Lompat ke isi

Sejarah Bangka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sejarah Bangka, Pulau Bangka adalah suatu pulau yang terdapat di samping timur Sumatra, Indonesia dan terhitung dalam lokasi provinsi Kepulauan Bangka Belitung.[1] Pulau Bangka terletak pada posisi 1°-30°-3°-7′ Lintang Selatan dan 105°-45′-107″ Bujur Timur memanjang dari Barat Laut ke Tenggara ± 108 Km.[2] Sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka pernah dihuni oleh orang-orang Hindu pada abad ke-7.[2][3] Pada masa Kerajaan Sriwijaya pulau Bangka termasuk pulau sebagai daerah taklukan dari kerajaan yang besar itu.[2][3] Semenjak runtuhnya kerajaan Sriwijayab, pulau bangka di bawah taklukan Kerajaan Majapahit yang ada di kerajaan palembang lamo yang rajanya anak dari raja majapahit yang menikah denagn putri kerajaan campa bernama Raden Aryo Dillah di kenal dengan Fatahillah atau raden Fatah. kerajaan palembang lamo di rubah nama menjadi kesultanan oleh sultan Ratu abdurrahman dikenal dengan sunan cinde menjadi KESULTANAN PALEMBANG DARRUSSALLAM semenjak itu bangka di bawah kesultaan palembang darrussallam. Pulau bangka dengan penghasilanan rempah-rempah lada dan cengkeh juga tambang Timahnya yang sangat terkenal sehingga pulau bangka banyak di incar oleh bangsa-bangsa dari Eropa. Kesultanan palembang Darrussallam terpecah menjadi 2 semenjak sultan Agung Kamarudin berkuasa yang di gantikan oleh kedua keponakannya yaitu raden wikramo menjadi sultan palembang dengan nama sultan mahmud badarudin yang wilayahnya daerah palembang sekarang dan pangeran tumengung Muhammad Ali menjadi sultan di bangka dengan nama Sultan Muhammad Ali dengan wilayahnya pulau bangka dan belitung. Semenjak di dibawah kesultanan Muhammad Ali pulau bangka mulai terkenal, banyak menghasilkan sastra-sastra melayu terutama PANTUN.Kemudian pulau bangka mengalami kemunduran semenjak berakhirnya kesultanan Muhammad ali akibat perebutan kekuasaan antara Sultan Muhamad Ali dengan Hulubalang Nilam yang di sokong oleh Belanda.Sejak sultan Muhammad Ali dan hulu balang Nilam meningggal maka belanda mengambil alih kekusaan pulau bangka dan belitung.Tidak lama belanda berkuasa di bangka di perairaan laut pulau bangka banyak terjadi perompakan (bajak laut) yang di pimpin oleh LANON sehingga para pedagang banyak yang takut melalui perairan pulau bangka terutama pedagang dari Arab dan China. Bukan hanya pedagang yang menjadi sasaran para bajak laut tapi penduduk bangka yang tinggal di kampung pesisir pantai juga menjadi sasaran para perompak LANON.

Asal usul nama Bangka

Dalam berbagai publikasi dipertengahan abad 20, pulau ini ditulis dengan ejaan "Banka".[4] Kemudian, seorang ahli tambang senior Cornelis de Groot mengusulkan untuk menulis nama dengan ejaan "Bangka".[4] Berikut adalah penamaan pulau bangka:

Mo-Ho-Hsin

Asal-muasal nama Bangka oleh I-Tsing disebut Mo-Ho-Hsin, lokasinya di Kota Kapur, tetangga Sriwijaya.[4] Kota Kapur berada di pantai Selat Bangka, berhadapan dengan delta sungai Musi.[4] Moho berasal dari kata Sansekrta yaitu moha yang berarti "bingung" atau "lingung".[4] Berdasarkan pengertian itu Nia Kurnia (1983) menghubungkan kata bangka dengan istilah tua bangka yang berarti orang yang sudah tua dan linglung.[4]

Vanka, Wangka

Pulau Bangka berasal dari kata wangka (vanca) yang berarti "timah" dalam bahasa Sanksekerta,[4] karena wilayah ini memang kaya barang tambang timah.[5] Nama "Wangka" muncul pertama kali bersama dengan nama "Swarnabhumi" dalam buku sastra India Milindrapantha yang ditulis abad ke 1 SM.[4] Swarnabhumi diidentifikasikan sebagai pulau Sumatra, maka kuat dugaan bahwa yang disebut "Wangka" adalah pulau Bangka.[4][6] Loius-Charles Damais, dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara, mempertegas bahwa Bangka berasal dari kata wangka (vanca).[7]

