Angulimala

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Aṅgulimāla
Angulimala memergoki Buddha Gautama
Nama lainAhiṃsaka, Gagga Mantānīputta
Informasi pribadi
Lahir
AgamaAgama Buddha
KebangsaanIndia
PendidikanTaxila
Kedudukan senior
GuruBuddha
Terjemahan dari
Aṅgulimāla
Inggrisartinya 'kalung jari' ('ia yang mengenakan jari sebagai kalung')
PaliAṅgulimāla
SanskritAṅgulimāliya, Aṅgulimālya[1]
Tionghoa央掘魔羅
(PinyinYāngjuémóluó)
Myanmarအင်္ဂုလိမာလ
(MLCTS: ʔɪ̀ɴɡṵlḭmàla̰)
Thaiองคุลิมาล, องคุลีมาล
(RTGS: Ongkhuliman)
Khmerអង្គុលីមាល៍
(Ankulimea)
Sinhalaඅංගුලිමාල
Daftar Istilah Buddhis

Aṅgulimāla (Bahasa Pāli; artinya 'kalung jari')[1][2] adalah salah satu tokoh penting dalam agama Buddha, terutama dalam tradisi Buddha Theravāda. Aṅgulimāla digambarkan sebagai perampok ulung yang sepenuhnya berubah setelah mengikuti ajaran sang Buddha, ia dipandang sebagai contoh dari kekuatan penebusan dari ajaran Buddha dan kemampuan Buddha sebagai guru. Aṅgulimāla dipandang oleh umat Buddha sebagai "pelindung suci" dari kelahiran anak dan diasosiasikan dengan kesuburan di Asia Selatan dan Tenggara.

Cerita Aṅgulimāla dapat ditemukan di sejumlah sumber dalam bahasa Pāli, Sansekerta, Tibet dan Tionghoa. Aṅgulimāla lahir dengan nama Ahiṃsaka. Ia dibesarkan sebagai pemuda cerdik di Sawati, dan saat di sekolah, ia menjadi murid kesayangan gurunya. Namun, hal tersebut membuat iri teman-temannya, sehingga para temannya membuatnya bermusuhan dengan gurunya. Dalam upaya untuk menyingkirkan Aṅgūlimāla, gurunya mengirimnya pada misi mematikan untuk menemukan seribu jari manusia untuk menyelesaikan sekolahnya. Berniat untuk menjalankan misi tersebut, Aṅgulimāla menjadi perampok ulung, membunuh banyak orang dan menyebabkan seluruh warga desa berpindah. Kemudian, peristiwa tersebut menyebabkan sang raja mengirim tentara untuk menangkap pembunuh tersebut. Sementara itu, ibu Aṅgulimāla berniat untuk turun tangan untuk menyadarkan putranya, tetapi karena hal itu, hampir saja ibu Aṅgulimāla dibunuh oleh putranya. Namun, sang Buddha memutuskan untuk menghindarkannya dan memakai kekuatan dan ajarannya untuk membawa Aṅgulimāla ke jalan yang benar. Aṅgulimāla kemudian menjadi pengikut Buddha, dan menjadi seorang [[biksu|bhikkhu] di bawah bimbingan sang Buddha, sehingga mengejutkan raja dan orang-orang. Meskipun telah bertobat, para penduduk desa masih marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Aṅgulimāla, tetapi rasa marah tersebut terhapuskan saat Aṅgulimāla menolong seorang ibu saat melahirkan anak melalui sebuah tindak kebajikan.

Para cendekiawan berteori bahwa Aṅgulimāla adalah bagian dari kultus kekerasan sebelum ia bertobat. Indologis, Richard Gombrich, menyatakan bahwa ia adalah pengikut aliran awal dari Tantra, namun klaim tersebut telah dibantah. Umat Buddha menganggap Aṅgulimāla sebagai lambang transformasi spiritual, dan ceritanya adalah sebuah pelajaran yang dapat mengubah kehidupan setiap orang menjadi lebih baik, bahkan setidaknya pada orang-orang yang seperti itu. Selain itu, cerita Aṅgulimāla menjadi bahan diskusi keadilan dan rehabilitasi di kalangan cendekiawan, dan dipandang oleh teolog John Thompson sebagai contoh yang baik untuk ditiru mengenai bagaimana menumbuhkan kepedulian terhadap sesama serta mengatasi kerusakan moral. Aṅgulimāla menjadi subjek film dan sastra, seperti film Thailand yang berjudul Angulimala (2003), dan buku The Buddha and the Terrorist karya Satish Kumar mengadaptasi cerita tersebut sebagai tanggapan non-kekerasan terhadap Perang melawan terorisme.

Sumber tekstual dan temuan epigrafi

Buddhaghoṣa (komentator dari abad ke-5 M; digambarkan di bagian kanan)

Cerita Aṅgulimāla sangat dikenal dalam tradisi Theravāda.[3] Dua teks dalam sumber-sumber awal dalam bahasa Pali mengisahkan tentang pertemuan awal Aṅgulimāla dengan sang Buddha dan pertobatannya, dan diyakini menjabarkan versi tertua dari cerita tersebut.[4][5][note 1] Karya pertama adalah Theragathā, yang mungkin merupakan karya tertua di antara keduanya,[3] dan karya kedua adalah Sutta Aṅgulimāla dalam Majjhima Nikāya.[7] Kedua karya tersebut memberikan deskripsi pendek dari pertemuan Aṅgulimāla dengan sang Buddha, dan tak menyebut banyak informasi latar belakang yang kemudian dicantumkan dalam cerita tersebut (seperti Aṅgulimāla menyatakan sumpah kepada guru).[8][3] Selain dari teks-teks Pāli, kehidupan Aṅgulimāla juga disebutkan dalam teks Tibetan dan Tionghoa yang bermula dari Sanskerta.[8][5] Kumpulan cerita Sanskerta berjudul Saṃyuktāgama dari aliran Mūlasārwastiwāda awal, telah diterjemahkan dalam dua teks Tionghoa (pada abad ke-4 sampai ke-5 Masehi) dari aliran Sarwāstiwāda dan Kāśyapīya awal dan juga berisi versi-versi dari cerita tersebut.[9][5][10] Sebuah teks yang diterjemahkan dari Sanskerta ke Tionghoa Ekottara Agāma oleh aliran Mahāsaṃghika juga diketahui. Selain itu, tiga teks Tionghoa lainnya yang berkisah tentang Aṅgulimāla juga ditemukan, yang tak diketahui asal usulnya namun berbeda dari tiga teks Tionghoa pertama.[11]

Selain tiga teks awal, terdapat juga pengisahan pada masa berikutnya, yang muncul dalam komentar kepada Majjhima Nikāya yang diatributkan kepada Buddhaghosa (abad ke-5 M) dan komentar Theragathā yang diatributkan kepada Dhammapāla (abad ke-6 M).[8] Dua komentar tersebut tak muncul secara independen satu sama lain: Dhammapāla tampaknya telah menyalin atau sangat meniru Buddhaghosa, meskipun menambahkan penjelasan dari beberapa ketidakkonsistenan.[4][5] Catatan terawal dari kehidupan Aṅgulimāla menyebut kekerasan tanpa rasa takut dari Aṅgulimāla dan, sebaliknya, sikap damai sang Buddha. Catatan-catatan pada masa berikutnya berniat untuk mencantumkan penjelasan lain dan mengklarifikasi hal apapun yang tak sejalan dengan ajaran Buddha.[12] Contohnya, suatu masalah yang tampak menimbulkan pertanyaan adalah transformasi mendadak dari seorang pembunuh menjadi murid tercerahkan—catatan-catatan pada masa berikutnya berniat untuk menjelaskannya.[13] Namun, catatan-catatan pada masa berikutnya juga mencantumkan mukjizat-mukjizat lainnya dan bersama dengan beberapa penjelasan naratif menjelaskan poin-poin utama dari cerita tersebut.[14] Sumber-sumber Pāli awal (bahasa Pali: sutta) tak menyebut motif apapun untuk tindakan Aṅgulimāla, selain kekejaman ulung.[15] Teks-teks pada masa berikutnya mewakili upaya dari para komentator pada masa berikutnya untuk "merehabilitasi" karakter Aṅgulimāla, menjadikannya tampak sebagai manusia baik secara fundamental yang terjebak oleh keadaan, ketimbang sebagai pembunuh tulen.[16][17] Selain sumber-sumber dan ayat-ayat tersebut, terdapat juga kisah-kisah Jātaka, Milindapañhā, dan bagian-bagian dari disiplin monastik yang berkaitan dengan Aṅgulimāla, serta kronik Mahāwaṃsa pada masa berikutnya.[18]

