasarkan nama pemimpin mereka, dan dijelaskan dalam berbagai sumber sebagai kelompok Khawarij yang paling fanatik, karena mereka menyetujui doktrin isti'rad, pembunuhan tanpa pandang bulu atas Muslim non-Khawarij, termasuk wanita dan anak-anak mereka. Pasukan yang dikirim melawan mereka oleh gubernur Basrah yang menjadi wakil dari Ibnu Zubair pada awal tahun 685 M mengalahkan kelompok Azariqah, dan Ibnu al-Azraq terbunuh. Orang-orang Azariqah memilih Ubaidullah bin Mahuz sebagai pemimpin baru mereka. Kelompok tersebut kemudian solid kembali dan memaksa tentara Ibnu Zubair mundur, dan melanjutkan serangan mereka. Setelah mengalami lebih banyak kekalahan, Ibnu Zubair mengerahkan komandannya yang paling cakap, Muhallab bin Abi Sufrah, melawan kelompok Azariqah. Muhallab mengalahkan mereka di pertempuran Sillabrah pada Mei 686 dan membunuh Ibnu Mahuz. Kelompok Azariqah mundur ke Fars. Pada akhir tahun 686 M, Muhallab menghentikan kampanyenya karena dia dikirim untuk mengendalikan penguasa Kufah yang pro-Ali, Mukhtar Ats-Tsaqafi, dan kemudian diangkat menjadi gubernur Mosul untuk bertahan dari kemungkinan serangan Umayyah dari Suriah. Azariqah menjarah al-Mada'in dan kemudian mengepung Isfahan, tetapi mereka kemudian dikalahkan. Mereka melarikan diri dan akhirnya berkumpul kembali di Kerman. Orang-orang Azariqah kemudian mendapatkan pemimpin baru, Qatari bin al-Fuja'ah, dan menyerang lingkungan Basrah sesudahnya dan Muhallab dikerahkan kembali untuk menekan mereka. Meskipun orang-orang Azariqah tidak diusir dari Fars dan Kerman, Muhallab mencegah pergerakan mereka ke Irak.[72] Qatari mencetak koinnya sendiri dan mengadopsi gelar kekhalifahan amirul mukminin (pemimpin orang beriman).[73] Setelah Bani Umayyah merebut kembali Irak dari orang-orang pro Ibnu Zubair pada tahun 691 M, para pangeran Umayyah mengambil alih komando dari Muhallab, yang kemudian berakibat pada kekalahan telak mereka oleh Azariqah. Pada tahun 694 M, komandan Hajjaj bin Yusuf diangkat menjadi gubernur Irak dan mengangkat kembali Muhallab untuk memimpin perang melawan orang-orang Azariqah. Muhallab memaksa mereka mundur ke Kerman, di mana mereka terpecah menjadi dua kelompok dan kemudian dihancurkan pada tahun 698–699.[72]
Najdah
Selama berada di Ahwaz, Najdah memutuskan hubungan dengan Ibnu al-Azraq karena Ibnu al-Azraq menganut ideologi yang ekstrem.[74] Najdah, bersama para pengikutnya, pindah ke Yamamah, tanah air Banu Hanifah.[68] Dia menjadi pemimpin faksi Khawarij Abu Talut, yang kemudian dikenal sebagai Najdah berdasarkan namanya.[68][75] Najdah menguasai Bahrain, memukul mundur 14.000 tentara Ibnu Zubair yang dikerahkan untuk melawannya. Letnannya, Atiyyah bin al-Aswad, merebut Oman dari penguasa setempat, meskipun penguasa tersebut merebut kembali wilayah mereka beberapa bulan kemudian. Najdah merebut Hadramaut dan Yaman pada tahun 687 M dan kemudian merebut Thaif, sebuah kota dekat dengan ibu kota Ibnu Zubair, yaitu Mekah. Najdah membuat Ibnu Zubair terpojok di Hijaz karena dia menguasai sebagian besar Arab. Tidak lama kemudian, para pengikut Najdah menjadi kecewa dengannya karena dugaan korespondensinya dengan khalifah Umayyah Abdul Malik, gaji yang diberikan secara tidak teratur kepada tentaranya, dan penolakannya untuk menghukum seorang tentara yang telah mengkonsumsi anggur, serta membebaskan cucu perempuan khalifah Utsman yang tertawan. Dia kemudian digulingkan karena dianggap tersesat dan kemudian dieksekusi pada tahun 691 M.[76] Atiyyah yang berlepas diri dari Najdah kemudian pindah ke Sistan di timur Persia atau kemungkinan di Sind, dan akhirnya dia dibunuh di sana [77].[78] Di Sistan, pengikutnya terpecah menjadi berbagai sekte, termasuk Atawiyyah dan Ajaridah.[6] Di Arab, Abu Fudaik Abdullah bin Tsaur mengambil alih kepemimpinan Najdah dan mengalahkan beberapa serangan tentara Ibnu Zubair dan kemudian Umayyah. Dia akhirnya dibunuh bersama dengan 6.000 pengikutnya pada tahun 692 M oleh pasukan Umayyah di Bahrain.[79][80] Dimusnahkan secara politis, kelompok Najdah mundur ke dalam ketidakjelasan dan menghilang sekitar abad kesepuluh.[81][82]
Khawarij moderat
Menurut catatan para heresiografer, Khawarij terpecah menjadi empat kelompok utama selama Fitnah Kedua. Sebuah kelompok moderat yang dipimpin oleh Abdullah bin Saffar (atau Asfar) dan Abdallah bin Ibad merasa tidak setuju dengan Azariqah dan Najdah yang radikal mengenai masalah pemberontakan dan pemisahan dari non-Khawarij. Ibnu Saffar dan Ibnu Ibad kemudian berselisih pendapat di antara mereka sendiri mengenai keyakinan non-Khawarij, dan dengan demikian muncullah dua sekte lainnya: Sufriyah dan Ibadiyah. Semua subkelompok Khawarij yang tidak dikategorikan lainnya biasanya dianggap cabang dari Sufriyah.[83] Dalam skema pembagian ini, seluruh orang-orang Khawarij dari wilayah Al-Jazirah (Irak barat laut), termasuk seorang zahid yang bernama Salih bin Mussarih, pemimpin suku Syabib bin Yazid Asy-Syaibani, pemimpin pemberontakan yang bernama Dahhak bin Qais Asy-Syaibani selama Fitnah Ketiga (744–750), mereka semua memiliki afiliasi dengan Sufriyah.[84][85] Setelah kematian Ibnu Ibad, Ibadiyah dipimpin oleh Jabir bin Zaid dan Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karimah. Jabir, seorang cendekiawan yang dihormati, memiliki hubungan persahabatan dengan Khalifah Abdul Malik serta dengan Hajjaj.[86][87] Mengikuti kematian Abdul Malik, hubungan antara para pemimpin Ibadiyah dengan Hajjaj memburuk karena para pemimpin Ibadiyah memiliki kecenderungan ke arah aktivisme. Akibatnya, Hajjaj mengasingkan beberapa dari mereka ke Oman dan memenjarakan yang lainnya. Abu Ubaidah, yang dibebaskan setelah kematian Hajjaj pada tahun 714 M, menjadi pemimpin berikutnya dari Ibadiyah. Setelah gagal memenangkan khalifah Bani Umayyah dengan doktrin Ibadi, dia mengirim para dai untuk menyebarkan doktrin tersebut di berbagai bagian kekaisaran.[88][89] Hampir bersamaan, Sufriyah juga menyebar ke Afrika Utara dan Arabia selatan melalui kegiatan dakwah. Sufriyah akhirnya punah ketika para pengikutnya bersepakat untuk mengadopsi ajaran Ibnu Ibad.[90] Sumber-sumber Ibadi juga kurang lebih sejalan dengan skema ini, di mana Ibadiyah mengklaim dirinya muncul sebagai penerus sejati dari komunitas asli Madinah dan Khawarij pra-Fitnah Kedua awal, meskipun Ibnu Ibad dalam literatur Ibadi tidak begitu menonjol dan Jabir dinyatakan sebagai pemimpin gerakan Ibadiyah setelah Abu Bilal Mirdas.[91]
Sejarawan modern menganggap Ibnu Saffar sebagai tokoh legenda,[92][93][94][95] dan menegaskan bahwa sekte Sufriyah dan Ibadiyah tidak ada selama abad ketujuh. Para heresiografer, yang tujuannya adalah untuk mengkategorikan keyakinan yang berbeda dari Khawarij, kemungkinan besar menciptakan istilah Sufriyah untuk mengakomodasi kelompok-kelompok yang tidak cocok dikategorikan sebagai Ibadiyah, Najdah, maupun Azariqah.[6][96][97] Sejarawan modern berpendapat bahwa satu-satunya aliran Khawarij yang moderat dan eksis pada abad ketujuh adalah "Sufri". Menurut sejarawan Keith Lewinstein, istilah tersebut mungkin berasal dari kaum Khawarij awal yang saleh karena penampilan kuning pucat mereka. Penampilan kuning tersebut disebut sebagai sufra dan disebabkan oleh ibadah yang berlebihan.[98] Kaum moderat Khawarij mengutuk militansi Azariqah dan Najdah, tetapi mereka sendiri sebenarnya tidak memiliki seperangkat doktrin yang konkret. Jabir dan Abu Ubaidah mungkin merupakan tokoh terkemuka dalam gerakan moderat.[91] Kaum moderat yang awalnya disebut Sufri semakin terpecah menjadi Sufriyah dan Ibadiyah. Kedua kelompok tersebut sejatinya hadir hanya pada abad kedelapan, yang mana perbedaan utama di antara keduanya hanyalah terletak pada afiliasi kesukuan daripada perbedaan doktrinal .[96][6]
Selama Fitnah Kedua, kaum Khawarij moderat tetap tidak aktif. Namun, pada pertengahan tahun 690-an mereka juga memulai kegiatan militan sebagai tanggapan atas penganiayaan oleh Hajjaj.[93] Pemberontakan pertama mereka dipimpin pada tahun 695 oleh Ibnu Musarrih, dan berakhir pada kekalahan dan kematian Ibnu Musarrih.[93] Setelah itu, kelompok Khawarij ini menjadi ancaman besar bagi Kufah dan pinggirannya di bawah pimpinan Syabib.[99] Dengan pasukan kecil yang terdiri dari beberapa ratus prajurit, Syabib mengalahkan beberapa ribu pasukan Umayyah pada tahun 695–696, menjarah perbendaharaan Kufah dan menduduki al-Mada'in.[100] Dari markasnya di al-Mada'in, Syabib bergerak untuk merebut Kufah. Hajjaj telah meminta pasukan Suriah dari Abdul Malik, yang mengirim 4.000 tentara kuat yang mengalahkan Syabib di luar Kufah. Shabib tenggelam di sungai selama pelariannya,[101] kelompoknya dihancurkan, tetapi kaum Khawarij terus mempertahankan keberadaannya di Al-Jazirah.[102]
