Vajrayana
Bagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
Wajrayana atau kadang ditulis Vajrayana, adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Wajrayana adalah ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Hinayana, dan berbeda dalam hal praktik, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Wajrayana, latihan meditasi sering di barengi dengan visualisasi.[1]
Vajrayāna biasanya diterjemahkan sebagai Kendaraan Berlian atau Kendaraan Thunderbolt, mengacu pada Vajra, senjata mistis yang juga digunakan sebagai alat ritual.
Didirikan oleh Indian Mahāsiddhas, Vajrayāna berlangganan literatur yang dikenal sebagai Tantra Buddha.Ini termasuk praktik yang memanfaatkan mantra, dharanis, mudra, mandala dan visualisasi dewa dan Buddha. Menurut kitab suci Vajrayāna, istilah Vajrayāna mengacu pada salah satu dari tiga kendaraan atau rute menuju pencerahan, dua lainnya adalah Śrāvakayāna (juga dikenal sebagai Hīnayāna) dan Mahāyāna.
Mahasiddha: agung (maha) mencapai satu (siddha), atau yang agung [secara spiritual], juga dikenal sebagai pakar India. Mereka adalah guru India utama Hindu dan Buddha Tantra, atau guru agama besar yang dikreditkan dengan memiliki pencapaian dan kekuatan khusus. Dalam Buddhisme Tantrik mereka terutama terkait dengan Anuttarayoga Tantra - yang tertinggi dari empat sistem klasifikasi.[2] Meskipun sebagian besar mahasiddha yang terkenal berasal dari India, ada sejumlah dari negara-negara yang berbatasan seperti Luipa dan Aryadeva dari Sri Lanka, dan Suvarnadvipapa dari Tanah Emas (Burma, Malaysia, Indonesia).[3]
Etimologi
Istilah "Wajrayana" berasal dari kata vajra yang dalam bahasa sanskerta bermakna 'halilintar' atau 'intan'. Wajra melambangkan intan sebagai unsur terkeras di Bumi, maka istilah Wajrayana dapat bermakna "Kendaraan yang tak dapat rusak".
Filosofi
Filosofi ajaran agama Buddha dapat dibagi dua: Hinayana/Pratimokshayana (salah satunya Theravada) dan Mahayana. Hinayana menekankan pada pencapaian sebagai Arahat, sedangkan Mahayana pada pencapaian sebagai Bodhisattva. Tantrayana yang merupakan bagian dari Mahayana juga sering dikenal dengan nama jalan Boddhisattva. Hinayana dapat dibagi menjadi Vaibhashika dan Sautrantika. Sedangkan Mahayana dibagi menjadi Cittamatra dan Madhyamika. Madhyamaka ini terdiri dari Rangtong (yang mencakup Sautrantika dan Prasangika) dan Shentong (Yogacara). Keempat filosofi ajaran Buddha ini (Vaibhasika, Sautrantika, Cittamatra, dan Madhyamika) telah ada sejak zaman Buddha Gautama, muncul karena adanya perbedaan kepercayaan, perbedaan level pemahaman, perbedaan pencapaian, dan realisasi dari para murid Buddha.
Ajaran Vaibhasika dan Sautrantika banyak terdapat di Thailand, Burma, Sri Lanka, dan Kamboja. Ajaran Cittamatra ini banyak ditemui di China, Taiwan, Jepang, Hongkong, Singapur, Malaysia, Indonesia, Tibet, dan sekitarnya. Ajaran Uma Shentongpa merupakan bagian dari ajaran Madyamika, yang percaya bahwa self-nature (sifat alami kita) sebenarnya tidaklah sekadar kosong, karena self-nature (sifat alami kita) adalah Buddha-nature (inti benih ke-Buddhaan), yang memiliki semua kualitas Buddha.
"śūnyatā sarvadriṣṭīṇām proktā niḥsaraṇam jinaiḥ yeṣām tu śūnyatādṛṣṭtis tan asādhyan babhāṣire"
"Para Penakluk mengatakan bahwa (realisasi) Sunyata mengeliminasi semua pandangan. Semua yang mencengkeram pandangan Sunyata itu dikatakan tidak dapat diobati."