Bangkai

Pulau Bangka dalam sejarah Dinasti Ming (1368-1643) disebut Ma-Yi-dong atau Ma-yi-Tung.[4] Ma-yi-dong konon terletak disebelah barat Pulau Gao-lan atau pulau Belitung.[4] Istilah ma-yin-dong merupakan julukan para pedagang Arab untuk pulau Bangka.[4] Kata itu berasal dari kata mayit, bahasa halus dari kata bangkai.[4] Menurut pendapat umum, "bangkai" yang dimaksud adalah bangkai kapal yang banyak kendas atau pecah karena karang yang memenuhi bagian timur pulau ini.[4]

Wangkang

Pendapat lain mengatakan nama pulau Bangka berasal dari kata waka atau wangkang yang berarti jung kapal Tiongkok, yang banyak pecah dan tengelam disekitar pulau bangka.[4]

Prasejarah

Bangka pada masa Pleitosen

Pleistosen adalah masa antara 1.808.000 hingga 11.600 tahun yang lalu.[4] Disebut juga zaman es ketika temperatur global 15 °C lebih dingin dari masa sekarang (zaman kauter).[4] saat itu Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Jawa, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan tergabung menjadi satu dengan Asia daratan.[4] Dizaman Pleistosen terjadi dua pristiwa geologi penting yaitu zaman glasial (ditandai meluasnya lapisan es di kedua kutub bumi) dan zaman interglasial (zaman es kembali mencair).[4] Penjelasan geologi tersebut diperjelas dengan hasil pemetaan goemorfologi oleh Obdey pada tahun 1954.[4] Ia menyimpulkan bahwa pada zaman Sriwijaya, Bangka dan Belitung masih tersambung dengan Kepulauan Lingga, Riau, dan Semenanjung Malaya.[4] Penemuan geraham gajah Elephas Sumatranus oleh F. Martin dilapisan endapan timah di Bangka pada tahun 1804 memperkuat pendapat bahwa Bangka masih menjadi satu dengan pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan daratan Asia pada masa Pleistosen.[4] Seiring waktu, daratan ini pecah menjadi pulau-pulau kecil dan selat-selat sempit yang dangkal.[4]

Bangka pada awal sejarah

Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur

Entah sejak kapan Pulau Bangka mulai dihuni manusia.[8] Hingga saat ini, satu satunya tempat yang mempunyai bukti tertulis tertua di Pulau Bangka dan bertarikh bahwa di Bangka telah ada hunian adalah Prasasti Kota Kapur.[8] Prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka bertanggal 28 April 686 Masehi.[8] Prasasti kota kapur di tulis menggunakan huruf pallawa dalam bahasa Melayu Kuno.[9] Prasasti-prasasti kota kapur ini menunjukan pengaruh Kerajaan Sriwijaya atas pulau Bangka kala itu, diperkirakan antara abad ke-6 Masehi dan abad ke-7 Masehi.[9] Prasasti itu dibuat masa pemerintahan Dapunta Hyang, penguasa kerajaan Sriwijaya.[9] Artifak ini ditemukan oleh seseorang dari Belanda bernama J.K. Van Der Meulen di tahun 1892 di daerah kabupaten Bangka, kecamatan Mendo Barat.[9] Kemudian artifak-artifak tersebut dianalisa oleh H. Kern, seorang ahli Epigrafi, dimana ia menganggap bahwa sriwijaya adalah nama seorang raja, karena sri mengindikasikan seorang "raja". Hingga akhirnya George Cœdès (1886-1969), seorang sejarahwan dan arkeolog Perancis menyatakan bahwa Sriwijaya adalah sebuah Kerajaan.[9] Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.[9] Isinya berupa low enforcement bagi orang-orang pulau Bangka, yakni semua orang yang melawan atau memberontak terhadap Sriwijaya akan dihukum dan dikutuk.[9] Di dalam salah satu prasasti tersebut tertulis "VANKA" dalam huruf pallawa, yang diartikan "TIMAH".[9] Secara geografis daerah Kota Kapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka yang bermuara juga sungai-sungai Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Sumatra.[8] Disekelilingnya, di sebelah barat, utara, dan timur masih tertutup hutan rawa pantai.[8] Disebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit.[8] Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar 125 meter diatas permukaan laut.[8] Di sebelah utara, membentang dari timur laut menuju barat mengalir Sungai Mendo yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa.[8]