Sufriyah
Kemunculan aliran Sufriyah dan Ibadiyah dibuktikan dari awal abad kedelapan di Afrika Utara dan Oman. Keduanya berbeda dalam asosiasi kelompok suku dan bersaing untuk mendapatkan dukungan populer.[103] Selama hari-hari terakhir kekaisaran Umayyah, pemberontakan Sufri secara besar meletus di Irak pada tahun 744 M.[102] Pemberontakan pada awalnya dipimpin oleh Sa'id bin Bahdal Asy-Syaibani, dan setelah kematiannya akibat wabah, Dahhak bin Qais Asy-Syaibani. Dengan pasukannya yang menyerap para pengikut Sufriyah dari penjuru kekhalifahan, dia merebut Kufah pada April 745 M. Kota Wasit kemudian yang menggantikan Kufah sebagai ibu kota daerah di bawah Hajjaj. Pada tahap ini, bahkan beberapa pejabat Umayyah termasuk dua putra mantan khalifah (Sulaiman, putra Hisyam dan Abdallah, putra Umar bin Abdul Aziz), mengakui Dahhak sebagai khalifah dan bergabung dengan barisannya. Dahhak merebut Mosul, tetapi dibunuh oleh pasukan Khalifah Marwan II pada tahun 746 M. Penggantinya, Syaiban bin Abdul Aziz al-Yasykuri, diusir dari Mosul oleh Marwan II dan melarikan diri ke Fars untuk bergabung dengan Pemimpin Syiah Abdallah bin Muawiyah, yang memerintah melawan Bani Umayyah. Ketika kelompok mereka diserang oleh Bani Umayyah, orang-orang Khawarij tersebut bubar dan Syaiban melarikan diri ke Oman, di mana dia dibunuh oleh para pemimpin lokal sekitar tahun 751 M.[104][105] Di bawah Kekhalifahan Abbasiyah, yang telah menumbangkan Bani Umayyah pada tahun 750 M, pemberontakan Sufri di bagian timur kekaisaran berlanjut selama hampir dua abad, meskipun pada skala kecil dan mudah dipadamkan. Namun, dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Abdul Hamid al-Bajali pada 866–877 dan oleh Harun bin Abdullah al-Bajali pada 880–896 M, Khawarij mendapatkan kendali atas Mesopotamia utara dari Abbasiyah dan mulai memungut pajak.[90]
Pada pertengahan abad ke-8, orang-orang Khawarij yang moderat muncul di Afrika Utara. Mereka sebagian besar berasal dari bangsa Berber dan menjadi pengikut Khawarij moderat melalui aktivitas dakwah. Dengan munculnya perbedaan Ibadi-Sufri pada periode ini, kelompok-kelompok Ibadi tanpa afiliasi diasosiasikan dengan Sufriyah. Sekitar tahun 740, Sufriyah di bawah kepemimpinan Maisarah al-Matghari telah memberontak di Tangier dan merebut kota tersebut dari Bani Umayyah. Mereka berbaris ke ibu kota provinsi Kairouan, tetapi tidak dapat merebutnya. Namun demikian, gangguan Sufri di Afrika Utara berlanjut selama periode Umayyah.[106] Sekitar tahun 750, Dinasti Midrariyah yang mengikuti aliran Sufriyah mendirikan sebuah kerajaan di Sijilmasa, di Maroko modern. Dinasti tersebut bertahan hingga Fatimiyah merebut kota tersebut pada tahun 909 M. Meskipun demikian, dinasti Midrariyah terus memerintah kota di bawah kekuasaan kekuasaan Fatimiyah yang terputus-putus hingga tahun 976 M.[107] Orang-orang Sufriyah di Afrika Utara kemudian menghilang, dan sisa-sisa pengikutnya mengadopsi ajaran Ibadiyah sekitar abad ke-10 atau ke-11 M.[108]
Ibadiyah
Pada awal abad kedelapan, gerakan proto-Ibadi muncul dari kaum Khawarij moderat di Basrah.[91] Para dai dikirim untuk menyebarkan doktrin Khawarij di berbagai penjuru kekhalifahan termasuk Oman, Yaman, Hadramaut, Khurasan, dan Afrika Utara. Selama tahun-tahun terakhir Kekhalifahan Umayyah, gerakan propaganda Ibadi menyebabkan beberapa pemberontakan di pinggiran kekhalifahan, meskipun para pemimpin di Basrah mengadopsi kebijakan kitman (juga kadang disebut taqiyah), yaitu sebuah kebijakan untuk menyembunyikan keyakinan agar dapat terhindar dari penganiayaan.[89]
Pada tahun 745 M, Abdallah bin Yahya al-Kindi mendirikan negara Ibadi pertama di Hadramaut, dan merebut Yaman pada tahun 746 M. Letnannya yang bernama Abu Hamzah Mukhtar bin Aus al-Azdi melakukan penaklukkan terhadap Mekkah dan Madinah. Bani Umayyah mengalahkan dan membunuh Abu Hamzah dan Ibnu Yahya pada tahun 748 M sehingga negara Ibadi pertama tersebut runtuh.[109][110] Negara Ibadi lain didirikan di Oman pada tahun 750 M setelah jatuhnya Abu Yahya, tetapi jatuh ke tangan Abbasiyah pada tahun 752. Disusul dengan pembentukan negara Ibadi lainnya pada tahun 793 M,[109] yang bertahan selama satu abad hingga Abbasiyah merebut kembali Oman pada tahun 893 M. Pengaruh Abbasiyah di Oman sebagian besar bersifat simbolis, dan Imam orang-orang Ibadi terus memegang kekuasaan yang besar secara de facto.[111] Sekitar satu abad kemudian, pemimpin Ibadi yang bernama Al-Khalil bin Syatsan al-Kharusi (memerintah sejak 1016 - 1029) menegaskan kembali kendali atas Oman tengah, sedangkan penggantinya Rasyid bin Sa'id al-Yahmadi (memerintah sejak 1029 - 1053) mengusir dinasti protektorat Abbasiyah, Dinasti Buwaihiyah yang Syiah hingga keluar dari wilayah pesisir. Dengan demikian, kejadian tersebut memulihkan kendali Ibadi atas Oman. Perpecahan internal menyebabkan jatuhnya imamah Ibadi ketiga pada akhir abad ke-12.[91] Imamah Ibadi didirikan kembali pada abad-abad berikutnya.[112] Hingga saat ini, ajaran Ibadi masih dipeluk oleh mayoritas penduduk Oman asli.[113]
Kegiatan dakwah Ibadi cukup sukses di Afrika Utara.[113] Pada tahun 757, orang-orang Ibadi merebut Tripoli dan merebut Kairouan tahun berikutnya. Diusir oleh tentara Abbasiyah pada tahun 761 M, para pemimpin Ibadi mendirikan sebuah negara yang kemudian dikenal sebagai Dinasti Rustam, di Tahart. Dinasti tersebut pada akhirnya digulingkan pada 909 M oleh Fatimiyah. Komunitas Ibadi terus ada sampai sekarang di Pegunungan Nafusah di Libya barat laut, pulau Djerba di Tunisia dan lembah M'zab di Aljazair.[114] Di Afrika Timur, mereka ditemukan di Zanzibar.[113] Kegiatan dakwah Ibadi juga mencapai Persia, India, Mesir, Sudan, Spanyol dan Sisilia, meskipun komunitas Ibadi di wilayah ini menghilang seiring waktu.[115] Jumlah total orang Ibadi di Oman diperkirakan mencapai 2,5 juta orang dan di Afrika diperkirakan sekitar 200.000 orang.[116]
Keyakinan dan praktik
Kaum Khawarij tidak memiliki seperangkat doktrin yang seragam dan koheren. Setiap sekte dan individu yang berbeda sering kali memiliki pandangan yang berbeda pula. Berdasarkan perbedaan ini, para heresiografer telah membuat daftar lebih dari selusin sekte kecil Khawarij, selain empat sekte utama yang telah disebutkan di atas.[117][m]
Pemerintahan
Selain terkenal karena menuntut pembentukan hukum sesuai dengan Al-Qur'an,[118] pandangan umum untuk semua kelompok Khawarij adalah bahwa setiap Muslim yang memenuhi syarat dapat menjadi khalifah, terlepas dari latar belakang, asalkan dia memiliki kepribadian yang saleh. Mereka menolak keturunan Quraisy atau kekerabatan dekat dengan Muhammad sebagai prasyarat untuk menjadi khalifah, pandangan yang dianut oleh sebagian besar Muslim saat itu.[119][n] Ini berbeda dari posisi kedua Sunni yang menerima kepemimpinan dari mereka yang berkuasa asalkan mereka orang Quraisy, dan Syiah, yang menegaskan bahwa kepemimpinan ada di tangan Ali dan keturunannya.[117] Orang Khawarij berpendapat bahwa empat khalifah pertama tidak dipilih karena mereka keturunan Quraisy atau hubungan kekerabatan dengan Muhammad, tetapi karena mereka termasuk Muslim yang paling terkemuka dan memenuhi syarat untuk posisi itu, dan karenanya semuanya adalah khalifah yang sah. Secara khusus, mereka sangat menghormati Abu Bakar dan Umar, karena menurut mereka, kedua orang tersebut telah memerintah dengan adil.[117] Utsman, di sisi lain, telah menyimpang dari jalan keadilan dan kebenaran di paruh kedua kekhalifahannya dan dengan demikian Utsman dapat dibunuh atau digulingkan, sedangkan Ali melakukan dosa besar ketika dia menyetujui arbitrasi dengan Muawiyah.[39] Berbeda dengan gagasan Bani Umayyah bahwa pemerintahan mereka ditetapkan oleh Tuhan, gagasan kepemimpinan Khawarij tidak memiliki motif keilahian, hanya sebatas sikap dan kesalehan yang benar yang diberikan pemimpin otoritas atas masyarakat.[121] Jika pemimpin melakukan dosa dan menyimpang dari jalan yang benar atau gagal mengelola urusan umat Islam melalui keadilan dan musyawarah, dia berkewajiban untuk mengakui kesalahannya dan bertobat, atau dia kehilangan haknya untuk memerintah dan tunduk pada penggulingan.[117][122] Dalam pandangan Azariqah dan Najdah, umat Islam memiliki kewajiban untuk memberontak melawan penguasa yang zalim tersebut.[123]