- Nagarjuna, Mūlamadhyamakakārikā 13.8
Mencengkeram pandangan Sunyata ialah pandangan salah yang belum memahami sunyata. Di antara semua pandangan salah, Nagarjuna menyatakan bahwa pandangan salah yang satu ini tidak dapat diobati lagi. Karena ajaran Sunyata ini sedemikian mendalam, maka tidak sepantasnya dipandang sebagai sekadar 'kosong'.
Ajaran Madyamika ini awalnya banyak terdapat di Pegunungan Himalaya, seperti di Tibet, Nepal, Bhutan, Sikkim, namun sekarang telah ada di berbagai negara Asia dan di negara Barat. Ajaran Vajrayana secara umum di berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama Buddha Tibet, yang merupakan bagian dari Mahayana dan diajarkan langsung oleh Buddha Sakyamuni yang amat cocok untuk dipraktikkan oleh umat perumah tangga, umat yang hidup sendiri (tidak menikah), ataupun umat yang memutuskan untuk hidup sebagai bhiksu di vihara Vajrayana.
Pandangan Salah
Di beberapa negara (terutama di Asia), banyak sekali anggapan bahwa Wajrayana merupakan ajaran mistik, penuh dengan kegaiban. Hal ini sebenarnya tidaklah benar. Dalam Wajrayana, terdapat banyak sekali metode dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Wajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan/ketidaktahuan (Moha) yang dimiliki.
Sang Buddha sering berpesan kepada murid-murid-Nya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidaktahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.
Menurut catatan, banyak sekali praktisi tinggi Wajrayana yang memiliki kemampuan (siddhi) yang luar biasa, misalnya: menghidupkan kembali ikan yang telah dimakan (Tilopa), terbang di angkasa (Milarepa), membalikkan arus Sungai Gangga (Biwarpa), menahan matahari selama beberapa hari (Virupa), mencapai tubuh pelangi (tubuh hilang tanpa bekas, hanya meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti), berlari melebihi kecepatan kuda, mengubah batu jadi emas atau air jadi anggur, memindahkan kesadaran seseorang ke alam suci Sukavati (yang dikenal dengan istilah phowa), dapat meramalkan secara tepat waktu serta tempat kematian dan kelahirannya kembali (H. H. Karmapa), lidah dan jantung yang tidak terbakar ketika dikremasi, terdapat banyaknya relik dari sisa kremasi, dll. Di dalam Wajrayana, semua hasil yang kita peroleh dari latihan kita, haruslah kita simpan serapi mungkin, bukan untuk diceritakan pada orang lain. Sebagai pengecualian, kita boleh mendiskusikan hal tersebut dengan Guru kita, jika memang ada hal yang kurang kita mengerti.
Pentingnya Guru yang Berkualitas
Dalam ajaran Wajrayana, hubungan antara seorang Guru dan seorang murid adalah amat penting. Seorang murid tidak akan pernah memperoleh pencapaian tanpa bantuan seorang Guru yang berkualitas, karena Guru yang berkualitas merupakan perwujudan dari Buddha, Dharma, dan Sangha. Di dalam Wajrayana, seorang guru bisa saja merupakan seorang Yogi (pertapa), seorang His Holliness, seorang Rinpoche, ataupun seorang Lama. Seorang Guru berkualitas adalah guru yang telah diakui oleh pimpinan keempat aliran: Nyingmapa, Sakyapa, Kagyudpa, Gelugpa. Di dalam Vajrayana, seorang praktisi tidak dilarang untuk menikah, serta juga tidak diharuskan untuk hidup bervegetarian (Catatan: Pada saat bercocok tanam, banyak juga makhluk yang terbunuh. Hidup sebagai seorang vegetarian tidaklah menjadikan kita suci, tergantung motivasi kita. Perilaku kita dalam berlatih sehari-harilah yang amat menentukan, termasuk di dalamnya: perbuatan/tubuh, ucapan, serta pikiran kita). Banyak dari Guru Vajrayana yang tidak menikah, namun tidak sedikit juga yang menikah. Pasangan dari seorang Guru Vajrayana bukanlah seorang wanita biasa, mereka biasanya merupakan seorang dakini (makhluk suci yang telah memperoleh pencapaian) yang ditugaskan untuk membantu sang Guru dalam memperoleh pencapaian demi kebahagiaan semua makhluk.