Teks-teks pada masa berikutnya dari bahasa-bahasa lainnya yang berkaitan dengan kehidupan Aṅgulimāla meliputi teks Awadāna berjudul Sataka,[19] serta kumpulan cerita pada masa berikutnya yang berjudul Kisah tentang Kebijaksanaan dan Lelucon, yang ada dalam bahasa Tibetan dan Tionghoa.[20] Terdapat juga catatan perjalanan para peziarah Tionghoa yang menyebut Aṅgulimāla secara singkat.[21] Selain deskripsi kehidupan Aṅgulimāla, terdapat sumber Mahāyāna berjudul Sūtra Aṅgulimālīya, yang berisi ceramah-ceramah Buddha Gautama kepada Aṅgulimāla. Ini adalah salah satu Sūtra Tathāgatagarbha, sekelompok sumber yang menjelaskan tentang Alam Buddha.[1][22] Terdapat sūtra lainnya dengan nama yang sama, yang merujuk ke teks-teks Tionghoa, yang dipakai untuk membela pendirian umat Buddha melawan minuman beralkohol. Namun, teks tersebut tak ditemukan.[23] Selain bukti tekstual, bukti epigrafi awal juga ditemukan. Salah satu relief terawal yang menggambarkan Aṅgulimāla berasal dari sekitar abad ke-3 SM.[24]

Cerita

Inkarnasi sebelumnya

Teks-teks tersebut mengisahkan inkarnasi masa lampau sebelum Aṅgulimāla bertemu Buddha Gautama. Pada kehidupan sebelumnya, ia lahir sebagai raja pemakan manusia yang berubah menjadi yaksha (bahasa Pali: yakkha, sebuah perwujudan iblis; Sanskerta: yakṣa),[25][26] yang dalam beberapa teks disebut Saudāsa.[27] Saudāsa mengembangkan minat dalam menyantap daging manusia saat ia disajikan daging bayi mati. Saat ia meminta lagi, orang-orang di sekitarnya mulai mengkhawatirkan keselamatan anak mereka dan ia dikeluarkan dari kerajaannya sendiri.[28][note 2] Berubah menjadi monster, Saudāsa bertemu seorang dewa yang berjanji dapat memulihkan status Saudāsa sebagai raja jika ia mengurbankan seratus raja lainnya.[26] Membunuh 99 raja, seorang raja bernama Sutasoma mengubah pikiran Saudāsa dan menjadikannya pria relijius, dan memberikannya semua kekerasan. Sutasoma diidentifiksikan sebagai inkarnasi sebelumnya dari sang Buddha,[26][27] dan Saudāsa sebagai inkarnasi sebelumnya dari Aṅgulimāla.[29]

Namun, menurut Ekottara Agāma, inkarnasi sebelumnya dari Aṅgulimāla adalah seorang putra mahkota, yang bersifat baik dan bijak yang membuat iri para musuhnya. Saat musuh-musuhnya membunuhnya, ia bersumpah bahwa sebelum ia meninggal, ia akan membalas kematiannya, dan memasuki Nirwana di kehidupan mendatang di bawah panduan seorang master. Versi tersebut tampak menyatakan bahwa pembunuhan Aṅgulimāla dibenarkan.[30]

Masa muda

Reruntuhan Taxila, sekarang Pakistan.

Dalam kebanyakan teks, Aṅgulimāla lahir di Sāwatī,[27][note 3] dalam kasta brahmana (pendeta) dari klan Gagga, ayahnya Bhaggava merupakan bawahan dari raja Kosala, dan ibunya bernama Mantānī.[19] Menurut teks-teks komentarial, pertanda-pertanda mengiringi pada masa kelahiran anak tersebut (senjata-senjata bergerak dan kemunculan "rasi bintang aneh" di langit)[19] mengindikasikan bahwa anak tersebut ditakdirkan menjadi perampok.[25][31] Saat ayahnya menafsirkan pertanda-pertanda tersebut kepada raja, raja bertanya apakah anak tersebut akan menjadi perampok tunggal atau pemimpin kelompok. Saat Bhaggava menyawab bahwa ia akan menjadi perampok tunggal, raja memutuskan untuk membiarkannya hidup.[31]

Buddhaghosa menyatakan bahwa ayah tersebut menamai anaknya Ahiṃsaka, yang artinya 'orang tak berbahaya'.[19] Ini berasal dari kata ahiṃsa (non-kekerasan), karena tak ada orang yang tersakiti pada masa kelahirannya, disamping pertanda-pertanda buruk tersebut.[1] Komentar dari Dhammapāla menyatakan bahwa ia awalnya dinamai Hiṃsaka ('orang berbahaya') karena kekhawatiran raja, namun nama tersebut kemudian diganti.[19]

Saat dewasa, Ahiṃsaka menjadi orang yang tampan, cerdas, dan berperilaku baik.[25][9] Orangtuanya mengirimkannya ke Taxila untruk belajar di bawah bimbingan seorang guru terkenal. Disana, ia menguasapi pembelajaran-pembelajarannya dan menjadi murid kesayangan dari gurunya, mendapatkan hak-hak khusus di rumah gurunya. Namun, murid-murid yang lain menjadi iri dengan kemampuan cepat Ahiṃsaka dan berniat membuatnya dimusuhi gurunya.[19] Pada akhirnya, mereka menuduh Ahiṃsaka menggoda istri gurunya.[25] Tak berniat atau tak dapat menyerang Ahiṃsaka secara langsung,[note 4] guru tersebut berkata bahwa pelatihan Ahiṃsaka sebagai brahman sebenarnya nyaris rampung, namun ia harus menyediakan hadiah terakhir tradisional untuk ditawarkan kepada seorang guru dan kemudian ia akan menerima kesepakatannya. Sebagai bayarannya, gurunya meminta seribu jari, masing-masing diambil dari orang-orang berbeda, berpikir bahwa Aṅgulimāla akan melakukan pembunuhan dalam rangka meraih penghargaan tersebut.[19][9][note 5] Menurut Buddhaghosa, Ahiṃsaka menentangnya, dengan berkata bahwa ia berasla dari keluarga baik-baik, namun kemudian gurunya membujuknya.[35] Namun menurut sumber lain, Ahiṃsaka tak memprotes perintah gurunya.[25]

Dalam versi kain dari cerita tersebut, istri gurunya berniat untuk menggoda Ahiṃsaka. Saat Ahiṃsaka menolak tarawannya, ia menjadi tak senang dan berkata kepada suaminya bahwa Ahiṃsaka telah berniat untuk menggodanya. Cerita tersebut kemudian berlanjut dengan jalan cerita yang sama.[1][9]