Arca Wisnu

Di Kota Kapur selain batu prasasti persumpahan ditemukan juga empat buah arca Wisnu dari batu, runtuhan bangunan suci, dan benteng tanah.[8] Arca Wisnu ditemukan dalam beberapa ukuran panjang; 19,5 cm, 33 cm, dan 108 cm.[4] Salah satu patung terbuat dari batu andesit dan yang lainnya dari batu granit.[4] Penutup kepalanya (kuluk) mempunyai corak khusus berupa silinder.[4] Untuk menentukan pertanggalan arca tersebut dapat dilihat dari bentuk mahkotanya.[8] Dari penggambaran bentuk mahkota tampak dipahat dalam gaya seperti arca-arca Wisnu dari Kamboja, yaitu pada masa seni pre-Angkor.[4][8] Stutterheim berpendapat bahwa arca tersebut berasal dari abad ke-7 Masehi dengan alasan karena tempat ditemukannya sama dengan Prasasti Kota Kapur yang ber-angka tahun 686 Masehi.[10] Berdasarkan bentuk mahkota dan tempat temuannya, maka arca Wisnu Kota Kapur dapat ditempatkan pada abad ke 6-7 Masehi.[10]

Lingga

Selain arca Wisnu, ditemukan juga sebuah lingga yang bentuk puncak dan badannya bulat telur, dengan garis tengahnya berukuran sekitar 30 cm.[8] Namun bagian bawah lingga sudah hilang (patah).[8] Menurut McKinnon, bentuk lingga yang bulat telur ini diduga berasal dari sekitar abad ke 5-6 Masehi.[4][8] Dugaannya itu didasarkan atas perbandingan dengan bentuk-bentuk lingga dari India.[8]

Prasasti Camundi

Jauh setelah Śrīwijaya, pulau Bangka dan Belitung masih diperhitugkan kerajaan lain.[8] Dalam sejarah kuno Indonesia, daerah Bangka, Belitung, sampai Kerajaan Malayu didaerah Batanghari sejak tahun 1380-an termasuk wilayah Kerajaan Singasari.[8] Informasi tentang itu, secara tersirat telah disebut dalam Prasasti Camundi yang dikeluarkan oleh Kĕrtanāgara, Raja dari Singasari.[8]

Data arkeologis yang ditemukan disitus Kota Kapur, dapat memberikan interpretasi bahwa pada sekitar abad ke 5-6 Masehi di Kota Kapur terdapat sebuah kompleks bangunan suci bagi masyarakat penganut ajaran Hindu aliran Waisnawa.[8] Kompleks bangunan tersebut dikelilingi oleh tembok tanah yang panjangnya sekitar 2,5 km dengan ukuran lebar/tebal dan tinggi sekitar 4 meter.[8] Tampaknya di beberapa tempat di lingkungan tembok tanah tersebut terdapat hunian kelompok masyarakat pendukung bangunan suci tersebut yang buktinya berupa pecahan keramik dan tembikar.[8]

Bangka dibawah Majapahit

Kehadiran Majapahit di Bangka memberi arti penting dalam sejarah Bangka.[4] Sistem Kepatihan (pemerintahan) yang teratur mulai diterapkan dan tapal batas kekuasaan ditetapkan.[4] Majapahit mengirim ekspedisi ke Bangka dua kali, yang pertama dipimpin oleh Gajah Mada dan yang kedua dipimpin Tumenggung Dinata.[4] Namun tidak ada yang dapat memastikan tarikh kedua-duanya dan nama raja Majapahit yang memerintah pengiriman.[4] Akan tetapi, kahadiran Majapahit ke Bangka dapat diketahui melalui Tulisan Haji Idris 1861 berikut:[4]

Orang pertama yang mengenal Bangka adalah seorang pedagang Arab bernama nakhoda Sulaiman.[4] Kapalnya singgah di pantai kaki gunung Menumbing.[4] Sulaiman melafaskannya menumbing yang dalam bahasa Arab berarti "tempat berulang datang".[4]

Lukisan kontemporer Patih Gajah Mada

Setelah kembali ke Pulau Jawa (dari pulau Bangka) Sulaiman menghadap penguasa Majapahit, mengabarkan perihal pulau Bangka dan masyarakatnya.[4] Tertarik dengan laporan sulaiman, raja Majapahit mengirim ekspedisi ke pulau Bangka dipimpin oleh patih Gajah Mada.[4] Sulaiman ikut mendamping kembali ke Bangka.[4] Rombongan ini mendarat didaerah kaki gunung Menumbing.[4] Untuk mengetahui situasi dan kondisi Gajah Mada menuju puncak gunung Menumbing.[4] Dari ketinggian Gajah Mada melihat adanya lapangan terbuka dari kejauhan, menandakan daerah pemukiman.[4] Dilapangan terbuka terlihat sebuah tunggul sisa pohon besar yang ditebang, yang disebut punggur oleh masyarakat setempat.[4] Tempat pemukiman tersebut kemudian dinamakan desa punggur.[4] Seseorang kemudian diangkat untuk memimpin masyarakat disana.[4]