Dalam ajaran Theravada dan Mahayana dikenal dengan istilah tiga akar, yaitu mengambil perlindungan pada Buddha, Dharma, dan Sangha. Di dalam ajaran Wajrayana, selain penyerahan total Tubuh, Ucapan, Pikiran dan berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha, terdapat juga 3 akar tambahan, yaitu: penyerahan total Tubuh, Ucapan, Pikiran dan berlindung pada Guru, Yidam, dan Protektor. Ketika kita berbicara tentang penyerahan total dan perlindungan, maka terlihat jelas betapa pentingnya kita mencari seorang Guru yang benar-benar berkualitas, yang hanya dengan bantuan dan berkah yang diberikan-Nya kita bisa mencapai pencerahan.
Di dalam latihan, amat diperlukan seorang guru yang berkualitas, sehingga kita perlu berhati-hati dalam memilih seorang guru (words of my perfect teacher - Patrul Rinpoche). Seorang guru yang berkualitaslah yang dapat membimbing dan membantu kita dalam mencapai pencerahan. Kualitas seorang guru dapat kita lihat dari riwayat silsilah dia (kebanyakan merupakan seorang Tulku) serta adanya pengakuan dari pimpinan keempat aliran (Nyingmapa, Sakyapa, Kagyudpa, Gelugpa). Hal ini yang menjadi salah satu unsur pokok dalam Wajrayana. Pada saat lahirnya seorang Tulku (guru berkualitas), biasanya ditandai dengan adanya tanda alam yang ikut bergembira, misalnya: adanya pelangi, udara dipenuhi dengan wangi dupa dan bunga, terdengar alunan musik di angkasa, dll. Pada saat dikremasi, sering lidah dan jantung seorang Tulku tidak terbakar, adanya tulisan mantra di batok kepala, juga sering ditemukan relik-relik yang indah. Tidak jarang juga seorang Tulku mencapai tubuh pelangi saat mereka meninggal (tubuh hilang tanpa bekas, hanya meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti).
Dalam melaksanakan latihan, sering dianjurkan untuk berlatih tiap hari secara disiplin. Banyak guru mengatakan bahwa lebih baik berlatih 10 menit tiap hari, daripada berlatih 300 menit secara berturut-turut tanpa henti, lalu istirahat selama sebulan.
Istilah Ajaran (Mantra) Rahasia
Dalam tradisi tertentu, sering ajaran diturunkan secara rahasia dari seorang guru kepada seorang murid (seperti misalnya ajaran Bisikan Dakini yang diterima oleh Tilopa langsung dari Dakini, yang diajarkan kepada Naropa, kemudian diturunkan secara rahasia oleh Milarepa hanya kepada seorang murid saja (Gampopa), sang murid juga menurunkan hanya kepada seorang muridnya, begitu seterusnya, ajaran ini tidak diberikan kepada umum). Dengan adanya hal-hal seperti ini, sering juga ajaran Vajrayana dikenal dengan ajaran rahasia. Karena praktik Vajrayana tidak terlepas dari penjapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran Wajrayana sering juga disebut dengan Praktik Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.
Selain itu dalam Wajrayana terdapat juga latihan Protektor, latihan Channel, dan Cakra. Jika latihan ini dipublikasi, maka akan mengakibatkan adanya salah tafsir dari arti latihan yang sebenarnya, yang banyak terjadi pada mereka yang kurang percaya ataupun yang tidak mengerti. Sebagai contoh: Jika orang mendengar tentang Buddha, maka dalam bayangan mereka Buddha digambarkan sebagai sesuatu yang tenang, damai, dan indah. Namun beberapa gambar Protektor terlihat murka/garang, walaupun sebenarnya Protektor adalah manifestasi dari Buddha juga. Jika orang awan melihat hal ini, maka mereka akan mulai mengkritik dan menyalahartikan ajaran Vajrayana, dan hal ini akan berakibat terjadinya karma buruk, yang tentu amat merugikan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, dalam latihan tingkat tinggi Wajrayana, latihan selalu harus dilakukan secara rahasia.
