Lompat ke isi

Korawa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lukisan laskar Korawa (kiri) berhadapan dengan laskar Pandawa. Lukisan ini dibuat sekitar abad ke-17 atau ke-18, berasal dari Mewar, Rajasthan.

Korawa (Dewanagari: कौरव; ,IASTKaurava,; ejaan alternatif: Kurawa) adalah istilah dalam bahasa Sanskerta yang dipakai untuk merujuk kepada suatu kumpulan tokoh dalam wiracarita Hindu Mahabharata. Dalam bahasa Sanskerta, kata Kaurava berarti "keturunan [raja] Kuru", seorang raja dalam legenda India yang dikisahkan sebagai leluhur bagi para tokoh Mahabharata. Selain Mahabharata, istilah tersebut juga ditemukan dalam beberapa kitab-kitab lain yang memuat legenda Hindu, contohnya Purana.

Dalam budaya pewayangan Jawa yang telah mengadaptasi susastra Hindu, istilah ini merujuk kepada kelompok antagonis dalam Mahabharata, sedangkan kelompok protagonisnya ialah Pandawa (keturunan Pandu). Maka dari itu, istilah Korawa identik sebagai musuh bebuyutan para Pandawa.

Dalam kisah Mahabharata, kata "Korawa" awalnya dipakai untuk menyebut keturunan Kuru atau anggota Dinasti Kuru, yang berlatar belakang keraton Hastinapura di India Utara. Secara khusus, makna kata tersebut menyempit menjadi "anak-anak Dretarastra", karena Dretarastra merupakan pangeran sulung di Dinasti Kuru, sebelum lahirnya Pandawa. Dalam Mahabharata, jumlah para Korawa (sebagai anak Dretarastra) ialah seratus dua orang; seratus satu orang dilahirkan oleh Gandari, sedangkan yang seorang lagi dilahirkan oleh dayang-dayangnya. Yang terkemuka adalah Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu. Hampir seluruh Korawa berjenis laki-laki, kecuali seorang (anak perempuan Gandari), yang bernama Dursilawati atau Dursala.

Pengertian

Istilah Korawa (ejaan IAST: Kaurava) yang digunakan dalam kitab Mahabharata memiliki dua pengertian:

  • Arti luas: Korawa merujuk kepada seluruh keturunan Kuru (कुरु). Kuru adalah nama seorang maharaja yang merupakan keturunan Bharata, dan menurunkan tokoh-tokoh besar dalam wiracarita Mahabharata. Dalam pengertian ini, Pandawa juga termasuk Korawa, dan kadang kala disebut demikian dalam Mahabharata, khususnya pada beberapa bagian awal.
  • Arti sempit: Korawa merujuk kepada garis keturunan Kuru yang lebih tua. Istilah ini hanya terbatas untuk anak-anak Dretarastra, sebab Dretarastra merupakan putra sulung Wicitrawirya (keturunan Raja Kuru), yang berhak menjadi raja menurut urutan kelahiran tetapi digantikan oleh adiknya, Pandu, karena Dretarastra buta. Istilah ini tidak mencakup anak-anak Pandu, yang mendirikan garis keturunan baru, yaitu para Pandawa.

Riwayat singkat

Berkas:Vyas ki vardhan.jpg
Ilustrasi Resi Byasa memberikan restu kepada Gandari, dari buku Mahabharata, terbitan Geeta Press, Gorakhpur.

Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Gandari, istri Dretarastra, menginginkan putra. Kemudian ia memohon kepada Byasa, seorang pertapa sakti yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Dinasti Kuru. Akhirnya permohonan Gandari terkabul sehingga ia pun hamil. Namun setelah sekian lama, kandungannya belum juga lahir. Sementara itu, iparnya yang bernama Kunti sudah melahirkan putra bernama Yudistira. Gandari pun iri setelah mendengar kabar tersebut, lalu ia frustasi sambil memukul-mukul kandungannya. Akhirnya air ketuban pun pecah. Setelah melalui masa persalinan, yang lahir dari rahimnya hanyalah segumpal daging. Byasa kemudian memotong-motong daging tersebut menjadi seratus bagian dan memasukkannya ke dalam guci, yang kemudian ditanam ke dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam setiap guci, munculah bayi laki-laki. Yang pertama muncul adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan saudaranya yang lain.