Hidup sebagai perampok

Setelah diperintahkan oleh gurunya, Aṅgulimāla menjadi seorang pencegat, tinggal di sebuah jurang dalam sebuah hutan bernama Jālinī dimana ia dapat melihat orang-orang berlalu lalang dan membunuh atau menyakiti para penjelajah tersebut.[37][19][25] Ia menjadi dikenal karena kemampuannya dalam menyerang para korbannya.[38] Saat orang-orang mulai menghindari jalan tersebut, ia memasuki desa-desa dan membawa orang-orang dari rumah-rumah mereka untuk membunuh mereka. Seluruh dewa menjadi ditinggalkan.[19][35] Ia tak pernah membawa baju atau perhiasan dari para korbannya, hanya jari-jarinya saja.[35] Untuk menjaga hitungan jumlah korban yang ia dapatkan, ia menalinya pada sebuah benang dan menggantungnya di pohon. Namun, karena burung-burung mulai memakan daging dari jari-jari tersebut, ia mulai mengenakkannya sebagai kalung jimat. Kemudian, ia menjadi dikenal sebagai Aṅgulimāla, yang artinya 'kalung jari'.[1][35] Dalam beberapa relief, ia digambarkan mengenakan hiasan kepala jari ketimbang sebuah kalung.[39]

Bertemu Sang Buddha

Lukisan di Wihara Chedi Traiphop Traimongkhon, Hatyai, Thailand

Para penduduk desa yang masih hidup berpindah dari wilayah tersebut dan mengeluh kepada Pasenadi, raja Kosala.[40][41] Pasenadi menanggapinya dengan mengirim 500 prajurit untuk memburu Aṅgulimāla.[42] Sementara itu, orang tua Aṅgulimāla mendengar kabar bahwa Pasenadi memburu seorang penjahat. Sejak Aṅgulimāla lahir dengan pertanda-pertanda buruk, mereka menyatakan bahwa ini harus terjadi kepadanya. Meskipun ayahnya memutuskan untuk tak ikut campur,[note 6] ibunya tak setuju.[40][41][note 7] Mengkhawatirkan nyawa putranya, ia memutuskan untuk menemukan putranya, memperingatinya niat raja tersebut, dan mengambil pengasuhannya.[43][25] Melalui penglihatan meditatif (bahasa Pali: abhiñña), Sang Buddha mengetahui bahwa Aṅgulimāla telah menjagal 999 korban, dan tampaknya akan mencapai jumlah seribu.[44][note 8] Jika Sang Buddha mendatangi Aṅgulimāla pada hari tersebut, Aṅgulimāla akan menjadi biksu dan kemudian meraih abhiñña.[44] Namun, jika Aṅgulimāla malah membunuh ibunya, ia akan menjadi korban keseribunya dan ia tak akan terselamatkan,[1][41] karena matrisida dalam agama Buddha dianggap sebagai salah satu lima tindakan terburuk yang dilakukan seseorang.[46][47]

Sang Buddha memutuskan untuk mendatangi Aṅgulimāla,[19] meskipun diperingati oleh para warga desa lokal untuk tak mendatanginya.[15][48] Saat berjalan menuju hutan Kosala, Aṅgulimāla mula-mula melihat ibunya.[1] Menurut beberapa versi cerita, ia kemudian terkenang dengan ibunya saat ibunya menyediakan makanan untuknya.[49] Namun, setelah melakukan pertimbangan, ia memutuskan untuk menjadikannya korban keseribunya. Namun saat sang Buddha juga datang, ia memilih untuk membunuhnya sebagai gantinya. Ia mengeluarkan pedangnya, dan mulai berlari ke arah Sang Buddha. Namun meskipun Aṅgulimāla berlari secepat yang ia bisa, ia tak dapat menghampiri Sang Buddha yang berjalan tenang.[1] Sang Buddha memakai sejumlah kemampuan supranatural (bahasa Pali: iddhi; Sanskerta: ṛddhi) untuk menghadapi Aṅgulimāla:[38][5] satu teks menyatakan bahwa Sang Buddha memakai kekuatan tersebut untuk mengendalikan dan meluaskan wilayah dimana mereka berdiri, sehingga tetap menjauhkan diri dari Aṅgulimāla.[50] Ini membuat Aṅgulimāla memutuskan agar ia meminta Sang Buddha untuk berhenti. Sang Buddha kemudian berkata bahwa ia sendiri telah berhenti, dan saat menyatakan bahwa Aṅgulimāla yang seharusnya berhenti:[1][51]

Aku, Angulimala, masih berdiri (bahasa Pali: ṭhita), karena beberapa semua hal yang dilakukan tongkat ini (bahasa Pali: daṇḍa); namun kau tak berkutik (bahasa Pali: asaññato) terhadap makhluk-makhluk; sehingga, aku masih berdiri, kau tetap tak berdiri.[38]

Aṅgulimāla bertanya untuk penjelasan lebih lanjut, setelah Sang Buddha berkata bahwa seorang biksu baik harus mengendalikan keinginannya.[52] Aṅgulimāla terkesima oleh perkataan Sang Buddha,[53] dan bertanya soal kesalahan apa yang telah ia lakukan.[54] Setelah mengetahuinya dari Sang Buddha, Aṅgulimāla menyatakan bahwa ia bertobat, bersumpa untuk menghentikan kehidupannya sebagai seorang perampok dan bergabung dengan sangha Buddha.[55][56][57] Ia ditahbiskan di biara Jetawana.[43]

Hidup sebagai biksu dan kematian

Aṅgulimāla duduk secara hormat di depan Sang Buddha. Lukisan di Wat Pangla,Songhkla, Thailand Selatan

Sementara itu, Raja Pasenadi berniat untuk membunuh Aṅgulimāla. Ia mula-mula mengunjungi Sang Buddha dan para pengikutnya di Jetavana.[11] Ia menjelaskan keperluannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha menanyakan bagaimana raja akan menjawab jika ia menemukan bahwa Aṅgulimāla membiarkan seorang penghadap hidup dan menjadi biksu. Raja berkata bahwa ia akan menghormatinya dan menyediakannya pekerjaan monastiknya. Sang Buddha kemudian menyatakan bahwa Aṅgulimāla hanya duduk pada jarak beberapa kali, rambut dan jenggotnya telah dipotong, dan menjadi anggota sangha Buddha. Terkejut namun juga tak percaya, raja berkata kepada Aṅgulimāla dengan nama klan dan ibunya (bahasa Pali: Gagga Mantānīputta) dan menyumbangkan bahan-bahan jubah kepada Aṅgulimāla. Namun, Aṅgulimāla tak menerima hadiah tersebut, karena ia sedang melakukan pelatihan asketik.[19][9]

Pada akhirnya, raja memilih untuk tidak menganiaya Aṅgulimāla. Pasal tersebut disepakati dengan pengamatan Buddhologis André Bareau bahwa terdapat kesepakatan tak tertulis non-interfensi saling menguntungkan antara Sang Buddha dan para raja dan penguasa pada masa itu.[58]

Kemudian, Aṅgulimāla mendatangi seorang wanita muda yang mengalami kesulitan saat melahirkan anak.[note 9] Aṇgulimāla kemudian tergerak, dan memahami luka dan perasaan yang timbul yang tidak ia ketahui saat ia masih menjadi perampok.[59][57][45] Ia mendatangi Sang Buddha dan menyanyakan apakah ia dapat mempermudah rasa sakitnya. Sang Buddha membujuk Aṅgulimāla untuk pergi mendatangi wanita tersebut dan berkata:

Saudari, sejak aku lahir, aku tak menyatakan bahwa aku banyak memahami makhluk hidup dari kehidupan secara intensional. Pada kenyataannya, kau dan bayimu juga demikian.

