Lompat ke isi

Pembingkaian

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 21 Desember 2021 08.34 oleh Riski Yolanda (bicara | kontrib) (menerjemahkan paragraf)

Dalam ilmu sosial, framing atau "pembingkaian" terdiri atas serangkaian sudut pandang konsep dan teoretis tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi masyarakat melihat dan menyampaikan kenyataan.

Framing dapat terwujud dalam komunikasi atau pikiran antarpribadi. Frame-frame dalam pikiran terdiri atas penggambaran, interpretasi, dan penyederhanaan kenyataan. Frame-frame dalam komunikasi terdiri atas penyampaian frame di antara para pelaku yang berbeda.[1] Framing adalah komponen kunci sosiologi, kajian tentang interaksi sosial di antara para manusia. Framing adalah bagian utuh dari pemrosesan dan penyampaian data dalam keseharian. Teknik-teknik sukses framing dapat digunakan untuk mengurangi ambiguitas topik-topik yang tidak dapat dipahami dengan menghubungkan informasi sedemikian rupa sehingga para penerimanya dapat terhubung dengan apa yang sudah mereka ketahui.

Dalam teori sosial, framing adalah skema interpretasi, sekumpulan anekdot dan stereotipe yang diandalkan oleh para individu untuk memahami dan merespons sebuah peristiwa.[2] Dengan kata lain, orang-orang membangun "filter-filter" serangkaian kejiwaan melalui pengaruh kebudayaan dan biologis. Kemudian, mereka menggunakan filter-filter ini untuk memahami dunia. Pilihan-pilihan yang kemudian mereka buat dipengaruhi oleh penciptaan frame mereka.

Framing melibatkan konstruksi sosial dari fenomena sosial – oleh sumber-sumber media massa, pergerakan-pergerakan sosial atau politik, para pemimpin politik, atau organisasi dan para pelaku lainnya. Keterlibatan dalam komunitas bahasa tentunya memengaruhi persepsi individu mengenai makna yang dikaitkan dengan kata atau frasa. Secara politik, komunitas-komunitas bahasa periklanan, agama, dan media massa banyak diperebutkan, sedangkan framing dalam komunitas bahasa yang kurang dipertahankan mungkin berkembang[butuh rujukan]tanpa terasa dan secara alami melalui kerangka-kerangka waktu kultural, dengan lebih sedikit bentuk-bentuk perdebatan terbuka.

Seseorang dapat memandang framing dalam komunikasi sebagai hal positif atau negatif tergantung pada hadirin dan jenis informasi yang disajikan. Framing dapat berada dalam bentuk emphasis frames, di mana dua atau lebih alternatif ekuivalen secara logis digambarkan dalam cara-cara (lihat framing effect) atau emphasis frames berbeda yang menyederhanakan kenyataan dengan berfokus pada himpunan bagian aspek-aspek relevan dari suatu situasi atau permasalahan.[1] Dalam kasus equivalence frames, informasi yang dihadirkan berdasarkan fakta-fakta yang sama, tetapi kerangka yang tempat ia disajikan berubah sehingga menciptakan persepsi yang bergantung pada referensi.

Dampak framing dapat terlihat dalam jurnalisme: "frame" yang mengelilingi permasalahan dapat mengubah persepsi pembaca tanpa perlu mengubah fakta sebenarnya karena informasi yang sama digunakan sebagai dasarnya. Ini dilakukan melalui pilihan gambar-gambar dan kata-kata tertentu media untuk menutupi sebuah cerita (misalnya penggunaan kata fetus vs. kata bayi).[3] Dalam konteks politik atau komunikasi media-massa, frame menjelaskan pengemasan elemen retorik sedemikian rupa seperti untuk mendorong tafsiran tertentu dan untuk mengecilkan hati orang lain. Untuk tujuan politik, framing sering menyajikan fakta-fakta sedemikian rupa yang mengimplikasikan masalah yang memerlukan solusi. Para anggota partai politik berupaya untuk membingkai permasalahan sedemikian rupa sehingga membuat solusi untuk mendukung kecenderungan politik mereka sebagai tindakan yang paling tepat untuk situasi yang dihadapi.[4]

Sebagai contoh: Saat kita ingin menjelaskan suatu peristiwa, pemahaman kita sering berdasarkan pada tafsiran (frame). Jika seseorang membuka dan menutup mata dengan cepat, kita menanggapi secara berbeda tergantung pada apakah kita menafsirkannya sebagai "physical frame" (mereka mengerjapkan mata) atau "social frame" (mereka berkedip). Mereka mengerjapkan mata mungkin karena butiran debu (menghasilkan ketidaksengajaan dan bukan reaksi berarti lainnya). Mereka berkedip mungkin dapat berarti tindakan sengaja dan penuh arti (misalnya untuk menyampaikan humor hingga persekongkolan).

Para pengamat akan membaca peristiwa-peristiwa yang dilihat sebagai murni fisik atau dalam bingkai "alam" berbeda dari yang dilihat terjadi dengan frame-frame sosial. Namun, kita tidak melihat sebuah peristiwa dan menerapkan frame kepada peristiwa tersebut. Sebaliknya, para individu terus-menerus memproyeksikan frame interpretatif ke dunia sekitar mereka yang memungkinkan mereka untuk memahaminya; kita hanya menggeser frame-frame (atau menyadari kalau kita telah menerapkan frame secara kebiasaan) saat keganjilan membutuhkan pergeseran frame. Dengan kata lain, kita hanya menyadari frame-frame yang telah kita gunakan saat sesuatu memaksa kita untuk mengganti suatu frame dengan frame lainnya.[5][6]

Meskipun beberapa menganggap framing sama dengan agenda setting, para ilmuwan lain menyatakan adanya perbedaan. Menurut artikel yang ditulis Donald H. Weaver, framing menyeleksi aspek-aspek tertentu dari permasalahan dan membuatnya lebih menonjol untuk memperoleh interpretasi tertentu dan penilaian-penilaian masalah, sedangkan agenda setting mengenalkan topik masalah untuk meningkatkan arti penting dan keterkaitannya.[7]

Efek-efek framing dalam penelitian komunikasi

Dalam komunikasi, framing menggambarkan bagaimana media berita membentuk opini publik.

Tulisan Richard E. Vatz tentang penciptaan makna retoris secara langsung mengarah kepada framing, walaupun beliau hanya merujuknya sedikit. Intinya, pengaruh-pengaruh framing mengacu pada strategi-strategi sikap atau perilaku dan/untuk hasil yang ada tergantung bagaimana potongan informasi yang diberikan dibingkai dalam wacana publik. Dewasa ini, banyak volume jurnal-jurnal komunikasi ternama berisi naskah-naskah tentang frame media dan pengaruh-pengaruh framing.[8] Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam naskah-naskah tersebut secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: kajian framing sebagai variabel bebas dan kajian framing sebagai variabel terikat.[9] Awalnya biasanya berurusan dengan frame building (yaitu bagaimana frame-frame menciptakan wacana masyarakat mengenai sebuah masalah dan bagaimana frame-frame yang berbeda diangkat oleh para jurnalis) dan kemudian mengulas frame setting (yaitu bagaimana media framing memengaruhi pemirsa).

Frame building

Penelitian frame-building biasanya mengenali setidaknya tiga rangkaian utama pengaruh yang dapat memengaruhi cara jurnalis membingkai suatu masalah:

  • Sistemik (misalnya karakteristik media atau sistem politik dalam latar studi tertentu).
  • Organisatoris (misalnya fitur organisasi media seperti orientasi politik, rutinitas profesional, hubungan dengan pemerintah dan para elit, dan sebagainya).
  • Temporal-kontekstual (misalnya berlalunya waktu setelah peristiwa menggemparkan).[10]

Erving Goffman menekankan peran konteks budaya sebagai pembentuk frame-frame saat beliau mengemukakan bahwa maksud frame mengandung akar-akar budaya.[2]Ketergantungan konteks frame-frame media ini telah digambarkan sebagai 'resonansi budaya'[11] atau 'kesetiaan naratif'.[12] Sebagai contoh, kebanyakan orang mungkin tidak menyadari frame dalam kisah-kisah tentang pemisahan gereja dan negara karena umumnya media tidak membingkai kisah-kisah tersebut dari sudut pandang agama.[13]

Frame setting

Saat masyarakat dihadapkan pada bingkai berita baru, mereka akan menerima konstruksi yang dibuat berlaku untuk sebuah masalah, tetapi secara signifikan mereka lebih mungkin untuk melakukannya saat mereka memiliki skema yang ada untuk konstruksi tersebut. Inilah yang disebut efek penerapan. Artinya, ketika frame-frame baru mengundang orang untuk menerapkan skema yang ada pada masalah, implikasi dari penerapan itu sebagian bergantung pada apa yang ada di dalam skema tersebut. Oleh karena itu, secara umum, lebih banyak pendengar mengetahui tentang permasalahan, lebih efektif frame-frame tersebut.

Terdapat sejumlah level dan tipe pengaruh framing yang telah diteliti. Contohnya, para ilmuwan berfokus pada perubahan sikap dan tindakan, derajat kepentingan masalah yang dirasakan, keputusan pemungutan suara, dan pembentukan opini. Para ilmuwan lain tertarik pada proses-proses psikologis daripada penerapan. Misalnya, Iyengar[14] mengungkapkan bahwa berita tentang permasalahan sosial dapat memengaruhi tanggung jawab atribusi kausal dan pengobatan, pengaruh yang diamati dalam penilaian-penilaian dan respons kognitif pemimpin politik, atau ilmuwan lain melihat kepada efek framing terhadap gaya pemrosesan penilaian dan kompleksitas pikiran anggota pendengar mengenai permasalahan. Kajian-kajian frame setting juga membahas bagaimana frame-frame dapat memengaruhi bagaimana seseorang berpikir tentang masalah (kognitif) atau merasakan masalah (afektif).[15]

Dalam penelitian komunikasi massa

Media berita membingkai semua butir berita dengan menekankan nilai-nilai tertentu, fakta-fakta, dan pertimbangan lainnya dan memberikan mereka dengan penerapan nyata yang lebih besar untuk membuat keputusan-keputusan terkait. Media berita mendukung definisi, tafsiran, evaluasi, dan rekomendasi khusus.[16][17]

Landasan dalam penelitian komunikasi

Anthropologis Gregory Bateson pertama kali mendefinisikan framing sebagai "ikatan spasial dan temporal dari serangkaian pesan-pesan interaktif" (dalam A Theory of Play and Fantasy, 1954, diproduksi kembali dalam buku Steps to an Ecology of Mind pada tahun 1972).[18]

Sumber sosiologis penelitian media framing

Penelitian media framing mempunyai akar psikologis dan sosiologis. Framing sosiologis berfokus pada "kata-kata, gambar-gambar, frasa-frasa, dan gaya presentasi" yang digunakan para komunikator saat menyampaikan informasi kepada penerima.[1] Penelitian frame-frame dalam penelitian media yang digerakkan secara sosiologis umumnya meneliti pengaruh "norma-norma dan nilai-nilai sosial, kendala-kendala dan tekanan-tekanan organisatoris, tekanan kelompok-kelompok kepentingan, rutinitas jurnalistik, dan orientasi-orientasi ideologis atau politis jurnalis" dalam frame-frame yang berada dalam konten media.[19]

Todd Gitlin, dalam analisisnya tentang cara media berita meremehkan gerakan New Left siswa pada tahun 1960-an termasuk yang pertama meneliti frame-frame dari sudut pandang sosiologis. Gitlin menulis, frame-frame adalah "pola-pola tetap kognisi, tafsiran-tafsiran, dan presentasi pilihan [dan] menekankan ... [bahwa] sebagian besar tidak diucapkan dan diakui ... [dan] mengatur dunia bagi para jurnalis [serta] kami yang membaca pemberitaan mereka".[20]

Sumber psikologis penelitian media framing

Penelitian tentang frame-frame dalam media penelitian berbasis psikologi umumnya menguji pengaruh-pengaruh frame-frame media terhadap mereka yang menerimanya. Sebagai contoh, Iyengar menjelajahi pengaruh episodik dan tematik frame-frame berita terhadap atribusi tanggung jawab untuk permasalahan politik termasuk kejahatan, terorisme, kemiskinan, pengangguran, dan ketidaksetaraan ras.[21] Menurut Iyengar, frame berita episodik "mengambil bentuk studi kasus atau pemberitaan berorientasi acara dan menggambarkan permasalahan publik dalam ketentuan contoh-contoh konkret", dengan kata lain berfokus pada tempat spesifik dalam waktu khusus. Frame berita tematik "menempatkan permasalahan publik dalam beberapa konteks umum abstrak ... mengarah kepada hasil atau kondisi umum, contohnya menjelajahi kesamaan yang terjadi di sejumlah waktu dan tempat.[16][21] Iyengar menemukan bahwa kebanyakan laporan berita, contohnya kemiskinan, adalah laporan berita episodik. Kenyataannya, pada analisis konten enam tahun berita televisi, Iyengar menemukan bahwa penonton berita biasa akan dua kali lebih mungkin menjumpai laporan berita episodik daripada laporan berita televisi tematik tentang kemiskinan.[21]