Bagian dari seriBuddhisme Tibet
| |
---|---|
Sejarah | |
Kronologi Waktu · Topik lainnya | |
Mazhab | |
Nyingma · Kagyu · Sakya · Gelug · Bön | |
Ajaran Inti | |
Tiga Corak Umum · Skandha · Kosmologi · Saṃsāra · Kelahiran Kembali · Bodhisattva · Dhamma · Hukum Sebab Musabab · Karma | |
Tokoh Buddhis | |
Gautama Buddha · Padmasambhava · Je Tsongkhapa · Dalai Lama · Panchen Lama · Lama · Karmapa Lama · Rinpoche · Geshe · Terton · Tulku | |
Kebuddhaan · Avalokiteśvara · Empat Tingkat Pencerahan · Yoga Tantra · Paramita · Meditasi · Umat awam | |
Changzhug · Drepung · Dzogchen · Ganden · Jokhang · Kumbum · Labrang · Mindroling · Namgyal · Narthang · Nechung · Palcho · Ralung · Ramoche · Sakya · Sanga · Sera · Shalu · Tashilhunpo · Tsurphu · Yerpa | |
Chotrul Duchen · Dajyur · Losar · Monlam · Sho Dun | |
Naskah | |
Kangyur · Tengyur · Kitab Suci Tibet · Sutra Mahayana | |
Mandala · Thangka · Ashtamangala · Pohon Fisiologi | |
Sejarah dan Silsilah Wajrayana
Buddhadharma atau Buddhisme mulai masuk ke Tibet sekitar abad ketujuh pada masa pemerintahan Raja Songtsen Gampo. Pada abad kedelapan, Buddhisme mulai berakar di Tibet, yaitu pada masa pemerintahan Raja Trisong Detsen. Acharya Padmasambhava dan Abbot Shantirakshita membantu Raja untuk membawa dharma ke Tibet dan menerjemahkan ajaran-ajaran Buddha ke dalam bahasa Tibet. Semua ajaran dan praktik Buddhisme Tibet berasal langsung dari Buddha Sakyamuni. Tidak dapat dimungkiri bahwa ajaran yang berada di Tibet mempunyai hubungan ke suatu tradisi di India. Vajrayana memiliki 4 tradisi atau silsilah, yakni: Silsilah Nyingmapa, Silsilah Sakyapa, Silsilah Kagyudpa, dan Silsilah Gelugpa.
Silsilah Nyingmapa
Silsilah Nyingma (sering disebut silsilah Terma) merujuk pada Buddha Samantabhadra, Vajrasattva, dan Garab Dorje dari Uddiyana. Sosok yang paling penting dalam Nyingma adalah mahaguru dari India Guru Padmasambhava, sebagai pendiri dari silsilah Nyingma, yang datang ke Tibet pada abad kedelapan. Padmasambhava diundang oleh Raja Mindrolling Trichen Trisong Deutsan (742-797) untuk memusnahkan kekuatan jahat dan mendirikan pusat pengajaran agama Buddha di Tibet. Ia dikenal dengan nama Guru Rinpoche (guru yang amat berharga). Selama bertahun-tahun Guru Rinpoche dan Abbot Shantarakshita mengajarkan sutra dan tantra secara menyeluruh di Tibet. Padmasambhava menyembunyikan secara gaib ratusan Terma (ajaran dan petunjuk) dalam bentuk: kitab suci, gambar, artikel/teks upacara agama, yang hanya dapat ditemukan oleh orang tertentu yang memiliki pencapaian, pada masa depan. Sebagian dari Terma ini telah ditemukan, dan diajarkan secara rahasia dari guru ke murid. Maka muncullah istilah silsilah Terma (wahyu). Pimpinan Nyingma saat ini adalah Yang Mulia Mindrolling Trichen Rinpoche, yang mendirikan Biara Mindrolling di Clementown, Dehradun, India.
Silsilah Sakyapa
Silsilah Sakya dimulai dari seorang yogi besar India, Virupa (abad ke-9), salah satu dari 84 Mahasiddhas yang amat terkenal dan memiliki pencapaian serta dapat melakukan berbagai keajaiban. Melalui Gayadhara (994-1043) silsilah ajaran diturunkan kepada seorang murid Tibet bernama Drokmi Lotsawa Shakya Yeshe (992-1072 ). Drokmi Lotsawa kemudian menurunkan silsilah ajaran kepada murid utamanya, Khon Könchok Gyalpo (1034-1102), yang membangun biara besar di wilayah Tsang, di pusat Tibet. Tradisi garis silsilah Sakya berhubungan erat dengan keluarga Khon, yang menurut sejarahnya berasal dari makhluk sempurna yang memiliki pencapaian tinggi. Silsilah ini berlanjut terus hingga sekarang sejak masa Könchok Gyalpo (1034-l102), sebagai pendiri tradisi sakya. Pimpinan silsilah ajaran Sakya saat ini adalah Yang Mulia Sakya Trizin (Ngakwang Kunga Thekchen Palbar Samphel Ganggi Gyalpo), yang lahir pada tahun 1945 di Tsedong, Tibet. Yang Mulia Sakya Trizin tinggal di Rajpur, India, dan melakukan perjalanan ke seluruh dunia untuk menyebarkan ajaran silsilah Sakya demi kebahagiaan semua makhluk. Pada tahun 1974, Yang Mulia Sakya Trizin menikahi Dakmo Tashi Lhakyi dan memiliki dua anak, Ratna Vajra Rinpoche (lahir tahun 1974) dan Jnana Vajra Rinpoche (lahir tahun 1979).