Aṅgulimāla menekankan bahwa ini akan menjadi ketidakbenaran baginya untuk berkata demikian, sehingga Sang Buddha menanggapinya dengan kalimat berbeda:

Saudari, sejak aku lahir sebagai bangsawan, aku tak memahami makhluk hidup dari kehidupan secara intensional. Pada kenyataannnya, kau dan bayimu juga demikian.[1] [penjelasan ditambahkan]

Sang Buddha menggambarkan perhatian Angulimala untuk pilihannya menjadi seorang biksu,[1] mendeskripsikannya sebagai kelahiran kemudia yang kontras dengan kehidupan sebelumnya sebagai perampok.[60][15] Jāti artinya kelahiran, namun kata tersebut juga diartikan dalam komentar-komentar Pāli sebagai klan atau garis keturunan (bahasa Pali: gotta). Sehingga, kata jāti disini juga merujuk kepada garis keturunan para Buddha, seperti halnya komunitas sangha.[61]

Setelah Aṅgulimāla melakukan "tindak kebenaran" tersebut, wanita tersebut melahirkan anaknya dengan selamat. Ayat tersebut kemudian menjadi salah satu ayat-ayat perlindungan, yang umumnya disebut paritta Aṅgulimāla.[62][63] Sangha-sangha masih mengutip ulang teks tersebut saat pemberkatan wanita hamil di negara-negara Theravāda,[64][65] dan seringkali mengingatnya sebagai bagian dari pelatihan sangha.[49] Sehingga, Aṅgulimāla banyak dipandang sebagai "pelindung" kelahiran anak oleh para pengikut Buddha. Berubah dari pembunuh menjadi orang yang tampak memberikan kelahiran anak yang selamat telah merupakan transformasi besar.[7]

Peristiwa tersebut membantu Aṅgulimāla menemukan kedamaian.[59] Setelah menunjukkan tindak kebenaran, ia dipandang "mengirim kehidupan ketimbang kematian bagi warga kota"[59] dan masyarakat mulai menerimanya dan menyediakannya dengan sumbangan makanan.[66]

Namun, banyak orang yang masih tak dapat melupakan bahwa ia bertanggung jawab atas kematian orang-orang yang mereka cintai. Dengan tongkat dan batu, mereka menyerangnya saat ia berjalan untuk meminta sumbangan. Dengan kepala yang berdarah, jubah luar yang robek dan pata (mangkuk amal) yang pecah, Aṅgulimāla memutuskan untuk kembali ke sangha. Sang Buddha membujuk Aṅgulimāla untuk merenungkan penyiksaannya dengan cara merenung; ia menyatakan bahwa Aṅgulimāla mengalami buah dari karma yang akan membuat orang lain mengutuknya ke neraka.[19][1][67] Menjadi murid tercerahkan, Aṅgulimāla masih tertegun dan berpikir kosong.[1] Menurut ajaran Buddha, murid-murid tercerahkan tak dapat membuat karma baru apapun, namun mreka masih menjadi suyek dampak karma lama yang sempat mereka lakukan.[68][57] Dampak karmanya tak terhindarkan, dan bahkan Sang Buddha tak dapat menghentikannya dari kejadian tersebut.[69]

Setelah menasehati Aṅgulimāla di sangha, Sang Buddha mengeluarkan aturan yang berlaku dari saat itu, tak ada penjahat yang harus diterima sebagai biksu dalam sangha.[19][70] Buddhaghosa menyatakan bahwa Aṅgulimāla meninggal tak lama setelah menjadi biksu.[19][70] Setelah kematiannya, sebuah diskusi timbul di kalangan biksu tentang apa takdir kehidupan setelah kematian dari Aṅgulimāla. Saat Sang Buddha menyatakan bahwa Aṅgulimāla telah mencapai Nirwana, ini mengejutkan beberapa biksu. Mereka terkejut dan bertanya bagaimana mungkin seseorang yang membunuh banyak orang masih mencapai pencerahan. Sang Buddha menjawab bahwa bahkan setelah melakukan banyak kejahatan, seeorang masih memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi lebih baik dan meraih pencerahan.[71]

Analisis

Stupa Angulimala, bagian dari biara Jetawana di Srawasti, Uttar Pradesh, India

Sejarah

Kebiasaan memberi hadiah selamat tinggal kepada guru seseorang merupakan adat istiadat di India kuno. Terdapat contoh dalam "Kitab Pauṣya"[note 10] dari cerita rakyat Weda Mahābharatha. Disana, guru mengirim muridnya Uttanka pergi setelah Uttanka menyatakan dirinya sendiri layak untuk dipercaya dan dalam pendirian dari seluruh ajaran Weda dan Dharmashastrik. Uttanka berkata kepada gurunya:

"Apa yang dapat aku lakukan kepadamu yang menghormatimu (Sanskerta: kiṃ te priyaṃ karavāni), karena ada tertulis: Barangsiapa menjawab tanpa [selaras dengan] Dharma, dan barang siapa yang bertanya tanpa [selaras dengan] Dharma, maka yang terjadi: seseorang mati atau seseorang menarik permusuhan."

Indologis Friedrich Wilhelm menyatakan bahwa kalimat yang sama tercantum dalam Kitab Manu (II,111) dan dalam Institut-institut Wisnu. Dengan pergi meninggalkan guru mereka dan berjanji untuk melakukan apapun yang guru mereka bujuk kepadanya, mengirim pencerahan atau hal serupa, menurut ajaran Weda. Sehingga, ini bukanlah merupakan hal tak lazim saat Aṅgulimāla dideskripsikan melakukan tawaran mengerikan gurunya—meskipun merupakan orang baik dan murah hati di dalam hatinya—dalam pengetahuan bahwa pada akhirnya, ia akan mencapai sambutan tertinggi.[72]

Gagasan bahwa Aṅgulimāla adalah bagian dari kultus kekerasan disugestikan oleh peziarah Tionghoa Xuan Zang (digambarkan disini).

Indologis Richard Gombrich menyatakan bahwa kisah Aṅgulimāla adalah pertemuan sejarah antara Sang Buddha dan seorang pengikut aliran tantra Siwa atau Shakti awal.[73] Gombrich memegang penjelasan tersebut atas dasar sejumlah ketidakkonsistenan dalam teks-teks yang mengindikasikan kemungkinan korupsi,[74] dan penjelasan paling adil untuk perilaku Aṅgulimāla yang dijelaskan oleh para komentator.[75][76] Ia menyatakan bahwa terdapat beberapa rujukan lain dalam kanon Pāli awal yang tampaknya mengindikasikan keberadaan para pengikut Śaiwa, Kāli, dan dewa-dewi lainnya yang diasosiasikan dengan pratek-praktek tantrik berdarah (kekerasan).[77] Ketidakkonsistenan tekstual yang ditemukan dapat dijelaskan melalui teori tersebut.[78]