Selanjutnya, hasil-hasil percobaan menunjukkan para pemirsa yang lebih dari dua kali menonton liputan berita episodik kemiskinan lebih mungkin mengaitkan tanggung jawab kemiskinan kepada masyarakat miskin itu sendiri alih-alih masyarakat umum daripada pemirsa yang menonton liputan berita tematik kemiskinan.[21] Berkaitan dengan keunggulan framing episodik tentang kemiskinan, Iyengar memperdebatkan bahwa berita televisi mengalihkan tanggung jawab kemiskinan dari pemerintah dan masyarakat ke orang miskin itu sendiri.[21] Setelah meneliti analisis konten dan data percobaan terhadap permasalahan politik dan kemiskinan, Iyengar menyimpulkan bahwa frame-frame berita episodik mengalihkan atribusi tanggung jawab politik warga negara dari masyarakat dan para elit politik, memungkinkan mereka lebih sedikit mendukung upaya-upaya pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah itu dan mengaburkan hubungan-hubungan di antara permasalahan tersebut dan tindakan-tindakan resmi terpilih mereka atau kekurangannya.[21]

Visual Framing

Visual framing mengacu pada proses penggunaan gambar-gambar untuk menggambarkan bagian-bagian tertentu dari kenyataan.[22]

Visual dapat digunakan untuk mewujudkan makna di samping framing tekstual. Bentuk teks dan bentuk visual berfungsi paling baik secara bersamaan.[23] Kemajuan dalam teknologi berbasis layar dan cetak telah menghasilkan penggabungan dua bentuk tersebut dalam penyebaran informasi. Karena tiap-tiap bentuk punya batasannya, mereka paling bagus digunakan bersama dan saling dikaitkan dalam membentuk makna.

Gambar-gambar lebih disukai daripada teks karena membutuhkan lebih sedikit muatan kognitif dan lebih sedikit membosankan daripada kata-kata.[22] Dari sudut pandang psikologis, gambar-gambar mengaktifkan sel-sel saraf pada mata untuk mengirim informasi ke otak. Gambar-gambar juga memiliki nilai atraksi tinggi dan dapat membangkitkan daya tarik emosional yang lebih kuat. Dalam konteks framing, gambar-gambar dapat mengaburkan fakta-fakta dan permasalahan dalam usaha untuk membingkai informasi. Visual-visual terdiri dari alat-alat retoris seperti metafora, penggambaran, dan simbol-simbol untuk menggambarkan adegan atau konteks peristiwa secara grafis dalam upaya untuk membantu kita memahami lebih baik dunia di sekitar kita. Gambar-gambar dapat memiliki keterkaitan satu per satu antara apa yang ditangkap kamera dan representasinya di dunia nyata.

Bersamaan dengan meningkatkan pemahaman, visual juga dapat meningkatkan tingkat penyimpanan dannmembuat informasi lebih mudah untuk diingat. Karena sifat gambar yang seimbang, aturan-aturan tata bahasa tidak berlaku.

Menurut para peneliti,[22] framing tercermin dalam empat model tingkata yang mengidentifikasi dan menganalisis frame-frame visual sebagai berikut: visual-visual sebagai sistem denotatif, visual-visual sebagai sistem semiotika-stilistika, visual-visual sebagai sistem konotatif, dan visual sebagai perwakilan ideologis.

Para peneliti berhati-hati agar tidak hanya mengandalkan gambar-gambar untuk memahami informasi. Karena gambar-gambar lebih banyak memegang kekuatan dan lebih terkait pada kenyataan, kita dapat mengabaikan potensi manipulasi dan pembabakan dan salah menganggap ini sebagai bukti.

Gambar-gambar dapat menjadi perwakilan ideologi dengan memastikan prinsip-prinsip dasar yang membentuk atribut-atribut dasar kita dengan mengombinasikan simbol dan fitur gaya gambar ke dalam proses penafsiran koheren.

Suatu penelitian menunjukkan visual framing menonjol dalam liputan berita, terutama dalam kaitannya terhadap politik.[24] Gambar-gambar yang bermuatan emosi dipandang sebagai alat menonjol untuk membingkai pesan-pesan politik. Visual framing bisa menjadi efektif dengan menaruh penekanan dalam aspek spesifik sebuah masalah, taktik yang biasa digunakan dalam penggambaran berita konflik dan perang dikenal sebagai empathy framing. Visual framing yang memiliki daya tarik emosional bisa dibilang lebih menonjol.

Tipe framing ini dapat diterapkan ke konteks lain, termasuk atletik-atletik dalam kaitannya dengan disabilitas atletik.[25] Visual framing dalam konteks ini dapat menafsirkan kembali sudut pandang tentang ketidakmampuan atletik dan fisik, suatu stereotipe media yang sudah ada sebelumnya.

Mengklarifikasi dan membedakan "paradigma retak"

Kemungkinan karena penggunaannya dalam lintas ilmu-ilmu sosial, frame telah ditetapkan dan digunakan dalam banyak cara yang terpisah. Entman menyebut framing "konseptualisasi yang menyebar" dan "paradigma retak" yang "sering ditetapkan secara begitu saja dengan banyak diserahkan kepada pemahaman diam-diam yang diasumsikan pembaca".[16] Dalam upaya menyediakan lebih banyak kejelasan konseptual, Entman menunjukkan bahwa frame-frame "memilih beberapa aspek kenyataan yang dirasakan dan membuatnya lebih menonjol dalam teks berkomunikasi sedemikian rupa sehingga mendorong definisi masalah tertentu, penafsiran kausal, evaluasi moral, dan/atau rekomendasi perawatan untuk barang yang digambarkan".[16] Konseptualisasi framing Entman[16]yang menyebutkan frame-frame bekerja dengan mengangkat potongan-potongan tertentu dalam arti penting, berada sejalur dengan penelitian awal tentang dasar-dasar psikologis framing effect (lihat juga Iyengar[21] yang memperdebatkan jika aksesbilitas adalah penjelasan utama psikologis untuk keberadaan pengaruh-pengaruh framing). Wyer dan Srull[26] menjelaskan susunan aksesibilitas sebagai berikut.

  1. Orang-orang menyimpan potongan-potongan informasi yang berkaitan dalam "tempat penyimpanan referensi" dalam memori jangka panjang mereka.[26]
  2. Orang-orang mengatur "tempat penyimpanan referensi" sehingga lebih banyak potongan-potongan informasi yang sering dan baru-baru ini digunakan disimpan di bagian atas tempat penyimpanan tersebut. Jadi, potongan-potongan informasi tersebut lebih mudah diakses.[26]
  3. Karena orang-orang cenderung hanya mengambil secuil informasi dari memori jangka panjang saat membuat penilaian, mereka cenderung mengambil potongan-potongan yang paling mudah diakses untuk digunakan membuat penilaian-penilaian itu.[26]

Argumen yang mendukung aksesibilitas sebagai proses psikologis yang mendasari dapat diringkas sebagai berikut: Karena masyarakat sangat mengandalkan media berita untuk informasi peristiwa-peristiwa publik, informasi yang paling mudah diakses tentang peristiwa-peristiwa publik sering hadir dari peristiwa-peristiwa publik yang mereka konsumsi. Argumen ini juga disebut sebagai dukungan dalam debat mengenai apakah framing harus dimasukkan oleh teori agenda-setting sebagai bagian level kedua dari agenda setting. McCombs dan para peneliti agenda-setting lainnya secara umum setuju jika framing harus digabungkan bersama priming, di bawah ruang lingkup agenda setting sebagai model kompleks efek-efek media yang menghubungkan produksi media, konten, dan efek-efek pemirsa.[27][28][29] Tentu saja, McCombs, Llamas, Lopez-Escobar, dan Rey membenarkan percobaan mereka untuk menggabungkan penelitian framing dan agenda-setting dengan asumsi penghematan.[29]

Namun, Scheufele membantah bahwa tak seperti agenda setting dan priming, framing tidak bersandar sepenuhnya terhadap aksesibilitas sehingga tidak tepat untuk menggabungkan framing dengan agenda seeting dan priming untuk kepentingan penghematan.[19] Bukti-bukti empiris kelihatannya mempertahankan klaim Scheufele. Sebagai contohnya, Nelson, Clawson, dan Oxley secara empiris menunjukkan bahwa penerapan adalah kuncinya, alih-alih ciri khas.[17] Mengukur aksesibilitas dalam ketentuan-ketentuan latensi jawaban-jawaban responden yang hasil-hasil informasinya lebih mudah diakses dalam waktu-waktu respons yang lebih cepat, Nelson, Clawson, dan Oxley menunjukkan bahwa aksesibilitas diperhitungkan hanya untuk proporsi kecil terhadap perubahan dalam efek-efek framing, sementara penerapan diperhitungkan untuk perubahan proporsi besar.[17] Akan tetapi, menurut Nelson dan rekan-rekan, "frame-frame memengaruhi pendapat dengan menekan nilai-nilai spesifik, fakta-fakta, dan pertimbangan-pertimbangan lain, memberikannya dengan relevansi nyata yang lebih besar terhadap masalah daripada yang tampaknya mereka miliki di bawah frame alternatif."[17]

Dengan kata lain, ketika penelitian awal mengesankan bahwa dengan menyoroti aspek-aspek tertentu permasalahan, frame membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diakses dan lebih mungkin digunakan dalam proses penilaian,[16][21] penelitian terkini mengesankan bahwa frame bekerja dengan membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diterapkan dan lebih relevan pada proses penilaian.[17][19]

Equivalency lawan emphasis: dua tipe frame dalam penelitian media

Chong dan Druckman mengacu penelitian framing memiliki fokus utama pada dua tipe frame: equivalency frames dan emphasis frames.[30] Equivalency frames mengesankan "frasa-frasa berbeda, tetapi ekuivalen secara logis", yang menyebabkan para individu mengubah pilihan mereka.[1] Equivalency frames sering diucapkan dalam istilah-istilah "keuntungan" versus "kekalahan". Contohnya, Kahneman dan Tversky meminta para pemirsa memilih di antara dua tanggapan kebijakan "gain-framed" terhadap hipotesis wabah penyakit yang diperkirakan membunuh 600 orang.[31] Respons A akan menyelamatkan 200 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan menyelamatkan semua orang, tetapi dua pertiga kemungkinan tidak menyelamatkan siapa-siapa. Para partisipan A sangat memilih Respons A yang dirasa lebih sedikit opsi berisikonya. Kahneman dan Tversky meminta para partisipan lain untuk memilih di antara dua respons kebijakan "loss-framed" ekuivalen terhadap wabah penyakit yang sama. Pada kondisi ini, Respons A akan membunuh 400 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan tidak membunuh siapa pun, tetapi dua pertiga kemungkinan membunuh semua orang. Walaupun pilihan-pilihan ini identik secara matematis dengan opsi yang diberikan dalam kondisi "gain-framed", para partisipan sangat memilih Respons B, opsi yang berisiko. Kemudian, Kahneman dan Tversky membuktikan bahwa saat diutarakan dalam istilah-istilah potential gains, masyarakat cenderung memilih opsi yang mereka rasa lebih sedikit risikonya (yaitu sure gain). Kebalikannya, saat dihadapkan dengan potential loss, masyarakat cenderung memilih opsi yang berisiko.[31]

Tak seperti equivalency frames, emphasis frames mengesankan "pertimbangan yang berbeda secara kualitatif, tetapi relevan secara potensial" yang digunakan para individu untuk membuat penilaian.[30] Perlu dicatat jika framing berbeda dengan agenda-setting. Emphasis framing mewakili perubahan dalam struktur komunikasi untuk membangkitkan skema kognitif tertentu. Agenda setting bergantung pada frekuensi atau keunggulan pesan-pesan permasalahan untuk memberi tahu masyarakat apa yang harus dipikirkan. Emphasis framing mengacu pada pengaruh struktur pesan dan agenda setting mengacu pada pengaruh kepentingan konten.[32] Contohnya, Nelson, Clawson, dan Oxley menampakkan pada para partisipan berita yang menampilkan rencana Ku Klux Klan untuk menjalankan rapat.[17] Para partisipan dalam suatu keadaan membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah masalah keamanan publik, sedangkan para partisipan dalam keadaan lain membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah pertimbangan kebebasan berbicara. Para peserta yang tertuju pada kondisi keamanan publik memandang penerapn keamanan publik untuk menentukan apakah Klan harus diperbolehkan untuk mengadakan rapat dan seperti yang diperkirakan, menunjukkan toleransi lebih rendah terhadap hak-hak Klan untuk mengadakan rapat.[17] Namun, para partisipan yang tertuju pada kondisi kebebasan berbicara memandang penerapan kebebasan berbicara untuk memutuskan apakah Klan perlu diizinkan untuk mengadakan rapat, seperti yang diperkirakan, menunjukkan toleransi lebih besar terhadap hak-hak Klan untuk mengadakan rapat.[17]

Framing Dalam Keuangan

Pembalikan preferensi dan fenomena terkait lainnya memiliki relevansi yang lebih luas dalam ekonomi perilaku karena bertentangan dengan prediksi pilihan rasional, dasar ekonomi tradisional. Framing biases memengaruhi keputusan investasi, peminjaman, membuat salah satu tema behavioral finance.

