Hak asasi manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dianggap melekat pada diri semua manusia tanpa memandang latar belakang suku, agama, bahasa, etnis, atau status lainnya. Hak asasi manusia dilindungi sebagai hak ikhtiyari dalam hukum nasional maupun internasional. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Hak asasi manusia berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga bersifat universal. HAM juga bersifat egaliter dalam artian hak-hak yang dimiliki semua orang itu sama. Hak asasi manusia tidak boleh dilanggar, kecuali jika hal tersebut diputuskan secara adil melalui proses hukum, tetapi ada pula sejumlah hak yang dianggap mutlak dalam artian tidak dapat dilanggar dalam keadaan apapun, misalnya hak untuk tidak disiksa.

Doktrin dari hak asasi manusia sangat berpengaruh dalam hukum internasional dan juga dalam kinerja lembaga-lembaga global dan regional. Namun, klaim-klaim mengenai hak asasi manusia juga memicu keraguan yang cukup besar dan perdebatan tentang isi, hakikat, dan pembenaran hak asasi manusia sampai saat ini. Walaupun terdapat konsensus bahwa hak asasi manusia meliputi berbagai macam hak, seperti hak untuk mendapatkan proses hukum yang adil, perlindungan dari perbudakan, larangan genosida, kebebasan berbicara, atau hak atas pendidikan, terdapat perdebatan mengenai hak mana yang perlu dimasukkan ke dalam kerangka umum hak asasi manusia.

Masyarakat kuno tidak memiliki gagasan mengenai hak asasi manusia universal seperti halnya masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana hak asasi manusia adalah konsep hak alami yang muncul pada Abad Pencerahan, yang kemudian memengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis. Konsep hak asasi manusia modern muncul pada paruh kedua abad kedua puluh, terutama setelah dirumuskannya Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (UDHR) di Paris oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948.

Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua umat manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia...

— Kalimat 1 dari Pembukaan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.

— Pasal 1 dari Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia PBB[1]

Sejarah

Upaya untuk menelusuri sejarah hak asasi manusia terganjal oleh perdebatan mengenai titik awalnya.[2] Secara umum dan abstrak, nilai-nilai yang mendasari hak asasi manusia (seperti keadilan, kesetaraan, dan harga diri) dapat ditemukan dalam berbagai masyarakat dalam sejarah.[3] Konsep-konsep yang terkait dengan hak asasi manusia sudah dapat ditelusuri paling tidak semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Hammurabi di Babilonia pada abad ke-18 SM, dan juga dengan munculnya kitab-kitab agama.[2] Jika yang ingin ditilik adalah sejarah gagasan bahwa semua manusia memiliki hak alami, maka konsep ini sudah ada setidaknya dari zaman Yunani Kuno dengan munculnya pemikiran filsuf-filsuf Stoikisme.[2] Akan tetapi, apabila sejarah HAM yang dimaksud adalah sejarah HAM modern yang ditegakkan secara hukum di tingkatan nasional dan internasional saat ini, maka dapat dikatakan bahwa sejarahnya bermula dari piagam-piagam yang mencantumkan kebebasan-kebebasan yang melindungi pemilik hak dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin, dan biasanya dokumen yang dianggap sebagai titik awalnya adalah Magna Carta di Kerajaan Inggris dari tahun 1215.[2][3] Namun, dokumen ini pun masih dianggap bermasalah, karena dokumen ini hanya melindungi para bangsawan yang kuat dari kekuasaan Raja Inggris.[4] Maka dari itu, masa yang biasanya dianggap sangat berpengaruh terhadap konsep HAM modern yang mencakup semua umat manusia adalah Abad Pencerahan pada abad ke-18 dengan munculnya tulisan-tulisan karya John Locke yang terkait dengan hukum kodrat.[3] Pakar hak asasi manusia Eva Brems bahkan membuat pernyataan yang lebih keras dengan menyatakan bahwa "Sumber rumusan hak asasi manusia di tingkatan internasional saat ini sulit untuk ditilik kembali ke masa sebelum Abad Pencerahan, atau di tempat di luar Eropa dan Amerika. Gagasan bahwa UDHR berakar dari segala kebudayaan tidaklah lebih dari sekadar mitos."[5]