Hampir semua golongan Khawarij menganggap jabatan pemimpin (imam) itu perlu ada. Banyak pemimpin Khawarij mengadopsi gelar amirul mu'minin, yang biasanya diperuntukkan bagi khalifah.[124] Najdah merupakan pengecualian karena mereka menganggap bahwa jabatan kepemimpinan itu tidak diwajibkan. Setelah kekalahan mereka pada tahun 692 M, orang-orang Najdah menghapus persyaratan perang melawan kaum non-Khawarij dan jabatan imamah sebagai sarana untuk bertahan hidup.[125][126] Sejarawan Patricia Crone menggambarkan filosofi Najdah sebagai bentuk awal dari anarkisme.[127]
Doktrin lain
Kaum Khawarij juga menegaskan bahwa iman tanpa disertai perbuatan adalah sia-sia, dan bahwa siapa pun yang melakukan dosa besar adalah kafir dan harus bertobat untuk mengembalikan iman yang benar. Namun, gagasan Khawarij tentang kekafiran berbeda dari definisi Muslim arus utama, yang memahami bahwa yang termasuk ke dalam kategori kafir adalah non-Muslim. Bagi kaum Khawarij, kekafiran dapat mencakup menyiratkan Muslim yang fasik, atau Muslim semu yang menolak Islam sejati.[128] Penganut Azariqah memiliki posisi yang lebih ekstrem bahwa orang Muslim fasik yang kafir tersebut sebenarnya adalah syirik dan murtad sehingga tidak dapat masuk kembali ke Islam dan dapat dibunuh bersama dengan wanita dan anak-anak mereka.[129][130] Perkawinan campur antara Khawarij dan orang-orang "kafir" tersebut dilarang dalam doktrin Azariqah.[131] Najdah mengizinkan pernikahan dengan non-Khawarij.[6] Dari kalangan moderat seperti Sufriyah dan Baihasiyah[o] menganggap semua Muslim non-Khawarij sebagai kafir, tetapi juga kedua sekte tersebut menolak untuk memerangi non-Khawarij, kecuali diperlukan, dan diperbolehkan kawin campur dengan mereka.[93] Ibadiyah, di sisi lain, tidak menyatakan Muslim non-Khawarij sebagai musyrik atau kafir, tetapi sebagai munafik (kuffar bil-nifaq), atau sebagai orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah (kuffar bil-ni'mah).[130] Orang-orang Ibadi juga mengizinkan pernikahan di luar sekte Ibadi sendiri.[119]
Azariqah dan Najdah berpendapat bahwa karena para penguasa Bani Umayyah dan semua Muslim non-Khawarij pada umumnya adalah kafir, maka memilih untuk hidup di bawah kekuasaan mereka yang kafir (darul kuffar) dianggap melanggar hukum karena itu merupakan tindakan kemusyrikan. Oleh karena itu, orang-orang Khawarij diwajibkan untuk pindah, meniru konsep Hijrah-nya Muhammad ke Madinah, dan mendirikan kekuasaan mereka sendiri yang sah (darul hijrah).[132] Azariqah melarang praktik penyesatan keyakinan mereka dan mencap Khawarij yang non-aktivis (yaitu Khawarij yang tidak beremigrasi ke negara mereka) sebagai orang yang tidak beriman.[128][130][131] Najdah mengizinkan orang-orang Khawarij non-aktivisme yang pasif, tetapi melabeli orang-orang tersebut sebagai orang munafik.[6] Orientalis Montgomery Watt mengaitkan moderasi pendirian Najdah ini dengan kebutuhan praktis yang mereka temui saat memerintah Arab, karena administrasi wilayah yang luas membutuhkan fleksibilitas dan kelonggaran untuk ketidaksempurnaan manusia.[133] Sufriyah dan Ibadiyah berpendapat bahwa pembentukan kekuasaan yang sah adalah sesuatu yang masih diperlukan, mereka menganggap sah juga jika penganut Khawarij melakukan kitman dan terus hidup di antara orang-orang non-Khawarij jika pemberontakan tidak memungkinkan.[132]
Kaum Khawarij menganut bahwa semua Muslim adalah setara, terlepas dari latar belakang etnis mereka dan menganjurkan kesetaraan status untuk orang-orang non-Arab yang disebut mawali dengan Arab.[134] Najdah memilih seorang mawla, penjual buah bernama Tsabit , sebagai pemimpin mereka setelah eksekusi Najdah bin Amir Al-Hanafi. Meskipun begitu, pilihan orang-orang Najdah tersebut bertentangan dengan perasaan kesukuan mereka dan mereka segera meminta Tsabit untuk mundur dan memilih seorang pemimpin Arab untuk mereka, yang mana pemimpin berikutnya adalah Abu Fudaik.[135] Pemimpin Azariqah, Ibn al-Azraq, dikatakan sebagai anak mawla asal Yunani.[136] Para imam Khawarij Afrika Utara dari tahun 740 M dan seterusnya semuanya adalah orang non-Arab.[137] Khawarij juga mengadvokasi kesetaraan wanita dengan pria.[134] Atas dasar wanita berjuang bersama Muhammad, kaum Khawarij memandang jihad sebagai kewajiban bagi wanita. Seorang prajurit dan penyair yang bernama Laila binti Tarif adalah contoh yang terkenal.[138] Istri Syabib, yaitu Ghazalah, ikut berpartisipasi dalam pertempurannya melawan pasukan Hajjaj.[139] Kaum Khawarij memiliki sikap yang sangat hati-hati terhadap non-Muslim. Mereka lebih serius menghormati status dzimmi (dilindungi) orang-orang non-Muslim daripada aliran yang lain.[140]
Beberapa Khawarij menolak hukuman perzinahan dengan rajam,[20][141] yang disyariatkan di mazhab-mazhab yang lain. Meskipun Al-Qur'an tidak menetapkan hukuman rajam, umat Islam dari mazhab lain berpendapat bahwa ayat rajam sebenarnya ada dalam Al-Qur'an, yang kemudian dihapuskan. Sebuah hadits yang dianggap berasal dari Umar, menjelaskan keberadaan ayat rajam tersebut dalam Al-Qur'an.[142] Khawarij menolak keberadaan ayat tersebut.[20] Heresiografer sekaligus Teolog kenamaan, Al-Asy'ari mengaitkan posisi penolakan ayat rajam dengan aliran Azariqah,[143] karena mereka menerapkan pemahaman skripturalis yang ketat dalam masalah hukum (yaitu hanya mengikuti Al-Qur'an dan menolak pandangan umum jika mereka tidak memiliki dasar Al-Qur'an), dan dengan demikian juga orang-orang Azariqah menolak untuk menegakkan hukuman hukum pada tuduhan perzinahan ketika fitnah tersebut ditargetkan pada laki-laki.[131] Azariqah melembagakan praktik pengujian keyakinan anggota baru (mihnah), yang dikatakan bahwa dalam mihnah tersebut, seseorang yang hendak mengakui Khawarij sebagai pemahamannya harus membunuh seorang tawanan yang telah diberikan. Praktik tersebut pernah dilakukan hanya sekali seperti yang ditulis oleh Watt, tetapi memungkinkan bahwa keberadaan praktik mihnah tersebut adalah hasil distorsi belakangan oleh para heresiografer seperti yang diyakini oleh Lewinstein.[131][144] Salah satu kelompok Khawarij juga menolak untuk mengakui Surah Yusuf sebagai bagian asli dari Alquran, karena mereka menganggap isinya dari semua surah tersebut adalah keduniawian.[145]
Puisi
Banyak orang Khawarij yang memiliki kefasihan dalam bahasa Arab murni dan puisi Arab tradisional, yang oleh orientalis Giorgio Levi Della Vida dikaitkan dengan mayoritas pemimpin awal mereka berasal dari keturunan Badui. Khotbah dan puisi dari banyak pemimpin Khawarij dikumpulkan menjadi koleksi (diwan).[20] Puisi orang-orang Khawarij terutama berkaitan dengan keyakinan agama, dengan kesalehan dan aktivisme, kesyahidan, menjual kehidupan kepada Tuhan dan akhirat. Semua itu menjadi tema-tema yang paling menonjol,[146][147][148] meskipun tema kepahlawanan dan keberanian juga sering terlihat.[148] Mengacu pada pemberontakannya, Abu Bilal Mirdas berkata: "Takutlah kepada Tuhan yang memberiku api yang membuatku keluar dan menjual jiwaku yang tidak ada harganya kepada (surga)".[149]
Beberapa puisi mendorong semangat jihad.[150] Imran bin Hittan, yang oleh orientalis Michael Cooperson disebut sebagai penyair Khawarij terhebat,[151] bernyanyi setelah kematian Abu Bilal:
Abū Bilāl telah mengingatkan kepadaku bahwa betapa hinanya hidup ini,
ia memperkuat cintaku untuk melakukan khurūj (pemberontakan).[152]
Penyair Abul Wazi Ar-Rasibi menyapa Ibnu al-Azraq, sebelum Al-Azraq menjadi seorang militan Khawarij, dengan kalimat:[150]
Lidahmu tidak akan membahayakan musuhmu
Engkau hanya akan mendapatkan keselamatan dari kesulitan melalui kedua tanganmu.[150]
Pemerintah sering dicap sebagai zalim dan kepatuhan terhadapnya dikritik. Penyair Khawarij Isa bin Fatik al-Khatti bersyair:[150]
Engkau mematuhi perintah zalim yang keras kepala
tetapi sesungguhnya tak pernah ada kepatuhan bagi pemimpin yang menindas.[150]