Framing dalam psikologi dan ekonomi

Daniel Kahneman

Amos Tversky dan Daniel Kahneman telah menunjukkan jika framing dapat sangat memengaruhi hasil akhir dari choice problems (yakni pilihan yang dibuat seseorang) sehingga sejumlah aksioma klasik dari pilihan rasional tidaklah benar.[33] Hal ini mengarah kepada perkembangan teori prospek.[34]

Konteks atau framing of problems diangkat oleh hasil-hasil pembuat keputusan dalam bagian dari manipulasi ekstrinsik yang ditawarkan pilihan-pilihan keputusan, sekaligus dari paksaan-paksaan intrinsik pada para pembuat keputusan, misalnya norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, dan perangai unik mereka.

Desmonstrasi eksperimental

Tversky dan Kahneman (1981) mendemonstrasikan secara sistematik saat masalah yang sama disajikan dalam cara-cara berbeda, misalnya pada masalah penyakit Asia. Para partisipan diminta untuk "membayangkan jika U.S. bersiap untuk wabah penyakit Asia tak biasa yang diperkirakan membunuh 600 orang. Dua program alternatif untuk melawan wabah penyakit telah diajukan. Simpulkan perkiraan ilmiah yang tepat dari konsekuensi program sebagai berikut."

Kelompok partisipan pertama disajikan dengan pilihan di antara program-program: Dalam kelompok 600 orang,

  • Program A: "200 orang akan diselamatkan"
  • Program B: "ada 1/3 kemungkinan bahwa 600 orang diselamatkan, dan 2/3 kemungkinan bahwa tak ada orang yang diselamatkan"

72 persen partisipan lebih memilih program A (28% sisanya memilih program B).

Grup partisipan kedua disajikan dengan pilihan sebagai berikut, yakni dalam kelompok 600 orang,

  • Program C: "400 orang akan meninggal"
  • Program D: "ada 1/3 kemungkinan tidak ada orang meninggal, dan 2/3 kemungkinan jika 600 orang akan meninggal"

Dalam frame keputusan ini, 78% lebih memilih program D, dengan 22% sisanya memilih program C.

Program A dan C are identik, begitu pula program B dan D. Perubahan dalam frame penentuan di antara dua kelompok partisipan menghasilkan pembalikan preferensi: saat program-program disajikan dengan istilah penyelamatan nyawa, para partisipan lebih memilih program yang aman, A (= C). Saat program disajikan dalam istilah kematian yang diperkirakan, partisipan memilih risiko D (= B).[16]

Pengaruh mutlak dan relatif

Pengaruh-pengaruh framing timbul karena seseorang dapat sering membingkai keputusan menggunakan banyak skenario mana yang dapat mengungkapkan manfaat may express benefits either as a relative risk reduction (RRR), atau sebagai absolute risk reduction (ARR). Kendai ekstrinsik terhadap perbedaan-perbedaan kognitif (antara toleransi risiko dan antisipasi penghargaan) yang diangkat para pembuat keputusan dapat terjadi lewat mengubah presentasi risiko relatif dan keuntungan-keuntungan absolut.

Umumnya masyarakat lebih memilih keputusan mutlak yang melekat pada a positive framing-effect yang menawarkan jaminan perolehan. Saat opsi-opsi keputusan muncul dibingkai sebagai likely gain, pilihan-pilihan yang menolak risiko menonjol.

Pergeseran terhadap tingkah laku pencari risiko terjadi saat pembuat keputusan membingkai keputusan dalam ketentuan-ketentuan negatif, atau mengangkat pengaruh negatif framing.

Dalam pembuatan keputusan medis, framing bias paling baik dihindari dengan menggunakan ukuran mutlak kemanjuran.[35]

Penelitian frame-manipulation

Para peneliti menemukan bahwa masalah-masalah keputusan framing dalam sorotan positif umumnya menghasilkan pilihan yang lebih sedikit risikonya; dengan framing negatif permasalahan, cenderung lebih berisiko pilihannya.[33]

Pada sebuah penelitian oleh para peneliti Dartmouth Medical School, 57% subjek memilih pengobatan saat disajikan dengan keuntungan-keuntungan dalam istilah-istilah relatif, sedangkan 14.7% memilih pengobatan yang keuntungannya disajikan dalam istilah-istilah mutlak. Lebih lanjut questioning of the patients suggested that, karena subjek mengabaikan risiko pokok penyakit, mereka melihat manfaat sebagai lebih besat saat ditunjukkan dalam ketentuan-ketentuan relatif .[36]

Model-model teoretis

Para peneliti telah mengajukan bermacam-macam[30][37] model menjelaskan pengaruh framing.

  • teori-teori kognitif, seperti teori fuzzy-trace, berusaha untuk menjelaskan pengaruh framing dengan menentukan jumlah upaya pemrosesan kognitif yang ditujukan untuk menentukan nilai potensi keungungan dan kerugian.
  • teori prospek menjelaskan pengaruh framing dalam ketentuan-ketentuan fungsional yang ditentukan dengan pilihan untuk nilai-nilai yang dirasakan berbeda berdasarkan asumsi bahwa khalayak memberi pembobotan lebih hebat pada kerugian daripada keuntungan yang setara.
  • teori-teori motivasional menjelaskan efek framing dalam ketentuan-ketentuan paksaan hedonik yang mempengaruhi individu, seperti rasa takut dan harapan —berdasarkan pada gagasan bahwa emosi-emosi negatif yang ditimbulkan oleh potensi kerugian biasanya lebih berat dari emosi yang ditimbulkan oleh keuntungan hipotesis.
  • cognitive cost-benefit trade-off theory defines choice as a compromise between desires, either as a preference for a correct decision or a preference for minimized cognitive effort. This model, which dovetails elements of cognitive and motivational theories, postulates that calculating the value of a sure gain takes much less cognitive effort than that required to select a risky gain.

Neuroimaging

Neuroscientists kognitif telah mengaitkan efek framing pada aktivitas saraf di amygdala dan mengidentifikasi bagian otak lain, prefrontal cortex (OMPFC) orbital dan medial yang muncul untuk memoderasi peran emosi terhadap keputusan. Menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) untuk mengamati aktivitas otak selama tugas pembuatan keputusan, mereka mengamati aktivitas yang lebih besar di OMPFC dari subjek penelitian yang kurang rentan terhadap efek framing.[38]

Dalam sosiologi

Teori framing dan analisis frame memberikan pendekatan teoretis luas yang telah digunakan analis dalam kajian-kajian komunikasi, berita (Johnson-Cartee, 1995), politik, dan pergerakan sosial (di antara penerapan).

Menurut Bert Klandermans, "konstruksi sosial frame-frame tindakan kolektif" melibatkan "wacana publik, yaitu antarmuka wacana media dan interaksi antarpersonal; komunikasi persuasif saat kampanye-kampanye oleh organisasi-organisasi pergerakan, para lawan dan organisasi kontra-gerakan mereka; dan peningkatan kesadaran selama episode tindakan kolektif".[39]

Sejarah

Word-selection telah menjadi komponen retorik.

Kebanyakan juru ulas menyematkan konsep framing terhadap kerja Erving Goffman mengenai analisis frame dan mengarahkan pada buku tahun 1974, Frame analysis: An essay on the organization of experience. Goffman menggunakan ide frame untuk melabeli "skemata interpretasi" yang membolehkan para individu atau kelompok "untuk meletakkan,melihat, mengidentifikasi, dan melabeli" peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian, sehingga memberikan makna, mengatur pengalaman, dan membimbing tindakan.[40]Konsep framing Goffman berkembang dari karyanya pada tahun 1959, The Presentation of Self in Everyday Life, sebuah ulasan dari manajemen impresi. Karya-karya ini bisa dibilang bergantung pada konsep imej karyaKenneth Boulding.[41]

Gerakan-gerakan sosial

Para sosiologis telah memanfaatkan framing untuk menjelaskan proses pergerakan sosial.[12]Pergerakan bertindak sebagai pembawa kepercayaan dan ideologi (bandingkan meme), terlebih lagi, mereka berjalan sebagai bagian proses membangun makna untuk para partisipan dan penentang (Snow & Benford, 1988). Para sosiologis menganggap mobilisasi pergerakan massa "sukses" saat frame-frame yang diproyeksikan sejajar dengan frame partisipan untuk menghasilkan resonansi antara kedua pihak. Para peneliti framing membicarakan proses ini sebagai frame re-alignment.

Frame-alignment

Snow dan Benford (1988) menganggap deretan frame (frame-alignment) sebagai elemen penting dalam pergerakan atau perpindahan sosial. Mereka memperdebatkan bahwa saat frame-frame individu terhubung dalam keselarasan dan saling melengkapi, "frame alignment" terjadi,[42]memproduksi "frame resonance", katalis dalam proses grup yang melakukan transisi dari sebuah frame ke frame lain (meskipun tidak semua upaya-upaya framing membuktikan kesuksesan). Persyaratan yang mempengaruhi atau memaksa upaya-upaya framing termasuk berikut ini.

  • "Kekokohan, kelengkapan, dan ketelitian upaya framing". Snow dan Benford (1988) mengidentifikasi tiga inti tugas framing, dan menyatakan bahwa sejauh mana menghadapi tugas-tugas ini akan menentukan mobilisasi partisipan. Mereka menggambarkan tiga tugas tersebut sebagai berikut.
    1. framing diagnostik untuk identifikasi masalah dan penugasan menyalahkan.
    2. framing prognostik untuk menyarankan solusi, strategi, dan taktik terhadap sebuah masalah.
    3. framing motivasional yang menjadi panggilan untuk senjata atau alasan untuk bertindak.
  • Hubungan antara frame yang diusulkan dan sistem kepercayaan yang lebih luas, secara pusat: frame tak bisa menjadi sarti penting dan hierarki yang rendah dalam sistem kepercayaan yang lebih luas. Jangkauan dan keterkaitannya, apabila pembuat frame menghubungkan frame kepada satu saja inti keyakonan atau nilai yang sendirinya memiliki jangkauan dalam sistem kepercayaan yang lebih luas, frame tersebut memiliki derajat diskonto yang tinggi.
  • Relevansi frame terhadap kenyataan partisipan; frame harus terlihat relevan untuk para partisipan dan juga harus memberikan mereka informasi. Kredibilitas empiris atau testabilitas dapat membatasi relevansi: berkaitan dengan pengalaman partisipan, dan memiliki ketepatan naratif, artinya sesuai dengan mitos dan narasi budaya yang ada.
  • Cycles of protest (Tarrow 1983a; 1983b); titik di mana frame muncul pada garis waktu era masa kini dan keasyikan yang ada dengan perubahan sosial. Frame-frame sebelumnya dapat mempengaruhi uppaya untuk mengenakan frame baru.

Snow dan Benford (1988) mengusulkan bahwa begitu seseorang telah membangun frame-frame tepat seperti yang dijabarkan di atas, perubahan skala besar dalam masyarakat seperti kepentingan untuk pegerakan sosial itu dapat dicapai melalui frame-alignment.

Tipe-tipe

Frame-alignment muncul dalam empat bentuk: frame bridging, frame amplification, frame extension dan frame transformation.