Di samping mengangkat kepala desa, Gajah Mada juga menetapkan batas, menetapkan tata-cara pemerintahan, meninggalkan piagam daun lontar dan sepotong tembaga berbahasa Arab dan bertulis huruf Jawa sebagai simbol pengukuhan.[4] Setelah perjalanan singkat itu rombongan Gajah Mada kembali ke Jawa.[4]

Bertahun-tahun sudah ditinggal rombongan Majapahit, masyarakat Bangka berkembang lebih maju dengan mengikuti tatanan kemasyarakatan yang sudah diajarkan.[4] Tempat, gunung dan sungai sudah bernama, diambil dari nama manusia, binatang, ikan, pohon, serta warna.[4] Pulau Bangka ditinggalkan terbengkalai oleh Majapahit.[4] Tidak pernah ada utusan Majapahit yang datang dalam masa yang panjang.[4] Akhirnya Majapahit mengutuskan pangeran Tumenggung Dinata untuk meninjau kembali.[4] Rombongan pengeran datang melalui sungai Bantilan dan meneruskan jalan darat sampai kampung Mendo (Menduk) dan kampung Jeruk.[4] Di Mendo, dipilih seorang menjadi kepala kampung, dan diberi gelar Patih Tali.[4] Dikampung Jeruk diangkat kepala kampung dengan gelar Patih Panjang Jiwa.[4]

Tumenggung Dinata pun berlayar kembali ke Jawa dan menyerahkan wewenang kepada kedua patih itu.[4] Selanjutnya Bangka sepenuhnya diatur oleh orang Bangka sendiri.[4] Kepatihan Jeruk dipengang oleh Patih Raksa Kuning dibantu Hulubalang Selangor.[4] Kepatihan Mendo dipengang Patih Ngincar, dan Depak dibawah patih Kembar, dibantu Layang Sedap, Mengandu, Mangirat, dan Sekapucik.[4]

Bangka melawan perompak (bajak laut) Lanon

Setelah kesultanan bangka sudah di kuasai belanda ,pulau bangka mengalami kekacauwan penduduk bangka mengalami penderitaan akibat penindasaan belanda. Di perairan pulau bangka ada sekelompok bajak laut yang mengganggu penduduk kampung pesisir dan para pedagang dari arab dan china sehingga para pedagang menjadi takut untuk berlayar melalui perairan bangka dan selat bangka hingga ke selat malaka. Atas saran dari pedagang dari arab kepada salah seorang anak dari Sultan Muhammad Ali yaitu Raden Muhammad Akil yang selamat dari peperangan di laut Mentok yang terluka di selamatkan oleh pedagang dari arab hingga sampai di arab dan menetap di arab berapa tahun agar supaya menumpas para bajak laut atau Lanon. Atas saran itu maka Raden Muhamad Akil pulang ke bangka setelah menunaikan ibadah haji. Setelah sampai di bangaka menetap di kota Waringin dan kembali menghidupkan kembali KESULTANAN bangka secara diam-diam dari pemerintahan belanda (1856-1916) dan kembali mensyusun kekuatan dari Para pejuang bangka yang tersisa yang Masih ada hubungan saudara dengan Raden Muhammad Akil dari Sultan Muhammad Ali yang di kenal rakyat bangka dengan nama BATIN TIKALdi kumpulkan yaitu datuk Waringin,datuk Jakfar Sidiq.Datuk terang datuk Paga,,datuk berembun dll. mereka adalah pejuang yang sudah berpengalaman dan terlatih di medan pertempuran darat maupun air sejak perang melawan belanda yang di pimpin oleh Fatih Krio Panting yaitu Sultan Muhammad Ali atau di kenal dengan julukan BATIN TIKAL. ilmu bela diri silat mereka gerakannya seperti bayangan dan kemampuan tenaga tubuh mereka seperti baja. mengadakan perlawanan menumpas para bajak laut yang di dukung oleh para pedagang dari arab dan China. Datuk Waringin di angkat atau di daulat menjadi Panglima Angin yang di bantu oleh Datuk Harimau Garang Al Minangkabau utusan dari kesultanan minangkabau atas permintaan pedagang dari arab yang tugasnya mengamankan perairan selat bangka sampai selat Malaka dan mebentuk satu armada perang. peperangan panglima angin ini masih di apresiasikan dalam bentuk perayaan penduduk desa tempilang kabupaten Bangka Barat dengan nama perang ketupat sampai sekarang.