Banyak puisi ditulis untuk memuji para aktivis Khawarij yang telah dieksekusi, sehingga puisi-puisi tersebut sebenarnya hanya meromantisasi dari peristiwa sejarah yang pernah ada.[153] Orang-orang Muhakkimah dengan demikian dihargai dan dikenang di banyak tempat. Penyair yang bernama Aziz bin al-Akhnas at-Ta'i memuji mereka dalam baris berikut:[45]
Aku mengeluh kepada Tuhan bahwa dari setiap suku
orang-orang dalam pertempuran telah memusnahkan mereka yang terbaik.[45]
Demikian pula dengan pembunuh Ali, Ibnu Muljam, diagungkan oleh penyair Ibnu Abi Mayyas al-Muradi sebagai berikut:[154]
Engkau yang diberkati, kami telah menyerang Ḥaydar ("singa"; nama panggilan untuk Ali) Abū Ḥasan
dengan pukulan di kepala sehingga dia terbelah.[154]
Puisi Khawarij diabadikan terutama dalam sumber non-Khawarij,[155][156] dan karenanya mungkin telah mengalami distoris. Namun demikian, sejarawan Fred Donner percaya bahwa puisi Khawarij mungkin mengalami interpolasi yang lebih rendah dan "berbeda" daripada catatan sejarah tentang Khawarij itu sendiri.[157] Menurut Hagemann, puisi-puisi Khawarij tampaknya adalah "satu-satunya materi Khawarij yang asli" yang masih ada.[158] Kompilasi modern puisi Khawarij diterbitkan oleh Ihsan Abbas pada tahun 1974.[159][157][4]
Afiliasi kesukuan
Kebanyakan pemimpin Khawarij pada periode Bani Umayyah adalah orang Arab. Dari jumlah tersebut, orang Arab utara adalah mayoritas. Hanya enam atau tujuh pemberontakan yang dipimpin oleh orang Arab selatan telah dilaporkan, pemimpin mereka berasal dari suku Tayy, Azad, dan Kindah. Di antara orang Arab utara, kelompok Rabi'ah menghasilkan sebagian besar pemimpin Khawarij. Dari 48 pemimpin Rabi'ah yang teridentifikasi, 46 berasal dari cabang Bakar bin Wa'il (17 dari sub-suku Syaiban, 12 dari Yasykur, lima dari Hanifah, dan 12 dari sub-suku lainnya). Di antara kelompok Mudar dari Arab utara, Bani Tamim yang merupakan mayoritas penghasil pemimpin Khawarij besar, dengan 16 dari 21 pemimpin Mudar berasal dari suku tersebut; para pemimpin lainnya berasal dari Qais. Tiga atau empat pemberontakan dipimpin oleh seorang mawla atau seorang Berber.[160]
Rabi'ah diasosiasikan dengan Khawarij awal (yang oleh sumber diberi label sebagai Sufriyah), dan Sufriyah yang ada pada abad kedelapan,[6][161] subsuku Hanifah dari Rabi'ah sebagian besar berada di Azariqah dan Najdah.[160] Bani Tamim juga mewakili Khawarij awal, serta Azariqah. Orang selatan, terutama suku Kindah dan Azad, tertarik pada Ibadiyah yang ada pada abad kedelapan.[6][161] Meskipun demikian, jumlah-jumlah tersebut sebenarnya adalah mewakili individu, bukan keseluruhan suku-suku yang bergabung dengan barisan Khawarij. Individu-individu tersebut mayoritas lebih muda dan tidak jelas asal-usulnya. Sedikit dari ashraf (bangsawan suku) yang bergabung di jajaran Khawarij.[162] Sejarawan Khalid Yahya Blankinship menganggap suku-suku tersebut memiliki kedekatan dengan ajaran Khawarij karena berakar pada status militer dan sosial mereka yang lebih rendah. Mereka dianggap oleh pemerintahan Bani Umayyah sebagai pemimpin militer yang miskin, dan sebaliknya terbelakang. Perpindahan mereka yang relatif terlambat ke Islam juga mengakibatkan mereka hanya menemukan peran militer berpangkat rendah, karena posisi yang lebih tinggi telah diisi oleh orang-orang dari suku lain.[163] Dengan demikian, Blankinship memandang bahwa ajaran Khawarij sebagai protes politik yang mengatasnamakan semangat keagamaan, dan menganggap Khawarij tidak lebih dari pemberontak.[164] Watt menyatakan bahwa orang Arab utara yang tidak memiliki pengalaman administrasi dan pemerintahan pusat, lebih rentan terseret ajaran Khawarij dibandingkan dengan orang Arab selatan. Budaya dan pemikiran kolektif orang Arab selatan dipengaruhi oleh kerajaan kuno di Arabia Selatan, di mana raja dipandang sebagai pemimpin karismatik dengan kualitas manusia setengah dewa. Akibatnya, mereka lebih tertarik pada ajaran Syiah daripada Khawarij.[165]
Warisan
Analisis sejarah
Menurut Rudolf Ernst Brünnow (1858–1917), sejarawan akademis pertama yang mempelajari kaum Khawarij secara sistematis,[166] orang-orang qurra mendukung usul arbitrase karena sebagai orang yang beriman kepada Al-Qur'an, mereka merasa berkewajiban untuk menanggapi seruan yang menjadikan Al-Qur'an sebagai hukum. Orang-orang yang menolak hasil perjanjian arbitrase tersebut adalah orang Arab Badui yang terpisah dari orang-orang qurra yang menetap di Kufah dan Basrah pasca penaklukan Irak. Orang-orang Arab Badui menganggap diri mereka telah mengabdikan diri untuk tujuan Islam dan berpendapat bahwa arbitrase oleh Ali dan Muawiyah sebagai kezaliman yang akut. Hal itulah yang mendorong mereka untuk memisahkan diri dan kemudian melakukan pemberontakan terbuka.[167]
Orientalis Julius Wellhausen (1844–1918) mengkritik hipotesis Brünnow karena semua orang-orang Arab Basrah dan Kufah pada waktu itu adalah Badui, dan karena Brünnow menganggap Badui ini sebagai orang yang saleh, dia akhirnya membedakan mereka dari orang-orang qurra. Oleh karena itu, Wellhausen berpendapat bahwa kaum yang mendorong Ali untuk melakukan arbitrase adalah kelompok yang sama dengan mereka yang menolak arbitrase. Mereka awalnya menerima arbitrase Al-Qur'an, tetapi beberapa kemudian menyadari dan mengakui bahwa hal itu adalah kesalahan, kemudian bertobat serta menuntut Ali untuk melakukan hal yang sama. Dalam pandangan Wellhausen, kaum Khawarij berasal dari orang-orang qurra.[168] Dia berpendapat bahwa dogmatisme Khawarij didasarkan pada penegakan aturan Allah di Bumi yang mana prinsip tersebut diambil terlalu jauh oleh kaum Khawarij:[169] "Dengan memperketat prinsip-prinsip Islam, prinsip-prinsip tersebut bahkan diambil di luar Islam itu sendiri".[170] Mereka lebih mengutamakan hukum Allah daripada integritas umat karena menurut mereka, umat secara terbuka telah menentang perintah Tuhan. Wellhausen menolak anggapan kaum Khawarij sebagai anarkis. Hal itu karena mereka berusaha membangun komunitas saleh mereka sendiri. Namun tujuan mereka tidak praktis dan bertentangan dengan budaya.[169]
Menurut Donner, orang-orang qurra mungkin dimotivasi oleh ketakutan bahwa arbitrase dapat mengakibatkan mereka dimintai pertanggungjawaban atas keterlibatan mereka dalam pembunuhan Utsman.[171] Menganalisis puisi Khawarij awal, Donner lebih jauh menyatakan bahwa Khawarij adalah orang beriman yang saleh yang sering memperlihatkan kesalehan mereka dalam aktivisme militan.[172] Pandangan dunia keagamaan mereka didasarkan pada nilai-nilai Al-Qur'an, dan mereka mungkin adalah "orang-orang beriman sejati" dan "perwakilan otentik dari komunitas paling awal" Muslim, bukan sekte yang berbeda seperti yang ditulis oleh sumber-sumber sejarah.[149] Militansi mereka mungkin saja disebabkan oleh pengharapan hari akhir yang akan segera terjadi, tetapi tingkat kekerasan dalam pemberontakan mereka dan kerinduan ekstrem mereka untuk mati syahid tidak dapat dijelaskan semata-mata atas dasar kepercayaan pada akhirat. Dalam pandangan Donner, perilaku mereka yang seperti itu lebih menyiratkan tingkat kedaruratan daripada hanya semata karena akhirat.[173][174]
Beberapa sejarawan modern juga menolak pandangan tradisional bahwa Khawarij berasal dari perang Siffin sebagai protes militan terhadap arbitrase tanpa alasan yang mendasar sebelumnya.[175][176] Menurut Crone, kisah sengketa arbitrase kurang memadai dan mungkin saja ada lebih banyak perselisihan antara Ali dengan orang-orang Khawarij daripada yang dilaporkan dalam sumber.[177] G. R. Hawting berpendapat bahwa penggunaan slogan la hukma illa allah oleh kaum Khawarij untuk mencela arbitrase sebenarnya ditulis oleh sumber-sumber Muslim sesudah keberadaan Khawarij itu sendiri. Dalam pandangannya, kaum Khawarij awalnya menganut slogan tersebut di tengah perselisihan agama di kalangan umat Islam atas otoritas kitab suci untuk menolak otoritas sunnah dan hukum lisan demi Al-Qur'an.[178]
