Undang-Undang Pemilihan Umum
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Politik dan ketatanegaraan Indonesia |
---|
Pemerintahan pusat |
Pemerintahan daerah |
Politik praktis |
Kebijakan luar negeri |
Undang-undang Pemilihan Umum 2017 merupakan undang-undang yang mengatur pemilihan umum di Indonesia. Secara resmi, UU ini dikenal sebagai Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 (atau UU 7/2017). Undang-undang ini disahkan pada tanggal 21 Juli 2017 setelah sembilan bulan perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat.
Sejarah
Untuk mengantisipasi Pemilu Legislatif dan Presiden Serentak pada 2019, pemerintah memulai mengerjakan RUU pemilu yang baru. Pada bulan Agustus tahun 2016, presiden Joko Widodo telah menerima RUU tersebut,[1] dan Dewan Perwakilan Rakyat menerimanya pada 21 Oktober tahun yang sama.[2] Pada saat pembahasan undang-undang, perselisihan terjadi mengenai presidential threshold, dengan parpol terbagi menjadi tiga kubu - PDI-P, Golkar dan Nasdem mendukung ambang batas yang lebih tinggi: 25% suara dalam Pileg 2014/20% kursi DPR, Gerindra, PAN dan Demokrat mendukung penghapusan ambang batas, dan PKB dan PPP yang mendukung ambang batas yang lebih rendah: 15% suara/10% kursi DPR.[3]
RUU tersebut diresmikan menjadi UU seusai pemungutan suara pada 21 Juli 2017. Selama prosedur pemungutan suara, partai-partai penentang - Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat - melakukan aksi walk out yang melibatkan semua anggota mereka, termasuk tiga wakil ketua DPR, kecuali wakil ketua DPR lainnya Fahri Hamzah yang memutuskan untuk tetap tinggal. Semua anggota yang tersisa, yang merupakan anggota koalisi pemerintah, menyetujui presidential threshold 20 persen (Opsi A), dengan Fahri menjadi satu-satunya anggota yang menyatakan tidak setuju.[4]
Isi
Distribusi kursi
Undang-undang mengamanatkan penambahan 15 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, meningkatkan jumlah kursi menjadi 575 yang dibagi di 80 daerah pemilihan dengan masing-masing 3-10 kursi, penambahan diberikan kepada provinsi-provinsi di luar Jawa.[5] Selain itu, undang-undang menetapkan jumlah kursi untuk DPRD-DPRD sebagai berikut:
Populasi | Kursi DPRD: |
---|---|
<1 juta | 35 |
1-3 juta | 45 |
3-5 juta | 55 |
5-7 juta | 65 |
7-9 juta | 75 |
9-11 juta | 85 |
11-20 juta | 100 |
>20 juta | 120 |
Kabupaten/Kota:Psl. 191
Populasi | Kursi DPRD: |
---|---|
<100 ribu | 20 |
100-200 ribu | 25 |
200-300 ribu | 30 |
300-400 ribu | 35 |
400-500 ribu | 40 |
500 ribu-1 juta | 45 |
1-3 juta | 50 |
3 juta | 55 |
Kursi-kursi DPRD juga didistribusikan ke daerah-daerah pemilihan dengan masing-masing 3-12 anggota. Undang-undang ini mengatur bahwa daerah pemilihan harus mengikuti batas administrasi kabupaten/kota (provinsi dan nasional) atau kecamatan (kabupaten/kota) jika mungkin, namun pembagian wilayah-wilayah tersebut ke beberapa dapil diperbolehkan jika tidak memungkinkan untuk dijadikan satu dapil.[6]:Psl. 187,189,192
Secara keseluruhan, UU ini mengamanatkan 20.392 kursi legislatif non-independen - 575 di Dewan Perwakilan Rakyat, 2.207 di DPRD Provinsi dan 17.610 di DPRD Kabupaten/Kota.[7]
Sistem pemilu
UU ini mempertahankan sistem pemilu yang digunakan pada tahun 2014, dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Pemilih dapat memilih langsung calon yang mereka inginkan dari daftar nama calon yang diajukan partai-partai. Para calon kemudian diurutkan sesuai jumlah suara, dan kuota per partai ditentukan melalui metode Webster/Sainte-Laguë setelah eliminasi dari partai-partai yang tidak memenuhi ambang batas.[8]
Untuk calon presiden, capres yang menang ditentukan oleh suara mayoritas, dengan pemilu tahap kedua untuk dua calon teratas jika tidak ada capres yang berhasil memperoleh 50%+1 dalam tahap pertama. Selain itu, capres yang menang harus memperoleh sekurang-kurangnya 20% suara di lebih dari setengah provinsi (yaitu lebih dari 17).:Art. 416
Ambang batas
Dalam pemilu sebelumnya, partai-partai harus melewati ambang batas parlemen sebesar 3,5% untuk memperoleh kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang ini meningkatkan ambang batas menjadi 4%. Presidential threshold diputuskan pada 25%/20%, di mana pihak-pihak yang akan membutuhkan total 20% (112 kursi) kursi legislatif dari pemilu 2014, atau 25% suara dari tahun 2014.
