Lompat ke isi

Akikah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Akikah (bahasa Arab: عقيقة, transliterasi: Aqiqah) adalah pengurbanan hewan dalam syariat Islam, sebagai penggadaian (penebus) seorang bayi yang dilahirkan.[1] Hukum akikah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunah muakkadah, dan ini adalah pendapat jumhur ulama menurut hadits.[2][3] Kemudian ada ulama yang menjelaskan bahwa akikah sebagai penebus adalah artinya akikah itu akan menjadikan terlepasnya kekangan jin yang mengiringi semua bayi sejak lahir.[4]

Definisi akikah

Akikah berarti menyembelih kambing pada hari ketujuh kelahiran seseorang anak. Menurut bahasa, akikah berarti pemotongan.[butuh rujukan] Hukumnya sunah muakkadah bagi mereka yang mampu, bahkan sebagian ulama menyatakan wajib.[1]

Syariat 'akikah

Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Karaz Al Ka’biyah bahwa ia bertanya kepada rasulullah tentang akikah. Dia bersabda, “Bagi anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing dan bagi anak perempuan disembelihkan satu ekor, dan tidak akan membahayakan kamu sekalian, apakah (sembelihan itu) jantan atau betina.”

Bisa disimpulkan bahwa jika seseorang berkemampuan untuk menyembelih 2 ekor kambing bagi 'Aqأqah anak laki-lakinya, maka sebaiknya ia melakukannya, namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk 'Aqأqah anak laki-lakinya juga diperbolehkan dan mendapat pahala.

Kata akikah berasal dari bahasa arab. Secara etimologi, ia berarti 'memutus'. 'Aqqa wi¢lidayhi, artinya jika ia memutus (tali silaturahmi) keduanya. Dalam istilah, akikah berarti "menyembelih kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Allah swt berupa kelahiran seorang anak".

Akikah merupakan salah satu hal yang disyariatkan dalam agama islam. Dalil-dalil yang menyatakan hal ini, di antaranya, adalah hadits Rasulullah saw, "Setiap anak tertuntut dengan akikahnya'? Ada hadits lain yang menyatakan, "Anak laki-laki (akikahnya dengan 2 kambing) sedang anak perempuan (akikahnya) dengan 1 ekor kambing'? Status hukum akikah adalah sunnah. Hal tersebut sesuai dengan pandangan mayoritas ulama, seperti Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Malik, dengan berdasarkan dalil di atas. Para ulama itu tidak sependapat dengan yang mengatakan wajib, dengan menyatakan bahwa seandainya akikah wajib, maka kewajiban tersebut menjadi suatu hal yang sangat diketahui oleh agama, dan seandainya akikah wajib, maka rasulullah ﷺ juga pasti telah menerangkan akan kewajiban tersebut.

Beberapa ulama seperti Imam Hasan Al-Bashri, juga Imam Laits, berpendapat bahwa hukum akikah adalah wajib. Pendapat ini berdasarkan atas salah satu hadits di atas, "Kullu ghuli¢min murtahanun bi 'aqiqatihi'? (setiap anak tertuntut dengan akikahnya), mereka berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan dalil wajibnya akikah dan menafsirkan hadits ini bahwa seorang anak tertahan syafaatnya bagi orang tuanya hingga ia diakikahi. Ada juga sebagian ulama yang mengingkari disyariatkannya (masyri»'iyyat) akikah, tetapi pendapat ini tidak berdasar sama sekali. Dengan demikian, pendapat mayoritas ulama lebih utama untuk diterima karena dalil-dalilnya, bahwa akikah adalah sunnah.

Bagi seorang ayah yang mampu hendaknya menghidupkan sunnah ini hingga ia mendapat pahala. Dengan syariat ini, ia dapat berpartisipasi dalam menyebarkan rasa cinta di masyarakat dengan mengundang para tetangga dalam walimah akikah tersebut.