  1. Frame bridging melibatkan "hubungan dua atau lebih frame-frame yang kongruen secara ideologis, tetapi tidak terhubung secara struktural mengenau isu atau masalah tertentu" (Snow dkk., 1986, hal. 467). Hal tersebut melibatkan hubungan sebuah pergerakan terhadap "kumpulan sentimen atau kelompok preferensi opini publik yang tidak bergerak [sic]" (hal. 467) orang-orang yang berbagi pandangan atau keluhan serupa, tetapi yang tidak memiliki basis organisasi.
  2. Frame amplification mengacu pada "klarifikasi dan penyegaran frame interpretatif yang mengemban isu, masalah, atau rangkaian peristiwa tertentu" (Snow dkk., 1986, hal. 469). Frame interpretatif ini biasanya melibatkan penyegaran nilai-nilai atau kepercayaan.
  3. Frame extensions mewakili usaha pergerakan untuk menggabungkan para peserta dengan melebarkan batasan-batasan frame yang diusulkan untuk memuat atau mencakup para pengamat, peminat, atau sentimen grup yang ditargetkan (Snow dkk., 1986, hal. 472).
  4. Frame transformation menjadi penting saat frame-frame yang diusulkan "mungkin tidak beresonansi dan kadang kala, bahkan tampak bertentangan kepada gaya hidup konvensional atau ritual dan kerangka penafsiran yang masih ada" (Snow dkk., 1986, hal. 473).

Saat ini terjadi, pengamanan peserta dan dukungan membutuhkan nilai-nilai baru, makna-makna baru, dan pemahaman. Goffman (1974, pp. 43–44) menyebut hal ini "kunci", saat "para aktivis, peristiwa, dan biografi yang telah bermakna dari sudut beberapa framework utama, dalam ketentuan-ketentuan framework lain" (Snow dkk., 1986, hal. 474) sedemikian rupa sehingga mereka terlihat berbeda. Dua tipe transformasi frame berwujud

  1. Domain-specific transformations, seperti upaya untuk mengubah status grup-grup masyarakat, dan
  2. Global interpretive frame-transformation, di mana ruang lingkup perubahan terlihat cukup radikal—seperti dalam perubahan pandangan dunia, konversi total pemikiran, atau pencabutan segala sesuatu yang akrab (misalnya: berpindah dari komunisme ke kapitalis pasar, atau sebaliknya; pengubahan agama, dll.).

Sebagai kritik retorik

Walaupun pemikiran language-framing telah dijelajah sebelumnya oleh Kenneth Burke (saringan-saringan terministik), peneliti komunikasi politik Jim A. Kuypers pertama kali menerbitkan karya analisis frame (framing analysis) terdahulu sebagai sudut pandang retorik dalam 1997. Pendekatannya dimulai secara induktif dengan mencari tema-tema yang bertahan sepanjang waktu dalam sebuah teks (bagi Kuypers, utamanya narasi berita terhadap masalah atau peristiwa) dan kemudian menentukan bagaimana tema-tema tersebut dibingkai. Penelitian Kuypers diawali dengan asumsi bahwa frame adalah entitas retorik kuat yang "menyebabkan kita menyaring persepsi kita terhadap dunia dalam cara yang khusus, pada dasarnya membuat beberapa aspek kenyataan multi-dimensional kita lebih terlihat daripada aspek lainnya. Frame berjalan dengan membuat beberapa informasi lebih menonjol daripada informasi lainnya...."[43]

Pada esainya tahun 2009 "Framing Analysis" dalam Rhetorical Criticism: Perspectives in Action[44] dan esainya tahun 2010 "Framing Analysis as a Rhetorical Process",[45] Kuypers memberikan konsep detail untuk melakukan analisis framing dari sudut pandang retorika. Menurut Kuypers, "Framing adalah proses saat para komunikator secara sadar ataupun tidak, bertindak untuk membangun sudut pandang yang mendorong fakta-fakta situasi tertentu untuk ditafsirkan oleh orang lain dengan cara tertentu. Frame-frame bekerja dalam empat cara kunci: mendefinisikan masalah, mendiagnosis masalah, membuat pertimbangan moral, dan menyarankan pengobatan. Frame-frame sering ditemukan dalam akun narasi sebuah isu atau peristiwa dan umumnya pusat ide pengorganisasian."[46] Penelitian Kuypers berdasarkan pada premis bahwa framing adalah proses retoris dan karenanya paling bagus diteliti dari sudut pandang retoris. Menyembuhkan masalah bukanlah retoris dan paling baik diserahkan kepada pengamat.

Dalam wacana lingkungan

Sejarah aktivisme iklim

Aktivisme iklim secara teratur terbentuk dan terbentuk kembali oleh dialog pada tingkat lokal, nasional, dan internasional berkaitan dengan perubahan iklim sekaligus oleh nilai-nilai dan norma-norma masyarakat.

Diawali dengan pergerakan transendental pada abad 19 ketika Henry David Thoreau menulis novel On Walden Pond merinci pengalamannya dengan lingkungan alam dan ditambah oleh karya transendental lainnya seperti Ralph Waldo Emerson, aktivisme iklim telah mengambil banyak bentuk. John Muir, yang juga dari akhir abad 19, menyarankan pelestarian Bumi untuk kepentingannya sendiri, membangun Sierra Club. Kumpulan esai Aldo Leopold tahun 1949, A Sand County Almanac, membentuk “etika tanah” dan telah mengatur tahap untuk etika lingkungan modern, menyerukan konservasi dan pelestarian alam dan hutan belantara. Silent Spring karya Rachel Carson yang diterbitkan pada 1962, mengungkapkan bahaya pestisida bagi kesehatan manusia dan lingkungan dan dengan berhasil menganjurkan enghentian penggunaan DDT.

Konsep perubahan iklim dan kemudian ruang aktivisme berkaitan dengan iklim mulai berkembang pada tahun 1970-an. Hari Bumi pertama berlangsung pada 22 April, 1970. Dekade-dekade berikutnya menjadi saksi berdirinya Greenpeace, Earth First!, Program Lingkungan PBB (PLPBB), dan Konvensi Kerangka Kerja PBB terhadap Perubahan Iklim (KKKPBBPI).

Dokumen-dokumen iklim penting dalam 30 tahun terakhir di antaranya termasuk "Rio Declaration", "Kyoto Protocol", "Paris Climate Agreement", dan "Global Youth Climate Action Declaration".

Yang terbaru, Peoples’ Climate March dan Global Climate Strike telah berkembang menjadi peristiwa-peristiwa yang dihadiri oleh berjuta-juta warga sipil dan aktivis seluruh dunia setiap tahun. Aktivitas iklim telah dihidupkan kembali oleh pemberontakan kaum muda di garis depan dialog dan advokasi. Greta Thunber, seorang wanita muda asal Swedia menginisiasi Fridays for Future yang kini memiliki cabang aktif di sejumlah negara di seluruh dunia. Grup iklim aktif lainnya yang dipimpin oleh pemuda termasuk di antaranya Extinction Rebellion, Sunrise Movement, SustainUS, Global Youth Climate Action Declaration (GYCAD), ZeroHour, bekerja di tingkat lokal dan lintasnegara.

Motivasi dan dukungan individu

Motivasi individu untuk mengatasi perubahan iklim adalah landasan mengenai dibangunnya tindakan kolektif. Proses-proses pembuatan keputusan diinformasikan oleh segudang faktor termasuk nilai-nilai, kepercayaan, dan tingkah laku normatif. Di Amerika Serikat, para individu paling efektif dimotivasi untuk mendukung kebijakan perubahan iklim ketika frame kesehatan publik digunakan. Frame ini mengurangi rasa ambiguitas dan disosiasi sering ditimbulkan oleh pembicaraan tentang pencairan lapisan es dan emisi karbon dengan menempatkan masalah iklim dalam konteks lokal untuk individu, baik di negara, negara bagian, atau kota mereka.[47]

Perubahan iklim, sebagai masalah yang belum ditetapkan sebagai keyakinan normatif sering menjadi subjek perbedaan pendapat dalam menghadapi aktivisme dan advokasi.[48] Para aktivis yang terlibat dalam advokasi akar rumput untuk memperoleh perilaku yang lebih pro-lingkungan dalam grup sosial mereka, bahkan mereka yang terlibat dalam konfrontasi halus adalah subjek terhadap reaksi negatif dan konsekuensi sosial di hadapan oposisi.[48] Selain itu, perubahan iklim memiliki kapasitas untuk ditetapkan sebagai isu moral karena efek antropogenik terhadap planet dan kehidupan manusia lainnya, tetapi ada hambatan psikologis terhadap dukungan perubahan iklim dan motivasi selanjutnya untuk bertindak dalam menanggapi keperluan akan intervensi.[49] Sebuah artikel dalam jurnal Nature Climate Change oleh Ezra Markowitz dan Azim Shariff menekankan enam tantangan psikologis, tercantum di bawah ini, yang ditimbulkan oleh perubahan iklim pada sistem penilaian moral manusia.[49]

  1. Abstraksi dan kompleksitas kognitif: sifat abstrak dari perubahan iklim membuatnya menjadi nonintuitif dan sulit dipahami secara kognitif.
  2. Ketidakbersalahan dari tindakan yang tidak disengaja: sistem penilaian moral manusia disetel dengan baik untuk bereaksi terhadap pelanggaran yang disengaja.
  3. Kecenderungan bersalah: perubahan iklim antropogenik memancing kecenderungan pembelaan diri.
  4. Ketidakpastian melahirkan angan-angan: Kurangnya prognosis yang pasti menghasilkan optimisme yang tidak masuk akal.
  5. Kesukuan moral: politisasi perubahan iklim mendorong ideologi yang berlawanan.
  6. Cakrawala yang lama dan tempat yang jauh: korban-korban di luar grup berjatuhan.

Dire Messaging

Aktivisme iklim menyatakan dirinya melalui berbagai ekspresi. Suatu aspek framing perubahan iklim yang umumnya dikenali adalah dire messaging yang telah dikritik sebagai penggelisah dan pesimistik, mengakibatkan penolakan pesan berbasis bukti.[50]

Teori just-world yang mendukung gagasan bahwa beberapa individu harus bergantung pada pengandaian mengenai dunia yang adil untuk mendukung keyakinan. “Penelitian mengenai teori dunia yang adil telah menunjukkan bahwa saat kebutuhan para individu mempercayai dunia adil terancam, mereka biasanya menggunakan tanggapan defensif, seperti penolakan atau rasionalisasi informasi yang mengancam keyakinan dunia adil mereka”.[50] Dalam kasus perubahan iklim, gagasan dire messaging sangat penting untuk memahami apa yang memotivasi aktivisme. Contohnya, memiliki rasa takut perubahan iklim “dikaitkan pada ketidakmampuan diri untuk mencegahnya dapat mengakibatkan penarikan diri, sedangkan mempertimbangkan orang lain bertanggung jawab dapat mengakibatkan kemarahan".[51]

Pada penelitian tahun 2017, ditemukan bahwa aktivis yang diwawancarai dari Global North merangkul rasa takut sebagai motivasi, tetapi “menekankan harapan, menolak rasa bersalahh, dan memperlakukan kemarahan dengan hati-hati". Para aktivis yang diwawancarai dari Global South mengindikasikan bahwa mereka “alih-alih lebih ketakutan, kurang harapan, dan lebih marah, menganggap rasa bersalah – tanggung jawab – ke negara-negara bagian utara. Perbedaan-perbedaan ini mungkin mengindikasikan pendekatan aktivis yang relatif terdepolitisasi terhaadap perubahan iklim di utara, sebagai lawan dari pendekatan yang lebih terpolitisasi di selatan”.[51]

Penelitian tahun 2017 menunjukkan bahwa rasa takut memotivasi aksi lewat meningkatkan kesadaran ancaman bencana iklim. Potensi rasa takut yang melumpuhkan dimediasi oleh harapan: harapan mendorong aksi, sementara aksi kolektif menghasilkan harapan sembari mengelola rasa takut. Kapasitas waspada bahaya rasa takut dirangkul "secara internal", tetapi ditolak sebagai emosi efektif dalam memotivasi khalayak untuk berpindah.[51]

Peneliti telah menunjukkan bahwa dire messaging mengurangi kemanjuran inisiatif advokasi melalui demotivasi individu, tingkat kepedulian yang lebih rendah, dan penurunan keterlibatan.[49]

Positive framing

Peneliti berpendapat bahwa prognostic framing—yang menawarkan solusi, strategi, target, dan taktik yang nyata—yang bergandengan dengan motivational framing paling mujarab dalam menggerakkan khalayak untuk bertindak.[12] Khususnya saat berkaitan dengan perubahan iklim, kekuatan psikologi positif menjadi jelas saat diterapkan oleh para aktivis dan orang lain yang menghasilkan intervensi-intervensi.