Lain-lain
UU Pemilu meningkatkan batas kontribusi kampanye dari Rp 1 miliar menjadi Rp 2,5 miliar untuk perorangan, dan Rp 7,5 miliar menjadi Rp 25 miliar untuk badan hukum atau korporasi. Selain itu, partai-partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu 2014 diperbolehkan tidak mengikuti verifikasi parpol, meskipun penambahan Kalimantan Utara sebagai provinsi yang membutuhkan kantor partai.
Gugatan
UU Pemilu telah digugat ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada batas masa jabatan yang ditetapkan oleh Pasal 169 dan 227 ditolak pada Juni 2018.[9] Suatu judicial review juga diajukan mengenai presidential threshold (Psl. 222).[10] Gugatan terhadap Pasal 182, yang tidak secara tegas melarang pengurus partai politik di pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah, dikabulkan pada Juli 2018.[11]
Catatan
Referensi
- ^ Kuwado, Fabian Januarius (9 August 2016). "Mendagri: Draf Revisi UU Pemilu 2019 Sudah Diserahkan ke Presiden". KOMPAS. Diakses tanggal 2 November 2018.
- ^ "Tiga Isu Krusial dalam Revisi UU Pemilu". SINDOnews.com. 24 October 2016. Diakses tanggal 2 November 2018.
- ^ Kami, Indah Mutiara (16 June 2017). "Ini yang Bikin Pemerintah dan DPR Adu Ngotot di RUU Pemilu". detiknews. Diakses tanggal 2 November 2018.
- ^ Prasetia, Andhika (21 July 2017). "Novanto Sahkan UU Pemilu dengan Presidential Threshold 20%". detiknews. Diakses tanggal 23 September 2018.
- ^ Amindoni, Ayomi (21 July 2017). "Apa yang perlu Anda ketahui tentang UU Pemilu". BBC. Diakses tanggal 23 September 2018.
- ^ a b c "Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum" (PDF). rumahpemilu.org. Government of Indonesia. 2017. Diakses tanggal 23 September 2018.
- ^ "Pemilu 2019, Jumlah Kursi Anggota DPRD Berjumlah 19.817". KOMPAS. 18 April 2018. Diakses tanggal 23 September 2018.
- ^ Haryanto, Alexander (16 August 2018). "Mengenal Metode Sainte Lague untuk Penghitungan Suara di Pileg 2019". tirto.id. Diakses tanggal 2 November 2018.
- ^ "MK tolak gugatan pasal 169 dan 227 UU Pemilu, soal tafsir JK boleh jadi Wapres lagi". Merdeka. 28 June 2018. Diakses tanggal 23 September 2018.
- ^ Prihatin, Intan Umbari (16 June 2018). "Akademisi sampai sutradara film kembali gugat Pasal 222 UU Pemilu ke MK". Merdeka. Diakses tanggal 23 September 2018.
- ^ Setiawan, Sakina Rakhma Diah (23 July 2018). "Ini Alasan MK Larang Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD". KOMPAS. Diakses tanggal 2 November 2018.