Sungai Brantas
Sungai Brantas Kali Brantas | |
---|---|
Lokasi | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Jawa Timur |
Kabupaten/Kota | Kabupaten Malang, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Kediri, Kabupaten Jombang, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, Kota Batu, Kota Kediri |
Ciri-ciri fisik | |
Hulu sungai | Gunung Arjuno Gunung Welirang |
- lokasi | Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu |
- elevasi | 2.000 m (6.600 ft) |
Muara sungai | Kali Mas, Kali Porong, Selat Madura |
- elevasi | 0 m (0 ft) |
Panjang | 320 km (200 mi) |
Daerah Aliran Sungai | |
Luas DAS | 11.800 km2 (4.600 sq mi) |
Informasi lokal | |
Zona waktu | WIB (UTC+7) |
GeoNames | 6881549 |
Sungai Brantas adalah sebuah sungai yang mengalir di provinsi Jawa Timur, Indonesia.[1] Sungai ini merupakan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa, setelah Bengawan Solo. Penduduk yang tinggal di wilayah Sungai Brantas mencapai 15,2 juta orang (1999) atau 43% dari penduduk Jatim, dan mempunyai kepadatan rata-rata 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata Jatim. Adapun Sungai Brantas mempunyai peran yang cukup besar dalam menunjang Provinsi Jatim sebagai lumbung pangan nasional. Antara tahun 1994–1997, Provinsi Jatim rata-rata berkontribusi 470.000 ton beras/tahun atau sebesar 25% dari stok pangan nasional.
Hidrologi
Sungai Brantas berhulu di kaki Gunung Arjuno, tepatnya Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Sungai ini lalu mengalir ke Kota Malang dan kemudian bertemu dengan Sungai Lesti di Kabupaten Malang. Sungai ini lalu mengalir ke Blitar dan bertemu dengan Sungai Ngrowo di Tulungagung. Sungai ini kemudian mengalir ke Kediri dan bertemu dengan Sungai Widas di Kertosono. Sungai ini lalu mengalir ke Jombang dan bercabang menjadi dua di Mojokerto, yakni menjadi Kali Surabaya dan Kali Porong.[2] Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas mencapai 11.800 km² atau seperempat dari luas Provinsi Jawa Timur.[3] Sungai sepanjang 320 kilometer ini mengalir melingkari sebuah gunung berapi yang masih aktif, yakni Gunung Kelud.[4] Rerata curah hujan di wilayah sungai ini mencapai 2.000 mm per tahun dan dari jumlah tersebut sekitar 85% di antaranya jatuh pada musim hujan. Rerata potensi air permukaan di wilayah sungai ini sebesar 12 miliar m³ per tahun, dan yang termanfaatkan baru sebesar 2,6-3,0 miliar m³ per tahun.
Sejarah
Sejak abad ke-8, di DAS Brantas telah berdiri sebuah kerajaan dengan corak agraris, bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Brantas di mana kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997). Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Pare. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak Sungai Konto, yakni Sungai Harinjing (Lombard, 2000).
Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi.
Merujuk khazanah sastra periode klasik, sungai Brantas inilah yang diduga kuat disebut sebagai Ci Ronabaya dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik.
Geografi
Sungai ini mengalir di wilayah timur pulau Jawa yang beriklim muson tropis (kode: Am menurut klasifikasi iklim Köppen-Geiger).[5] Suhu rata-rata setahun sekitar 26 °C. Bulan terpanas adalah Oktober, dengan suhu rata-rata 30 °C, and terdingin Juni, sekitar 24 °C.[6] Curah hujan rata-rata tahunan adalah 2982 mm. Bulan dengan curah hujan tertinggi adalah Maret, dengan rata-rata 496 mm, dan yang terendah Agustus, rata-rata 28 mm.[7]
Sungai Brantas | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Tabel iklim (penjelasan) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pengembangan infrastruktur
Hingga dekade 1960-an, masalah utama di Sungai Brantas adalah fluktuasi air permukaan yang ditandai oleh dua peristiwa, yakni kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Terjadi kegagalan panen dan kelaparan akibat kekurangan air di musim kemarau, sementara di musim hujan terjadi banjir yang mengakibatkan korban harta bahkan jiwa. Selain itu, kondisi aliran air Sungai Brantas juga terhambat endapan sedimen yang dihasilkan oleh letusan Gunung Kelud (+1.781 mdpl). Setiap 10 hingga 15 tahun, Gunung Kelud meletus dan melontarkan abu dan batu piroklastik ke bagian tengah dari DAS Brantas, sehingga menimbulkan gangguan fluvial pada aliran air Sungai Brantas.