Mengenai kapan akikah dilaksanakan, rasulullah ﷺ bersabda, "Seorang anak tertahan hingga ia diakikahi, (yaitu) yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan diberi nama pada waktu itu'?. Hadits ini menerangkan bahwa akikah mendapatkan kesunnahan jika disembelih pada hari ketujuh. Sayyidah Aisyah ra dan Imam Ahmad berpendapat bahwa akikah bisa disembelih pada hari ketujuh, atau hari keempat belas ataupun hari keduapuluh satu. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sembelihan akikah pada hari ketujuh hanya sekedar sunnah, jika akikah disembelih pada hari keempat, atau kedelapan ataupun kesepuluh ataupun sesudahnya maka hal itu dibolehkan.

Menurut hemat penulis, jika seorang ayah mampu untuk menyembelih akikah pada hari ketujuh, maka sebaiknya ia menyembelihnya pada hari tersebut. Namun, jika ia tidak mampu pada hari tersebut, maka boleh baginya untuk menyembelihnya pada waktu kapan saja. 'Akikah anak laki-laki berbeda dengan akikah anak perempuan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sesuai hadits yang telah kami sampaikan di atas. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa akikah anak laki-laki sama dengan akikah anak perempuan, yaitu sama-sama 1 ekor kambing. Pendapat ini berdasarkan riwayat bahwa rasulullah ﷺ mengaqikahi Hasan dengan 1 ekor kambing, dan Husein (keduanya adalah cucu) dengan 1 ekor kambing.

Bisa disimpulkan bahwa jika seseorang berkemampuan untuk menyembelih 2 ekor kambing bagi akikah anak laki-lakinya, maka sebaiknya ia melakukannya, namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk akikah anak laki-lakinya juga diperbolehkan dan mendapat pahala.

Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa agama Islam membedakan antara akikah anak laki-laki dan anak perempuan, maka jawabannya adalah bahwa seorang muslim, ia berserah diri sepenuhnya pada perintah Allah swt, meskipun ia tidak tahu hikmah akan perintah tersebut, karena akal manusia terbatas. Barangkali juga bisa diambil hikmahnya yaitu untuk memperlihatkan kelebihan seorang laki-laki dari segi kekuatan jasmani, juga dari segi kepemimpinannya (qawwamah) dalam suatu rumah tangga.

Dalam penyembelihan akikah, banyak hal yang perlu diperhatikan, di antaranya, sebaiknya tidak mematahkan tulang dari sembelihan akikah tersebut, dengan hikmah tafa'™ul (berharap) akan keselamatan tubuh dan anggota badan anak tersebut. 'Akikah sah jika memenuhi syarat seperti syarat hewan Qurban, yaitu tidak cacat dan memasuki usia yang telah disyaratkan oleh agama Islam. Seperti dalam definisi tersebut di atas, bahwa akikah adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh semenjak kelahiran seorang anak, sebagai rasa syukur kepada Allah. Tetapi boleh juga mengganti kambing dengan unta ataupun sapi dengan syarat unta atau sapi tersebut hanya untuk satu anak saja, tidak seperti kurban yang mana dibolehkan untuk 7 orang. Tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa akikah hanya boleh dengan menggunakan kambing saja, sesuai dalil-dalil yang datang dari Rasulullah saw.

Ada perbedaan lain antara akikah dengan Qurban, kalau daging Qurban dibagi-bagikan dalam keadaan mentah, sedangkan akikah dibagi-bagikan dalam keadaan matang. Hikmah syariat akikah yakni dengan akikah, timbullah rasa kasih sayang di masyarakat karena mereka berkumpul dalam satu walimah sebagai tanda rasa syukur kepada Allah swt. Dengan akikah pula, berarti bebaslah tali belenggu yang menghalangi seorang anak untuk memberikan syafaat pada orang tuanya, dan lebih dari itu semua, bahwasanya akikah adalah menjalankan syiar Islam.