Seluruh putra-putra Dretarastra tumbuh menjadi pria yang gagah-gagah, bergelar atiratha, dan semuanya menikah saat dewasa.[1] Mereka memiliki lima saudara sepupu yang disebut "Pandawa" (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa), yaitu kelima putra Pandu, saudara tiri ayah mereka. Meskipun mereka bersaudara, Duryodana yang merupakan saudara tertua para Korawa, selalu merasa iri terhadap Pandawa, terutama si sulung Yudistira yang hendak dicalonkan menjadi raja di Hastinapura. Perselisihan pun timbul dan memuncak pada sebuah pertempuran akbar di Kurukshetra, India Utara.

Setelah pertarungan sengit berlangsung selama delapan belas hari, seratus putra Dretarastra gugur, termasuk cucu-cucunya. Yang terakhir gugur dalam pertempuran tersebut adalah Duryodana, saudara sulung para Korawa. Sebelumnya, adiknya yang bernama Dursasana yang gugur di tangan Bima. Yuyutsu, putra Dretarastra yang lahir dari seorang dayang-dayang, adalah satu-satunya Korawa yang selamat dari pertarungan di Kurukshetra karena memihak para Pandawa. Ia melanjutkan garis keturunan ayahnya, serta membuatkan upacara bagi para saudara dan teman-temannya yang gugur di medan perang Kurukshetra.

Silsilah

 
 
Ambika
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Byasa
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Ambalika
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gandari
 
 
 
Dretarastra
 
 
 
pelayan
 
Kunti
 
 
 
Pandu
 
 
 
 
 
Madri
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
100 putra
 
Dursilawati
 
Yuyutsu
 
Yudistira
 
Bima
 
Arjuna
 
Nakula
 
Sadewa

Keterangan
  • Kotak biru: Anak-anak kandung Dretarastra yang dikenal sebagai "Korawa".
  • Kotak hijau: Anak-anak kandung Pandu yang dikenal sebagai "Pandawa".

Daftar nama

Nama-nama seratus Korawa versi Mahabharata terdapat dalam buku Adiparwa, bab Sambhawaparwa bagian CXVII dan LXVII, yang diterjemahkan oleh Kisari Mohan Ganguli dari bahasa Sanskerta ke bahasa Inggris (The Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa).[1][2][3] Nama dalam aksara Dewanagari disalin dari Mahabharata berbahasa Sanskerta,[4] berasal dari berkas digital yang disusun oleh Prof. Muneo Tokunaga dari Kyoto dan disunting oleh John D. Smith.[5]

Daftar nama para Korawa juga terdapat dalam teks Adiparwa berbahasa Jawa Kuno yang diterbitkan ulang oleh I Gusti Putu Phalgunadi, seorang ahli di bidang sastra Jawa Kuno, dan disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris.[6] Namun nama-nama tokoh Korawa di dalam naskah yang digunakan Phalgunadi tidak lengkap, dan kadang-kadang berbeda dengan nama dalam Mahabharata dari India yang memakai bahasa Sanskerta. Kemudian Phalgunadi melengkapinya dengan nama-nama yang ia dapatkan dari Mahabharata versi bahasa Sanskerta.[6]

Karena adanya beberapa versi naskah Mahabharata, maka ada beberapa versi nama yang ditampilkan bersamaan dalam tabel di bawah ini. Dalam versi wayang kulit, daftar nama para Korawa disusun sesuai urutan abjad, bukan urutan kelahiran.

Catatan
  1. ^ a b Dalam kitab Mahabharata, para Korawa (putra Dretarastra dan Gandari) yang utama berjumlah seratus, tetapi mereka masih mempunyai saudara tiri dan saudari pula. Putri Dretarastra dan Gandari bernama Dursilawati atau Dursala. Korawa yang tidak dilahirkan oleh Gandari ialah Yuyutsu; ibunya seorang wanita waisya bernama Sugada.
  2. ^ a b c d e f g h i Dalam kisah pewayangan, tidak semua tokoh Korawa dikenal oleh masyarakat, karena hanya beberapa tokoh saja yang sering muncul dalam pedalangan.

Korawa signifikan

Banyak anggota Korawa yang disebutkan dalam kitab Mahabharata hanya bersifat trivial dan sebagai deretan nama saja, demikian pula dalam lakon pewayangan. Namun, beberapa anggota Korawa mendapatkan posisi atau perwatakan yang menonjol dalam suatu plot cerita/babak pewayangan, dan beberapa di antaranya dikisahkan sebagai tokoh yang signifikan dalam jalan cerita. Beberapa nama di antaranya disajikan dalam daftar di bawah ini, baik yang terdapat dalam kitab Mahabharata berbahasa Sanskerta, maupun yang dikisahkan dalam lakon pewayangan Jawa.