Sejarawan M. A. Shaban dan Martin Hinds menganggap faktor sosial ekonomi sebagai akar dari pemberontakan Khawarij.[179] Menolak anggapan bahwa orang-orang qurra adalah para pembaca Al-Qur'an, Shaban berpendapat bahwa mereka sebenarnya penduduk desa yang telah memperoleh status di Irak selama kekhalifahan Umar atas kesetiaan mereka kepada Khalifah selama Perang Riddah. Mereka tidak puas dengan kebijakan ekonomi Utsman[h] dan melihat kekhalifahan Ali sebagai sarana untuk memulihkan status mereka. Ketika Ali setuju untuk berbicara dengan Muawiyah, mereka merasa status mereka terancam dan akibatnya memberontak. Menurut Shaban, peran utama dalam memaksa Ali untuk menerima arbitrase tidak dimainkan oleh orang-orang qurra tetapi oleh para kepala suku, karena para kepala suku tersebut mendapat keuntungan dari kebijakan Utsman. Mereka bukanlah pendukung Ali yang antusias, dan menganggap perang yang berkelanjutan bertentangan dengan kepentingan mereka.[180] Dalam tesis Shaban, pemberontakan Khawarij setelah Perang Siffin juga memiliki asal usul ekonomi.[179] Dalam pandangan Hinds, status qurra didasarkan pada partisipasi mereka dalam penaklukan awal Islam di Irak dan Suriah. Mereka berharap Ali akan melanjutkan kebijakan Umar dan karenanya mendukungnya. Mereka mendukung arbitrase karena mereka menganggap itu akan mengakhiri perang, dengan Ali mempertahankan kekhalifahan dan kembali ke Madinah serta meninggalkan pemerintahan Irak di tangan penduduk setempat, termasuk mereka sendiri. Mereka mengecam arbitrase setelah menyadari bahwa Ali tidak diakui sebagai khalifah dalam dokumen tersebut, dan bahwa para arbiter dapat menggunakan penilaian mereka sendiri selain prinsip-prinsip Al-Qur'an.[181][179]
Dalam pandangan Watt, bukan alasan agama atau faktor ekonomi yang memunculkan kaum Khawarij.[182] Dia berpendapat adalah bahwa ajaran Khawarij tak lebih sekadar reaksi penolakan terhadap negara terorganisir yang baru didirikan atas kebiasaan orang-orang Badui yang nomaden. Para pengembara, yang terbiasa dengan gaya hidup mandiri di padang pasir, tiba-tiba menemukan kebebasan mereka dibatasi oleh birokrasi yang kuat dari "mesin administrasi yang luas".[183] Pemberontakan mereka di perang Siffin tak lain hanyalah ekspresi penolakan terhadap kontrol negara.[184] Sejak saat itu, orang-orang Khawarij berusaha untuk menciptakan kembali struktur kesukuan pra-Islam dan gaya hidup Badui yang mereka cari legitimasinya berdasarkan agama.[185] Sejarawan Hugh N. Kennedy menggambarkan Khawarij sebagai orang-orang yang sangat saleh yang tidak puas dengan kesatuan antara politik dengan agama, dan merasa bahwa agama itu dieksploitasi untuk keuntungan pribadi. Dengan demikian mereka menolak baik gaya hidup masyarakat kesukuan tradisional maupun gaya hidup perkotaan yang dipaksakan oleh negara kepada rakyat dengan memindahkan mereka ke kota-kota garnisun. Gerakan tersebut merupakan upaya untuk menemukan jalan ketiga, yaitu masyarakat nomaden yang independen, egaliter, berdasarkan agama murni.[186] Islamis Chase F. Robinson menggambarkan orang Khawarij awal sebagai komandan tentara yang tidak puas dengan pengikut suku, dan mengadopsi ajaran Khawarij untuk menutupi perilaku premanisme mereka.[187]
Hagemann dan Verkinderen membedakan antara ajaran Khawarij intelektual dan ajaran Khawarij yang militan. Dalam pandangan mereka, ajaran intelektual Khawarij berkaitan dengan aturan Tuhan dan penolakan terhadap pemerintahan yang korup. Sedangkan ajaran Khawarij yang militan tidak selalu berasal dari pemikiran Khawarij intelektual. Dalam banyak kasus, ajaran Khawarij yang militan sering muncul oleh berbagai hal seperti peningkatan pajak, penguasaan negara atas sumber daya, dan diskriminasi terhadap mawali. Mereka menjelaskan keragaman pandangan oleh sejarawan lain yang berasal dari fokus sejarawan pada satu kelompok Khawarij tertentu dengan asumsi bahwa kelompok tersebut mewakili gerakan Khawarij secara umum.[188]
Kontribusi terhadap teologi Muslim
Menurut Della Vida, terlepas dari pandangan tentang Khawarij yang populer, gerakan Khawarij tidak semata-mata ada tanpa dasar intelektual.[20] Wellhausen berpendapat bahwa dogmatisme Khawarij memengaruhi perkembangan teologi Muslim arus utama, khususnya perdebatan mereka dalam kaitannya dengan iman dan amal, serta kepemimpinan yang sah.[189] Dalam pandangan Della Vida, Muktazilah, aliran pemikiran rasionalis pada awal Islam yang berasal pada abad kedelapan memiliki kemungkinan dipengaruhi oleh Khawarij. Pengaruh terhadap dogma arus utama bisa jadi merupakan adaptasi langsung dari beberapa gagasan Khawarij, atau bahwa pandangan Khawarij mengkonfrontasi para teolog arus utama dengan pertanyaan seputar iman.[20]
Pada abad kedelapan dan kesembilan, Khawarij, khususnya Ibadi, mendorong para teolog berkontribusi pada perdebatan mengenai masalah kesatuan ilahi versus kejamakan sifat-sifat ilahi, dan predestinasi versus kehendak bebas.[190] Mengenai sifat-sifat ketuhanan, orang Ibadi sependapat dengan Muktazilah bahwa sifat-sifat hakikat (sifat-sifat yang harus dimiliki Tuhan; mis. pengetahuan dan kekuasaan) berbeda dengan sifat-sifat perbuatan (yang ada di luar dirinya; seperti ciptaan dan ucapan),[191] tetapi orang Ibadi juga berpendapat bahwa kehendak ilahi adalah sifat dari hakikat. Dengan demikian Tuhan berkehendak dari kekekalan, yang berarti bahwa segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya. Akibatnya, orang Ibadi menolak doktrin kehendak bebas manusia. Menurut Wilferd Madelung, kemungkinan besar kelompok Ibadi adalah kelompok pertama yang memegang pandangan tentang kehendak Tuhan sebagai atribut esensi yang akhirnya diadopsi oleh para teolog Sunni. Para teolog Khawarij juga menolak mujassimah (penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan setuju dengan Muktazilah tentang sifat kemakhlukan Al-Quran.[190]
Khawarij adalah kelompok pertama yang mendeklarasikan Muslim selain dirinya sebagai kuffar, yang mana sebutan tersebut sebelumnya diperuntukkan bagi non-Muslim. Pengaruh ini menyebabkan transformasi konsep kufur dalam teologi Sunni selanjutnya. Selain kafir, kufur juga dimaknai sebagai kesesatan dan bid'ah.[192] Dalam pandangan Watt, kaum Khawarij bersikeras pada aturan menurut Al-Qur'an dan mencegah negara Muslim awal berubah menjadi negara Arab yang murni sekuler. Umat Islam lainnya akhirnya mengadopsi pandangan ini bahwa semua kehidupan politik dan sosial umat Islam harus didasarkan pada hukum ilahi (Syariah) yang berasal dari Al-Qur'an, meskipun mereka menambahkan sunnah Nabi Muhammad.[193]
Pandangan muslim tradisional
Kaum Khawarij mendapat kecaman dari sejarawan Muslim tradisional dan heresiografer dari abad-abad berikutnya.[194] Untuk memperjelas perbedaan antara ortodoksi dan heterodoksi, sumber-sumber arus utama berusaha menggambarkan Khawarij sebagai kelompok yang monolitik dan mengidentifikasi kelompok tersebut dengan karakteristik dan praktik sekte Khawarij yang paling radikal, Azariqah. Hal ini mengakibatkan Azariqah digambarkan sebagai perwakilan dari keseluruhan aliran Khawarij.[195] Istilah Khawarij, yang semula berarti orang-orang yang keluar dari Kufah untuk berkumpul di Nahrawan pada masa Ali, kemudian dipahami sebagai 'orang luar'—orang-orang yang keluar dari komunitas Muslim—pemberontak, dan ekstrimis brutal. [2][8][196]
Muslim non-Khawarij mengaitkan beberapa hadis Muhammad yang menubuatkan munculnya kaum Khawarij.[197] Setelah Pertempuran Hunain pada tahun 630, seorang pria bernama Dzul-Khuwaisirah dilaporkan telah menuduh Muhammad membagikan harta rampasan secara tidak adil. Umar dilaporkan meminta izin Muhammad untuk membunuh orang itu, tapi Beliau menolak, dengan mengatakan:[170]
Biarkan dia pergi, akan ada orang-orang darinya yang akan berdoa dan berpuasa dengan sangat bersemangat sehingga doa dan puasa kalian tampak kecil bagi mereka; mereka membaca Al-Qur'an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).[170]
Hadits serupa yang dikaitkan dengan Muhammad adalah:
Akan muncul dari (Irak) suatu kaum yang membaca Al-Qur'an tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka, dan mereka akan menyimpang dari Islam seperti anak panah yang melenceng dari binatang.[197]
Terdapat juga beberapa hadits lain dengan tema "panah menembus sasaran" atau "Al-Qur'an tidak melampaui tenggorokan" yang diketahui. Meskipun hadits tidak menyebut Khawarij atau individu Khawarij tertentu, mereka umumnya dipandang oleh Muslim non-Khawarij sebagai rujukan kepada Khawarij. Beberapa hadits dari jenis ini mendorong umat Islam lainnya untuk melenyapkan Khawarij.[198]
Pandangan zaman modern