Gagasan bahwa Aṅgulimāla adalah bagian dari kultus kekerasan disugestikan oleh peziarah Tionghoa Xuan Zang (602–64 CE). Dalam catatan perjalanan, Xuan Zang menyatakan bahwa Aṅgulimāla diajari oleh gurunya bahwa ia akan lahir di surga Brahma jika ia membunuh seorang Buddha. Sebuah teks Tionghoa awal memberikan penjelasan serupa, menyatakan bahwa guru Aṅgulimāla mengikuti instruksi mengerika dari gurunya, untuk mencapai keabadian.[79] Pernyataan Xuan Zang kemudian dikembangkan oleh para penerjemah Eropa dari catatan perjalanan Xuan Zang pada awal abad kedua puluh, namun sebagian berdasarkan pada kesalahan terjemahan.[80][81] Sementara itu, Gombrich menjadi cendekiawan pertama yang menangguhkan gagasan tersebut. Namun Gombrich mengklaim bahwa praktek-praktek tantrik yang ada sebelum penyelesaian kanon sumber Buddha (dua sampai tiga abad SM) berseberangan dengan pembelajaran umum. Konsensus cendekiawan menempatkan kebangkitan kultus-kultus tantrik pertama pada sekitar seribu tahun kemudian, dan tak ada bukti menyertai yang ditemukan dari praktek-praktek tantrik berdarah pada masa sebelumnya, entah tekstual atau lainnya.[76][82] Meskipun Gombrich berpendapat hal lain, praktek antinomian serupa (berlawanan dengan norma moral) hanya disebutkan sekali dalam kitab suci Buddha dan tak ada bukti yang dapat ditemukan di luar kitab suci,[83] Cendekiawan Kajian Buddha Mudagamuwa dan Von Rospatt menyangkalnya sebagai contoh salah. Mereka juga memajukan argumen metrikal Gomrich, kemudian tak sepakat dengan hipotesis Gomrich terkait Aṅgulimāla. Namun, mereka menganggap bahwa mungkin praktek kekerasan Angulimāla adalah bagian dari banyak jenis kultus sejarah.[84] Cendekiawan Kajian Buddha L. S. Cousins juga mengekspresikan keraguan terhadap teori Gombrich.[85]

Dalam terjemahan Tionghoa dari Damamūkāwadāna karya Hui-chiao,[86] serta dalam temuan-temuan arkeologi,[27] Aṅgulimāla diidentifikasikan dengan raja mitologi Hindu Kalmasapada atau Saudāsa, yang dikenal sejak zaman Weda. Teks-teks kuno seringkali mendeskripsikan kehidupan Saudāsa sebagai kehidupan sebelumnya dari Aṅgulimāla, dan kedua karakter tersebut menghadapi masalah untuk menjadi seorang brahman yang baik.[27]

Mengkaji penggambaran seni rupa di wilayah Gandhāra, arkeolog Maurizio Taddei berteori bahwa cerita Aṅgulimāla ditekankan dalam sebuah mitologi India terkait seorang yakṣa yang hidup di alam liar. Dalam banyak penggambaran, Aṅgulimāla mengenakan penutup kepala, yang Taddei sebutkan sebagai contoh ikonografi mirip dionisian. Namun, sejarawan seni rupa Pia Brancaccio berpendapat bahwa penutup kepala adalah sebuah simbol India yang dipakai untuk tokoh-tokoh yang diasosiasikan dengan alam liar atau perburuan.[39] Ia mendukung anggapan Taddei bahwa gambar-gambar Aṅgulimāla, khususnya di Gandhāra, mewakili sisa-sisa tema dionisian dalam seni rupa mitologi Yunani, dan nampanya sampai terpengaruhi.[87] Namun, Brancaccio berpendapat bahwa penutup kepala adalah simbol khas India, yang dipakai oleh para seniman untuk mengindikasikan bahwa Aṅgulimāla berasal dari suku hutan, yang dikhawatirkan oleh umat Buddha awal yang sebagian besar berada di perkotaan.[88]

Doktrinal

Di kalangan umat Buddha, Aṅgulimāla adalah salah satu cerita paling terkenal.[55] Tak hanya pada zaman modern: pada zaman kuno, dua peziarah Tionghoa berpengaruh yang datang ke India melaporkan cerita tersebut, dan melaporkan soal tempat-tempat yang mereka kunjungi yang diasosiasikan dengan kehidupan Aṅgulimāla.[43] Dari sudut pandang Buddha, cerita Aṅgulimāla dijadikan contoh bahwa orang terburuk dapat meninggalkan keburukan mereka dan kembali ke jalan yang benar.[89] Komentar-komentar menyatakan cerita tersebut sebagai contoh karma baik menghancurkan karma buruk.[19] Umat Buddha banyak menganggap Aṅgulimāla sebagai simbol transformasi penuh[25] dan sebagai penunjukkan bahwa jalan Buddha dapat mentranformasikan bahkan setidaknya inisiasi-inisiasi tampak.[90] Umat Buddha mengembangkan cerita Aṅgulimāla sebagai contoh kesalehan (bahasa Pali: karuṇa) dan ketaatan supranatural (bahasa Pali: iddhi) dari sang Buddha.[19] Pertobatan Aṅgulimāla dikutip sebagai pernyataan kemampuan Buddha sebagai guru,[10] dan sebagai contoh pemulihan kualitas ajaran Buddha (Dharma).[91]

Melalui jawabannya, sang Buddha menghubungkan pernyataan 'terlepas dari kekerasan' (bahasa Pali: avihiṃsa) dengan Templat:Dfn, yang menyebabkan sebab dan dampak tanpa kekerasan. Selain itu, cerita tersebut mengilustrasikan bahwa terdapat kekuatan spiritual dalam ketetapan semacam itu, saat sang Buddha digambarkan dikejar Aṅgulimāla yang bersifat kekerasan. Meskipun ini dijelaskan sebagai hasil dari ketaatan supranatural dari sang Buddha, pengartian mendalamnya adalah bahwa "... 'orang tetap secara spiritual' dapat bergerak lebih cepat ketimbang orang yang 'aktif secara konvensional'". Dalam kata lain, pencapaian spiritual hanya memungkinkan melalui non-kekerasan.[38] Selain itu, ketetapan tersebut merujuk kepada pernyataan pembebasan Buddhis dari karma: selama seseorang tak dapat lari dari hukum tanpa akhir dari retribusi karma, seseorang dapat setidaknya meredam karma seseorang dengan menerapkan non-kekerasan. Teks tersebut mendeskripsikannya sebagai bentuk ketetapan, berseberangan dengan gerakan berkelanjutan dari retribusi karma.[92]

Dalam ilmu perilaku

King Pasenadi menanam sebuah Pohon Bodhi untuk menghormati sang Buddha.

Cerita Aṅgulimāla menggambarkan bagaimana para penjahat terpapar oleh lingkungan fisik dan psiko-sosial mereka.[93] Analis Jungian Dale Mathers berteori bahwa Ahiṃsaka mulai membunuh karena sistem pengertiannya telah rusak. Ia tak lagi diapresiasi sebagai orang yang bertalenta dalam hal akademik. Sikapnya dapat dinyatakan sebagai "Aku tak memiliki nilai; sehingga, aku bisa membunuh. Jika aku membunuh, kemudian menunjang bahwa aku tak memiliki nilai".[51] Menjelaskan kehidupan Aṅgulimāla, Mathers menulis, "ia adalah ... seorang figur yang menjembatani pemberian dan pengambilan nyawa."[94] Selain itu, merujuk kepada konsep psikologi luka moral, teolog John Thompson mendeskripsikan Aṅgulimāla sebagai seseorang yang dikhianati oleh figur otoritas namun memutuskan untuk memulihkan kode moralnya yang terkikis dan memperbaiki masyarakat yang menjadi korbannya.[95] Korban-korban selamat dari luka moral memerlukan seorang penyembuh dan masyarakat yang menghadapinya berjuang bersama namun berhadapan dengan hal tersebut dengan cara aman; sehingga, Aṅgulimāla dapat pulih dari luka moralnya karena sang Buddha sebagai pemandu spiritualnya, dan komunitas monastik yang memimpin kehidupan terdisiplinkan, mentoleransikan kerja keras.[96] Thompson kemudian berpendapat bahwa cerita Aṅgulimāla dapat dipakai sebagai penjelasan dari terapi naratif[95] dan mendeskripsikan etika yang tercantum dalam naratif sebagai pertanggungjawaban yang menginspirasi. Cerita tersebut bukan mengenai keselamatan, namun lebih kepada menyelamatkan diri sendiri dengan bantuan dari orang lain.[97]