Empat prinsip utama motivasi seperti yang dijelaskan oleh Positive Psychology adalah agency, compassion, resilience, dan purpose. Saat diterapkan pada aksi iklim, buku teks edisi keempat Psychology for Sustainability, lebih lanjut memperluas prinsip-prinsip ini karena berkaitan terhadap keberlanjutan dan sebagai katalis aksi:[52]

  1. Agency: memilih, merencanakan, dan mengeksekusi perilaku yang berkaitan dengan situasi.
  2. Compassion: memperhatikan, merasakan, dan merespons penderitaan lain yang timbul dari rasa keterhubungan.
  3. Purpose: berusaha menuju aktivitas yang bermakna.
  4. Resilience: memulihkan, mengatasi, atau mengembangkan strategi baru untuk melawan kesulitan.

Harapan menambah rasa purpose dan agency, sekaligus meningkatkan ketahanan. Bagi para aktivis iklim, tidak mungkin memisahkan harapan dari ketakutan. Namun, saat mendekonstruksi harapan bahwa orang lain akan mengambil tindakan yang perlu, harapan dihasilkan melalui keyakinan pada kapasitasnya sendiri, menunjukkan bahwa “kepercayaan pada tindakan kolektif 'sendiri’ tampaknya menjadi inti dari harapan yang dibicarakan para aktivis”.[51] Selain itu, membuat hubungan antara tindakan iklim dan emosi-emosi positif seperti rasa syukur dan kebanggaan, peningkatan kesejahteraan subjektif, dn potensi untuk mempengaruhi memungkinkan para individu untuk melihat tindakan mereka sendiri untuk memperbaiki iklim sebagai cara yang bermanfaat dan berkelanjutan daripada menurunkan motivasi.[49]

Pendekatan lain yang dibuktikan manjur adalah proyeksi masyarakat utopis dalam isu-isu mendesak yang telah diselesaikan, menawarkan narasi kreatif yang menuntun para individu dari masalah-masalah saat ini ke solusi masa depan dan mengizinkan mereka untuk memilih jadi jembatan antara keduanya. Pendekatan positif antargenerasi ini membangkitkan rasa semangat tentang tindakan iklim pada para individu dan menawarkan solusi kreatif yang dapat mereka pilih untuk ambil bagian di dalamnya.[52] Sebagai contoh, pengumuman layanan masyarakat yang berkaitan dengan perubahan iklim dapat dibingkai sebagai berikut.

“It’s 2050, kendaraan elektrik Anda diparkir dan siap untuk pergi di sebelah rumah nol emisi Anda, tetapi Anda memilih untuk mengambil sistem transit yang sangat cepat, efisien, hijau, dan bersih yang dapat diakses dari kebanyakan tempat di Amerika Serikat dan disubsidi untuk warga negara berpenghasilan rendah. Mungkin Anda tinggal di Pegunungan Appalachia di Virginia Barat, di mana industri batu bara digantikan oleh pusat-pusat besar untuk inovasi dan pekerjaan energi hijau. Anda dapat berpindah dengan mudan ke DC atau New York. Makanan Anda tumbuh secara lokal dan disalurkan lewat Koperasi Pertanian Perkotaan yang mendidik anak-anak mengenai cara menumbuhkan makanan, pentingnya pelokalan, dan cara menjadi lebih berkelanjutan.”

Ideologi politik

Para peneliti komunikasi politik mengangkat taktik framing sejak beredarnya retorika politik. Akan tetapi, kemajuan dalam teknologi telah menggeserkan saluran komunikasi yang mereka gunakan. Dari komunikasi oral, material tertulis, radio, televisi, dan yang paling terkini, media sosial telah memainkan peran menonjol dalam bagaimana politik dibingkai. Media sosial, secara khusus, mengizinkan para politik untuk mengomunikasikan ideologi mereka dengan pesan singkat dan tepat. Menggunakan kata-kata yang memicu emosional, berfokus terhadap menimbulkan rasa takut atau amarah, untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang kebijakan yang difasilitasi dengan rentang perhatian pendek yang dibuat oleh media sosial ([53]).

Dalam dekade-dekade terakhir, perubahan iklim telah begitu dipolitisasi dan sering menginisiatif untuk mengatasi atau mengonseptualisasi perubahan iklim cocok untuk satu kemungkinan, sementara sangat diperdebatkan oleh yang lain. Oleh karena itu, penting membingkai aktivitsme iklim dengan cara yang nyata untuk penonton, menemukan makna komunikasi sembari meminimalkan provokasi. Dalam konteks Amerika Serikat, kecenderungan kiri “liberal” berbagi nilai-nilai inti kepedulian, keterbukaan, kesederajatan, kebaikan kolektif, pemagaran toleransi untuk ketidakpastian atau ambiguitas, dan penerimaan perubahan', sedangkan kecenderungan kanan “konservatif” berbagi nilai-nilai inti keamanan, kemurnian, kestabilan, tradisi, hierarki sosial, perintah, dan individualisme.[52]

Sebuah kajian memeriksa berbagai prediktor persetujuan publik untuk penggunaan energi terbarukan di bagian barat Amerika Serikat menggunakan tujuh macam frame dengan tujuan untuk menilai kemanjuran framing energi terbarukan. Frameworks neoliberal digemakan oleh para konservatif, seperti dukungan untuk ekonomi pasar bebas, diajukan terhadap intervensi aksi iklim yang secara inheren menempatkan kendala terhadap ekonomi bebas melalui dukungan energi terbarukan melalui subsidi atau pajak tambahan terhadap sumber-sumber energi tak terbarukan.[54] Dengan demikian, saat para aktivis iklim bercakap-cakap dengan para individu cenderung konservatif, akan menguntungkan untuk fokus terhadap framing yang tidak memicu ketakutan akan kendala ekonomi pasar bebas atau perubahan-perubahan gaya hidup yang luas. Hasil kajian yang sama mendukung gagasan bahwa "frame-frame berlandaskan non-iklim untuk energi terbarukan paling mungkin mengumpulkan dukungan khalayak yang lebih luas" bertalian dengan konteks politik dan menunjukkan respons bertentangan terhadap pembingkaian berdasarkan iklim yang menunjukkan polarisasi politik yang dalam terhadap perubahan iklim.[54]

Ide political framing berasal dari keengganan kehilangan. Para politikus ingin membuat ide mereka kurang berisiko bagi para pemilih potensial karena “Masyarakat lebih memperhatikan kerugian daripada keuntungan, sama seperti mereka cenderung terlibat dalam perilaku tertentu dalam menghadapi kerugian. Secara rinci, masyarakat mengambil risiko saat mereka percaya itu membantu mereka mencegah kerugian, tetapi saat mereka menghadapi lagi, mereka memilih strategi yang menghindari risiko yang mempertahankan status quo”.[55] Mereka akan mengomunikasikannya dengan cara yang dapat meyakinkan bahwa masyarakat tidak rugi dengan menyetujui ideologi para politikus tersebut.

Political framing juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan lain selain perubahan iklim. Kesejahteraan, misalnya, telah dikenakan kepada political framing untuk menggeser opini publik terhadap penerapan kebijakan. Aliran terjal frame-frame yang berbeda kondusif mengubah opini publik selama bertahun-tahun.[56] Hal tersebut mempengaruhi cara masyarakat memandang “kelayakan” saat bertemu dengan kebijakan. Salah satu ujungnya dapat dilihat sebagai kredit politik, menyatakan bahwa para warga negara yang membutuhkan memiliki hak untuk mengklaim kesejahteraan sebagai kebutuhan. Hal tersebut dibingkai sebagai tugas dari pemerintah ke warga negara. Dalam frame ini, tak ada yang rugi karena pemerintah melakukan tugasnya untuk memaksimalkan kualitas kehidupan untuk seluruh masyarakat. Sisi lain memandang persingkatan kebijakan sebagai keperluan dengan menggunakan taktik framing untuk menggeser tanggung jawab dan mencelakan dari pemerintah ke warga negara.[57]Pemikiran untuk meyakinkan masyarakat bahwa kesejahteraan herus didorong untuk keuntungan mereka. Retorika kontemporer, diperjuangkan oleh mantan Presiden A.S. Ronald Reagan, telah membuat ide frame “kerja keras” mereka untuk mengatakan kesejahteraan tidak diperlukan jika masyarakat “bekerja lebih keras.” Dengan frame yang berlawanan ini, warga yang lebih kaya sekarang rugi karena mereka mengeluarkan uang untuk membantu dana keuntungan kesejahteraan pada mereka yang "kurang bekerja" dibandingkan mereka. Frame berbeda ini membuat kesejahteraan seperti permainan satu-kosong.

Norma-norma gender

Framing perubahan iklim bervariasi tergantung pada pemirsa yang dituju dan respons yang dirasakan mereka terhadap berbagai pendekatan mengenai aktivisme. Di Sweden, peneliti menilai keberlanjutan dalam sektor transportasi yang didominasi pria menyebutkan bahwa norma-norma yang diberikan oleh feminitas lebih mungkin untuk memajukan upaya keberlanjutan, sekaligus merendahkan keseluruhan emisi CO2 dari sektor tersebut.[58] Hal ini terbukti selama penelitian yang selanjutnya menunjukkan bahwa “sikap, perilaku, dan pola mobilitas perempuan menunjukkan norma-norma yang lebih kondusif untuk lebih banyak kebijakan transportasi berkelanjutan yang tidak mengandung karbon”.[58] Ini mengesankan bahwa maskulinitas sering digambarkan sebagai norma dalam banyak sektor dan memperkuat hubungan antara perempuan dan etika keberlanjutan yang secara krisis hilang dari banyak sektor dan industri yang didominasi pria.

Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa para konsumen yang menunjukkan kecenderungan untuk sadar lingkungan, tingkah laku “hijau” dirasakan lintas spektrum gender sebagai lebih feminin, melaksanakan stereotipe “Green Feminine”.[59] Aktivis iklim dipandang sebagai tindakan bersifat perempuan, merusak ciri-ciri maskulinitas dan menekankan celah gender dalam urusan berlandaskan kepedulian terhadap iklim. Sebagai tambahan, sebagai hasil teori berkenaan dengan pemeliharaan identitas gender, “pilihan lingkungan pria dapat dipengaruhi oleh isyarat gender, hasil menunjukkan bahwa mengikuti gertakan identitas gender (lawan usia), pria kemungkinan paling sedikit untuk memilih produk-produk hijau”.[59] Atribut yang terkait dengan feminitas dan mendukung hubungan kognitif di antara wanita dan green behavior termasuk empati dan kapasitas untuk transendensi diri.[52]

Hukum

Edward Zelinsky telah menunjukkan bahwa pengaruh-pengaruh framing dapat menjelaskan beberapa perilaku yang diamati dari para legislator.[60]

Dalam media

Peran permainan framing dalam efek-efek presentasi media telah didiskusikan secara luas, dengan gagasan utama bahwa persepsi terkait dari informasi faktual dapat bervariasi berdasarkan pada penyajian informasi tersebut.

Contoh-contoh media berita

Dalam Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age,[61] Jim A. Kuypers meneliti perbedaan dalam framing War on Terror antara badan administrasi Bush dan media berita arus utama Amerika Serikat di antara tahun 2001 dan 2005. Kuypers mencari tema-tema umum antara pidato-pidato presidensial dan pemberitaan pers tentang pidato-pidato itu, kemudian menentukan bagaimana presiden dan pers membingkai tema-tema tersebut. Dengan menggunakan versi retoris analisis framing, Kuypers menentukan bahwa media berita U.S. news media advanced frames counter to those used by the Bush administration:

The press actively contested the framing of the War on Terror as early as eight weeks following 9/11. This finding stands apart from a collection of communication literature suggesting the press supported the President or was insufficiently critical of the President's efforts after 9/11. To the contrary, when taking into consideration how themes are framed, [Kuypers] found that the news media framed its response in such a way that it could be viewed as supporting the idea of some action against terrorism, while concommitantly opposing the initiatives of the President. The news media may well relay what the president says, but it does not necessarily follow that it is framed in the same manner; thus, an echo of the theme, but not of the frame. The present study demonstrates, as seen in Table One [below], that shortly after 9/11 the news media was beginning to actively counter the Bush administration and beginning to leave out information important to understanding the Bush Administration's conception of the War on Terror. In sum, eight weeks after 9/11, the news media was moving beyond reporting political opposition to the President—a very necessary and invaluable press function—and was instead actively choosing themes, and framing those themes, in such a way that the President's focus was opposed, misrepresented, or ignored.[62]

Table One: Comparison of President and News Media Themes and Frames 8 Weeks after 9/11[63]

Themes President's Frame Press Frame
Good v. Evil Struggle of good and evil Not mentioned
Civilization v. Barbarism Struggle of civilization v. barbarism Not mentioned
Nature of Enemy Evil, implacable, murderers Deadly, indiscriminant

Bush Administration

Nature of War Domestic/global/enduring

War

Domestic/global/longstanding

War or police action

Similarity to Prior Wars Different kind of war WWII or Vietnam?
Patience Not mentioned Some, but running out
International Effort Stated Minimally reported

In 1991 Robert M. Entman published findings[64] surrounding the differences in media coverage between Korean Air Lines Flight 007 dan Iran Air Flight 655. Setelah mengevaluasi berbagai level media coverage berdasarkan both amount of airtime and pages devoted to similar events, Entman menyimpulkan bahwa frame-frame peristiwa yang ditampilkan oleh media berbeda secara drastis:

By de-emphasizing the agency and the victims and by the choice of graphics and adjectives, the news stories about the U.S. downing of an Iranian plane called it a technical problem, while the Soviet downing of a Korean jet was portrayed as a moral outrage… [T]he contrasting news frames employed by several important U.S. media outlets in covering these two tragic misapplications of military force. For the first, the frame emphasized the moral bankruptcy and guilt of the perpetrating nation, for the second, the frame de-emphasized the guilt and focused on the complex problems of operating military high technology.