Di era modern, banyak teolog dan ulama Muslim membandingkan keyakinan dan tindakan Islamis modern seperti ISIS, al-Qaeda, Ikhwanul Muslimin, dan Tehrik-i-Taliban Pakistan dengan orang-orang Khawarij,[199][200][201][202] melabeli mereka sebagai Khawarij baru.[203] Secara khusus, kelompok-kelompok tersebut diduga memiliki pendekatan anarkis dan radikal militan yang sama seperti Khawarij. Namun, para anggota ISIS dan al-Qaeda menolak untuk dibandingkan dengan Khawarij dan menyebut diri mereka sebagai Muslim sejati serta lawan mereka sebagai Muslim yang lemah.[204][205] Efek yang diharapkan dari pelabelan Khawarij biasanya untuk menghalangi aktivis Islamisme mendapatkan banyak dukungan publik, mengingat citra Khawarij yang sangat buruk di kalangan Muslim.[206] Perbandingan tersebut dikritik oleh sejarawan modern, yang berpendapat bahwa konteks sosio-politik dan lingkungan yang memunculkan militan modern sangat berbeda dari kaum Khawarij. Menurut mereka, perbandingan semacam itu sering kali berawal dari pemahaman yang dangkal tentang doktrin dari salah satu kelompok.[207][6]
Meskipun sebagian besar sejarawan Arab modern bersikap kritis terhadap Khawarij, beberapa dari mereka telah memberikan pandangan yang lebih baik. Sejarawan Arab belakangan berpendapat bahwa Khawarij memberontak melawan ketidakadilan ekonomi dan memiliki keluhan yang valid. Mereka membandingkan cita-cita Khawarij tentang kesetaraan etnis dan gender dengan nilai-nilai saat ini dan menganggap orang-orang Khawarij mewakili pemikiran proto-demokrasi pada awal Islam.[208] Sarjana Ibadi modern telah berusaha untuk memperbaiki citra Khawarij dengan tujuan mendamaikan perbedaan mereka dengan umat Islam lainnya. Mereka menegaskan bahwa catatan Muslim arus utama tentang sejarah Khawarij terdistorsi dan menampilkan Khawarij awal secara tidak adil, padahal mereka hanya memprotes kezaliman.[209][210] Pada saat yang sama, orang-orang Ibadi juga menolak dicap sebagai sekte Khawarij. Mereka mengasosiasikan istilah Khawarij hanya pada kelompok Azariqah, Najdat, dan Sufriyah yang mereka kutuk. Sedangkan, kelompok Khawarij awal semacam Muhakimah, sangat dijunjung tinggi.[209] Seorang penulis Ibadi modern mengklaim bahwa orang-orang Muhakimah tidak memberontak melawan Ali tetapi hanya berbeda pendapat dengannya. Yang dilawan oleh Ali di Nahrawan bukanlah orang-orang Muhakimah, tapi bangsawan Kufah Asy'ats bin Qais.[210]
Catatan
- ^ Banyak laporan pemberontakan Khawarij misalnya, mengikuti pola yang berbeda: pengumpulan anggota Khawarij; penunjukan pemimpin yang pada awalnya enggan untuk ditunjuk; khotbah yang mengharuskan umat untuk mengobarkan semangat jihad; dan akhirnya pemberontakan.[10] Gambaran lain tentang Khawarij sering kali termasuk kesalehan ekstrem, keinginan untuk perang suci dan kesyahidan, dan kekerasan ekstrim.[11]
- ^ Al-Baladzuri agak bersimpati terhadap kaum Khawarij karena dia lebih mementingkan penggambaran Bani Umayyah sebagai tiran, yang kezaliman rezim tersebut dia lawankan dengan kesalehan Khawarij. Sebaliknya, Ath-Tabari berfokus pada kecaman terhadap militan Khawarij.[19]
- ^ Kitab Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin.
- ^ Al-farq bainal firaq.
- ^ Kitab al-Fasl fi'l-Milal wa'l-Ahwa wa'l-Nihal.
- ^ Kitab Al-Milal wa'l-Nihal.
- ^ Dia menunjuk kerabatnya untuk semua jabatan gubernur penting dan memberikan hibah uang dan tanah untuknya kerabat dekatnya.[25]
- ^ a b Dia menuntut agar pendapatan surplus dari provinsi dikirim ke Madinah. Dia juga menegaskan bahwa tanah pertanian yang ditaklukkan di Irak, yang telah dinyatakan oleh khalifah kedua Umar sebagai aset negara yang pendapatannya dibayarkan kepada para pejuang, adalah milik negara yang dapat digunakan sesuai kebijaksanaan Khalifah.[26][27]
- ^ Dokumen arbitrase tidak menyatakan dengan jelas masalah apa yang harus diselesaikan. Juga tidak jelas apa arti istilah sunnah al-adilah (terj. har. 'praktek yang adil'). Versi dokumen palsu selanjutnya merevisi istilah tersebut menjadi sunnah Muhammad. Kaum Khawarij menentang hal ini karena menyiratkan bahwa Al-Quran bukanlah dasar yang cukup untuk membuat keputusan.[36]
- ^ Angka ini dari al-Baghdadi. Al-Mubarrad melaporkan 2.000, sedangkan al-Qalhati 10.000.[37]
- ^ Musafir tersebut dikatakan sebagai Abdullah, putra dari sahabat Muhammad, Khabbab. Ceritanya, dalam berbagai varian, ditemukan di hampir setiap sumber yang berhubungan dengan Khawarij awal. Dalam versi paling terkenal, Ibnu Khabbab bertemu dengan sekelompok Khawarij. Menanggapi pertanyaan mereka, dia menceritakan sebuah hadits tentang Muhammad yang menubuatkan munculnya Fitnah (secara harfiah berarti tuduhan palsu, tetapi secara historis kata itu merujuk pada perang saudara) dan menginstruksikan bahwa orang-orang beriman berada di pihak 'terbunuh' daripada 'pembunuh'. Orang-orang Khawarij yang marah kemudian membawanya sebagai tawanan. Salah satu dari mereka mengeluarkan kurma, yang dia temukan di jalan, ketika orang lain keberatan bahwa dia telah mengambilnya tanpa izin pemiliknya. Belakangan, dia menemukan dan membayar pemilik babi yang baru saja dia bunuh tanpa izin. Ibnu Khabbab secara keliru menyimpulkan bahwa orang dengan keberatan seperti itu tidak akan membunuhnya. Dia disembelih di atas bangkai babi; gadis budaknya yang hamil juga dibunuh dan rahimnya dirobek. Sejarawan Adam Gaiser dan Hannah-Lena Hagemann berpendapat bahwa cerita tersebut, karena prevalensinya pada sumber, kemungkinan besar memiliki inti kebenaran, tetapi telah banyak dimodifikasi untuk berbagai tujuan dan detailnya tidak dapat diandalkan. Ini mengontraskan kesalehan ekstrem Khawarij dengan kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh mereka untuk menekankan kekosongan religiusitas mereka, menekankan bahaya yang terkait dengan ekstremisme agama, dan membenarkan serangan Ali terhadap mereka di Nahrawan. Versi cerita tertentu memiliki referensi anakronus ke isti'rad, sedangkan struktur keseluruhan mirip dengan kejadian di kemudian hari. Cerita itu juga menggambarkan karakter Khawarij generasi awal yang meniru karakteristik tindakan dari kelompok Azariqa yang datang kemudian. Apa yang dapat dikatakan dengan tingkat kepastian tertentu adalah bahwa Ibnu Khabbab dibunuh oleh beberapa Khawarij, untuk alasan yang tidak diketahui, dan sisanya menolak untuk menyerahkannya kepada Ali di Nahrawan.[49][50]
- ^ Pemberontakan terisolasi dari pengikut Mustawrid yang masih hidup terjadi pada tahun 678 dan dengan mudah dipadamkan.[61]
- ^ Dari sekte-sekte kecil ini, Hamziyah, kemungkinan merupakan pecahan dari Ajaridah yang bertahan melawan Abbasiyah selama sekitar tiga puluh tahun. Di bawah kepemimpinan Hamzah bin Adarak, seorang Khawarij setempat, mereka memberontak pada ca 797 M di Sistan, yang telah melihat aktivitas Khawarij sejak zaman Umayyah, dan sering menyerbu kota-kota di Khurasan. Bani Abbasiyah tidak mampu mengalahkan mereka dan pemberontakan berakhir hanya ketika Hamzah meninggal pada tahun 828. Aktivitas Khawarij di Sistan, Khurasan, dan bagian lain Persia bertahan hingga akhir abad kesembilan.[73]
- ^ Semua penguasa diambil secara eksklusif dari Quraisy selama seluruh periode keberadaan Khawarij.[120]
- ^ Pengikut Abu Baihas, yang dikatakan mengkritik Azariqah karena bertindak terlalu jauh dengan melegitimasi pembunuhan Muslim non-Khawarij dan keluarga mereka, dan mengkritik Ibadiyah karena tidak menganggap Muslim non-Khawarij sebagai kafir. Hampir dapat dipastikan bahwa sekte ini juga berkembang di kemudian hari dan tidak eksis di saat perang saudara kedua seperti yang dinyatakan oleh sumber-sumber tersebut.[93]
Referensi
Kutipan
- ^ Francesca 2006, hlm. 84.
- ^ a b Della Vida 1978, hlm. 1075.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 1–2.
- ^ a b c d e f g Gaiser 2013.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 3.
- ^ a b c d e f g h i j k l Gaiser 2020.
- ^ a b Kenney 2006, hlm. 25.
- ^ a b Gaiser 2016, hlm. 2.
- ^ a b Kenney 2006, hlm. 28–29.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 122.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 86ff.
- ^ Kenney 2006, hlm. 28.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 75–77, 92–96.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 64–65.
- ^ Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 501.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 169.
- ^ Lewinstein 1991.
- ^ Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 490.