Anuwinda

Anuwinda atau Anuwenda adalah salah satu Korawa yang tercatat dalam naskah-naskah Mahabharata berbahasa Sanskerta maupun terjemahannya. Tokoh ini tidak mendapatkan banyak cerita dalam Mahabharata, tetapi ia dikisahkan sebagai seorang patih dalam pewayangan Jawa. Menurut pewayangan, ia merupakan saudara kesayangan Widandini, anggota Korawa yang lain. Widandini berhasil mengalahkan raja negeri Purantara lalu mengangkat dirinya sebagai penguasa di sana, sementara Anuwinda diangkat sebagai patih. Dalam Bharatayuddha (Perang Kurukshetra), Anuwinda gugur di tangan Arjuna.

Aparajita

Aparajita, menurut kitab Bhismaparwa, adalah Korawa yang memiliki hidung yang tampan. Dalam perang Kurukshetra, ia bertarung dengan sengit melawan Bima. Pada perang pada hari kedelapan, bersama dengan Adityaketu, Panditaka, Wisalaksa, Kundara, dan Wahwasin (Bahwasi), ia menyerbu Bima dengan hujan panah. Namun Bima tidak kalah oleh serangan mereka. Dengan sepucuk anak panah, Bima memenggal kepala Aparajita.

Bomawikata

Bomawikata merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam Mahabharata berbahasa Sanskerta. Bomawikata memiliki hubungan yang sangat erat dengan saudaranya yang bernama Wikataboma. Mereka berdua merupakan saudara tunggal guru dan hidup dalam satu jiwa. Artinya apabila yang satu diantara mereka mati dan dilangkahi saudara yang masih hidup, maka yang mati akan hidup kembali. Karena kesaktiannya itu, dalam perang Bharatayuda ketika Resi Drona menjadi Senapati Agung Kurawa dengan tata gelar perangnya (Cakraswandana), Wikataboma dan Bomawikata diangkat menjadi senapati pengapit. Sepak terjang mereka sangat menakutkan keluarga Pandawa. Tapi akhirnya Wikataboma dan Bomawikata tewas dalam peperangan melawan Bima. Kepala mereka diadu kumba (saling dibenturkan) hingga hancur, dan keduanya mati secara bersamaan.

Citraksa

Citraksa tercatat dalam berbagai versi daftar Korawa berbahasa Sanskerta. Menurut pewayangan Jawa, ia mempunyai saudara kembar, yaitu Citraksi. Sering dikisahkan dalam cerita pedalangan, Citraksa dan Citraksi mempunyai sifat dan karakter yang sama, seperti gagap dalam berbicara sehingga sering menjadi bahan ejekan bagi Patih Sengkuni, serta tindakannya yang dinilai grusa-grusu. Dalam peperangan di luar Bharatayuddha, Citraksa dan Citraksi sering menjadi bulan-bulanan anak-anak Pandawa seperti Antareja, Antasena, Gatotkaca, Abimanyu dan lain-lain.

Citrayuda

Citrayuda merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam Mahabharata berbahasa Sanskerta. Citrayuda memiliki perwatakan: lucu, banyak akal, pandai bicara dan suka mencela. Sebagai murid Resi Drona, Citrayuda juga mahir dalam olah keprajuritan mempermainkan senjata gada dan lembing. Pada saat berlangsungnya perang Bharatayuda, Citrayuda tampil memimpin pasukan balatentara Kurawa mendampingi senapati perang Resi Drona. Ia bersama Citraksa, Surtayu, Citrakundala dan Dirgalasara tewas dalam peperangan melawan Arya Wratsangka, senapati perang Pandawa, putra Prabu Matswapati dari negara Wirata. Istrinya bernama Dewi Padmajali yang darinya lahir seorang putra dan putri sakti bernama Daksesa dan Sakila.

Dirgabahu

Dirgabahu dikenal dalam pewayangan sebagai Raden Dirgabahu atau Arya Dirgabahu. Namanya tercatat dalam beberapa versi daftar nama Korawa berbahasa Sanskerta. Dalam kisah pewayangan Jawa, Dirgabahu muncul dalam cerita pewayangan dengan lakon Kresna Duta, dengan akhir riwayat diceritakan bahwa ia tewas setelah terinjak-injak oleh Brahalasewu (Raksasa perwujudan dari Prabu Kresna) bersama saudara yang lain yaitu Jalasaha, Citramarma, dan Widandini.