Silsilah Kagyudpa
Silsilah Kagyud dimulai dari Mahasiddha agung Tilopa (988-1069), salah satu dari 84 mahasiddhas besar India, yang pertama kali mengembangkan wawasan spontan. Pencapaian ini diperoleh melalui metode yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni hanya kepada murid terdekat dia. Tilopa sendiri sebenarnya bukanlah manusia biasa. Ketika Tilopa masih muda, ada sosok Dakini bertampang seram yang menampakkan diri di hadapannya. Tilopa menanyakan status, asal usul dan keluarganya, dan Dakini ini menjawab: “Negrimu adalah Udiyana, ayahmu adalah Chakrasamvara, ibumu adalah Vajrayogini”. Tilopa kemudian menurunkan garis silsilah Kagyu kepada Naropa (1016-1100) dan diteruskan kepada Marpa Lotsawa (1012-1097), berlanjut kepada Milarepa (1052-1135) seorang yogi yang amat terkenal di Tibet, yang mencapai pencerahan dalam 1 kehidupan (Malarepa awalnya adalah seorang dukun aliran Bon yang berilmu amat tinggi, yang telah membunuh penduduk sebuah desa dengan jalan menciptakan batu besar dan menjatuhkannya dari langit, serta menciptakan kalajengking dan kelabang sebesar sebuah rumah). Milarepa memperoleh pencerahan di bawah bimbingan yang amat keras dari gurunya, Marpa Lotsawa. Karena keuletan dan devosi yang besar terhadap Dharma, Milarepa berlatih dengan keras, tanpa mengenal lelah setiap detik, hingga tidak memikirkan makan serta hal duniawi lainnya. Dengan memperhatikan pikiran yang muncul, membuang semua noda batin, akhirnya Milarepa mampu mencapai pencerahan hanya dalam 1 kehidupan dan memiliki banyak sekali kemampuan supranatural. Milarepa menurunkan silsilah pada Gampopa (1079-1153), yang kemudian diturunkan kepada Karmapa I – Dusum Kyenpa (1110-1193) dan berlanjut hingga sekarang pada Karmapa XVII - Ogyen Trinley Dorje (lahir tahun 1985). Silsilah Kagyud dapat dibagi menjadi 4 aliran besar dan 8 aliran kecil. Keempat aliarn besar tersebut adalah: Phaktru ('phag gru) Kagyud, Kamtsang (kam tshang) atau disebut juga Karma (kar ma) Kagyud, Tsalpa (tshal pa) Kagyud, dan Barom ('ba' rom) Kagyud. Sedangkan 8 aliran kecil merupakan subbagian dari Phaktru Kagyud, yaitu: Drikhung Kagyud, Drukpa Kagyud, Taklung Kagyud, Yasang Kagyud, Trophu Kagyud, Shuksep Kagyud, Yelpa Kagyud, serta Martsang Kagyud. Pimpinan dari Silsilah Kagyud saat ini adalah Yang Mulia Karmapa XVII - Ogyen Trinley Dorje, yang merupakan reinkarnasi ke-17 Karmapa, dan sekarang hidup di pengasingan di India. Ia diyakini sebagai emanasi dari Bodhisattva Chenrezig, dan akan menjadi Buddha ke-6 yang membabarkan dharma pada masa yang akan datang, dengan nama Buddha Simha (setelah Boddhisatva Maitreya sebagai Buddha ke-5 yang akan lahir kembali terakhir kali sebagai Pangeran Ajita). Buddha Sakyamuni-yang terlahir sebagai pangeran Sidharta Gautama-merupakan Buddha ke-4, Buddha saat ini (akan ada 1002 Buddha dalam Kalpa ini). Buddha Simha (H. H. Karmapa) ini telah diramalkan oleh Sang Buddha sendiri dan tertulis dalam Bhadrakalpa Sutra (ditulis dalam bahasa Sanskerta).