Para pemikir pencerahan

Thomas Hobbes menerbitkan karyanya yang berjudul Leviathan pada tahun 1651. Raja Charles I dari Inggris baru saja dipenggal dua tahun sebelumnya oleh para pendukung Parlemen yang dipimpin oleh Oliver Cromwell, dan di dalam buku tersebut, Hobbes merasakan bahwa kekuasaan absolut wajib ada, dan ia menolak gagasan mengenai pembatasan terhadap kekuasaan. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa semua bawahan tunduk kepada penguasanya, dan ia tidak banyak bersentuhan dengan hak alami. Walaupun begitu, Hobbes meyakini bahwa penguasa harus menjalankan wewenangnya secara bertanggung jawab dan dengan mengikuti hukum Allah dan hukum kodrat. Selain itu, Hobbes dianggap berjasa karena telah memperkenalkan gagasan kontrak sosial yang menyatakan bahwa penguasa punya wewenang untuk berkuasa karena rakyat sebelumnya sudah menyatakan kesediaan mereka untuk perintah.[6]

John Locke mengembangkan gagasan ini lebih lanjut di dalam karyanya, Two Treatises of Government, yang diterbitkan pada tahun 1689. Locke dikenal dengan gagasannya mengenai hak alami bahwa manusia terlahir dengan "kebebasan sempurna" dan "hak-hak dan keistimewaan yang tak dapat dikendalikan" dalam keadaan alamiah sebelum adanya negara, dan manusia secara alamiah juga memiliki kekuatan untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan, dan hak-hak pemilikannya dari ancaman atau serangan manusia lain.[6] Ia menolak mentah-mentah klaim bahwa manusia dapat melepaskan hak-hak alaminya; menurutnya, tidak ada orang yang bisa menyerahkan wewenang yang lebih besar daripada yang dimilikinya, dan juga tidak ada satu pun insan yang punya kekuasaan mutlak dan sewenang-wenang terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain sampai-sampai mereka dapat membunuh atau merampas hak milik orang lain. Maka dari itu, manusia dianggap tidak dapat menundukkan dirinya kepada kekuasaan sewenang-wenang orang lain, dan dari sini muncul kesimpulan bahwa manusia masih tetap mempertahankan kebebasan alamiahnya bahkan ketika mereka hidup di dalam suatu negara, dan perumusan kontrak sosial untuk mendirikan negara bukan dianggap sebagai penyerahan hak tanpa syarat seperti yang dibayangkan oleh Hobbes. Gagasan ini membuka jalan bagi kemunculan hak asasi yang melindungi seseorang dari permintaan-permintaan yang tidak berdasar dari negara.[7] Locke bahkan mengambil langkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa penguasa kadang-kadang perlu dilawan jika mereka sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya atau memakainya untuk mengakibatkan kehancuran, dan bukannya untuk kebaikan umat manusia dan perlindungan hak mereka.[6] Gagasan ini kelak tertuang di dalam mukadimah UDHR: "Menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penindasan."[1]

Pada tahun yang sama, pemerintah Inggris mengeluarkan piagam Bill of Rights yang memberikan hak-hak yang terbatas, seperti pelarangan pengganjaran hukuman yang "lalim dan tak lazim". Namun, sumbangsih terbesar piagam ini adalah dalam menetapkan konsep kedaulatan parlemen secara konstitusional, dan berdasarkan pemahaman masyarakat modern, piagam ini tidak memenuhi syarat sebagai piagam hak asasi manusia. Walaupun begitu, piagam ini tetap dianggap penting karena telah memastikan gagasan bahwa kekuasaan mutlak di tangan negara perlu dibatasi demi kepentingan rakyat.[4]

Catatan kaki

  1. ^ a b UDHR 1948.
  2. ^ a b c d Bates 2010, hlm. 18.
  3. ^ a b c Brems 2001, hlm. 17.
  4. ^ a b Bates 2010, hlm. 19.
  5. ^ Brems 2001, hlm. 7.
  6. ^ a b c Bates 2010, hlm. 20.
  7. ^ Tomuschat 2008, hlm. 12.

Daftar pustaka

Pranala luar

Pranoto Iskandar,Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual, Kata Pengantar oleh: Profesor Abdullahi A. An-Na'im dan Profesor Beth Lyon, Edisi 2, Cianjur: IMR Press, 2012

Informasi

Organisasi hak asasi manusia