- ^ Hagemann 2016.
- ^ a b c d e f g Della Vida 1978, hlm. 1077.
- ^ Crone & Zimmermann 2001.
- ^ Sonn & Farrar 2009.
- ^ Crone & Zimmermann 2001, hlm. 1.
- ^ Watt 1973, hlm. 9.
- ^ Donner 2010, hlm. 152–153.
- ^ Donner 2010, hlm. 148–149.
- ^ a b Kennedy 2016, hlm. 63.
- ^ Donner 2010, hlm. 148–154.
- ^ Donner 2010, hlm. 155.
- ^ Donner 2010, hlm. 157–159.
- ^ a b c Wellhausen 1901, hlm. 3.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 7.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 238.
- ^ a b c Della Vida 1978, hlm. 1074.
- ^ Hinds 1972, hlm. 100.
- ^ Hinds 1972, hlm. 100–102.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 139.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 4.
- ^ a b c Watt 1973, hlm. 14.
- ^ Hawting 1978, hlm. 460.
- ^ Djebli 2000, hlm. 107.
- ^ Madelung 1997, hlm. 248–249.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 17–18.
- ^ Madelung 1997, hlm. 251–252.
- ^ a b c Gaiser 2016, hlm. 48.
- ^ Donner 2010, hlm. 163.
- ^ Madelung 1997, hlm. 257.
- ^ Madelung 1997, hlm. 258.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 101 –103.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 95–97.
- ^ Madelung 1997, hlm. 259.
- ^ a b c Della Vida 1978, hlm. 1074–1075.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 18.
- ^ Watt 1973, hlm. 19.
- ^ Madelung 1997, hlm. 308.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 52.
- ^ a b c Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 495.
- ^ a b Gaiser 2016, hlm. 54–56.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 20–23.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 21.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 56–57.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 59.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 25–26.
- ^ a b Morony 1984, hlm. 472.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 62–66.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 144.
- ^ Donner 2010, hlm. 177, 181.
- ^ a b c Rotter 1982, hlm. 80.
- ^ Morony 1984, hlm. 473.
- ^ Rubinacci 1960, hlm. 810.
- ^ Watt 1973, hlm. 21.
- ^ a b c Rubinacci 1960, hlm. 810–811.
- ^ a b Bosworth 2009.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 148.
- ^ Dixon 1971, hlm. 169–170.
- ^ Dixon 1971, hlm. 171–173.
- ^ Watt 1961, hlm. 219.
- ^ Dixon 1971, hlm. 171.
- ^ Dixon 1971, hlm. 175–176.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 30–32.
- ^ Crone 1998, hlm. 56.
- ^ Gaiser 2010, hlm. 131.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 77–78.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 80–81.
- ^ Robinson 2000, hlm. 111–112.
- ^ Lewicki 1971, hlm. 648–649.
- ^ Hoffman 2012, hlm. 11–12.
- ^ Lewicki 1971, hlm. 649–650.
- ^ a b Hoffman 2012, hlm. 12–13.
- ^ a b Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 767.
- ^ a b c d Gaiser 2021.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 94.
- ^ a b c d e Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 766.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 159.
- ^ Crone & Zimmermann 2001, hlm. 202 n.
- ^ a b Lewinstein 1992.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 150–151.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 94–96.
- ^ Robinson 2000, hlm. 117– 119.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 42–45.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 45–46.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 48.
- ^ Lewinstein 1992, hlm. 76.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 49–51.
- ^ Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 766–767.
- ^ Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 767–768.
- ^ Love 2010, hlm. 177–183.
- ^ Madelung & Lewinstein 1997, hlm. 768.
- ^ a b Hoffman 2012, hlm. 13.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 52–53.
- ^ Lewicki 1971, hlm. 652.
- ^ Hoffman 2012, hlm. 14–16.
- ^ a b c Lewicki 1971, hlm. 653.
- ^ Hoffman 2012, hlm. 13 –14.
- ^ Lewicki 1971, hlm. 653, 656–657.
- ^ Vikør 2018, hlm. 968.
- ^ a b c d Della Vida 1978, hlm. 1076.
- ^ Wilkinson 2010, hlm. 138–139.
- ^ a b Demichelis 2015, hlm. 108.
- ^ Marsham 2009, hlm. 7.
- ^ Gaiser 2010, hlm. 125–126.
- ^ Kenney 2006, hlm. 23–33.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 13–14.
- ^ Gaiser 2010, hlm. 129–130.
- ^ Crone 1998, hlm. 56, 76.
- ^ Gaiser 2010, hlm. 130–131.
- ^ Crone 2000, hlm. 24–26.
- ^ a b Kenney 2006, hlm. 34–35.
- ^ Kenney 2006, hlm. 34– 35.
- ^ a b c Hoffman 2012, hlm. 28.
- ^ a b c d Lewinstein 2008.
- ^ a b Crone 2004, hlm. 56.
- ^ Watt 1961, hlm. 220 –221.
- ^ a b Timani 2008, hlm. 65.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 32.
- ^ Morony 1984, hlm. 475.
- ^ Crone 2004, hlm. 58.
- ^ Allen 2005, hlm. 319.
- ^ Shaban 1971, hlm. 107.
- ^ Morony 1984, hlm. 471.
- ^ Burton 1977, hlm. 93.
- ^ Burton 1977, hlm. 68ff.
- ^ Lewinstein 1991, hlm. 258.
- ^ Watt 1961, hlm. 220.
- ^ Della Vida 1978, hlm. 1076–1077.
- ^ Donner 1997, hlm. 15–16.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 87.
- ^ a b Badawi 1980, hlm. 6.
- ^ a b Donner 1997, hlm. 16.
- ^ a b c d e Donner 1997, hlm. 15.
- ^ Cooperson 2013, hlm. 513, n. 19.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 172.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 46.
- ^ a b Gaiser 2016, hlm. 51.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 7–8.
- ^ Gaiser 2016, hlm. 45.
- ^ a b Donner 1997, hlm. 13.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 7.
- ^ Abbas 1974.
- ^ a b Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 503–508.
- ^ a b Wilkinson 2010, hlm. 156.
- ^ Morony 1984, hlm. 474.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 55–56.
- ^ Blankinship 1994, hlm. 294 n. 50.
- ^ Watt 1973, hlm. 43–44.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 9.
- ^ Brünnow 1884, hlm. 15–17.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 8–11.
- ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 13–17.
- ^ a b c Wellhausen 1901, hlm. 15–16.
- ^ Donner 2010, hlm. 162.
- ^ Donner 1997, hlm. 14.
- ^ Donner 1997, hlm. 17–18.
- ^ Donner 2010, hlm. 164.
- ^ Robinson 2000, hlm. 111.
- ^ Hagemann 2021, hlm. 10–11, 13.
- ^ Crone 2004, hlm. 54.
- ^ Hawting 1978, hlm. 461.
- ^ a b c Hagemann 2021, hlm. 10–11.
- ^ Shaban 1971, hlm. 50–51, 70, 75–76.
- ^ Hinds 1971, hlm. 363–365.
- ^ Timani 2008, hlm. 57–58.
- ^ Watt 1973, hlm. 11, 20.
- ^ Timani 2008, hlm. 58.
- ^ Watt 1973, hlm. 20.
- ^ Kennedy 2016, hlm. 68.
- ^ Robinson 2000, hlm. 123–124.
- ^ Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 501–502.
- ^ Wellhausen 1901, hlm. 17.
- ^ a b Madelung 1979, hlm. 127–129.
- ^ Madelung 1979, hlm. 121, 127.
- ^ Kenney 2006, hlm. 34.
- ^ Watt 1985, hlm. 12.
- ^ Kenney 2006, hlm. 25 ff.
- ^ Kenney 2006, hlm. 37.
- ^ Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 489.
- ^ a b Kenney 2006, hlm. 26.
- ^ Kenney 2006, hlm. 26–27.
- ^ Timani 2008, hlm. 78.
- ^ Bunzel 2016, hlm. 23.
- ^ Kenney 2006, hlm. 90–91.
- ^ Akram 2014, hlm. 596.
- ^ Kenney 2006, hlm. 51.
- ^ Bunzel 2016, hlm. 9, 23.
- ^ Kelsay 2008, hlm. 603.
- ^ Kenney 2006, hlm. 90.
- ^ Kenney 2006, hlm. 89–90.
- ^ Timani 2008, hlm. 26ff, 77ff.
- ^ a b Hoffman 2009.
- ^ a b Timani 2008, hlm. 78–79.
Daftar pustaka
- Abbas, Ihsan, ed. (1974). Shiʿr al-Khawārij: Jamʿ wa Taqdīm Iḥsān ʿAbbās (edisi ke-3rd). Beirut: Dar al-Thaqafa. OCLC 584091175.
- Akram, Muhammad (2014). "The Authority of Ulama and the Problem of Anti-State Militancy in Pakistan". Asian Journal of Social Science. 42 (5): 584–601. doi:10.1163/15685314-04205006. JSTOR 43495821.
- Allen, Lori A. (2005). "Jihad: Arab States". Dalam Joseph, Suad; Najamabadi, Afsaneh; Peteet, Julie; Shami, Seteney; Siapno, Jacqueline; Smith, Jane I. Encyclopedia of Women and Islamic Cultures. II: Family, Law and Politics. Leiden: Brill. hlm. 319–321. ISBN 9004128182.
- Badawi, M. M. (1980). "From Primary to Secondary Qaṣīdas: Thoughts on the Development of Classical Arabic Poetry". Journal of Arabic Literature. 11: 1–31. doi:10.1163/157006480X00018. JSTOR 4183025.
- Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihâd State: The Reign of Hishām ibn ʻAbd al-Malik and the Collapse of the Umayyads. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-1827-7.
- Bosworth, C. Edmund (2009). "Kharijites in Persia". Dalam Yarshater, Ehsan. Encyclopædia Iranica, Online Edition. Encyclopædia Iranica Foundation.
- Brünnow, Rudolf Ernst (1884). Die Charidschiten unter den ersten Omayyaden. Ein Beitrag zur Geschichte des ersten islamischen Jahrhunderts (dalam bahasa Jerman). Leiden: E. J. Brill. OCLC 1527180.