Pra kemerdekaan
Pengembangan infrastruktur di Sungai Brantas kemungkinan telah dimulai di akhir dekade 1840-an pada masa pendudukan Belanda di Indonesia. Pengembangan pada saat itu terutama ditujukan untuk mengendalikan banjir dan memanfaatkan air.[8] Pada tahun 1857, pemerintah Hindia Belanda membangun Bendung Lengkong untuk mengairi lahan pertanian seluas 30.000 hektar. Pada tahun 1910, pemerintah Hindia Belanda juga membangun Kali Jagir, membangun tanggul di sepanjang tepi Kali Surabaya, serta menormalisasi Kali Mas.[2] Bersama Kali Porong, Kali Jagir berfungsi untuk mengurangi jumlah air yang masuk ke pusat kota Surabaya. Sementara Bendung Lengkong juga berfungsi untuk mengendalikan air yang mengalir ke dua cabang dari Sungai Brantas, yakni Kali Surabaya dan Kali Porong.[8]
Antara tahun 1926 hingga 1932, dibangun PLTA Siman dan PLTA Mendalan di hulu Kali Konto untuk membangkitkan listrik.[2] Pada tahun 1943, di bawah arahan tentara Jepang, masyarakat juga mulai membangun Terowongan Neyama tanpa bantuan mesin,[9] dan akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1944.[8] Infrastruktur lain yang juga dibangun pada masa itu meliputi Bendung Gunungsari dan Bozem Morokrembangan untuk mengendalikan air yang masuk ke pusat kota Surabaya.[8]
Pasca kemerdekaan
Pada dekade 1950-an, infrastruktur yang telah dibangun di Sungai Brantas mulai menua dan kurang terawat, karena kurangnya dana yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Banjir besar yang terjadi pada tahun 1954 dan 1955 juga makin memperburuk kondisi infrastruktur yang telah ada.[8]
Pada tahun 1959, pengembangan Sungai Brantas dengan pendekatan modern dimulai dengan prinsip "satu sungai, satu rencana, dan satu manajemen terpadu" yang dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan dan kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu. Berbeda dengan pengembangan infrastruktur di Sungai Citarum yang dilakukan pada saat yang hampir bersamaan, untuk pengembangan infrastruktur di Sungai Brantas, pemerintah sengaja tidak menggunakan jasa kontraktor asing, sehingga hanya menggunakan jasa konsultan pengawas asing. Oleh karena itu, selama proses pembangunan, juga dilakukan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan agar para pekerja dapat menyelesaikan pembangunan. Sehingga setelah pengembangan infrastruktur di Sungai Brantas selesai, para pekerja tersebut diharapkan mampu mengerjakan proyek-proyek lain yang serupa di seluruh Indonesia.[10]
Pengembangan pun menghasilkan sejumlah prasarana pengairan. Manfaat pembangunan antara lain pengendalian banjir 50 tahunan di sungai utama yang mengurangi luas genangan seluas 80.000 ha; irigasi untuk sawah seluas 345.000 hektar, yang mana 83.000 hektar di antaranya berupa irigasi teknis langsung dari sungai induk (2,5 miliar m³ per tahun); energi listrik sebanyak 1.000 GWh per tahun; serta suplai air baku untuk industri sebanyak 130 juta m³ per tahun dan air baku untuk rumah tangga sebanyak 240 juta m³ per tahun. Pengembangan dilakukan melalui 4 (empat) tahap sebagai berikut:
Tahap pertama (1959 - 1972)
Tahap pertama bertujuan untuk mengendalikan banjir, karena jika banjir belum dapat dikendalikan, maka pengembangan yang lain tidak dapat dilakukan. Pengendalian banjir dilakukan dengan membangun sejumlah bendungan untuk menampung kelebihan air, perbaikan alur sungai di bagian tengah Sungai Brantas, dan pembuatan jalur pelepas banjir (flood way). Selain itu, disiapkan pula sistem peringatan dini banjir dan jejaring pemantauan hidrologi.