Durmagati

Durmagati merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam Mahabharata berbahasa Sanskerta. Dalam pewayangan, ia diceritakan sebagai salah satu Korawa yang paling kocak apabila sedang dimainkan/dibawakan sifatnya oleh dalang. Tokoh ini merupakan tokoh ciptaan pujangga Jawa, dan tidak ditemukan dalam naskah kitab Mahabharata dari India. Durmagati mempunyai badan yang lebih pendek dan gemuk dari kebanyakan saudara-saudaranya, dengan ciri khas leher yang sangat pendek dan kepala seperti tertekan ke bawah sehingga wajahnya menengadah ke atas.

Dursasana

Dursasana merupakan adik Duryodana, pemimpin para Korawa. Ia dikenal sebagai Korawa yang nomor dua di antara seratus Korawa. Tokoh ini mendapat peran signifikan dalam Sabhaparwa (kitab kedua Mahabharata), yang mengisahkan permainan dadu antara lima Pandawa melawan seratus Korawa. Dropadi, istri para Pandawa menjadi budak para Korawa setelah dipertaruhkan dalam permainan tersebut. Merasa sebagai pemilik budak, Dursasana berusaha melucuti pakaian Dropadi secara paksa, tetapi tidak berhasil berkat pertolongan Kresna. Peristiwa itu memperkeruh permusuhannya dengan Bima. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh Bima dalam perang di Kurukshetra pada hari ke-16.Istrinya bernama Dewi Cāndramukhi or Chandramukhi. yang darinya lahir seorang putra sakti bernama Drumasena.

Dursilawati

Dursilawati atau Dursala adalah satu-satunya Korawa yang berjenis kelamin perempuan. Ia merupakan adik bungsu dari Duryodana, pemimpin para Korawa. Ia menikah dengan Raja Sindhu bernama Jayadrata.

Duryodana

Duryodana atau Suyodana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata. Duryodana merupakan yang pertama di antara seratus Korawa. Duryodana menikah dengan putri Prabu Citranggada dari Kalinga dan mempunyai dua anak, masing-masing bernama Laksmanakumara (Lesmana Mandrakumara) dan Laksmana (Lesmanawati). Meskipun nama istri Duryodana tidak disebutkan secara khusus dalam naskah Mahabharata berbahasa Sanskerta, tetapi ia disebut Banumati dalam cerita rakyat India, atau Banowati dalam lakon pewayangan Jawa.[7]

Widandini

Widandini atau Arya Widandini merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam Mahabharata berbahasa Sanskerta. Dalam pewayangan, ia dikisahkan berwatak keras hati, cerdik pandai dan angkuh. Ia pandai dalam mempergunakan senjata gada dan trisula. Dengan kesaktiannya ia berhasil merebut negara Purantara dan mengangkat dirinya menjadi raja bergelar Prabu Windandini. Adik kesayangannya Anuwinda diangkat menjadi patih negara Purantara. Pada saat berlangsungnya perang Bharatayuddha, Prabu Widandini diangkat sebagai senapati perang Korawa dan mengerahkan seluruh balatentara negara Purantara ke medan perang Kurukshetra. Prabu Widandini dan Anuwinda gugur dalam pertempuran melawan Arjuna.

Wikarna

Wikarna disebut-sebut sebagai Korawa yang ketiga (setelah Duryodana dan Dursasana), tetapi dalam sumber lainnya diindikasikan bahwa ia menempati peringkat ketiga dari segi reputasi di antara seratus Korawa. Wikarna adalah satu-satunya Korawa yang membela Putri Dropadi, sebelum putri tersebut hendak ditelanjangi oleh Dursasana saat permainan dadu di selenggarakan di Hastinapura. Namun pembelaannya tidak dianggap oleh para Korawa dan Karna. Saat perang Kurukshetra, ia gugur di tangan Bima.

Wikataboma

Wikataboma merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam Mahabharata berbahasa Sanskerta. Dalam pewayangan, ia dikisahkan memiliki hubungan yang sangat erat dengan saudaranya yang bernama Bomawikata. Mereka berdua merupakan saudara tunggal guru dan hidup dalam satu jiwa. Artinya apabila yang satu diantara mereka mati dan dilangkahi saudara yang masih hidup, maka yang mati akan hidup kembali. Karena kesaktiannya itu, dalam perang Bharatayuda ketika Resi Drona menjadi Senapati Agung Kurawa dengan tata gelar perangnya (Cakraswandana), Wikataboma dan Bomawikata diangkat menjadi senapati pengapit. Sepak terjang mereka sangat menakutkan keluarga Pandawa. Tapi akhirnya Wikataboma dan Bomawikata tewas dalam peperangan melawan Bima. Kepala mereka diadu kumba (saling dibenturkan) hingga hancur, dan keduanya mati secara bersamaan.