Silsilah Gelugpa
Silsilah Gelugpa berasal dari tradisi Kadampa, yang diajarkan oleh guru besar dari India, Atisha (982-1054). Silsilah Gelugpa ini didirikan oleh seorang guru besar Tibet, Je Tsongkhapa Lobsang Drakpa (1357-1419). Je Tsongkhapa mendirikan Biara Gaden (Drok Riwo Ganden) yang menjadi pusat pengajaran silsilah Gelug. Pimpinan silsilah Gelug disebut dengan Gaden Tripa Rinpoche (pemegang takhta). Yang Mulia Gaden Tripa Rinpoche saat ini adalah Khensur Lungri Namgyel, yang merupakan pemegang silsilah ke-101 dari Gaden Tripa (sejak 2003).
Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Yang Mulia Dalai Lama XIV. Dia selain sebagai seorang spiritual, juga seorang tokoh politik Tibet yang disegani berbagai pihak, termasuk negara Barat. Dalai Lama XIV saat ini hidup di pengasingan, di Dharamsala (India).
Wajrayana di Indonesia
Wajrayana atau Tantrayana pernah tersebar luas di Indonesia. Jejaknya adapat dikenali dari adanya meditasi dengan menggunakan alat berupa mandala (bagi penganut Buddha) atau yantra (bagi penganut Hindu). Mandala[4] adalah yantra yang dianut Hindu dalam variasi lain yang bercorak Buddha, yakni lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari.
DI Jawa barat ditenggarai terdapat 73 Mandala, Undang A Darsa. Mandala-mandala tersebut masih dipersamakan dengan istilah Kabuyutan oleh masyarakat Sunda di zaman kuno. Menurut Undang A Darsa, di Tatar Pasundan terdapat 800 Kabuyutan. Meskipun tidak semua kabuyutan adalah Mandala. Contoh Mandala adalah Mandala (Kabuyutan) Kendan yang dipimpin ResiGuru Manikmaya, Mandala Sindangkasih (Kabuyutan) dipimpin Resi Guru Wangsa Ungkara dan Mandala atau Kabuyutan Ciburuy.
Jejak Wajrayana atau Tantrayana dapat dilihat dari:
- Isi naskah atau dalam prasasti
- Isi Naskah dalam Lontar/nipah
- Bentuk-bentuk Prasasti Candi-candi
Isi Naskah Prasasti
Dalam ajarannya, Tantrayana pun banyak memuat “kutukan” atau “sumpah”. Misalnya, Prasasti Sanghyang Tapak (Cibadak) peninggalan Kerajaan Sunda/Pajajaran menyebutkan sejumlah kutukan yang lumayan mengerikan, yakni agar orang yang menyalahi ketentuan dalam prasasti tersebut diserahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib untuk dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya. Di Sriwijaya, di mana aliran ini lebih dulu berkembang pada abad ke-7, terdapat sejumlah prasasti, yakni Prasasti Talang Tuwo dan Kota Kapur, yang berisi kutukan dan sumpah. Berikut kutipan bunyi Prasasti Kota Kapur yang dibuat pada 686 M.[5]
…. pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Sriwijaya, dan biar mereka / dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja / saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang / supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut / mati kena kutuk ….
Isi Naskah lontar
Dapat kita kenali dalam Naskah Lontar "Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian" (1518)[6] yang diinventarisasi oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor Kropak L-630 (Lontar) dan L-624 (Nipah). Dalam Kitab Sanghyang Siksa kanda ng Karesian terdapat kata Pancatatagata (pancathathagatha) dan adanya pamali atau tabu untuk menduduki bekas tempat raja atau pembesar duduk meskipun hanya berupa batu. Oleh karena itu, di Jawa banyak petilasan yang disebut makom (maqom) yang berarti bekas-bekas orang penting.
Nembalan nu batuk, nu ngadehem, nu ngareuhak, maka nguni embuing; kalih ngawih, ya lembu akalang ngaranya. Nyanda di [u]rut sanghyang kalih deuuk di tihang, di kayu, di batu, nyeueung inya anggeus diri disilihan nyanda, ngara[n]na lembu anggasin. Itu kehna ingetkeuneun lamun dek luput ti naraka...