Sultan Muhammad Akil juga mengadakan hubungan dagang kepada pedagang dari arab dan china secara diam-diam dari pemerintah belanda sehingga Sultan Muhammad Akil menjadi boronan hindia belanda.

Menurut suatu sumber Lanon adalah sisa-sisa pasukan Hulu Balang Nilam yang bersekutu dengan belanda. Lanon propaganda belanda untuk mengacaukan para pedagang dari arab dan china agar para pedagang menjadi takut untuk berdagang melalui perairan selat bangka sampai selat malaka sehingga belanda bisa menopoli perdagangan Timah dan rempah-rempah dari sunda kelapa pulau jawa sampai sumatra juga bangka.

Asal Usul Nama Tubuh Ali Ibu Kota Propensi Bangka Selatan Menjadi TOBOALI

Pada jaman Sultan Muhammad Akil perairan bangka sampai selat malaka di penuhi para perompak atau bajak laut. yang dipimpin oleh Lanon. para pedagang yang ingin melalui perairan bangka sampai selat malaka menjadi waspada karena kapal dan barang dagangan mereka akan menjadi sasaran para bajak laut. Para pedagang dari sunda kelapa bila sudah sampai pulau Dapur daerah perairan bangka selatan sudah waspada mereka menujuk ke arah bangka selatan dengan berkata:"ITU SUDAH SAMPAI TUBUH ALI" sedangkan masyarakat bangka daratan menamai nama tubuh ali dengan SABANG sedangkan masyarakat Tubuh Ali menamai dengan HABANG di karenakan masyrakat TUBUH ALI susah untuk menyebut huruf S maka di ganti H menjadi HABANG. Para pedagang tidak asing lagi cerita tentang Sultan Muhammad Ali atau yang di juluki BATIN TIKAL dan Fatih KRIO Panting yang Tubuhnya di makamkan di daerah bangka selatan yang kepalanya ada di palembang yang masih berbicara bahasa sastra pantun kepada residen belanda. Setelah bertahun- tahun bangka selatan lebih di kenal dengan TUBUH ALI atau TOBOALI dan sekarang menjadi ibu kota propensi bangka selatan. masyarakat di daerah kepulauan seperti Penutuk (Lempar) dan Pongo juga selat nasik dari dulu sampai sekarang menamai dengan TUBUH ALI.

Bangka dibawah Kerajaan Palembang Darussalam

Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya dan oleh karena putrinya telah dikawinkan dengan sultan Palembang yaitu Sultan Ratu Abdurrahman KhalifahtulSaydul Iman atau di kenal dengan sunan Cinde (1659-1706), maka dengan sendirinya pulau Bangka dan sekitarnya menjadi bagian dari kesultanan Palembang Darrussalam. Setelah meninggal Sultan Ratu Abdurrahman di gantikan anaknya yaitu Sultan Muhammad manyur Jayo ing lago (1706-1714) Semenjak kesultanan Palembang Darrussalam di perintahkan oleh Sultan Muhammad Mansyur Ing Lago daerah Jambi melepaskan diri di karenakan Sultan Manyur banyak menggunakan tangan besi dalam memerintah maka wilayah kesultanan palembang darussalam yaitu palembang dan bangka belitung, Setelah beliau Wafat tahun 1714 kemudian mau diangkat anaknya yaitu Pangeran Purbaya. Karena Pangeran Purbaya meninggal di racun sebelum mau di angkat menjadi sultan maka Kesultanan palembang Darussalam di angkat menjadi sultan adalah adik sultan Mansyur Ing Lago yaitu Sultan Agung Kamaruddin Sri Terono (1714-1724) Setelah meningal Pangeran Purbaya keluarga dan adiK-adiknya di ungsikan ke kesultanan Banten yang masih hubungan saudara, di karenakan dalam keluarga kesultanan tidak harmonis lagi untuk menyelamatkan keselamatan anak dari almarhum Sultan Mansyur Ing Lago. Pada tahun 1724 anak dari Sultan Muhammad Mansyur yaitu Pangeran Tumenggung Muhammad ali dan adiknya Raden Jayo Wikramo meminta kepada pamannya yaitu Sultan Agung Kamarudin mengembalikan kesultanan palembang Darussalam kepada mereka yang dari ayahnya yang di dukung oleh sultan banten Untuk menghindari pertumpahan darah dalam perselisihan dengan keponakannya itu, kemudian atas kebijaksanan pamannya maka Kesultanan Palembang di bagi 2 Yaitu Pulau Bangka di angkat Pangeran Tumenggung Muhammad ali menjadi Sultan di Bangka dengan nama Sultan Muhammad Ali !724-1851) dan Raden jayo Wikramo menjadi Sultan di palembang dengan nama Sultan Mahmud Badarudin (1724-1758) dengan syarat berpasangan dengan menantu beliau yang sudah janda.