Differences in coverage amongst various media outlets:

Amounts of Media coverage dedicated to each event Korean Air Iran Air
Time Magazine and Newsweek 51 pages 20 pages
CBS 303 minutes 204 minutes
New York Times 286 stories 102 stories

Pada tahun 1988, Irwin Levin dan Gary Gaeth melakukan penelitian mengenai efek-efek informasi atribut terhadap para konsumen sebelum dan setelah mengonsumsi sebuah produk (1988). Dalam penelitian ini, mereka menemukan bahwa dalam penelitian mengenai daging sapi, orang-orang yang memakan daging sapi yang dilabeli 75% tidak berlemak menilainya lebih baik daripada orang-orang yang daging sapinya dilabeli 25% lemak.

Dalam politik

Peneliti retorik dan linguis George Lakoff mendebatkan bahwa untuk meyakinkan hadirin politik dari satu sisi argumen atau yang lain, kenyataan harus dihadirkan melalui frame retoris. is mendebatkan bahwa tanpa frame, fakta-fakta argumen tersasar pada hadirin, membuat argumen kurang efektif. Retorika politik menggunakan framing untuk menghadapkan fakta-fakta di sekeliling masalah dalam cara yang membuat tampilan masalah memerlukan solusi. Para politikus menggunakan framing untuk membuat solusi mereka sendiri untuk urgensi yang tampaknya paling tepat dibandingkan dengan oposisi.[4] Argumen kontra menjadi kurang efektif dalam membujuk hadirin setelah suatu pihak membingkai argumen, karena dipertanyakan bahwa oposisi kemudian memiliki beban tambahan untuk memperdebatkan kerangka masalah di samping masalah itu sendiri.

Membingkai masalah politik, partai politik atau lawan politik adalah tujuan strategi dalam politik, terutama di Amerika Serikat. Baik partai politik Demokrat dan Republik berkompetisi untuk memanfaatkan kekuatan persuasi dengan sukses. Menurut The New York Times:

Bahkan, sebelum pemilu, sebuah kata baru politik sudah mulai menggenggam partai, berawal dari West Coast dan menyebar seperti virus sepanjang bagian dalam kantor-kantor Capitol. Kata itu 'framing.' Exactly what it means to isu-isu 'frame' issues kelihatannya tergantung pada Demokrat mana yang Anda ajak bicara, tetapi setiap orang setuju bahwa itu harus dilakukan dengan memilih bagasa untuk menjelaskan debat dan lebih penting dengan menyesuaikan isu-isu individu ke dalam konteks garis cerita yang lebih luas.

— [65]

Karena framing dapat alter the public's perception, para politikus tidak menyetujui cara permasalahan dibingkai. Hence, the way the issues are framed in the media reflects who is winning the battle. For instance, according to Robert Entman, professor of Communication at George Washington University, in the build-up to the Gulf War the conservatives were successful in making the debate whether to attack sooner or later, with no mention of the possibility of not attacking.[16]

One particular example of Lakoff's work that attained some degree of fame was his advice to rename[66] trial lawyers (unpopular in the United States) as "public protection attorneys". Though Americans have not generally adopted this suggestion, the Association of Trial Lawyers of America did rename themselves the "American Association of Justice", in what the Chamber of Commerce called an effort to hide their identity.[67]

The New York Times depicted similar intensity among Republicans:

In one recent memo, titled 'The 14 Words Never to Use,' [Frank] Luntz urged conservatives to restrict themselves to phrases from what he calls ... the 'New American Lexicon.' Thus, a smart Republican, in Luntz's view, never advocates 'drilling for oil'; he prefers 'exploring for energy.' He should never criticize the 'government,' which cleans our streets and pays our firemen; he should attack 'Washington,' with its ceaseless thirst for taxes and regulations. 'We should never use the word outsourcing,' Luntz wrote, 'because we will then be asked to defend or end the practice of allowing companies to ship American jobs overseas.'

— [65]

Dari perspektif politik, framing telah widespread consequences. For example, the concept of framing links with that of agenda-setting: by consistently invoking a particular frame, the framing party may effectively control discussion and perception of the issue. Sheldon Rampton and John Stauber in Trust Us, We're Experts illustrate how public-relations (PR) firms often use language to help frame a given issue, structuring the questions that then subsequently emerge. Sebagai contohnya, one firm advises clients to use "bridging language" that uses a strategy of answering questions with specific terms or ideas in order to shift the discourse from an uncomfortable topic to a more comfortable one.[68] Practitioners of this strategy might attempt to draw attention away from one frame in order to focus on another. As Lakoff notes, "On the day that George W. Bush took office, the words "tax relief" started coming out of the White House."[69] By refocusing the structure away from one frame ("tax burden" or "tax responsibilities"), individuals can set the agenda of the questions asked in the future.

Cognitive linguists point to an example of framing in the phrase "tax relief". In this frame, use of the concept "relief" entails a concept of (without mentioning the benefits resulting from) taxes putting strain on the citizen:

The current tax code is full of inequities. Many single moms face higher marginal tax rates than the wealthy. Couples frequently face a higher tax burden after they marry. The majority of Americans cannot deduct their charitable donations. Family farms and businesses are sold to pay the death tax. And the owners of the most successful small businesses share nearly half of their income with the government. President Bush's tax cut will greatly reduce these inequities. It is a fair plan that is designed to provide tax relief to everyone who pays income taxes.

— [70]

Alternative frames may emphasize the concept of taxes as a source of infrastructural support to businesses:

The truth is that the wealthy have received more from America than most Americans—not just wealth but the infrastructure that has allowed them to amass their wealth: banks, the Federal Reserve, the stock market, the Securities and Exchange Commission, the legal system, federally sponsored research, patents, tax supports, the military protection of foreign investments, and much much more. American taxpayers support the infrastructure of wealth accumulation. It is only fair that those who benefit most should pay their fair share.

— [71]

Frames can limit debate by setting the vocabulary and metaphors through which participants can comprehend and discuss an issue. They form a part not just of political discourse, but of cognition. In addition to generating new frames, politically oriented framing research aims to increase public awareness of the connection between framing and reasoning.

Examples

  • The initial response of the Bush administration to the assault of September 11, 2001 was to frame the acts of terror as crime. This framing was replaced within hours by a war metaphor, yielding the "War on Terror". The difference between these two framings is in the implied response. Crime connotes bringing criminals to justice, putting them on trial and sentencing them, whereas as war implies enemy territory, military action and war powers for government.[69][72]
  • The term "escalation" to describe an increase in American troop-levels in Iraq in 2007 implied that the United States deliberately increased the scope of conflict in a provocative manner and possibly implies that U.S. strategy entails a long-term military presence in Iraq, whereas "surge" framing implies a powerful but brief, transitory increase in intensity.[73]
  • The "bad apple" frame, as in the proverb "one bad apple spoils the barrel". This frame implies that removing one underachieving or corrupt official from an institution will solve a given problem; an opposing frame presents the same problem as systematic or structural to the institution itself—a source of infectious and spreading rot.[74]
  • The "taxpayers money" frame, rather than public or government funds, which implies that individual taxpayers have a claim or right to set government policy based upon their payment of tax rather than their status as citizens or voters and that taxpayers have a right to control public funds that are the shared property of all citizens and also privileges individual self-interest above group interest.[butuh rujukan]
  • The "collective property" frame, which implies that property owned by individuals is really owned by a collective in which those individuals are members. This collective can be a territorial one, such as a nation, or an abstract one that does not map to a specific territory.
  • Program-names that may describe only the intended effects of a program but may also imply their effectiveness. These include the following:
    • "Foreign aid"[75] (which implies that spending money will aid foreigners, rather than harm them)
    • "Social security" (which implies that the program can be relied on to provide security for a society)
    • "Stabilisation policy" (which implies that a policy will have a stabilizing effect).
  • Based on opinion polling and focus groups, ecoAmerica, a nonprofit environmental marketing and messaging firm, has advanced the position that global warming is an ineffective framing due to its identification as a leftist advocacy issue. The organization has suggested to government officials and environmental groups that alternate formulations of the issues would be more effective.[76]
  • In her 2009 book Frames of War, Judith Butler argues that the justification within liberal-democracies for war, and atrocities committed in the course of war, (referring specifically to the current war in Iraq and to Abu Ghraib and Guantanamo Bay) entails a framing of the (especially Muslim) 'other' as pre-modern/primitive and ultimately not human in the same way as citizens within the liberal order.[77]
  • Political leaders provide their personal photographers and videographers with access to private moments that are off-limits to journalists. The news media then faces an ethical dilemma of whether to republish freely available digital handouts that project the politician's desired frame but which might be newsworthy.[78]

Keefektifan

Menurut Susan T. Fiske dan Shelley E. Taylor, human beings are by nature "cognitive misers", artinya mereka lebih suka melakukan berpikir sesedikit mungkin.[79] Frames provide people a quick and easy way to process information. Hence, people will use the previously mentioned mental filters (a series of which is called a schema) to make sense of incoming messages. This gives the sender and framer of the information enormous power to use these schemas to influence how the receivers will interpret the message.[16] A recently published theory suggests that judged usability (i.e., the extent to which a consideration featured in the message is deemed usable for a given subsequent judgment) may be an important mediator of cognitive media effects like framing, agenda setting, and priming. Emphasizing judged usability leads to the revelation that media coverage may not just elevate a particular consideration, but may also actively suppress a consideration, rendering it less usable for subsequent judgments. The news framing process illustrates that among different aspects of an issue, a certain aspect is chosen over others to characterize an issue or event. For example, the issue of unemployment is described in terms of the cheap labor provided by immigrants. Exposure to the news story activates thoughts correspond to immigrants rather than thoughts related to other aspects of the issue (e.g., legislation, education, and cheap imports from other countries) and, at the same time, makes the former thoughts prominent by promoting their importance and relevance to the understanding of the issue at hand. That is, issue perceptions are influenced by the consideration featured in the news story. Thoughts related to neglected considerations become relegated to the degree that thoughts about a featured consideration are magnified.[80]