Di bagian hulu, dilakukan pembangunan Bendungan Karangkates, Bendungan Selorejo, dan Bendungan Lahor, sementara di bagian tengah, dilakukan pembangunan kembali Terowongan Neyama, sedangkan di bagian hilir, dilakukan pembangunan Bendung Lengkong Baru, perbaikan delta Sungai Brantas, dan perbaikan saluran irigasi di delta Sungai Brantas.[11]
Tahap ini bertujuan untuk mengurangi pasir yang mengendap di Sungai Brantas dengan cara "push the top and pull the toe" (mendorong di hulu dan menarik di hilir). Dengan adanya Bendungan Karangkates dan Bendungan Selorejo, tersedia air yang cukup banyak sepanjang tahun untuk menggelontor pasir yang mengendap di sepanjang Sungai Brantas. Selain berfungsi sebagai pengendali banjir di bagian hulu, kedua bendungan tersebut juga dapat difungsikan sebagai sumber air irigasi, pembangkit listrik, dan obyek pariwisata. Untuk menambah jumlah air yang terbendung di Bendungan Karangkates, Bendungan Lahor lalu dibangun beserta sebuah terowongan untuk menghubungkan genangan dari kedua bendungan tersebut.[12]
Sementara itu, Bendung Lengkong Baru dibangun di bagian hilir untuk menggantikan Bendung Lengkong yang sudah sangat tua dan menghambat penggelontoran pasir yang mengendap di Sungai Brantas. Sedangkan perbaikan delta Sungai Brantas dan saluran irigasi di delta Sungai Brantas dimaksudkan untuk meningkatkan pemanfaatan air Sungai Brantas, sehingga selain meningkatkan hasil pertanian, diharapkan juga dapat mengurangi banjir di bagian hilir.[10]
Tahap kedua (1973 - 1984)
Tahap kedua bertujuan untuk menyediakan air irigasi, seiring dengan kebijakan Pemerintah untuk mencukupi kebutuhan beras nasional dengan memperluas lahan pertanian beririgasi teknis. Sejumlah bendung dan bangunan pengambilan air pun dibangun pada tahap ini. Di bagian hulu, dilakukan pembangunan Bendungan Wlingi, Bendung Gerak Lodoyo, Saluran Irigasi Lodagung, dan Bendungan Sengguruh, sementara di bagian tengah, dilakukan pembangunan Bendungan Widas, Bendung Gerak Waruturi, Saluran Irigasi Mrican, Terowongan Neyama 2, dan perbaikan alur Sungai Brantas di dekat Kota Kediri (tahap 1), sedangkan di bagian hilir, dilakukan perbaikan alur Kali Surabaya.[11]
Bendungan Wlingi awalnya dirancang sebagai bagian dari upaya untuk "central load relieving" (mengurangi beban di tengah), yakni membuang pasir yang mengendap di Sungai Brantas ke Samudra Hindia. Namun pada perkembangannya, pembangunan saluran pembuang endapan ke Samudera Hindia akhirnya ditunda, dan digantikan dengan pembangunan Terowongan Neyama 2 di Tulungagung untuk difungsikan sebagai pengendali banjir.[13] Sementara Saluran Irigasi Lodagung dibangun untuk memanfaatkan air yang terbendung oleh Bendungan Wlingi guna mengairi lahan pertanian seluas sekitar 7.400 hektar. Perbaikan alur Sungai Brantas di dekat Kota Kediri dilakukan dengan cara membangun dinding penahan dengan total panjang sekitar 10 kilometer.[12]
Tahap ketiga (1985 - 1997)
Tahap ini bertujuan untuk menyediakan air baku, terutama untuk masyarakat yang tinggal di bagian tengah dan hilir Sungai Brantas. Sejumlah bendung, sistem suplesi (penambah debit), dan infrastruktur lain yang dapat dipakai untuk menyediakan air baku pun dibangun pada tahap ini. Di bagian tengah, dilakukan pembangunan Bendungan Wonorejo, PLTA Tulungagung, dan Bendung Karet Jatimlerek,[12] serta perbaikan alur Sungai Brantas di dekat Kota Kediri (tahap 2). Pada tahap ini pula, dilakukan pengembangan jaringan irigasi air tanah di Kediri dan Nganjuk.[11]
Tahap keempat (1998 - sekarang)
Tahap ini ditekankan pada konservasi dan pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan air tidak saja mencakup aspek kuantitas, tetapi juga ke arah pengendalian kualitas, walaupun masih bersifat terbatas. Pada tahap ini pula, dikembangkan sistem pengelolaan informasi hidrologi.