Wisalaksa

Wisalaksa adalah nama salah satu Korawa yang tercatat dalam naskah-naskah Mahabharata berbahasa Sanskerta maupun terjemahannya. Dalam buku Mahabharata ke-6 (Bhismaparwa) dikisahkan bahwa ia enggan dibunuh oleh Bima, selain Wikarna. Dalam perang Kurukshetra, ia memihak Duryodana. Saat peperangan menginjak hari kedelapan, ia dan saudara-saudaranya mencoba mengalahkan Bima dengan serangan panah bertubi-tubi. Hal itu membuat Bima sangat marah sehingga ia membalas serangan para Korawa dengan garang. Saat menghadapi Wisalaksa, Bima tidak marah. Ia berpikir sejenak. Setelah mengenang berbagai kejadian yang dialaminya pada masa lalu, maka Bima tidak segan untuk membunuh Wisalaksa. Dengan tiga batang anak panah, ia memenggal kepala Wisalaksa.

Wiwingsati

Wiwingsati adalah nama salah satu Korawa yang tercatat dalam naskah-naskah Mahabharata. Ia sering disebut sebagai kesatria Korawa yang kerap berada di sisi Duryodana dan membantunya dalam invasi ke kerajaan Matsya. Dalam perang Kurukshetra, ia terlibat dalam pertarungan sengit melawan Bima dan putranya, Sutasoma. Pada akhirnya, ia gugur di tangan Bima. Kematiannya diratapi oleh Gandari, tercatat dalam kitab Striparwa. Dalam kitab, Gandari menyebutnya sebagai seorang pangeran yang berpenampilan muda dan tampan.

Wresaya

Wresaya atau Raden Dredasetra merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam Mahabharata berbahasa Sanskerta. Dalam pewayangan, ia dikisahkan memiliki watak keras hati, cerdik, pandai, licik, tetapi pandai dalam olah ketrampilan mempergunakan senjata khususnya gada, karena dia juga merupakan murid Resi Drona. Ia kemudian mengembara, setelah terpental dalam peristiwa timbangan (adu berat badan antara Korawa melawan keluarga Pandawa), dan kesaktiannya membuatnya berhasil merebut negara Glagahtinalang, dan mengangkat diri sebagai raja begelar Prabu Wresaya. Saat perang Bharatayuddha, ia menjadi senapati perang pihak Korawa, tetapi tewas di tangan Bima dengan tubuh hancur oleh hantaman Gada Rujakpala.

Yuyutsu

Yuyutsu adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan satu-satunya Korawa yang tidak dilahirkan oleh Ratu Gandari. Ibunya merupakan pelayan Ratu Gandari yang bernama Sugada, berasal dari kasta waisya. Ia adalah satu-satunya Korawa yang memihak Pandawa dalam perang Kurukshetra (Bharatayuddha), dan merupakan satu-satunya putra Dretarastra yang bertahan hidup sampai perang tersebut berakhir. Setelah Yudistira makzul, para Pandawa pensiun dari kehidupan duniawi (sanyasin), lalu Yuyutsu diangkat menjadi penasihat raja muda Parikesit, cucu Arjuna.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Kisari Mohan Ganguli, "SECTION CXVII (Sambhava Parva continued)", The Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa, Sacred-Text.com 
  2. ^ The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa (Complete)
  3. ^ Kisari Mohan Ganguli, "SECTION LXVII (Sambhava Parva continued)", The Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa, Sacred-Text.com 
  4. ^ a b c d e f g h i "Chapter 108", The Mahabharata in Sanskrit - Book 1, Sacred-Text.com, This the Sanskrit text of the Mahabharata in Sanskrit. This is derived from electronic files created by Prof. Muneo Tokunaga of Kyoto and edited by John D. Smith. 
  5. ^ "Parallel Devanagari and Romanization", The Mahabharata in Sanskrit, Sacred-Text.com, This text has been cross-referenced with Ganguli's English translation on a book-by-book basis. However, due to the mismatch in number of chapters per book, it was not possible to cross-reference this at the chapter level. 
  6. ^ a b I Gusti Putu Phalgunadi (1990), Indonesian Mahābhārata: Âdi Parva, The First Book, New Delhi: International Academy of Indian Culture and Aditya Prakashan, hlm. 186–189 
  7. ^ Sharma, Arvind (2007). Essays on the Mahābhārata (dalam bahasa Inggris). Motilal Banarsidass Publishe. ISBN 978-81-208-2738-7.