Perang Takhta Jawa Ketiga
Perang Takhta Jawa Ketiga | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Kesultanan Mataram (sampai 1755) Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) Kesunanan Surakarta (dari 1755) Kesultanan Yogyakarta (dari 1755) | Pemberontak anti-Belanda | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Pakubuwana III Nicolaas Hartingh Hamengkubuwana I (dari 1755) |
Pangeran Mangkubumi (sampai 1755) Pangeran Sambernyawa (sampai 1757) | ||||||
Kekuatan | |||||||
Tidak diketahui | Tidak diketahui | ||||||
Korban | |||||||
Tidak diketahui | Tidak diketahui |
Perang Takhta Jawa Ketiga adalah konflik bersenjata yang berlangsung antara tahun 1749 hingga 1757 di pulau Jawa. Ini menyebabkan Kesultanan Mataram terbagi menjadi dua kemudian tiga kekuasaan dan secara prinsip menyatakan berdiri independen antara Kesunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran
Penyebab
[sunting | sunting sumber]Penyebab perang takhta Jawa ketiga adalah perlakuan buruk oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff terhadap saudara lelaki Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi atau Raden Mas Sujana kemudian memberontak melawan VOC, yang telah meremehkannya, dan sekaligus terhadap kakaknya, yang dianggapnya terlalu patuh terhadap Belanda (1749). Pangeran Mangkubumi dalam perang melawan Belanda didukung oleh Pangeran Sambernyawa sepupunya, seorang prajurit yang brilian, yang kemudian menjadi perang gerilya melawan VOC.
Sebelum itu, tahun 1745, Pakubuwana II membangun keraton baru di Surakarta dan pindah dari Kartasura. Kekuasaan Pakubuwana II tidak diterima pangeran lain, yang memberontak di bawah pimpinan Pangeran Sambernyawa. Pakubuwana II menjanjikan hadiah dalam bentuk tanah seluas 3.000 cacah (kepala keluarga) kepada siapa saja yang sanggup menumpas pemberontakan ini. Tantangan ini diterima Pangeran Mangkubumi, yang mengalahkan Pangeran Sambernyawa tahun 1746.
Baron van Imhoff dan Patih Pringgalaya membujuk Pakubuwana II agar tidak menyerahkan hadiah tanahnya karena hal ini akan memberi kekuasaan yang terlalu besar pada Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi memberontak pada Mei 1746 dan bergabung dengan Pangeran Sambernyawa. Tahun berikut pasukannya sudah mencapai 13.000 prajurit, termasuk 2.500 pasukan kuda. Tahun 1748 Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa menyerang Surakarta.
Pakubuwana II jatuh sakit pada tahun 1749 dan kemudian meninggal dunia pada tanggal 20 Desember 1749, selanjutnya Raden Mas Suryadi, putranya naik takhta bergelar Pakubuwana III. Pakubuwana III pada masa pemerintahannya harus dihadapkan pada kaum pemberontak yang dipelopori oleh paman dan saudaranya sendiri.
Pada tahun 1752 terjadi perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. VOC segera menawarkan perdamaian dengan Pangeran Mangkubumi. Perundingan dilakukan dan berakhir dengan kesepakatan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan kedaulatan Pangeran Mangkubumi sebagai raja bergelar Hamengkubuwana I yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III.[1]
Pada perkembangan selanjutnya, kerajaan yang dipimpin Hamengkubuwana I disebut dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III disebut dengan nama Kesunanan Surakarta.
Seusai Perjanjian Giyanti, Pangeran Sambernyawa merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi. Akhirnya ia memusuhi Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. Perlawanan Pangeran Sambernyawa mulai melemah akhirnya ia terdesak dan bersedia berunding dengan VOC sejak 1756. Puncaknya, pada bulan Maret 1757 Pangeran Sambernyawa menyatakan kesetiaan terhadap VOC, Surakarta dan Yogyakarta melalui Perjanjian Salatiga.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Frederick & Worden 1993, The Dutch on Java, 1619–1755: "Perang berlangsung hingga tahun 1755, ketika Perjanjian Giyanti disahkan, mengakui Pakubuwana III (memerintah 1749–55) sebagai penguasa Surakarta dan Mangkubumi (yang mengambil gelar sultan dan nama Hamengkubuwana) sebagai penguasa Yogyakarta."
Sumber
[sunting | sunting sumber]- Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8