See also

References

  1. ^ a b c d Druckman, J.N. (2001). "The Implications of Framing Effects for Citizen Competence". Political Behavior. 23 (3): 225–56. doi:10.1023/A:1015006907312. 
  2. ^ a b Goffman, E. (1974). Frame analysis: An essay on the organization of experience. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  3. ^ Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. (2013) (May 3, 2012). Fundamentals of media effects. Waveland Press, Inc. ISBN 9781478608196. 
  4. ^ a b van der Pas, D. (2014). "Making Hay While the Sun Shines: Do Parties Only Respond to Media Attention When The Framing is Right?". Journal of Press/Politics. 19 (1): 42–65. doi:10.1177/1940161213508207. 
  5. ^ This example borrowed from Clifford Geertz: Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (1983), Basic Books 2000 paperback: ISBN 0-465-04162-0
  6. ^ Goffman offers the example of the woman bidding on a mirror at an auction who first examines the frame and surface for imperfections, and then "checks" herself in the mirror and adjusts her hat. See Goffman, Erving. Frame Analysis: An essay on the organization of experience. Boston: Northeastern University Press, 1986. ISBN 0-930350-91-X, p. 39. In each case the mirror represents more than simply a physical object.
  7. ^ Weaver, David H. (2007). "Thoughts on Agenda Setting, Framing, and Priming". Journal of Communication. 57: 142. doi:10.1111/j.1460-2466.2006.00333.x. 
  8. ^ Scheufele, Dietram A.; Iyengar, Shanto (2014). "The State of Framing Research: A Call for New Directions". Dalam Kenski, Kate; Jamieson, Kathleen Hall. The Oxford Handbook of Political Communication (edisi ke-Online). Oxford University Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780199793471.013.47. 
  9. ^ Scheufele, Dietram A.; Tewksbury, David H. (2009). "News framing theory and research". Dalam Bryant, Jennings; Oliver, Mary Beth. Media Effects: Advances in Theory and Research (edisi ke-3rd). Erlbaum. hlm. 17–33. ISBN 9780203877111. 
  10. ^ Rodelo, F. V. (2020). "Antecedents of strategic game and issue framing of local electoral campaigns in the Mexican context". Comunicación y Sociedad. 14 (1): 1. doi:10.32870/cys.v2020.7643. 
  11. ^ Gamson, W. A.; Modigliani, A. (1987). "The changing culture of affirmative action". Dalam Braungart, Richard G.; Braungart, Margaret M. Research in Political Sociology (dalam bahasa Inggris). 3. Greenwich, Conn.; London: JAI Press. hlm. 137–77. ISBN 978-0-89232-752-2. OCLC 495235993. 
  12. ^ a b c Snow, D. A., & Benford, R. D. (1988). Ideology, frame resonance, and participant mobilization. In B. Klandermans, H. Kriesi, & S. Tarrow (Eds.), International social movement research. Vol. 1, From structure on action: Comparing social movement research across cultures (pp. 197–217). Greenwich, CT: JAI Press.
  13. ^ Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. (May 3, 2012). Fundamentals of media effects. Waveland Press, Inc. ISBN 9781478608196. 
  14. ^ Iyengar, S. (1991). Is anyone responsible? How television frames political issues. Chicago: University of Chicago Press.
  15. ^ Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. (May 3, 2012). Fundamentals of media effects. Waveland Press, Inc. ISBN 9781478608196. 
  16. ^ a b c d e f g h i Entman, R.M. (1993). "Framing: Toward clarification of a fractured paradigm" (PDF). Journal of Communication. 43 (4): 51–58. CiteSeerX 10.1.1.495.2893alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1111/j.1460-2466.1993.tb01304.x. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-07-16. 
  17. ^ a b c d e f g h Nelson, T.E.; Clawson, R.A.; Oxley, Z.M. (1997). "Media framing of a civil liberties conflict and its effect on tolerance". American Political Science Review. 91 (3): 567–83. doi:10.2307/2952075. JSTOR 2952075. 
  18. ^ Bateson, G. (1972). Steps to an Ecology of Mind. New York: Ballantine Books. 
  19. ^ a b c Scheufele, D.A. (2000). "Agenda-setting, priming, and framing revisited: Another look at cognitive effects of political communication". Mass Communication & Society. 3 (2&3): 297–316. doi:10.1207/S15327825MCS0323_07. 
  20. ^ Gitlin, T. (1980). The Whole World is Watching: Mass Media in the Making and Unmaking of the New Left. Berkeley, CA: University of California Press. 
  21. ^ a b c d e f g h Iyengar, S. (1991). Is Anyone Responsible? How Television Frames Political Issues. Chicago: University of Chicago Press. 
  22. ^ a b c Rodriguez, Lulu; Dimitrova, Daniela V. (2011-01-01). "The levels of visual framing". Journal of Visual Literacy. 30 (1): 48–65. doi:10.1080/23796529.2011.11674684. ISSN 1051-144X. 
  23. ^ "Reading Images: A Grammar of Visual Design | Request PDF". ResearchGate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-28. 
  24. ^ Powell, Thomas; Boomgaarden, Hajo; Swert, Knut; Vreese, Claes (November 2015). "A Clearer Picture: The Contribution of Visuals and Text to Framing Effects". Journal of Communication. 65 (6): 997–1017. doi:10.1111/jcom.12184 – via ResearchGate. 
  25. ^ Sikorski, Christian; Schierl, Thomas; Möller, Carsten (March 2012). "Visual News Framing and Effects on Recipients' Attitudes Toward Athletes With Physical Disabilities". International Journal of Sport Communication – via ResearchGate. 
  26. ^ a b c d Wyer Jr., R.S.; Srull, T.K. (1984). "Category Accessibility: Some theoretic and empirical issues concerning the processing of social stimulus information". Dalam E.T. Higgins; N.A. Kuiper; M.P Zanna. Social Cognition: The Ontario Symposium. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. 
  27. ^ Kosicki, G.M. (1993). "Problems and opportunities in Agenda-setting research". Journal of Communication. 43 (2): 100–27. doi:10.1111/j.1460-2466.1993.tb01265.x. 
  28. ^ McCombs, M.E.; Shaw, D.L. (1993). "The evolution of agenda-setting research: Twenty-five years in the marketplace of ideas". Journal of Communication. 43 (2): 58–67. doi:10.1111/j.1460-2466.1993.tb01262.x. 
  29. ^ a b McCombs, M.F.; Llamas, J.P.; Lopez-Escobar, E.; Rey, F. (1997). "Candidate images in Spanish elections: Second-level agenda-setting effects". Journalism & Mass Communication Quarterly. 74 (4): 703–17. doi:10.1177/107769909707400404. 
  30. ^ a b c Chong, Dennis; Druckman, James N. (2007). "Framing Theory". Annual Review of Political Science. 10: 103–126. doi:10.1146/annurev.polisci.10.072805.103054alt=Dapat diakses gratis. 
  31. ^ a b Kahneman, D.; Tversky, A. (1984). "Choices, values, and frames". American Psychologist. 39 (4): 341–50. doi:10.1037/0003-066X.39.4.341. 
  32. ^ Cacciatore, Michael A.; Dietram A. Scheufele; Shanto Iyengar (2016). "The End of Framing as We Know It … and the Future of Media Effects". Mass Communication and Society. 19 (1): 7–23. doi:10.1080/15205436.2015.1068811. 
  33. ^ a b Tversky, Amos; Kahneman, Daniel (1981). "The Framing of Decisions and the Psychology of Choice". Science. 211 (4481): 453–58. Bibcode:1981Sci...211..453T. doi:10.1126/science.7455683. PMID 7455683. 
  34. ^ "Decision-Making Under Uncertainty – Advanced Topics: An Introduction to Prospect Theory". Econport. Diakses tanggal 2021-10-08. 
  35. ^ Perneger TV, Agoritsas T (2011). "Doctors and Patients' Susceptibility to Framing Bias: A Randomized Trial". J Gen Intern Med. 26 (12): 1411–17. doi:10.1007/s11606-011-1810-x. PMC 3235613alt=Dapat diakses gratis. PMID 21792695. 
  36. ^ Malenka, David J.; Baron, John A.; Johansen, Sarah; Wahrenberger, Jon W.; Ross, Jonathan M. (1993). "The framing effect of relative and absolute risk". Journal of General Internal Medicine. 8 (10): 543–548. doi:10.1007/bf02599636. PMID 8271086. 
  37. ^ Price, Vincent; Tewksbury, David; Powers, Elizabeth (1997). "Switching Trains of Thought". Communication Research. 24 (5): 481–506. doi:10.1177/009365097024005002. 
  38. ^ De Martino, B.; Kumaran, D.; Seymour, B.; Dolan, R. J. (2006). "Frames, biases, and rational decision-making in the human brain". Science. 313 (5787): 684–87. Bibcode:2006Sci...313..684D. doi:10.1126/science.1128356. PMC 2631940alt=Dapat diakses gratis. PMID 16888142. 
  39. ^ Bert Klandermans. 1997. The Social Psychology of Protest. Oxford: Blackwell, p. 45
  40. ^ Erving Goffman (1974). Frame Analysis: An essay on the organization of experience. Cambridge: Harvard University Press, 1974, p. 21.
  41. ^ Kenneth Boulding: The Image: Knowledge in Life and Society, University of Michigan Press, 1956)
  42. ^ Snow, D. A.; Rochford, E. B.; Worden, S. K.; Benford, R. D. (1986). "Frame alignment processes, micromobilization, and movement participation". American Sociological Review. 51 (4): 464–481. doi:10.2307/2095581. JSTOR 2095581. 
  43. ^ Jim A. Kuypers, "Framing Analysis" in Rhetorical Criticism: Perspectives in Action, edited by J.A. Kuypers, Lexington Press, 2009. p. 181.
  44. ^ Rhetorical Criticism: Perspectives in Action
  45. ^ Kuypers, Jim A. "Framing Analysis as a Rhetorical Process," Doing News Framing Analysis. Paul D'Angelo and Jim A. Kuypers, eds. (New York: Routeledge, 2010).
  46. ^ Jim A. Kuypers, Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2009.
  47. ^ Armstrong, Anne K.; Krasny, Marianne E.; Schuldt, Jonathon P. (2019). "8. Framing Climate Change". Communicating Climate Change. hlm. 57–69. doi:10.7591/9781501730801-012. ISBN 9781501730801. 
  48. ^ a b Steentjes, Katharine; Kurz, Tim; Barreto, Manuela; Morton, Thomas A. (2017). "The norms associated with climate change: Understanding social norms through acts of interpersonal activism" (PDF). Global Environmental Change (dalam bahasa Inggris). 43: 116–125. doi:10.1016/j.gloenvcha.2017.01.008. 
  49. ^ a b c d Markowitz, Ezra M.; Shariff, Azim F. (2012). "Climate change and moral judgement". Nature Climate Change (dalam bahasa Inggris). 2 (4): 243–247. Bibcode:2012NatCC...2..243M. doi:10.1038/nclimate1378. ISSN 1758-678X. 
  50. ^ a b Feinberg, Matthew; Willer, Robb (2011). "Apocalypse Soon?: Dire Messages Reduce Belief in Global Warming by Contradicting Just-World Beliefs". Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 22 (1): 34–38. doi:10.1177/0956797610391911. ISSN 0956-7976. PMID 21148457. 
  51. ^ a b c d Kleres, Jochen; Wettergren, Åsa (2017-09-03). "Fear, hope, anger, and guilt in climate activism". Social Movement Studies. 16 (5): 507–519. doi:10.1080/14742837.2017.1344546 (tidak aktif October 31, 2021). 
  52. ^ a b c d Scott, Britain (2016). Psychology for sustainability (4th ed.). New York, NY: Psychology Press. 
  53. ^ Lecheler, Sophie (2019-02-27), "Framing Effects in Political Communication", Political Science (dalam bahasa Inggris), Oxford University Press, doi:10.1093/obo/9780199756223-0269, ISBN 978-0-19-975622-3, diakses tanggal 2021-10-15 
  54. ^ a b Hazboun, Shawn Olson; Briscoe, Michael; Givens, Jennifer; Krannich, Richard (2019). "Keep quiet on climate: Assessing public response to seven renewable energy frames in the Western United States". Energy Research & Social Science (dalam bahasa Inggris). 57: 101243. doi:10.1016/j.erss.2019.101243. 
  55. ^ Osmundsen, Mathias; Petersen, Michael Bang (February 2020). "Framing Political Risks: Individual Differences and Loss Aversion in Personal and Political Situations". Political Psychology (dalam bahasa Inggris). 41 (1): 53–70. doi:10.1111/pops.12587. ISSN 0162-895X. 
  56. ^ Brooks, Clem (2012-08-29). "Chapter Seven. Framing Theory, Welfare Attitudes, and the United States Case". Contested Welfare States (dalam bahasa Inggris). Stanford University Press. hlm. 193–221. doi:10.1515/9780804783170-010. ISBN 978-0-8047-8317-0. 
  57. ^ Esmark, Anders; Schoop, Sarah R (December 2017). "Deserving social benefits? Political framing and media framing of 'deservingness' in two welfare reforms in Denmark". Journal of European Social Policy (dalam bahasa Inggris). 27 (5): 417–432. doi:10.1177/0958928716688262. ISSN 0958-9287. 
  58. ^ a b Kronsell, Annica; Smidfelt Rosqvist, Lena; Winslott Hiselius, Lena (2016-09-13). "Achieving climate objectives in transport policy by including women and challenging gender norms: The Swedish case". International Journal of Sustainable Transportation (dalam bahasa Inggris). 10 (8): 703–711. doi:10.1080/15568318.2015.1129653. ISSN 1556-8318. 
  59. ^ a b Brough, Aaron R.; Wilkie, James E. B.; Ma, Jingjing; Isaac, Mathew S.; Gal, David (2016). "Is Eco-Friendly Unmanly? The Green-Feminine Stereotype and Its Effect on Sustainable Consumption". Journal of Consumer Research (dalam bahasa Inggris). 43 (4): 567–582. doi:10.1093/jcr/ucw044. ISSN 0093-5301. 
  60. ^ Zelinsky, Edward A. (2005). "Do Tax Expenditures Create Framing Effects – Volunteer Firefighters, Property Tax Exemptions, and the Paradox of Tax Expenditure Analysis". Virginia Tax Review. 24: 797–830. 
  61. ^ Jim A. Kuypers, Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age (Lanham, MD: Rowman and Littlefield, 2006),
  62. ^ Jim A. Kuypers, Stephen D. Cooper, Matthew T. Althouse, "George W. Bush, The American Press, and the Initial Framing of the War on Terror after 9/11," The George W. Bush Presidency: A Rhetorical Perspective, Robert E. Denton, ed. (Lanham, MD: Lexington Books, 2012), 89–112.
  63. ^ Jim A. Kuypers, Stephen D. Cooper, Matthew T. Althouse, "George W. Bush, "The American Press, and the Initial Framing of the War on Terror after 9/11," The George W. Bush Presidency: A Rhetorical Perspective, Robert E. Denton, ed. (Lanham, MD: Lexington Books, 2012), 105.
  64. ^ Entman, R. M. (1991). "Symposium Framing U.S. Coverage of International News: Contrasts in Narratives of the KAL and Iran Air Incidents". Journal of Communication. 41 (4): 6–27. doi:10.1111/j.1460-2466.1991.tb02328.x. 
  65. ^ a b The Framing Wars. The New York Times 17 July 2005
  66. ^ Walter Olson, Overlawyered weblog Diarsipkan 2007-07-07 di Wayback Machine., 2005-07-18
  67. ^ Al Kamen, "Forget Cash – Lobbyists Should Set Support for Lawmakers in Stone", The Washington Post, 2007-01-17
  68. ^ Rampton, Sheldon and Stauber, John. Trust Us, We're Experts! Putnam Publishing, New York, NY, 2002. p. 64.
  69. ^ a b Lakoff, George (2004). Don't think of an elephant!: know your values and frame the debatePerlu mendaftar (gratis). Chelsea Green Publishing. hlm. 56. ISBN 978-1-931498-71-5. 
  70. ^ The President's Agenda for Tax Relief retrieved 3 July 2007.
  71. ^ Lakoff, G. (2006). "Simple framing: an introduction to framing and its uses in politics". Cognitive Policy Works/Rockridge Institute
  72. ^ Zhang, Juyan (2007). "Beyond anti-terrorism: Metaphors as message strategy of post-September-11 U.S. public diplomacy". Public Relations Review. 33 (1): 31–39. doi:10.1016/j.pubrev.2006.11.006. 
  73. ^ Lakoff, G. (2007). "It's Escalation, Stupid." Alternet retrieved 3 July 2007
  74. ^ "The Rumsfeld Dilemma: Demand an Exit Strategy, Not a Facelift" by Bruce Budner, in The Huffington Post 15 September 2006
  75. ^ Bleich, Sara (2007). "Is It All in a Word? The Effect of Issue Framing on Public Support for U.S. Spending on HIV/AIDS in Developing Countries". Harvard International Journal of Press/Politics. 12 (2): 120–132. doi:10.1177/1081180X07299797. 
  76. ^ "Seeking to Save the Planet, With a Thesaurus" article by John M. Broder in The New York Times May 1, 2009
  77. ^ Butler, J. (2009), Frames of War, London: Verso.
  78. ^ Marland, Alex (2012). "Political photography, journalism and framing in the digital age: Management of visual media by the prime minister of Canada". International Journal of Press/Politics. 17 (2): 214–233. doi:10.1177/1940161211433838. 
  79. ^ Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (1991). Social cognition (2nd ed.). New York: McGraw-Hill
  80. ^ Lee, B., Mcleod, D. (2020). Reconceptualizing Cognitive Media Effects Theory and Research Under the Judged Usability Model. Review of Communication Research, 8, 17–50. doi: 10.12840/ISSN.2255-4165.022
Bibliography