Menyahut orang batuk, mendeham, membuang dahak, demikian pula menyahut ibu-ibu yang menyanyi, disebut lembu memasuki gelanggang. Bersandar pada bekas orang suci duduk pada tiang, pada kayu, pada batu, padahal kita melihatnya dan setelah mereka pergi kita menggantikannya bersandar di situ, disebut lembu menantang. Itu semua perlu diingat kalau ingin terluput dari neraka...
Selain itu, di Jawa telah lama dikenal Tantrakalacakra[7] dan juga terdapat "Rajah Kalacakra". Ini bagian dari ajaran wajrayana/tantrayana.
Bentuk-bentuk Prasasti Candi-candi
Aliran wajrayana atau tantrayana ini berkembang pula di Jawa. di Jawa Tengah pada abad ke-8 dalam Prasasti Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci, Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara. Dewi Tara merupakan salah satu bentuk penyimpangan Buddha Mahayana karena dewi tersebut dianggap sebagai istri (sakti) para Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai kama (syahwat) merupakan musuh terbesar manusia.
Di Jawa Timur abad ke-10 pun keberadaan penganut Tantra telah diakui oleh Mpu Sindhok Raja Medang, pendiri Wangsa Isana. Meski Raja Sindhok penganut Siwa, ia menganugerahkan Desa Wanjang sebagai wilayah sima (yang dibebaspajakkan) kepada pujangga bernama Sambhara Suryawarana yang menyusun kitab Tantra, Sanghyang Kamahayanikan.
Di Kerajaan Sunda-Pajajaran pun diketahui ada sejumlah rajanya penganut Tantra, di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana raja terakhir Pajajaran). Naskah kuno karya anonim pada abad ke-16, Carita Parahyangan mengurai, “Karena terlalu lama Raja (Nilakendra) tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan”. Di Sunda, para penganut Tantra menjalankan ibadahnya di bangunan-bangunan megalitik.
Seperti disebutkan di atas bahwa paham Tantrayana-Hindu identik dengan paham Siwa–Bhairawa. Bhairawa (artinya hebat) ini perwujudan Siwa yang mengerikan, digambarkan ganas, memiliki taring, bertubuh besar, dan berwujud raksasa.
Bukti-bukti dari keberadaan paham Bhairawa di antaranya: arca Bhairawa Heruka di Padang Lawas, Sumatra Barat, arca Adityawarman dalam wujud Bhairawa Kalacakra pada masa Majapahit, dan arca Bhairawa Bima di Bali. Aliran Bhairawa ditenggarai memunyai tendensi politik guna untuk mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian keamanan negara. Misalnya, Kertanagara menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kekuatan kaisar Kubilai Khan di Cina yang menganut Bhairawa Heruka. Adityawarman menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi raja Pagaruyung di Sumatra Barat yang menganut Bhairawa Heruka.
Candi Sukuh
Keberadaan Tantrayana ini dibuktikan pula oleh peninggalan-peninggalan fisik. Di Jawa Tengah, misalnya, kita dapat melihat bukti tersebut di komplek Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu, Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan tulisan candrasangkala di gapura teras 1 dan 2, candi ini didirikan antara tahun 1437-1456 M; jadi di era Majapahit menjelang keruntuhannya. Struktur bangunan candinya sendiri berbentuk piramida—mirip peninggalan budaya Maya di Meksiko atau Inca di Peru.
Candi Ceto
Pada Candi Ceto di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Referensi
- ^ Khenchen Thrangu Rinpoche. "Distinguishing Dharma and Dharmata". 1999. Hal. 113
- ^ "Tantra Classification Main Page". www.himalayanart.org. Diakses tanggal 2018-04-01.
- ^ "Indian Adept Main Page (Mahasiddha)". www.himalayanart.org. Diakses tanggal 2018-04-01.
- ^ "Mandala - Chinese Buddhist Encyclopedia". www.chinabuddhismencyclopedia.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-04-01.
- ^ "Jejak-jejak Tantrayana di Nusantara - WACANA". www.wacana.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-03-29.
- ^ Nurwansah, Ilham. "Naskah Lontar Sunda Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian (624):sebuah anomali dalam pernaskahan Sunda kuna" (dalam bahasa Inggris).
- ^ Widnya, I Ketut. "Pemujaan Siva-Buddha dalam Masyarakat Hindu di bali". Majalah mudra 22 (1) hal 39-54. ISSN 085-3461