KESULTANAN BANGKA (1724-1851) Setelah di angkatnya sultan Muhamad Ali di bangka belitung pusat pemerintahan berada di bangka kota (kute) dengan kepandaiannya dalam menata pemerintahan kesultanan, pulau bangka belitung menjadi maju pesat dalam pertanian seperti lada,karet,cengkeh dan hasil tambangnya yaitu timah. Kesultanan di bagi dalam raja kecil yaitu Bernama DEPATI di pimpin oleh sorang Demang. Setiap DEPATI di dampingi seorang penasehat seorang ulama yang di panggil syeh. Syeh inilah sangat memegang peranan penting dalam sistim pemerintahan depati, dakwah islam di setiap daerah. Dalam bidang keamanan depati dipimpin seorang Hulu Balang (komandan) setiap Hulu balang di setiap Depati di bekali Kebatinan (ilmu keahlian). Di setiap kampung di kepalai seorang yang bernama KEGADING. Setiap kegading di bantu beberapa orang Dukun sebagai sarana pengobatan rakyat serta keamanan.untuk urusan perkawinan di sebut PENGHULU untuk menikahkan perkawinan, Dalam penerimaan pajak di sebut PUNGUT sebagai zakat untuk di bayar kepada Kesultanan besarnya sudah di tentukan menurut syareat Isalam. Untuk pengaturan pengarapan lahan pertanian sudah di buat peraturan dengan nama Hukum Haminte.

Dalam penyebaran islam di bangka. kesultanan bangka ini cukup berhasil yang di bantu oleh para ulama dari luar bangka seperti dari kalimantan palembang juga pulau Jawa. Di semua daerah karena bangka sebelumnya masih banyak yang belum masuk islam., Kepercayaan masyarakatnya masih di pengaruhi kerajaan kota kapur dan sriwijaya yaitu kepercayaan anismisme dinamisme.

Sultan Muhammad Ali juga seorang panglima perang yaitu Fatih Krio panting (Panglima pantun) beliau di kenal dengan karomahnya ilmu bela diri yaitu Silat sambut dan dalam hal ilmu kebatinan beliau mempunyai ilmu atau batin yang tubuhnya di potong bisa nyambung lagi di kenal oleh masyarakat bangka batin tikal.rakyat bangka lebih mengenal beliau dengan BATIN TIKA Mulai menjadi Fatih Krio Panting (Panglima pantun) tahun 1776 sejak merebut kembali kesultanan Mahmud Badarudin yaitu adiknya yang di ambil alih oleh sultan Ahmad Najamudin Adi kusumo (1758-1776) yang berkerja sama dengan Belanda, Kemudian di di angkat sultan menjadi Muhamad Badarrudin (1776-1804) menggantikan nashab Ahmad menjadi nashab Muhammad di depan nama sultan setelah menguasai wilayah palembang. Dalam percakapan beliau selalu mengunakan sastra PANTUN sebagai komonikasi kepada bawahannya.boleh di katakan sastra PANTUN mulai terkenal pada jaman SULTAN MUHAMMAD ALI. Dalam urusan perdagangan kesultanan bangka menjalin hubungan erat dengan pedagang dari arab dan cina yang sudah lama terbentuk dari kerajaan palembang lama yang terkenal dengan jalur sutra. Sultan Muhammad ali dan Sultan Mahmud Badarrudin tidak mau kerjasama dengan VOC atau belanda untuk melnjutkan perjanjian Sultan Agung Kamarrudin pamannya karena perjanjian itu sangat merugikan pihak kesultanan.Di jaman sultan Muhammad Ali inilah masa keemasan pulau bangka berlangsung sehingga banyak sastra-sastra berkembang di bangsa melayu terutama pantun.