Further reading

  • Baars, B. A cognitive theory of consciousness, NY: Cambridge University Press 1988, ISBN 0-521-30133-5.
  • Boulding, Kenneth E. (1956). The Image: Knowledge in Life and Society. Michigan University Press.
  • Carruthers, P. (2003). "On Fodor's Problem". Mind and Language. 18 (5): 502–23. doi:10.1111/1468-0017.00240. 
  • Clark, A. (1997), Being There: Putting Brain, Body, and World Together Again, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Cutting, Hunter and Makani Themba Nixon (2006). Talking the Walk: A Communications Guide for Racial Justice: AK Press
  • Dennett, D. (1978), Brainstorms, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Fairhurst, Gail T. and Sarr, Robert A. 1996. The Art of Framing: Managing the Language of Leadership. Jossey-Bass, Inc.
  • Feldman, Jeffrey. (2007), Framing the Debate: Famous Presidential Speeches and How Progressives Can Use Them to Control the Conversation (and Win Elections). Brooklyn, NY: Ig Publishing.
  • Fodor, J.A. (1983), The Modularity of Mind, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Fodor, J.A. (1987), "Modules, Frames, Fridgeons, Sleeping Dogs, and the Music of the Spheres", in Pylyshyn (1987).
  • Fodor, J.A. (2000), The Mind Doesn't Work That Way, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Ford, K.M. & Hayes, P.J. (eds.) (1991), Reasoning Agents in a Dynamic World: The Frame Problem, New York: JAI Press.
  • Goffman, Erving. 1974. Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience. London: Harper and Row.
  • Goffman, E. (1974). Frame Analysis. Cambridge: Harvard University Press.
  • Goffman, E. (1959). Presentation of Self in Everyday Life. New York: Doubleday.
  • Gonzalez, Cleotilde; Dana, Jason; Koshino, Hideya; Just, Marcel (2005). "The framing effect and risky decisions: Examining cognitive functions with fMRI" (PDF). Journal of Economic Psychology. 26: 1–20. doi:10.1016/j.joep.2004.08.004. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal June 11, 2007. 
  • Goodman, N. (1954), Fact, Fiction, and Forecast, Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • Hanks, S.; McDermott, D. (1987). "Nonmonotonic Logic and Temporal Projection". Artificial Intelligence. 33 (3): 379–412. doi:10.1016/0004-3702(87)90043-9. 
  • Haselager, W.F.G. (1997). Cognitive science and folk psychology: the right frame of mind. London: Sage
  • Haselager, W.F.G.; Van Rappard, J.F.H. (1998). "Connectionism, Systematicity, and the Frame Problem" (PDF). Minds and Machines. 8 (2): 161–79. doi:10.1023/A:1008281603611. 
  • Hayes, P.J. (1991), "Artificial Intelligence Meets David Hume: A Reply to Fetzer", in Ford & Hayes (1991).
  • Heal, J. (1996), "Simulation, Theory, and Content", in Theories of Theories of Mind, eds. P. Carruthers & P. Smith, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 75–89.
  • Johnson-Cartee, K. (2005). News narrative and news framing: Constructing political reality. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Kendall, Diana, Sociology In Our Times, Thomson Wadsworth, 2005, ISBN 0-534-64629-8 Google Print, p. 531
  • Klandermans, Bert. 1997. The Social Psychology of Protest. Oxford: Blackwell.
  • Lakoff, G. & Johnson, M. (1980), Metaphors We Live By, Chicago: University of Chicago Press.
  • Leites, N. & Wolf, C., Jr. (1970). Rebellion and authority. Chicago: Markham Publishing Company.
  • Martino, De; Kumaran, D; Seymour, B; Dolan, RJ (2006). "Frames, Biases, and Rational Decision-Making in the Human Brain". Science. 313 (5787): 684–87. Bibcode:2006Sci...313..684D. doi:10.1126/science.1128356. PMC 2631940alt=Dapat diakses gratis. PMID 16888142. 
  • McAdam, D., McCarthy, J., & Zald, M. (1996). Introduction: Opportunities, Mobilizing Structures, and Framing Processes—Toward a Synthetic, Comparative Perspective on Social Movements. In D. McAdam, J. McCarthy & M. Zald (Eds.), Comparative Perspectives on Social Movements; Political Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural Framings (pp. 1–20). New York: Cambridge University Press.
  • McCarthy, John (1986). "Applications of circumscription to formalizing common-sense knowledge". Artificial Intelligence. 28 (1): 89–116. doi:10.1016/0004-3702(86)90032-9. 
  • McCarthy, J. & Hayes, P.J. (1969), "Some Philosophical Problems from the Standpoint of Artificial Intelligence", in Machine Intelligence 4, ed. D.Michie and B.Meltzer, Edinburgh: Edinburgh University Press, pp. 463–502.
  • McDermott, D. (1987), "We've Been Framed: Or Why AI Is Innocent of the Frame Problem", in Pylyshyn (1987).
  • Mithen, S. (1987), The Prehistory of the Mind, London: Thames & Hudson.
  • Nelson, T. E.; Oxley, Z. M.; Clawson, R. A. (1997). "Toward a psychology of framing effects". Political Behavior. 19 (3): 221–46. doi:10.1023/A:1024834831093. 
  • Pan, Z.; Kosicki, G. M. (1993). "Framing analysis: An approach to news discourse". Political Communication. 10 (1): 55–75. doi:10.1080/10584609.1993.9962963. 
  • Pan. Z. & Kosicki, G. M. (2001). Framing as a strategic action in public deliberation. In S. D. Reese, O. H. Gandy, Jr., & A. E. Grant (Eds.), Framing public life: Perspectives on media and our understanding of the social world, (pp. 35–66). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
  • Pan, Z. & Kosicki, G. M. (2005). Framing and the understanding of citizenship. In S. Dunwoody, L. B. Becker, D. McLeod, & G. M. Kosicki (Eds.), Evolution of key mass communication concepts, (pp. 165–204). New York: Hampton Press.
  • Pylyshyn, Zenon W. (ed.) (1987), The Robot's Dilemma: The Frame Problem in Artificial Intelligence, Norwood, NJ: Ablex.
  • Stephen D. Reese, Oscar H. Gandy and August E. Grant. (2001). Framing Public Life: Perspectives on Media and Our Understanding of the Social World. Maywah, New Jersey: Lawrence Erlbaum. ISBN 978-0-8058-3653-0
  • Russell, S. & Wefald, E. (1991), Do the Right Thing: Studies in Limited Rationality, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Scheufele, DA; Dietram, A. (1999). "Framing as a theory of media effects". Journal of Communication. 49 (1): 103–22. doi:10.1111/j.1460-2466.1999.tb02784.x. 
  • Shanahan, Murray P. (1997), Solving the Frame Problem: A Mathematical Investigation of the Common Sense Law of Inertia, Cambridge, MA: MIT Press. ISBN 0-262-19384-1
  • Shanahan, Murray P. (2003), "The Frame Problem", in The Macmillan Encyclopedia of Cognitive Science, ed. L.Nadel, Macmillan, pp. 144–50.
  • Simon, Herbert (1957), Models of Man, Social and Rational: Mathematical Essays on Rational Human Behavior in a Social Setting, New York: John Wiley. OCLC 165735
  • Snow, D. A.; Benford, R. D. (1988). "Ideology, frame resonance, and participant mobilization". International Social Movement Research. 1: 197–217. 
  • Snow, D. A.; Rochford, E. B.; Worden, S. K.; Benford, R. D. (1986). "Frame alignment processes, micromobilization, and movement participation". American Sociological Review. 51 (4): 464–81. doi:10.2307/2095581. JSTOR 2095581. 
  • Sperber, D.; Wilson, D. (1996). "Fodor's Frame Problem and Relevance Theory". Behavioral and Brain Sciences. 19 (3): 530–32. doi:10.1017/S0140525X00082030. 
  • Tarrow, S. (1983a). "Struggling to Reform: social Movements and policy change during cycles of protest". Western Societies Paper No. 15. Ithaca, NY: Cornell University.
  • Tarrow, S. (1983b). "Resource mobilization and cycles of protest: Theoretical reflections and comparative illustrations". Paper presented at the Annual Meeting of the American Sociological Association, Detroit, August 31 – September 4.
  • Triandafyllidou, A.; Fotiou, A. (1998). "Sustainability and Modernity in the European Union: A Frame Theory Approach to Policy-Making". Sociological Research Online. 3 (1): 60–75. doi:10.5153/sro.99. 
  • Tilly, C., Tilly, L., & Tilly, R. (1975). The rebellious century, 1830–1930. Cambridge, MA: Cambridge University Press.
  • Turner, R. H., & Killian, L. M. (1972). Collective Behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
  • Tversky, Amos; Kahneman, Daniel (1986). "Rational Choice and the Framing of Decisions" (PDF). The Journal of Business. 59 (4): S251–S278. doi:10.1086/296365. JSTOR 2352759. 
  • Wilkerson, W.S. (2001). "Simulation, Theory, and the Frame Problem". Philosophical Psychology. 14 (2): 141–53. doi:10.1080/09515080120051535. 
  • Willard, Charles Arthur. Liberalism and the Social Grounds of Knowledge Chicago: University of Chicago Press, 199

Pranala luar

Templat:Disinformation

Templat:Media culture Templat:Media manipulation

Templat:World view