Cendekiawan etika David Loy secara khusus menulis soal cerita Aṅgulimāla dan implikasi bahwa cerita tersebut memiliki sistem keadilan. Ia meyakini bahwa dalam etika Buddha, satu-satunya penentang akal budi harus dihukum untuk mereformasi karakter mereka. Jika seorang penentang, seperti Aṅgulimāla, telah siap mereformasi dirinya sendiri, tak ada alasan untuk menghukumnya, bahkan sebagai petobat. Selain itu, Loy berpendapat bahwa cerita Aṅgulimāla tak mencantumkan bentuk apapuan dari keadilan restoratif atau transformatif, dan sehingga dianggap cerita "mengambang" sebagai contoh keadilan.[98] Di sisi lain, mantan politikus dan cendekiawan kesehatan masyarakat Mathura Shrestha mendeskripsikan cerita Aṅgulimāla sebagai "mungkin konsep pertama dari keadilan transformatif', mengutip pertobatan Aṅgulimāla dan penarikan kehidupan lamanya sebagai perampok, dan sehingga ia kemudian diterima para kerabat korban.[99] Menulis soal hukuman mati, cendekiawan Damien Horigan menyatakan bahwa rehabilitasi adalah tema utama dari cerita Aṅgulimāla, dan bahwa menyaksikan rehabilitasi semacam itu adalah alasan kenapa Raja Pasenadi tak menganiaya Aṅgulimāla.[100]

Dalam ritual pra-kelahiran Sri Lanka, saat Sutta Aṅgulimāla dibacakan untuk wanita hamil, ini adalah kebiasaan untuk mengelilinginya dengan barang-barang yang melambangkan kesuburan dan reproduksi, seperti bagian-bagian dari pohon kelapa dan pot bumi.[101] Para cendekiawan menekankan bahwa dalam mitologi Asia Tenggara, terdapat hubungan antara figur-figur haus darah dan morit-motif kesuburan.[59][102] Penumpahan darah dapat ditemukan dalam kekerasan dan kelahiran anak, yang menjelaskan kenapa Aṅgulimāla digambarkan sebagai pembunuh sekaligus penyembuh terkait kelahiran anak.[102]

Terkait cerita saat sang Buddha bertemu Aṅgulimāla, cendekiawan feminis Liz Wilson menyatakan bahwa cerita tersebut adalah contoh kerjasama dan saling ketergantungan antar lawan jenis: sang Buddha dan ibu Aṅgulimāla sama-sama menolong untuk menghentikannya.[103] Selain itu, Thompson berpendapat bahwa kaum ibu memainkan peran penting dalam cerita tersebut, dengan mengutip cerita sang ibu yang berusaha untuk menghentikan Aṅgulimāla, serta pertolongan Aṅgulimāla terhadap seorang ibu yang akan melahirkan anak. Selain itu, sang Buddha dan Aṅgulimāla mengambil peran keibuan dalam cerita tersebut.[104] Meskipun banyak cerita India kuno yang mengasosiasikan kaum wanita dengan sifat-sifat seperti bodoh dan lemah, cerita Aṅgulimāla menerima sifat-sifat feminim, dan sang Buddha bertindak sebagai penasehat bijak untuk memakai sifat-sifat tersebut dalam cara konstruktif.[105] Meskipun demikian, Thompson tak menganggap adanya unsur feminis dalam cerita tersebut, namun lebih berpendapat bahwa cerita tersebut berisi jenis feminim dari etika kepedulian, yang berakar dalam agama Buddha.[91]

Dalam budaya modern

Satish Kumar

Sepanjang sejarah Buddha, cerita Aṅgulimāla telah digambarkan dalam berbagai bentuk seni rupa,[10] beberapa diantaranya dapat ditemukan di museum-museum dan situs-situs warisan Buddha. Dalam budaya modern, Aṅgulimāla masih memainkan peran penting.[22] Pada 1985, biksu Theravāda kelahiran Inggris Ajahn Khemadhammo mendirikan Angulimala, sebuah organisasi Kapelan Penjara Buddha di Inggris.[106][107] Organiasi tersebut diakui oleh pemerintah Inggris sebagai perwakilan resmi agama Buddha dalam seluruh materi terkait sistem penjara Inggris, dan menyediakan kapelan-kapelan, membimbing layanan-layanan, dan pengarahan dalam agama Buddha dan meditasi kepada para tahanan di seluruh Inggris, Wales, dan Skotlandia.[106] Nama organisasi tersebut merujuk kepada kekuatan transformasi yang digambarkan oleh cerita Aṅgulimāla.[25][22] Menurut situs web organisasi tersebut, "Cerita Angulimala mengajarkan kita bahwa kemungkinan Pencerahan dapat terjadi dalam keadaan yang sangat ekstrim, bahwa orang-orang dapat dan melakukan perubahan dan bahwa orang-orang sangat dipengaruhi oleh penekanan dan contoh di atas semuanya."[108]

Dalam budaya populer, legenda Aṅgulimāla telah meraih perhatian luas. Cerita tersebut telah menjadi subyek utama dari setidaknya tiga film.[22] Pada 2003, sutradara Thai Suthep Tannirat berupaya merilis film berjudul Angulimala. Namun, lebih dari 20 organisasi Buddha konservatif di Thailand meluncurkan protes karena film tersebut menyimpang dari ajaran dan sejarah Buddha, dan mengenalkan pengaruh Hindu dan teistik yang tak ditemukan dalam kitab-kitab Buddha.[109][110][111] Badan penyensoran film Thai menolak permintaan untuk mencekal film tersebut, dengan alasan bahwa film tersebut tak menyimpang dari ajaran Buddha. Mereka menyatakan bahwa sutradara telah memotong dua adegan berunsur kekerasan.[112][113] Kelompok-kelompok konservatif ditawarkan oleh penggambaran Aṅgulimāla sebagai pembunuh brutal, tanpa mencantumkan cerita yang membuatnya menjadi perampok keras semacam itu. Namun, Tannirat membela dirinya sendiri dengan berpendapat bahwa meskipun ia memajukan penafsiran dari komentar-komentar, ia mengikuti sumber-sumber Buddha awal.[111] Pilihan Tannirat hanya untuk memakai catatan awal, alih-alih cerita populer dari komentar-komentar, merupakan hal yang menimbulkan protes tersebut.[22][114]

Aṅgulimāla juga menjadi subyek karya sastra.[115] Pada 2006, penggiat perdamaian Satish Kumar mengisahkan ulang cerita Aṅgulimāla dalam buku pendeknya The Buddha and the Terrorist. Buku tersebut berkisah tentang Perang melawan terorisme, membentuk ulang dan memadukan berbagai catatan dari Aṅgulimāla, yang dideskripsikan sebagai teroris.[115] Buku tersebut mencantumkan cerita saat sang Buddha menerima Aṅgulimāla dalam sangha, yang secara efektif menghindarkan Raja Pasenadi dari menghukumnya. Dalam buku Kumar, tindakan tersebut berujung pada kilas balik dari keresahan masyarakat, yang menuntut penahanan Aṅgulimāla dan sang Buddha. Pasenadi mengadakan pengadilan publik atas permintaan warga desa dan pihak kerajaan, dimana majelis dapat memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap keduanya. Namun, pada akhirnya, majelis memutuskan untuk membebaskan keduanya, saat Aṅgulimāla mengakui kejahatannya dan Pasenabi memberikan ceramah yang memberikannya pengampunan alih-alih hukuman.[115] Bagian dalam cerita tersebut memberikan sorotan berbeda terhadap Aṅgulimāla, yang tindakan kekerasannya berujung pada pengadilan dan non-kekerasan lain dan tentunya keadilan.[116] Menulis tentang teks-teks Buddha dan buku Kumar, Thompson merefleksikan bahwa ahiṃsa dalam agama Buddha memiliki bentuk pengartian berbeda dalam konteks berbeda, dan seringkali tak secara pasif mengartikan pendirian non-kekerasan seperti yang biasanya dimengerti.[117][91]