Hikmah Akikah

Akikah Menurut Syaikh Abdullah nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam sebagaimana dilansir di sebuah situs memiliki beberapa hikmah di antaranya:

  1. Menghidupkan sunah Nabi Muhammad ﷺ dalam meneladani Nabiyyullah Ibrahim alaihissalam tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menebus putra Ibrahim yang tercinta Ismail alaihissalam.
  2. Dalam akikah ini mengandung unsur perlindungan dari syaitan yang dapat mengganggu anak yang terlahir itu, dan ini sesuai dengan makna hadis, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan akikahnya.” [5]. Sehingga Anak yang telah ditunaikan akikahnya insya Allah lebih terlindung dari gangguan syaithan yang sering mengganggu anak-anak. Hal inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah "bahwa lepasnya dia dari syaithan tergadai oleh akikahnya".
  3. Akikah merupakan tebusan hutang anak untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak pada hari perhitungan. Sebagaimana Imam Ahmad mengatakan: "Dia tergadai dari memberikan Syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan akikahnya)".
  4. Merupakan bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lahirnya sang anak.
  5. Akikah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syari'at Islam & bertambahnya keturunan mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah SAW pada hari kiamat.
  6. Akikah memperkuat ukhuwah (persaudaraan) di antara masyarakat.

Menurut Drs. Zaki Ahmad dalam bukunya "Kiat Membina Anak Sholeh" disebutkan manfaat-manfaat yang akan didapat dengan berakikah, di antaranya[6]:

  1. Membebaskan anak dari ketergadaian
  2. Pembelaan orang tua di hari kemudian
  3. Menghindarkan anak dari musibah dan kehancuran, sebagaimana pengorbanan Nabi Ismail dan Ibrahim
  4. Pembayaran hutang orang tua kepada anaknya
  5. Pengungkapan rasa gembira demi tegaknya Islam dan keluarnya keturunan yang di kemudian hari akan memperbanyak umat Nabi Muhammad SAW
  6. Memperkuat tali silahturahmi di antara anggota masyarakat dalam menyambut kedatangan anak yang baru lahir
  7. Sumber jaminan sosial dan menghapus kemiskinan di masyarakat
  8. Melepaskan bayi dari godaan setan dalam urusan dunia dan akhirat.

Syarat Akikah

Hewan dari jenis kibsy (domba putih) nan sehat umur minimal setengah tahun dan kambing jawa minimal satu tahun. Untuk anak laki-laki dua ekor, dan untuk anak perempuan satu ekor, namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk 'Aqأqah anak laki-lakinya juga diperbolehkan dan mendapat pahala.[butuh rujukan].

Hewan Sembelihan

Hewan yang dibolehkan disembelih untuk akikah adalah sama seperti hewan yang dibolehkan disembelih untuk kurban, dari sisi usia dan kriteria[7].

Imam Malik berkata: Akikah itu seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan haji) dan udhhiyah (kurban), tidak boleh dalam akikah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit. Imam Asy-Syafi'iy berkata: Dan harus dihindari dalam hewan akikah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.

Ibnu Abdul Barr berkata: Para ulama telah ijma bahwa di dalam akikah ini tidak diperbolehkan apa yang tidak diperbolehkan di dalam udhhiyah, (harus) dari Al Azwaj Ats Tsamaniyyah (kambing, domba, sapi dan unta), kecuali pendapat yang ganjil yang tidak dianggap.

Namun di dalam akikah tidak diperbolehkan berserikat (patungan, urunan) sebagaimana dalam udhhiyah, baik kambing/domba, atau sapi atau unta. Sehingga bila seseorang akikah dengan sapi atau unta, itu hanya cukup bagi satu orang saja, tidak boleh bagi tujuh orang.

Kadar Jumlah Hewan

Kadar akikah yang mencukupi adalah satu ekor baik untuk laki-laki atau pun untuk perempuan, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas rahimahulloh: “Sesungguh-nya nabi ﷺ mengakikahi Hasan dan Husain satu domba satu domba.” (Hadis shahih riwayat Abu Dawud dan Ibnu Al Jarud)

Ini adalah kadar cukup dan boleh, namun yang lebih utama adalah mengakikahi anak laki-laki dengan dua ekor, ini berdasarkan hadis-hadis berikut ini[7]:

  1. Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata, yang artinya: “Nabi ﷺ memerintahkan agar dsembelihkan akikah dari anak laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor.” (Hadis sanadnya shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
  2. Dari Aisyah Radhiallaahu anha berkata, yang artinya: “Nabi ﷺ memerintahkan mereka agar disembelihkan akikah dari anak laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor.” (Shahih riwayat At Tirmidzi)

dan karena kebahagian dengan mendapatkan anak laki-laki adalah berlipat dari dilahirkannya anak perempuan, dan dikarenakan laki-laki adalah dua kali lipat wanita dalam banyak hal.