Pengelolaan infrastruktur
Pada awal dekade 1970-an, saat berkunjung ke lokasi pembangunan Bendungan Selorejo, Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Ir. Sutami, berpendapat bahwa sebuah organisasi otonom kedepannya harus didirikan untuk mengoperasikan dan memelihara infrastruktur yang telah selesai dibangun oleh "Badan Pelaksana Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Brantas" (biasa disingkat menjadi "Proyek Brantas"). Pendapatnya didasarkan pada fakta bahwa:[14]
- Infrastruktur di Sungai Brantas dikembangkan dengan prinsip "satu sungai, satu rencana, dan satu manajemen terpadu", sehingga sebaiknya dikelola oleh orang-orang yang memahami dan hidup dengan prinsip tersebut.
- Jika infrastruktur yang telah selesai dibangun diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum setempat, sepertinya tidak ada cukup dana dan tenaga untuk mengoperasikan dan memeliharanya.
- Organisasi otonom dapat menghasilkan pendapatan dari menjual listrik dan air, sehingga tidak membebani APBN.
- Kedepannya akan memungkinkan untuk mengumpulkan dana yang cukup untuk membiayai proyek lain di sepanjang Sungai Brantas dengan membentuk unit usaha yang bergerak di bidang konstruksi, konsultansi, rekreasi, dsb.
Meskipun konsep dasarnya terlihat cukup jelas, tidak mudah untuk mewujudkan gagasan Ir. Sutami, antara lain karena belum ada landasan hukum untuk mendukung pendirian organisasi otonom semacam itu dan kepentingan organisasi otonom dikhawatirkan bertentangan dengan kepentingan pemerintah daerah setempat. Di sisi lain, meskipun ruang lingkup dan kewenangannya berbeda, sebenarnya telah ada organisasi otonom yang agak mirip, yakni Otorita Jatiluhur di Jawa Barat, tetapi organisasi tersebut dianggap kurang berhasil. Karena PLN saat itu adalah satu-satunya organisasi yang bertanggung jawab atas operasional pembangkit listrik di Indonesia, hampir pasti PLN juga tidak akan menyerahkan pembangkit listrik yang telah dibangun oleh Proyek Brantas ke organisasi otonom semacam itu.
Seiring berjalannya waktu, satu per satu proyek di sepanjang Sungai Brantas pun dapat diselesaikan, tetapi masih mengandalkan pembiayaan dari APBN untuk operasional dan pemeliharaannya. Bappenas kemudian ingin memangkas alokasi anggarannya ke Proyek Brantas, karena Bappenas berpendapat bahwa infrastruktur yang telah selesai dibangun seharusnya dikelola oleh organisasi lain, tidak lagi dikelola oleh Proyek Brantas.[14]
Pada tanggal 14 Agustus 1979, Direktur Jenderal Pengairan saat itu, Suyono Sosrodarsono, pun mengusulkan pemekaran Proyek Brantas menjadi tiga organisasi, yakni:
- Sebuah badan pengembangan proyek, yang bertugas untuk mengelola proyek yang sedang berjalan, serta mengoperasikan dan memelihara infrastruktur yang telah selesai dibangun.
- Sebuah organisasi rekayasa dan konsultansi, yang kemudian dapat diintegrasikan ke dalam perusahaan rekayasa dan konsultansi milik negara yang telah ada.
- Sebuah organisasi konstruksi, yang kemudian dapat diintegrasikan ke dalam perusahaan konstruksi milik negara yang telah ada.
Diperkirakan bahwa pembentukan dua organisasi terakhir dapat dilakukan dengan cepat, tetapi pembentukan organisasi pertama mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama. Ide pemekaran tersebut lalu diajukan kepada Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Purnomosidi Hadjisarosa, yang ternyata sangat mendukung dan meminta agar ide tersebut disiapkan lebih matang.