Catatan

  1. ^ Sebagai perbandingan, hingga 1994, para cendekiawan menanggalkan kehidupan sang Buddha antara abad ke-5 dan ke-4 SM.[6]
  2. ^ Kisah tentang penyantapan bayi mati hanya dapati ditemukan dalam satu versi Tionghoa dari cerita tersebut, dan ditambahkan untuk mengkritik praktek semacam itu di Tiongkok pada abad ke-5.[28]
  3. ^ Dalam dua teks Tionghoa awal, Aṅgulimāla lahir di Magadha atau Aṅga, dan Raja Pasenadi tak membuat penampilan apapun.[9][11]
  4. ^ Dhammapāla menyatakan bahwa Ahiṃsaka "sekuat tujuh gajah", sementara teks lainnya menyatakan bahwa gurunya khawatir reputasinya akan terkena getahnya jika ia diketahui membunuh seorang murid.[32][33]
  5. ^ Beberapa versi cerita menyebut ratusan jari, sementara sumber lainnya menyebut ribuan.[32][34] Dhammapāla menyatakan bahwa Aṅgulimāla diwajibkan untuk mengambil seribu jari dari tangan kanan,[35] tampaknya tak menyadari bahwa ini dapat dicapai dengan membunuh 200 orang,[35] atau dengan mengambil jari-jari dari orang yang sebelumnya telah meninggal.[12] Di sisi lain, Buddhaghosa menyatakan bahwa Angulimāla dikisahkan "membunuh seribu kaku," dan hanya mengumpulkan jari-jari sebagai bantuan untuk menjaga sebuah penghitungan lengkap.[36]
  6. ^ Buddhaghosa berkata bahwa ia tak peduli, sementara Dhammapāla berkata bahwa ia meyakini bahwa ia "tak berguna untuk putra semacam itu".[41]
  7. ^ Buddhologis André Bareau dan teolog John Thompson berpendapat bahwa pasal dari ibunya berniat untuk ikut campur telah ditambahkan pada cerita asli pada masa berikutnya, namun cendekiawan Kajian Asia Monika Zin menyatakan bahwa ibunya telah muncul dalam seni rupa Buddhis awal.[32][43]
  8. ^ Namun, menurut beberapa versi, Sang Buddha mendengar tentang Aṅgulimāla dari para biarawan, yang datang untuk mengumpulkan amal dan melihat para penduduk desa yang berkeluh kesah di istana Pasenadi.[45]
  9. ^ Pasal tersebut tak munvul dalam seluruh versi Tripitaka.[9]
  10. ^ Dalam Pausyaparvan, Mahābharatha 1,3.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n Buswell, Robert E. Jr.; Lopez, Donald S. Jr. (2013). "Aṅgulimāla". Princeton Dictionary of Buddhism (PDF). Princeton University Press. ISBN 978-0-691-15786-3. 
  2. ^ Gombrich 2006, hlm. 135 n.1.
  3. ^ a b c Thompson 2015, hlm. 161.
  4. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 137.
  5. ^ a b c d e Thompson 2015, hlm. 162.
  6. ^ Norman, K.R. (1994). A Philological Approach to Buddhism: The Bukkyō Dendō Kyōkai Lectures (PDF). School of Oriental and African Studies, University of London. hlm. 39. 
  7. ^ a b Wilson 2016, hlm. 285.
  8. ^ a b c Wilson 2016, hlm. 288.
  9. ^ a b c d e f g Zin 2005, hlm. 707.
  10. ^ a b c Analayo 2008, hlm. 135.
  11. ^ a b c Bareau 1986, hlm. 655.
  12. ^ a b Thompson 2017, hlm. 176.
  13. ^ Bareau 1986, hlm. 654.
  14. ^ Analayo 2008, hlm. 147.
  15. ^ a b c Gombrich 2006, hlm. 136.
  16. ^ Gombrich 2006, hlm. 141.
  17. ^ Kosuta 2017, hlm. 36.
  18. ^ Thompson 2015, hlm. 161–2.
  19. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Malalasekera 1960.
  20. ^ Analayo 2008, hlm. 140.
  21. ^ Brancaccio 1999, hlm. 105.
  22. ^ a b c d e Thompson 2015, hlm. 164.
  23. ^ Wang-Toutain, Françoise (1999). "Pas de boissons alcoolisées, pas de viande : une particularité du bouddhisme chinois vue à travers les manuscrits de Dunhuang" [No alcoholic beverages, no meat: one particular characteristic of Chinese Buddhism, seen through the manuscripts of Dunhuang]. Cahiers d'Extrême-Asie (dalam bahasa Prancis). 11 (1): 101–2, 105, 112–5. doi:10.3406/asie.1999.1151. 
  24. ^ Zin 2005, hlm. 709.
  25. ^ a b c d e f g h i Wilson 2016, hlm. 286.
  26. ^ a b c Barrett 2004, hlm. 180.
  27. ^ a b c d e Zin 2005, hlm. 706.
  28. ^ a b Barrett 2004, hlm. 181.
  29. ^ Wilkens, Jens (2004). "Studien Zur Alttürkischen Daśakarmapathāvadānamālā (2): Die Legende Vom Menschenfresser Kalmāṣapāda" [Studies of the Old Turkish Daśakarmapathāvadānamālā (2): The Legend of the Man-eater Kalmāṣapāda]. Acta Orientalia Academiae Scientiarum Hungaricae (dalam bahasa Jerman). 57 (2): 169. JSTOR 23658630. 
  30. ^ Bareau 1986, hlm. 656–7.
  31. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 138.
  32. ^ a b c Zin 2005, hlm. 708.
  33. ^ Gombrich 2006, hlm. 138–9.
  34. ^ Analayo 2008, hlm. 141.
  35. ^ a b c d e f Gombrich 2006, hlm. 139.
  36. ^ Gombrich 2006, hlm. 142.
  37. ^ Lamotte, Etienne (1988). History of Indian Buddhism: From the Origins to the Saka Era. Université catholique de Louvain, Institut orientaliste. hlm. 22. ISBN 906831100X. 
  38. ^ a b c d Wiltshire 1984, hlm. 91.
  39. ^ a b Brancaccio 1999, hlm. 108–12.
  40. ^ a b Wilson 2016, hlm. 293–4.
  41. ^ a b c d Gombrich 2006, hlm. 140.
  42. ^ Loy 2009, hlm. 1246.
  43. ^ a b c d Thompson 2015, hlm. 163.
  44. ^ a b Wilson 2016, hlm. 298 n.30.
  45. ^ a b Bareau 1986, hlm. 656.
  46. ^ Kosuta 2017, hlm. 40–1.
  47. ^ Analayo 2008, hlm. 146.
  48. ^ van Oosten 2008, hlm. 251.
  49. ^ a b Thompson 2017, hlm. 183.
  50. ^ Analayo 2008, hlm. 142.
  51. ^ a b Mathers 2013, hlm. 127.
  52. ^ Thompson 2015, hlm. 162–3.
  53. ^ Analayo 2008, hlm. 145.
  54. ^ Thompson 2017, hlm. 177.
  55. ^ a b Gombrich 2006, hlm. 135.
  56. ^ Analayo 2008, hlm. 142–3.
  57. ^ a b c van Oosten 2008, hlm. 252.
  58. ^ Thompson 2015, hlm. 166–7.
  59. ^ a b c d Langenberg, Amy Paris (2013). "Pregnant Words: South Asian Buddhist Tales of Fertility and Child Protection". History of Religions. 52 (4): 351. doi:10.1086/669645. JSTOR 10.1086/669645. 
  60. ^ Wilson 2016, hlm. 293.
  61. ^ Wilson 2016, hlm. 297–8 n.24.
