Lompat ke isi

Perlawanan tanpa kekerasan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pawai Garam pada 12 Maret 1930
Seorang demonstrator menawarkan setangkai bunga kepada polisi militer pada sebuah protes yang disponsori National Mobilization Committee to End the War in Vietnam di Arlington, Virginia, on October 21, 1967
Seorang pengunjuk rasa "No NATO" di Chicago, 2012

Perlawanan tanpa kekerasan adalah praktek mencapai tujuan seperti perubahan sosial melalui protes simbolik, pembangkangan sipil, non-kooperasi ekonomi atau politik, satyagraha, atau metode lainnya, tanpa menggunakan kekerasan. Jenis tindakan tersebut menyoroti keinginan seseorang atau kelompok yang merasa bahwa sesuatu hal dibutuhkan untuk mengubah kondisi saat ini dari orang atau kelompok yang memberontak. Istilah tersebut kebanyakan namun secara salah kaprah dianggap sebagai sinonim dari pemberontakan sipil. Setiap istilah tersebut ("pemberontakan non-kekerasan" dan "pemberontakan sipil") memiliki arti berbeda dan juga konotasi dan komitmen berbeda.

Bentuk modern dari pemberontakan non-kekerasan dipopulerkan dan diterapkan oleh pemimpin India Mahatma Gandhi dalam upayanya untuk meraih kemerdekaan dari Kekaisaran Britania.

Advokat-advokat pemberontakan non-kekerasan terkenal meliputi Mahatma Gandhi, Henry David Thoreau, Gene Sharp, Te Whiti o Rongomai, Tohu Kākahi, Lauaki Namulauulu Mamoe, Leo Tolstoy, Alice Paul, Martin Luther King, Jr, James Bevel, Václav Havel, Andrei Sakharov, dan Lech Wałęsa. Terdapat ratusan buku dan makalah tentang subyek tersebut — lihat Bacaan tambahan di bawah.

Dari 1966 sampai 1999, pemberontakan non-kekerasan memainkan peran penting dalam 50 dari 67 peralihan dari otoritarianisme.[1] Saat ini, pemberontakan non-kekerasan berujung pada Revolusi Mawar di Georgia dan Revolusi Jingga di Ukraina. Pemberontakan non-kekerasan saat ini meliputi Revolusi Jeans di Belarus, Revolusi "Jasmine" di Tunisia, dan perjuangan dari para pembangkang Kuba. Beberapa gerakan yang mempromosikan filsafat non-kekerasan atau pasifisme secara pragmatis mengadopsi metode-metode non-kekerasan sebagai cara efektif untuk meraih tujuan sosial atau politik. Mereka melakukan taktik-taktik pemberontakan seperti: perang informasi, picketing, pawai, vigil, menyebarkan selebaran, samizdat, magnitizdat, satyagraha, seni protes, musik dan puisi protes, pendidikan komunitas dan kebangkitan hati nurani, pelobian, pemberontakan pajak, pembangkangan sipil, pemboikotan atau sanksi, pergulatan hukum/diplomatik, gerakan bawah tanah, menolak penghargaan/penghormatan, dan serangan umum. Aksi non-kekerasan berbeda dari pasifisme menurut potensi proaktif dan intervensionis.

Tujuan besar dari pengerjaan tersebut ditujukan kepada faktor-faktor yang berujung pada mobilisasi kekerasan, namun kurangnya perhatian telah terbayar untuk pemahaman kenapa persengketaan menjadi kekerasan atau non-kekerasan, dengan membandingkan keduanya sebagai pilihan yang relatif strategis untuk politik konvensional.[2]

Catatan dan referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "A Force More Powerful". A Force More Powerful. 2010-07-01. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-09-17. Diakses tanggal 2010-09-01. 
  2. ^ Cunningham, K. G. (16 May 2013). "Understanding strategic choice: The determinants of civil war and nonviolent campaign in self-determination disputes". Journal of Peace Research. 50 (3): 291–304. doi:10.1177/0022343313475467. 

Bacaan tambahan

[sunting | sunting sumber]


Dari abad ke-20

[sunting | sunting sumber]

Dari abad ke-21

[sunting | sunting sumber]