Pada tanggal 12 November 1980, bukannya diintegrasikan ke dalam salah satu perusahaan konstruksi milik negara yang telah ada, pemerintah ternyata lebih memilih untuk menjadikan organisasi konstruksi dari Proyek Brantas sebagai modal untuk mendirikan sebuah perusahaan konstruksi baru yang diberi nama Brantas Abipraya. Sedangkan organisasi rekayasa dan konsultansi kemudian diintegrasikan ke dalam Indra Karya, dan pembangkit listrik yang ada di sepanjang Sungai Brantas diserahkan ke PLN.
Sebagaimana yang telah diperkirakan sebelumnya, badan pengembangan proyek baru dapat dibentuk pada tanggal 12 Februari 1990 dengan nama Jasa Tirta I, tetapi lingkup pekerjaannya dibatasi pada pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur yang telah selesai dibangun, sementara infrastruktur yang sedang dan akan dibangun tetap dikelola oleh Proyek Brantas[14] yang kemudian berevolusi menjadi "Balai Besar Wilayah Sungai Brantas" (biasa disingkat menjadi "BBWS Brantas").
Infrastruktur besar di Wilayah Sungai Brantas yang dikelola oleh Jasa Tirta I antara lain:
- Bendungan Sengguruh
- Bendungan Sutami
- Bendungan Lahor
- Bendungan Selorejo
- Bendungan Wlingi
- Bendungan Widas
- Bendung Gerak Lodoyo
- Bendung Karet Jatimlerek
- Pintu Air Jagir
Lumpur Lapindo
Terkait dengan luapan lumpur hidrokarbon dari Desa Siring Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo yang dikenal dengan Lumpur Lapindo, aliran sungai ini digunakan untuk menggelontor sebagian semburan lumpur ke Selat Madura. Untuk itu, sebagian lumpur tersebut pun rutin dipompa ke salah satu anak Sungai Brantas di bagian hilir, yakni Kali Porong.
Pranala luar
- Perum Jasa Tirta I
- Balai Besar Wilayah Sungai Brantas, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Lihat pula
Referensi
- ^ Kali Brantas at Geonames.org (cc-by); Last updated 2013-06-04; Database dump downloaded 2015-11-27
- ^ a b c Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1.
- ^ Whitten, T; Soeriaatmadja, R. E.; Suraya A. A. (1996). The Ecology of Java and Bali. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 132.
- ^ Ramu, Kikkeri (December 2004). "Brantas River Basin Case Study, Indonesia" (pdf). Background Paper. Worldbank: 36.
- ^ Peel, M C; Finlayson, B L; McMahon, T A (2007). "Updated world map of the Köppen-Geiger climate classification". Hydrology and Earth System Sciences. 11: 1633–1644. doi:10.5194/hess-11-1633-2007. Diakses tanggal 30 January 2016.
- ^ a b "NASA Earth Observations Data Set Index". NASA. 30 January 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-10. Diakses tanggal 2019-02-11.
- ^ "NASA Earth Observations: Rainfall (1 month - TRMM)". NASA/Tropical Rainfall Monitoring Mission. 30 January 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-19. Diakses tanggal 2019-02-11.
- ^ a b c d e Development of the Brantas River Basin (part 4) (PDF) (dalam bahasa Inggris). Tokyo: JICA. 1998. hlm. 40–41.
- ^ Isnaeni, Hendri (14 April 2012). "Terowongan Neyama Romusha". Historia. Diakses tanggal 23 Oktober 2022.
- ^ a b Ir. Surjono (26 Agustus 1969). Menguasai dan Memanfaatkan Kali Brantas (PDF) (Laporan). Proyek Induk Serbaguna Kali Brantas. Diakses tanggal 23 Januari 2022.
- ^ a b c Development of the Brantas River Basin (part 10) (PDF) (dalam bahasa Inggris). Tokyo: JICA. 1998. hlm. 182–183.
- ^ a b c Development of the Brantas River Basin (part 1) (PDF) (dalam bahasa Inggris). Tokyo: JICA. 1998.
- ^ Staf Proyek Brantas (1 April 1972). Uraian Singkat Mengenai Proyek Bendungan Serbaguna Karangkates (PDF) (Laporan). Proyek Induk Serbaguna Kali Brantas. Diakses tanggal 23 Januari 2022.
- ^ a b c Development of the Brantas River Basin (part 10) (PDF) (dalam bahasa Inggris). Tokyo: JICA. 1998. hlm. 240 – 244.