Pemberontakan di Kalimantan Barat (1850-1854)
Artikel ini tidak memiliki bagian pembuka yang sesuai dengan standar Wikipedia. (12 November 2010) |
Antara tahun 1850-1854, Belanda meluncurkan ekspedisi balasan terhadap orang Tionghoa di Kalimantan Barat.
Latar belakang
Orang-orang Tionghoa menolak membayar pajak dan menekan penduduk asli. Sejumlah penambang telah bergabung dalam republik kecil bernama kongsi yang diperintah oleh ketua yang mereka pilih sendiri. Pada tahun 1850, Kongsi Langfang atau Mandor muncul di Distrik Sambas, Mempawah dan Pontianak, Kongsi Sam Ti Kiu di Sepang dan Pemangkat, beribukota di Seminis; Kongsi Taikong mencakup Distrik Monterado, Lara, Singkawang, dan Kulor; inilah yang terkuat di antara lainnya sehingga Kongsi Syep Eng Fou dan Liemcin tunduk padanya. Markas-markas kongsi itu berada dalam keadaan bertahan dan secara bertahap membangun pertahanan yang kokoh. Bersama-sama kongsi mereka mengumumkan perang dan kekuatan mereka meningkat sehingga benturan dengan pemerintah Hindia Belanda tak terelakkan lagi.
Ekspedisi
Di samping menjalankan pertambangan emas, orang Tionghoa juga gemar berdagang candu. Setelah Belanda hendak menangkap kapal Tionghoa yang membawa barang selundupan, barulah orang-orang Tionghoa bereaksi dan mulai menyusun kekuatan. Belanda segera mengirim 1 fregat beserta kapal-kapal lainnya ke pantai Sambas untuk menghantam orang-orang Tionghoa di Benteng Pemangkat. Pada tanggal 12 September 1850, benteng tersebut dapat direbut, meskipun telah dipertahankan habis-habisan dan LetKol. Frederik Johannes Sorg terbunuh di sini. Sebagai peringatan, nama Sorg diabadikan ke benteng yang berada di Bukit Penibungan, titik strategis terpenting di kawasan itu. Benteng Pemangkat tidak diduduki oleh pasukan Belanda dan Overste Le Bron de Vexela, yang tiba dengan bala bantuan di Sambas, hendak memperbaiki kesalahan namun orang Tionghoa telah memperkuat diri dan angin muson yang buruk telah menghambat operasi, sehingga pasukan kembali ke Sambas pada tanggal 23 November dengan tangan hampa.
Meskipun demikian, orang Tionghoa tetap menyerahkan diri dan pada awal tahun 1851, sebuah persetujuan dengan kongsi Taikong, Syep Eng Fou dan Liemcin tercapai. Kemudian terbukti orang Tionghoa hanya ingin mengulur-ulur waktu. Di saat yang sama, Pemangkat jatuh ke tangan Belanda dan kepada pimpinan kongsi, Belanda mengajukan syarat akan memberikan ampun jika sekutu Belanda, kongsi Sam Ti Kiu (yang diusir ke Sarawak) bebas kembali ke daerahnya, di antara Monterado dan Sambas. Walau demikian, kongsi terbuang itu tak berani kembali lagi karena Sepang masih dikuasai Kongsi Taikong. Pada tanggal 29 Maret 1853, sebarisan pasukan diberangkatkan dari Sambas menuju Sepang di bawah May. A.J. Andresen dan disertai oleh komisaris gubernemen Ary Prins; berpandangan bahwa masalah yang sedang dialami ini lemah pengawalannya, lalu kembali ke Sambas.
Di Kedondong mereka diserang secara curang oleh sekelompok Tionghoa; 1 detasemen infanteri datang memberi bantuan; tetapi garnisun tersebut segera dikepung dan harus bertahan dari kekuatan besar itu. Kapt. Van Houten, komandan Benteng Sorg, bergerak dengan 250 anggotanya untuk menyelamatkan rekannya dan mengusir musuh. Hanya karena kekuatan yang besarlah, Sepang dapat dipertahankan. Keputusan untuk meninggalkan pos tersebut dan Balai Binang diambil dan tentara Belanda dapat kembali ke Sambas.
Pertempuran Sekadau
Van Houten, yang juga diberikan kekuasaan sipil di wilayah itu, muncul lagi di Seminis pada tanggal 12 Mei untuk membantu Sam Ti Kiu, sekutu Belanda. Di saat yang sama, Panglima Taikong telah memperkuat pertahanan dan menjanjikan hadiah bagi siapapun yang dapat membunuh Van Houten. Hampir saja Van Houten terbunuh apabila May. Willem Egbert Kroesen tidak segera datang membantu dengan 160 serdadunya. Musuh dapat dihalau hingga ke lerengan Sekadau, tempat mereka masih membuat pertahanan. May. Kroesen kini menyerang pertahanan yang kuat itu dengan 200 pasukannya. Orang Tionghoa bertahan dengan sengit dan mencoba menyerang namun akhirnya kalah oleh pasukan Belanda, dengan senjata bayonet daerah tersebut takluk dan musuh kocar-kacir. Salah satu prajurit yang mendapat sebutan kehormatan adalah Johannes Root.
Akibat
Tak lama berselang, orang Tionghoa mulai menggiatkan kegiatan di pertambangan (di samping Singkawang, Sungai Duri dan Monterado). Walaupun pasukan Belanda yang ada tak cukup banyak untuk menundukkan kongsi tersebut, akhirnya markas kongsi di Bentunai, terletak di bantaran kiri sungai Selakau, jatuh juga. Komandan Celebes, Frederik Lambertus Geerling, ditugaskan merebut benteng tersebut. Pada tanggal 7 Juli 1853, kapal itu mengarungi sungai namun angin ribut menghalangi jalannya masuk mereka dengan berondongan tembakan musuh. Barulah pada tanggal 7 Juli, mereka berhasil mendarat dan menaklukkan Bentunai, tempat yang menjadi tumpuan bagi pengiriman ekspedisi-ekspedisi selanjutnya.
Rujukan
- Terwogt WA. 1900. Het land van Jan Pieterszoon Coen: Geschiedenis van de Nederlanders in Oost-Indië. Hoorn: P. Geerts.
- Kepper G. 1900. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger: 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
- Gerlach AJA. 1876. Nederlandse heldenfeiten in Oost Indië (3 jilid). Den Haag: Gebroeders Belinfante.
- Artikel yang perlu diperbaiki from 12 November 2010
- Semua artikel yang perlu diperbaiki
- Halaman yang tidak memiliki bagian pembuka
- Articles covered by WikiProject Wikify from 12 November 2010
- All articles covered by WikiProject Wikify
- Sejarah Kalimantan
- Perang yang melibatkan Belanda
- Perang yang melibatkan Indonesia
- Pemberontakan di Indonesia