Penemuan dan Ekspolitasi Timah

Orang-orang Johor dan Siantan-lah yang pertama mengali timah di pulau Bangka, karena pangalaman mereka yang sudah didapatkan di Semenanjung Malaka.[2] Dengan ditemukannya timah (sekitar tahun 1710) mulailah Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari seluruh Asia dan Eropa.[2] Perusahaan-perusahaan pengali timah pun sangat maju, sehingga sultan Palembang mengirim orang-orang ke Semenanjung dan negeri Tiongkok untuk mencari tenaga-tenaga ahli.[2] Pada tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anom Kamaruddin dari palembang untuk membeli timah secara monopoli.[2] Dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi:[3]

  • Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni.[3]
  • Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.[3]
Logo Kamar Dagang VOC

V.O.C mulai melakukan kecurangan dan pelangaran janji yang menyebabkan ketegangan dan sikap permusuhan.[2] Pada tahun 1811 dalam masa pertukaran kekuasaan dari Belanda ke tangan Inggris Sultan Mahmud Badarudin mengadakan serangan terhadap kantor V.O.C yang berdada di Palembang dan semua orang V.O.C mati terbunuh.[2] Hal ini mengakibatkan Inggris mengadakan pembalasan dan dan menangkap dan membunuh Sultan Badaruddin.[2] Sebagai gantinya diangkatlah putranya, Najamuddin yang kemudian dipaksa menyerahkan pulau Bangka Belitung kepada Inggris (1812).[2] Dengan itu berakhirlah kekuaasaan Kerajaan Palembang di Kepulauan Bangka Belitung.[2]

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin(1774-1803), Bangka merupakan pemasok timah terbesar di Asia.[8] Teknologi penambangan timah yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa, membuat produksi timah bertambah tinggi.[8] Penjualan kepada VOC rata-rata 20.000 pikul/tahun (1 pikul = 62,5 Kg.).[8] Sejalan dengan majunya teknologi penambangan dan bertambahnya permintaan pasar, bertambah banyak pula produksi timah dari Bangka.[8] Beberapa kota yang dibangun oleh koloni penambang timah, misalnya Mentok, SungaiLiat, dan Toboali.[8] Kota-kota ini dapat dikatakan merupakan kota tua yang dibangun oleh penambang-penambang Tionghoa.[8] Setelah timah ditemukan pada abad ke-17, membuat Bangka mendapatkan kekayaan dan terkenal sebagai penghasil Timah terbesar di Indonesia.[5] Sekarang meski masih ditambang namun tidak sebanyak seperti dahulu.[5]

Sebelum Indonesia Merdeka

Perlawanan Depati Bahrin

Pada awal Oktober 1819, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Laemlin menyerang pasukan pertahanan Depati Bahrin di Bangka Kota.[4] Tetapi Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan hebat Depati Bahrindan pasukannya.[4] Pasukan Kapten Laemlin pun mundur kearah Mentok.[4] Selama perjalanan mundur menuju Mentok dan melewati perkambungan, pasukan Leamlin tidak putus-putusnya diserang pengikut Bahrin.[4] Setalah peristiwa Bangka Kota, Depati Bahrin memindahkan pusat kekuatannya ke Kota Waringin dan Kampung Nyireh.[4] Kemudian terjadi hal yang sangat memalukan Belanda dalam catatan sejarahnya, yaitu Residen Smissaert tewas dalam satu sergapan yang merupakan gabungan pengikut Depati Bahrin dari Kampung Jeruk.[4] Belanda menaruh dendam pada Depati Bahrin atas kematian Smissaert dan kekalahan di tempat lain.[4] Oleh karena itu, Belanda menjanjikan hadia sebesar 500 ringgit bagi mereka yang dapat membunuh Bahrin.[4]

Perlawanan Depati Amir

Pada tahun 1830 setelah Depati Bahrin Menyerah, Belanda mengangkat anak sulung Bahrin yang bernama Depati Amir sebagai pengganti.[4] Upaya ini adalah strategi Belanda untuk memikat hati rakyat Bangka.[4] Depati Amir membawahi daerah Mendara dan Mentadai (Merawang).[4] Tetapi sejak awal Amir menunjukan tidak mau diperintah Belanda.[4] Hal lain yang menambah kerisauan Belanda adalah Depati Amir ternyata mahir menghimpun pengikut untuk membangun kekuatan.[4] Dalam laporan Belanda, dikatakan Amir menyusun kekuatan dengan menghimpun bajak laut, para pelarian penjahat dari pulau-pulau lain, dan preman-preman.[4] Sikap perlawanan yang ditunjukan Amir terhadap Belanda, diartikan rakyat sebagai sinyal untuk memberontak melawan Belanda.[4] Maka Amir dan pengikutnya masuk hutan dan melakukan perang gerilya.[4]