  62. ^ Swearer, D.K. (2010). The Buddhist World of Southeast Asia (PDF). SUNY Press. hlm. 253. ISBN 978-1-4384-3251-9. 
  63. ^ Buswell, Robert E. Jr.; Lopez, Donald S. Jr. (2013). "Aṅgulimāla, Paritta, Satyāvacana" (PDF). Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. ISBN 978-0-691-15786-3. 
  64. ^ Appleton, Naomi (2013). Jataka Stories in Theravada Buddhism: Narrating the Bodhisatta Path. Ashgate Publishing. hlm. 141. ISBN 978-1-4094-8131-7. 
  65. ^ Eckel, Malcolm David (2001). "Epistemological Truth". Dalam Neville, Robert Cummings. Religious Truth: A Volume in the Comparative Religious Ideas. Albany: SUNY Press. hlm. 67–8. ISBN 0-7914-4777-4. 
  66. ^ Parkum, Virginia Cohn; Stultz, J. Anthony (2012). "The Aṅgulimāla Lineage: Buddhist Prison Ministries". Dalam Queen, Christopher S. Engaged Buddhism in the West. Wisdom Publications. ISBN 978-0-86171-841-2. 
  67. ^ Harvey, Peter (2010). "Buddhist Perspectives on Crime and Punishment". Dalam Powers, John; Prebish, Charles S. Destroying Mara Forever: Buddhist Ethics Essays in Honor of Damien Keown. Snow Lion Publications. ISBN 978-1-55939-788-9. 
  68. ^ Loy, David R. (2008). "Awareness Bound and Unbound: Realizing the Nature of Attention". Philosophy East and West. 58 (2): 230. JSTOR 20109462. 
  69. ^ Attwood, Jayarava (2014). "Escaping the Inescapable: Changes in Buddhist Karma" (PDF). Journal of Buddhist Ethics. 21: 522. ISSN 1076-9005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 May 2018. 
  70. ^ a b Kosuta 2017, hlm. 42.
  71. ^ van Oosten 2008, hlm. 252–3.
  72. ^ Prüfung und Initiation im Buche Pausya und in der Biographie des Nāropa [Test and Initiation in the Book Pauṣya and in the Biography of Nāropa] (dalam bahasa Jerman). Wiesbaden. 1965. hlm. 11. 
  73. ^ Gombrich 2006, hlm. 151.
  74. ^ Gombrich 2006, hlm. 144–51.
  75. ^ Gombrich 2006, hlm. 136, 141.
  76. ^ a b Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 170.
  77. ^ Gombrich 2006, hlm. 155–62.
  78. ^ Gombrich 2006, hlm. 152–4.
  79. ^ Brancaccio 1999, hlm. 105–6.
  80. ^ Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 177 n.25.
  81. ^ Analayo 2008, hlm. 143–4 n.42.
  82. ^ Gombrich 2006, hlm. 152 n.7, 155.
  83. ^ Gombrich 2006, hlm. 152, 156.
  84. ^ Mudagamuwa & Von Rospatt 1998, hlm. 172–3.
  85. ^ Cousins, L. S. (24 December 2009). "Review of Richard F. Gombrich: How Buddhism began: the conditioned genesis of the early teachings, 1996". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 62 (2): 373. doi:10.1017/S0041977X00017109. 
  86. ^ Malalasekera, G.P.; Weeraratne, W.G., ed. (2003). "Aṅgulimāla". Encyclopaedia of Buddhism. 1. Pemerintah Sri Lanka. hlm. 628. OCLC 2863845613. 
  87. ^ Brancaccio 1999, hlm. 112–4.
  88. ^ Brancaccio 1999, hlm. 115–6.
  89. ^ Harvey 2013, hlm. 266.
  90. ^ Jerryson, Michael (2013). "Buddhist Traditions and Violence". Dalam Juergensmeyer, Mark; Kitts, Margo; Jerryson, Michael. The Oxford Handbook of Religion and Violence. Oxford University Press. hlm. 58. ISBN 978-0-19-975999-6. 
  91. ^ a b c Thompson 2017, hlm. 188.
  92. ^ Wiltshire 1984, hlm. 95.
  93. ^ Kangkanagme, Wickrama; Keerthirathne, Don (27 July 2016). "A Comparative Study of Punishment in Buddhist and Western Educational Psychology". The International Journal of Indian Psychology. 3 (4/57): 36. 
  94. ^ Mathers 2013, hlm. 129.
  95. ^ a b McDonald, Joseph (2017). "Introduction". Dalam McDonald, Joseph. Exploring Moral Injury in Sacred Texts. Jessica Kingsley Publishers. hlm. 29. ISBN 978-1-78450-591-2. 
  96. ^ Thompson 2017, hlm. 182.
  97. ^ Thompson 2017, hlm. 189.
  98. ^ Loy 2009, hlm. 1247.
  99. ^ Shrestha, Mathura P. (9 January 2007). "Human Rights including Economic, Social and Cultural Rights: Theoretical and Philosophical Basis". Canada Foundation for Nepal. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 May 2018. Diakses tanggal 4 May 2018. 
  100. ^ Horigan, D. P. (1 January 1996). "Of Compassion and Capital Punishment: A Buddhist Perspective on the Death Penalty". The American Journal of Jurisprudence. 41 (1): 282. doi:10.1093/ajj/41.1.271. 
  101. ^ Van Daele, W. (2013). "Fusing Worlds of Coconuts: The Regenerative Practice in Precarious Life-Sustenance and Fragile Relationality in Sri Lanka". The South Asianist. 2 (2): 100, 102–3. ISSN 2050-487X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 May 2018. 
  102. ^ a b Wilson 2016, hlm. 289.
  103. ^ Wilson 2016, hlm. 295–6.
  104. ^ Thompson 2017, hlm. 184.
  105. ^ Thompson 2017, hlm. 185–6.
  106. ^ a b Fernquest, Jon (13 April 2011). "Buddhism in UK prisons". Bangkok Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 May 2018. Diakses tanggal 2 May 2018 – via Bangkok Post Learning. 
  107. ^ Harvey 2013, hlm. 450.
  108. ^ "The Story of Angulimala". Angulimala, the Buddhist Prison Chaplaincy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 July 2018. Diakses tanggal 3 May 2018. 
  109. ^ Parivudhiphongs, Alongkorn (9 April 2003). "Angulimala awaits fate". Asia Africa Intelligence Wire. 
  110. ^ "Plea against movie to go to Visanu". Asia Africa Intelligence Wire. 11 April 2003. 
  111. ^ a b Ngamkham, Wassayos (2 April 2003). "Movie based on Buddhist character needs new title". Bangkok Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2003. 
  112. ^ "Buddhist groups want King to help impose ban on movie". Asia Africa Intelligence Wire. 9 April 2003. 
  113. ^ Ngamkham, Wassayos (10 April 2003). "Censors allow film to be shown". Asia Africa Intelligence Wire. 
  114. ^ Thompson 2017, hlm. 175 n.15.
  115. ^ a b c Thompson 2015, hlm. 168.
  116. ^ Thompson 2015, hlm. 169.
  117. ^ Thompson 2015, hlm. 172–3.

Daftar pustaka

Pranala luar