Lompat ke isi

Otoritarianisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai oleh penyerahan kekuasaan.[1] Ini kontras dengan individualisme dan demokrasi.[1] Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin.[2] Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.[1]

Otoritarianisme berbeda dari totalitarianisme di lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang terjadi, yang tidak di bawah kendali pemerintah.[1][3] Sistem ini biasanya menentang demokrasi, sehingga pada umumnya kuasa pemerintahan diperoleh tanpa pemilihan umum secara demokratis.[3]

Asal Kata

[sunting | sunting sumber]

Istilah otoritarianisme berasal dari bahasa Inggris, authoritarian.[4] Kata authoritarian sendiri berasal dari bahasa Inggris authority, yang sebetulnya merupakan turunan dari kata Latin auctoritas.[4] Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas.[4] Oleh otoritas itu, orang dapat memengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan perilaku orang, baik secara perorangan maupun kelompok.[4] Otoritarianisme adalah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak.[4]

Beberapa Ciri

[sunting | sunting sumber]

Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai acuan hidup.[4] Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir.[4] Ketika berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya, mereka akan menanyakan kedudukannya (sebagai apa) dalam lembaga dan organisasi.[4][5] Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya.[4] Namun, hal ini hanya berlaku untuk dirinya.[4] Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi pekerjaan seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada.[4] Jika orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia akan dianggap salah.[4]

Dalam Berkomunikasi

[sunting | sunting sumber]

Penganut otoriter hanya mengenal satu macam komunikasi, yaitu satu arah.[4] Komunikasi dua arah, saling diskusi dan menanggapi, dan model demokratis dengan kemungkinan perbedaan dan pertentangan pendapat secara verbal atau secara konseptual akan dimengerti, tetapi sulit untuk dihayati.[4] Komunikasi yang bebas dan terbuka, berasal dari berbagai arah dan tertuju ke segala penjuru akan asing baginya, karena gaya komunikasi tersebut tidak masuk dan klop dalam kerangka berpikirnya.[4] Oleh karena itu, komunikasi satu arah menjadi andalan bagi orang ini dalam menjalankan tugasnya.[4] Dalam menjalankan tugasnya baik dalam menyampaikan gagasan, pemikiran, dan pesan, orang otoriter hanya mengenal satu bentuk komunikasi, yaitu instruksi.[4] Istilah yang dikenalnya terbatas pada pengarahan, petunjuk, wejangan, perintah, pembinaan, sehingga bentuk komunikasi yang sifatnya sekadar memberitahu perkaranya (informatif) dianggap sudah mencukupi.[4] Bentuk komunikasi yang persuasif untuk meyakinkan, dinilai menghabiskan waktu dan tidak efisien.[4]

Mengandalkan diri pada kekuasaan

[sunting | sunting sumber]

Jika dalam komunikasi orang otorianisme hanya mengenal komunikasi dalam bentuk instruksi, dalam bertindak mereka suka main kuasa.[4] Yang dimaksud dengan main kuasa adalah pemaksaan kuasa dengan melumpuhkan orang, menggunakan ancaman, dan menyepelekan perkara.[4] Orang otoritarianisme juga akan mempermainkan perasaan bawahannya dengan sengaja membuat mereka salah dan malu.[4] Dengan kata lain, daripada bertitik tolak dari hakikat dan kepentingan perkara, keadaan dan kemampuan orang, serta situasi dan kondisi yang ada, dalam bertindak orang otoritarianisme akan berkutat pada kekuasaan yang dimilikinya.[4]

Perbandingan Karakteristik Otoriter dan Totaliter

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan penelitian ahli politik, Syed Mohd Aizuddin Tuan Sembak (UTM), Juan Linz, dan Paul C. Sondrol dari University of Colorado di Colorado Springs, maka perbedaan karateristik otoriter dan totaliter (diktator) dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut:[6]

Totaliter Otoriter
Karisma Tinggi Rendah
Konsep kebijakan Pemimpin hanya menjalankan fungsi Pemimpin sebagai kepribadian
Batas kekuasaan Publik Pribadi
Korupsi Rendah Tinggi
Ideologi resmi Ada Tidak ada
Pluralisme Tidak ada Ada
Legitimasi Ada Tidak ada

Kritik terhadap Otoritarianisme

[sunting | sunting sumber]

Kekuasaan merupakan faktor penting dalam kehidupan.[4] Dengan penggunaan kekuasaan yang baik dan tepat, banyak hal dapat diselesaikan dan berbagai prestasi dicapai.[4] Kesalahan otoritarianisme dan para penganutnya ialah memandang kekuasaan bukan sebagai sarana, melainkan untuk tujuan sendiri.[4] Karena itu, yang penting bagi mereka adalah bagaimana kekuasaan berfungsi, digunakan dan ditampakkan.[4] Apa yang hendak dicapai, bagaimana cara mencapainya, dan nasib orang-orang yang diikutsertakan dalam pencapaian tidaklah penting.[4]

Pemutarbalikkan pemahaman tentang kekuasaan sebagai sarana menjadi tujuan itu mengakibatkan penggunaannya tidak pas.[4] Hasilnya hidup menjadi sempit sebatas tanggungjawab dan wewenang, komunikasi menjadi satu arah, dan permainan kekuasaan merajalela.[4] Akibatnya hidup tidak terkelola dengan baik dan yang berkembang adalah berbagai trik dan usaha untuk mendapatkan kekuasaan, mempertahankannya, dan memanipulasinya dengan alasan apapun.[4] Otoritarianisme entah sadar ataupun tidak, berporos pada pemahaman tentang kekuasaan dan penggunaannya, dengan bentuk-bentuk akibat dalam komunikasi dan gaya hidup yang diciptakannya.[4] Otoritarianisme dan orang-orang otoriter akan berkembang dan banyak muncul dalam masyarakat yang formalistis, legalistis, dan konvensionalistis.[4]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Baskara T. Wardaya. 2007. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Hlm. 3.
  2. ^ Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan Kritik. 2004. Jakarta: Galang Press Group. Hlm 11.
  3. ^ a b Shepard, Jon (2003). Sociology and You. Ohio: Glencoe McGraw-Hill. hlm. A–22. ISBN 0078285763. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-08. Diakses tanggal 2009-02-12. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 174-177.
  5. ^ Khaled Abou El Fadl. 2001. Atas nama Tuhan. Jakarta: Serambi. Hlm 206.
  6. ^ (Inggris) Sondrol, Paul C. "Totalitarian and Authoritarian Dictators: A Comparison of Fidel Castro and Alfredo Stroessner." Journal of Latin American Studies 23(3): October 1991, pp. 449-620.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]