Indonesia Merdeka

API dibentuk

Sejak terdengarnya siaran berita Indonesia merdeka putra-putra Bangka segera membenah diri menyadiakan tenaga yuntuk menghadapi segala kemungkinan.[2] Menurut surat dari Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohd. Hasan dari Bukit Tinggi, pulau Bangka dan Belitung masuk dibawah kekuasaan Gubernur Militer Sumatera Selatan.[2] Semua berkas anggota Syu Sangikai (DPR ala Jepang) dijadikan anggota Komite Nasional Indonesia (KNI).[2] Pimpinana pemerintah Bangka dipercaya kepada Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, bekas ketua Syu Sangikai dengan jabatan Residen dan wakilnya adalah Saleh Amad sebagai Asisten Residen.[2] Para pemuka masyarakat dan bekas pemimpin Gyugun serta Heiho dengan semangat yang berapi-api pada awal bulan September 1945 membentuk suatu badan yang diberi nama "Angkatan Pemuda Indonesia" disingkat (API).[2] Mula-mula hanya beranggotan 50 orang.[2] Badan tersebut dicetus disuatu gedung yang terletak dijalan Jendral Sudirman (sekarang tempat kediaman Kuasa Unit Penambangan Timah Bangka)[2]

TKR dibentuk

Tanggal 29 Oktober 1945 datanglah utusan dari Palembang yang dipimpin oleh Mayor F. Manusama untuk membentuk "Tentara Keamanan Rakyat" (TKR) di Bangka.[2] Mayor F. Manusama, A. Kamil dan Munzir Talib membentuk satu Resimen TKR di Bangka dibagi dalam tiga Batalyon, yakni:[2]

  • Batalyon I Pangkalpinang dibawah pimpinan Mayor H. Muhiddin dengan 3 kompi: Kompi Ismail Hasan, Kompi Darmomulyo dan Kompi Sukmadi.[2]
  • Batalyon II Mentok dibawah pimpinan Mayor Saparudin dengan 3 kompi: Kompi Saman Idris, Kompi Tumbuan dan Kompi Admi Husin.[2]
  • Batalyon III, persiapan untuk Belitung dibawah pimpinan Komandan Munzir.[2]

Bung Karno dan Hatta diasing

Tanggal 6 Februari 1949 Presiden Soekarno dan Mentri Luar Negeri Haji Agus Salim atas desakan BFO diangkut oleh Belanda dari Prapat (Sumatera Utara) ke Bangka dan disatukan dengan Moh Hatta dalam kamp Menumbing.[2]

Daerah yang Kaya

Nama Bangka disebut-sebut juga dalam berbagai catatan asing, seperti misalnya catatan Tionghoa, Portugis, Belanda, Inggris, serta dokumen-dokumen Kesultanan Palembang-Darussalam dan Kesultanan Banten.[8] Dari catatan-catatan sejarah itu, diperoleh suatu gambaran bahwa Pulau Bangka merupakan sebuah pulau yang cukup kaya.[8] Dengan hasil bumi (lada) dan hasil tambang (timah).[8] Kedua hasil ini merupakan komoditi penting pada masa Kesultanan.[8] Selain itu letaknya cukup strategis di lintas pelayaran antara Jawa, India, Asia Tenggara daratan, dan Tiongkok.[8] Sebagai sebuah tempat yang memiliki sejarah yang cukup panjang, tentu banyak ditemukan peninggalan budayanya, baik yang berupa bangunan, maupun benda-benda hasil budaya.[8]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ (Indonesia) "Wisata Pulau Bangka". Pulau Bangka. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Husnial
  3. ^ a b c d e (Indonesia) "Asal Mula Bangka". Sejarah Bangka. Diakses tanggal 10 Mei 2014. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs bt bu bv bw (Indonesia) SUTEDJO SUJITNO. Lagenda Dalam Sejarah Bangka (Jakarta: Cempaka Publishing, 2011) ISBN 979166960-1.
  5. ^ a b c (Indonesia) "Indonesia Trevel". Trevel Indonesia. Diakses tanggal 10 Mei 2014. 
  6. ^ (Indonesia) Raden Panji Soejono. Jaman Prasejarah Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
  7. ^ Loius Charles Darmis & George Coedes, Kedaulatan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan École Française d'Extrême-Orient EFEO, 1995) hal.85
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag (Indonesia) "Kementrian Pendidikan dan Budaya" (PDF). Bangka Belitung dalam Lintas Niaga. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  9. ^ a b c d e f g h (Indonesia) "Nama Pulau Bangka" (PDF). Asul-usul nama Pulau Bangka. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  10. ^ a b (Inggris) Stutterheim, W.F., 1937, Note on a Newly Found Fragment of a Four Armed Figure from Kota Kapur (Bangka), dalam Indian Art and Letters Vol. XI No.2:105-111