- Bunzel, Cole (2016). The Kingdom and the Caliphate: Duel of the Islamic States (Laporan). Washington, D.C.: Carnegie Endowment for International Peace. Diakses tanggal 10 January 2021.
- Burton, John (1977). The Collection of the Qur'an. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-21439-1.
- Cooperson, Michael, ed. (2013). Ibn al-Jawzī : Virtues of the Imām Aḥmad ibn Ḥanbal. 1. New York and London: New York University Press. ISBN 978-0-8147-7166-2.
- Crone, Patricia (1998). "A Statement by the Najdiyya Khārijites on the Dispensability of the Imamate". Studia Islamica (88): 55–76. doi:10.2307/1595697. ISSN 0585-5292. JSTOR 1595697. OCLC 5547948728.
- Crone, Patricia (2000). "Ninth-century Muslim anarchists". Past & Present. 167 (167): 3–28. doi:10.1093/past/167.1.3. ISSN 0031-2746. JSTOR 00312746. LCCN 65077388. OCLC 265436895.
- Crone, Patricia; Zimmermann, Friedrich (2001). The Epistle of Salim Ibn Dhakwan. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0191590153.
- Crone, Patricia (2004). God's Rule: Government and Islam. New York: Columbia University Press. ISBN 978-0231132916.
- Della Vida, Giorgio Levi (1978). "Khāridjites". Dalam van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch.; Bosworth, C. E. Encyclopaedia of Islam. Volume IV: Iran–Kha (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1074–1077. OCLC 758278456.
- Demichelis, Marco (2015). "Kharijites and Qarmatians: Islamic Pre-Democratic Thought, a Political-Theological Analysis". Dalam Mattson, Ingrid; Nesbitt-Larking, Paul; Tahir, Nawaz. Religion and Representation: Islam and Democracy. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing. hlm. 101–127. ISBN 978-1-4438-7059-7.
- Dixon, Abd al-Ameer A. (1971). The Umayyad Caliphate, 65–86/684–705: (a Political Study). London: Luzac. ISBN 978-0718901493.
- Djebli, Moktar (2000). "Taḥkīm". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume X: T–U (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 107–108. ISBN 978-90-04-11211-7.
- Donner, Fred M. (1997). "Piety and Eschatology in Early Kharijite Poetry". Dalam al-Saʿafin, Ibrahim. Fī Miḥrāb al-Maʿrifah: Festschrift for Iḥsān ʿAbbās. Beirut: Dar Sader Publishers. hlm. 13–19. OCLC 587950873.
- Donner, Fred M. (2010). Muhammad and the Believers, at the Origins of Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press. ISBN 978-0674050976.
- Francesca, Ersilia (2006). "Khārijīs". Dalam McAuliffe, Jane Dammen. Encyclopaedia of the Qurʾān. 3: J–O. Leiden: Brill. hlm. 84–89. doi:10.1163/1875-3922_q3_EQCOM_00103.
- Gaiser, Adam (2010). Muslims, Scholars, Soldiers: The Origin and Elaboration of the Ibadi Imamate Traditions. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0199738939.
- Gaiser, Adam (2013). "The Kharijites and Contemporary Scholarship". Oxford Bibliographies. Oxford University Press. doi:10.1093/OBO/9780195390155-0159. Diakses tanggal 10 January 2021.
- Gaiser, Adam (2016). Shurat Legends, Ibadi Identities: Martydom, Asceticism, and the Making of an Early Islamic Community. Columbia, SC: The University of South Carolina Press. ISBN 978-1-61117-677-3.
- Gaiser, Adam (2020). "Khārijīs". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Encyclopaedia of Islam, THREE. Brill Online. doi:10.1163/1573-3912_ei3_COM_35487. ISSN 1873-9830.
- Gaiser, Adam (2021). "Ibāḍiyya". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Encyclopaedia of Islam, THREE. Brill Online. doi:10.1163/1573-3912_ei3_COM_30614. ISSN 1873-9830.
- Hagemann, Hannah-Lena (2016). "Challenging Authority: Al-Balādhurī and al-Ṭabarī on Khārijism during the Reign of Muʿāwiya b. Abī Sufyān". Al-Masāq: Journal of the Medieval Mediterranean. 28 (1): 36–56. doi:10.1080/09503110.2016.1152803.
- Hagemann, Hannah-Lena; Verkinderen, Peter (2020). "Kharijism in the Umayyad period". Dalam Marsham, Andrew. The Umayyad World. London and New York: Routledge. hlm. 489–517. doi:10.4324/9781315691411-29. ISBN 978-1315691411.
- Hagemann, Hannah-Lena (2021). The Kharijites in Early Islamic Historical Tradition: Heroes and Villains. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 978-1-4744-5088-1.
- Hawting, Gerald R. (1978). "The Significance of the Slogan "lā hukma illā lillāh" and the References to the "Hudūd" in the Traditions about the Fitna and the Murder of 'Uthmān". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 41 (3): 453–463. doi:10.1017/S0041977X00117550. JSTOR 615490.
- Hinds, Martin (1971). "Kufan Political Alignments and their Background in the Mid-Seventh Century A.D.". International Journal of Middle East Studies. 2 (4): 346–367. doi:10.1017/S0020743800001306. JSTOR 162722.
- Hinds, Martin (1972). "The Siffin Arbitration Agreement". Journal of Semitic Studies. 17 (1): 93–129. doi:10.1093/jss/17.1.93.
- Hoffman, Valerie (2009). "Historical Memory and Imagined Communities: Modern Ibāḍī Writings on Khārijism". Dalam Lindsay, James E.; Armajani, Jon. Historical Dimensions of Islam: Essays in Honor of R. Stephen Humphreys. Princeton: Darwin Press. hlm. 185–200. ISBN 978-0-87850-190-8. OCLC 705715290.
- Hoffman, Valerie (2012). The Essentials of Ibadi Islam. New York: Syracuse University Press. ISBN 978-0-8156-3288-7.
- Kelsay, John (2008). "Al-Qaida as a Muslim (Religio-Political) Movement: Remarks on James L. Gelvin's "Al-Qaeda and Anarchism: A Historian's Reply to Terrorology"". Terrorism and Political Violence. 20 (4): 601–605. doi:10.1080/09546550802257382.
- Kennedy, Hugh (2023). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-third). Abingdon, Oxon and New York: Routledge. ISBN 978-0-367-36690-2.
- Kenney, Jeffrey T. (2006). Muslim Rebels: Kharijites and the Politics of Extremism in Egypt. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-513169-7.
- Lewicki, T. (1971). "al-Ibāḍiyya". Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 648–660. OCLC 495469525.
- Lewinstein, Keith (1991). "The Azāriqa in Islamic Heresiography". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. 54 (2): 251–268. doi:10.1017/S0041977X00014774. JSTOR 619134.
- Lewinstein, Keith (1992). "Making and Unmaking a Sect: The Heresiographers and the Ṣufriyya". Studia Islamica (76): 75–96. doi:10.2307/1595661. JSTOR 1595661.
- Lewinstein, Keith (2008). "Azāriqa". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Encyclopaedia of Islam, THREE. Brill Online. doi:10.1163/1573-3912_ei3_COM_0171. ISSN 1873-9830.
- Love, Paul M. Jr. (2010). "The Sufris of Sijilmasa: Toward a history of the Midrarids". The Journal of North African Studies. 15 (2): 173–188. doi:10.1080/13629380902734136.
- Madelung, Wilferd (1979). "The Shiite and Khārijite Contribution to Pre-Ashʿarite Kalām". Dalam Morewedge, Parviz. Islamic Philosophical Theology. Albany, New York: State University of New York Press. hlm. 120–141. ISBN 0-87395-242-1.
- Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0521646960.
- Madelung, Wilferd; Lewinstein, Keith (1997). "Ṣufriyya". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Lecomte, G. Encyclopaedia of Islam. Volume IX: San–Sze (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 766–769. ISBN 978-90-04-10422-8.
- Marsham, Andrew (2009). Rituals of Islamic Monarchy: Accession and Succession in the First Muslim Empire. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-3077-6.
- Morony, Michael (1984). Iraq After the Muslim Conquest. Princeton: Princeton University Press. ISBN 0-691-05395-2.
- Robinson, Chase F. (2000). Empire and Elites after the Muslim Conquest: The Transformation of Northern Mesopotamia. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-78115-9.
- Rotter, Gernot (1982). Die Umayyaden und der zweite Bürgerkrieg (680–692) (dalam bahasa Jerman). Wiesbaden: Deutsche Morgenländische Gesellschaft. ISBN 978-3515029131.
- Rubinacci, R. (1960). "Azāriḳa". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 810–811. OCLC 495469456.
- Shaban, M. A. (1971). Islamic History, A New Interpretation: Volume 1, AD 600–750 (A.H. 132). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29131-6.
- Sonn, Tamara; Farrar, Adam (2009). "Kharijites". Oxford Bibliographies. Oxford University Press. doi:10.1093/OBO/9780195390155-0047. Diakses tanggal 10 February 2021.
- Timani, Hussam S. (2008). Modern Intellectual Readings of the Kharijites. New York: Peter Lang. ISBN 978-0820497013.
- Vikør, Knut S. (2018). "Ibadism and law in historical contexts". Oñati Socio-Legal Series. 10 (5): 960–984. doi:10.35295/osls.iisl/0000-0000-0000-1155.
- Watt, W. Montgomery (1961). "Khārijite thought in the Umayyad Period". Der Islam. 36 (3): 215–231. doi:10.1515/islm.1961.36.3.215.
- Watt, W. Montgomery (1973). The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 978-0852242452.
- Watt, W. Montgomery (1985). Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 0748607498.
- Wellhausen, Julius (1901). Die religiös-politischen Oppositionsparteien im alten Islam (dalam bahasa Jerman). Berlin: Weidmannsche buchhandlung. OCLC 453206240.
- Wilkinson, John C. (2010). Ibâdism: Origins and Early Development in Oman. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-958826-8.