Waktu Pelaksanaan

Pelaksanaan akikah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi 'ﷺ, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan akikahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)

dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadis Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi ﷺ', dia berkata yang artinya: “Hewan akikah itu disembelih pada hari ketujuh, keempatbelas, dan keduapuluhsatu.” (Hadis hasan riwayat Al Baihaqiy)

Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunah dan paling utama bukan wajib, dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh[7].

Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan akikahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya.

Akikah adalah syari’at yang ditekan kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang yang belum di sembelihkan hewan akikah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia bisa menyembelih akikah dari dirinya sendiri, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata: "...dan bila tidak diakikahi oleh ayahnya kemudian dia mengakikahi dirinya sendiri maka hal itu tidak apa-apa."

Pembagian daging akikah

Adapun dagingnya maka dia (orang tua anak) bisa memakannya, menghadiahkan sebagian dagingnya, dan mensedekahkan sebagian lagi. Syaikh Utsaimin berkata: "...dan tidak apa-apa dia mensedekahkan darinya dan mengumpulkan kerabat dan tetangga untuk menyantap makanan dari kambing akikah yang sudah matang. Syaikh Jibrin berkata: Sunahnya dia memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya, dan mensedekahkan sepertiga lagi kepada kaum muslimin, dan boleh mengundang teman-teman dan kerabat untuk menyantapnya, atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya. Syaikh Ibnu Bazz berkata: "...dan engkau bebas memilih antara mensedekahkan seluruhnya atau sebagiannya dan memasaknya kemudian mengundang orang yang engkau lihat pantas diundang dari kalangan kerabat, tetangga, teman-teman seiman dan sebagian orang faqir untuk menyantapnya, dan hal serupa dikatakan oleh Ulama-ulama yang terhimpun di dalam Al lajnah Ad Daimah."[7].

Referensi

  1. ^ a b Samurah bin Jundub, nabi ﷺ bersabda, كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.” (Hadits riwayat Ahmad 20722, at-Turmudzi 1605, dan dishahihkan al-Albani).
  2. ^ Berdasarkan anjuran rasulullah ﷺ dan praktik langsung dia. “Bersama anak laki-laki ada akikah, maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran (maksudnya cukur rambutnya).” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan)
  3. ^ Rasulallah ﷺ, yang artinya: “Maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan),” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silakan lakukan.” (Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan). Perkataan dia, yang artinya: “Ingin menyembelihkan,..” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunah.
  4. ^ Kemudian Ibnul Qoyim menyebutkan tafsir hadits Samurah bin Jundub di atas, "Tergadai artinya tertahan, baik karena perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain… dan Allah jadikan aqiqah untuk anak sebagai sebab untuk melepaskan kekangan dari setan, yang selalu mengiringi bayi sejak lahir ke dunia, dan menusuk bagian pinggang dengan jarinya. Sehingga aqiqah menjadi tebusan untuk membebaskan bayi dari jerat setan, yang menghalanginya untuk melakukan kebaikan bai akhiratnya yang merupakan tempat kembalinya." (Tuhfah al-Maudud, hlm. 74)
  5. ^ Hadis shahih riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, dan Ibnu Majah
  6. ^ Drs. Zaki Ahmad, "Kiat Membina Anak Sholeh"
  7. ^ a b c d "Artikel Berjudul: Aqiqah Buah Hati Pada MediaMuslim.Info". 

Referensi utama: Tarbiyatul Awlid, DR. Abdullah Nashih Ulwan.

  • Subulussalam (4/189, 4/190, 4/194)
  • Al Asilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah (3/33-35, 3/39-40)
  • Mukhtashar Al Fiqhil Islamiyy 600
  • Tuhfatul Wadud Fi Ahkamil Maulud, Ibnu Al Qayyim 46-47
  • Al Muntaqaa 5/195-196
  • Mulakhkhash Al Fiqhil Islamiy 1/318
  • Fatawa Islamiyyah 2/324-327; Irwaul Ghalil (4/389, 4/405)
  • Minhajul Muslim, Abu Bakar Al Jazairiy 437

Pranala luar