Lompat ke isi

Bendera dan lambang Majapahit

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Representasi modern dari warna kebesaran kerajaan Majapahit

Bendera Majapahit mengacu pada warna kebesaran yang digunakan untuk merepresentasikan kerajaan Majapahit.[1] Akan tetapi, sifat dari bagaimana warna itu digunakan dan direpresentasikan masih menjadi subjek studi dan perbedaan pendapat di antara para sejarawan.

Sampai sekarang bendera ini dikibarkan oleh TNI-AL dalam Kapal Republik Indonesia (KRI) sebagai bendera maritim, dengan nama panji "Ular-Ular Perang".

Bendera kemaharajaan Majapahit masih dipakai sebagai bendera TNI-AL dalam Kapal Republik Indonesia (KRI) sebagai bendera maritim, dengan nama panji "Ular-Ular Perang"

Sejarah

Panji merah putih tercatat dalam prasasti Kudadu dengan angka tahun 1294 M. Dalam prasasti tersebut diceritakan bahwa panji-panji merah putih dikibarkan oleh pasukan Jayakatwang dari Daha yang sedang mengejar pasukan Raden Wijaya.[2] Piagam Merah Putih adalah sebutan nama lain dari prasasti Kudadu.[3]

Saat raja Hayam Wuruk melakukan lawatan ke seluruh negeri Majapahit, warna merah putih dicatat digunakan sebagai penanda rombongan. Dicatat pada Nagarakretagama pupuh 18 bait 3–4:[4]

Bait 3

  1. saɳ çri natheɳ pajaɳ kwehni rathanira padacihnaniɳ handiwaçri,[i]
  2. ndan / çri natheɳ lasem / sök / rathanira matulis / nandaka çweta çobha,
  3. saɳ çri natheɳ daha cihna sadak akusuma[ii] syandanabhratulis mas,
  4. mukyaɳ çri jiwanendrasakata samasama cihna lobheɳ lwih sök.

Bait 4

  1. ndan saɳ çri tiktawilwaprabhu sakataniraçankya cihnanya wilwa,
  2. griɳsiɳ lobheɳ lwih laka pada tinulis iɳ mas kajaɳnyan rinenga,
  3. salwirniɳ pungawamwat / bini haji nuniweh .. çwari çri sudewi,
  4. sakwehniɳ pekabharyya sakata nika sinaɳ panharpniɳ sapanta.

Terjemahannya:[7]

Bait 3

  1. Pelindung Pajang yang terhormat, jumlah yang agung kereta-keretanya memiliki tanda handiwa (aren), mulia.
  2. Kemudian, Pelindung Lasem yang terhormat, yang ramai adalah keretanya, dengan gambar: banteng putih, indah.
  3. Pelindung agung Daha yang terhormat memiliki tanda: sadak (daun sirih) dengan bunga; gerobak-gerobak itu berkilauan dengan gambar-gambar dari emas.
  4. Yang paling terkemuka adalah penguasa Jiwana yang agung, dengan kereta semuanya sama memiliki tanda: tokoh lobheng lewih, ramai.

Bait 4

  1. Kemudian Yang Mulia Prabhu Tikta Wilwa (Majapahit) yang terhormat, keretanya tidak terhitung, tandanya adalah wilwa (buah maja / Aegle marmelos).
  2. Dari gringsing, lobheng-lewih, laka, sama-sama digambar dengan emas, adalah kajang (tabir) mereka, dengan ornamen.
  3. Segala macam punggawa (pelayan agung) mengiringi bini haji (wanita keputren), dan juga permaisuri Sri Sudewi yang Mulia.
  4. Semua istri pengikut, kereta-kereta mereka itu terbuka, menjadi barisan depan seluruh kelompok.

Dari terjemahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Rombongan Lambang Motif Warna Catatan
Mahapatih Gajah Mada Pupulutan (Urena lobata) - -
Penguasa Pajang Handiwa—Aren (Arenga pinnata) - Warna gelap Menurut Pigeaud, saudara perempuan Hayam Wuruk
Penguasa Lasem Banteng putih - Putih Menurut Pigeaud, sepupu perempuan Hayam Wuruk
Penguasa Daha Daun sirih dengan bunga - Hijau dan emas Menurut Pigeaud, bibi Hayam Wuruk
Penguasa Jiwana - Motif lobheng lewih Merah dan putih Penguasa Jiwana-Kahuripan menurut Pigeaud adalah ibu sang Raja, jadi menggunakan warna merah putih
Raja Hayam Wuruk Buah maja Motif gringsing, motif lobheng lewih Hitam putih, merah putih, laka (merah), mas (emas)

Warna merah dan putih digunakan sebagai warna kajang—berarti tirai samping kereta atau atap berbentuk setengah silinder, terbuat dari daun lontar yang direkatkan atau dianyam. Kombinasi merah-putih dianggap sebagai yang paling mulia.[8]

Lobheng lewih adalah nama motif hiasan untuk lukisan, gambar, atau tekstil.[6] Motif ini berwarna merah dan putih, kombinasinya disebut gula-kalapa, yang merupakan lawan dari pare-anom, yaitu warna hijau dan emas, yang digunakan Daha. Kombinasi merah dan putih dianggap paling agung di Jawa.[8]

Gringsing juga merupakan nama dari motif dekorasi, terutama untuk tenunan dan batik. Mungkin warnanya putih dan hitam, berbintik-bintik atau bertitik.[8]

Soekarno menggambarkan panji maritim Majapahit dengan garis selang-seling warna merah dan putih, dengan nama Sang Getih-Getah.[9]

Lambang negara

Lambang negara Majapahit (rajasa lancana) disebutkan dalam Nagarakretagama pupuh 18 bait 4. Dicatat bahwa saat raja Hayam Wuruk pergi ke Lumajang, kereta sang raja memiliki cihna, yakni tanda pengenal.[10] Lambangnya adalah wilwa (bahasa Sanskerta untuk buah majaAegle marmelos). Bentuk buah maja yang bulat mungkin diasosiasikan dengan posisi raja dan ibukota Majapahit sebagai pusat dari mandala Majapahit.[8]

Catatan

  1. ^ H. Kern menulis diwaçaçri, yang menurut Pigeaud tidak masuk akal. Perbaikan katanya adalah handiwaçri, handiwa adalah nama dari aren.[5]
  2. ^ N.J. Krom menulis sadahakusuma, yang menurut Pigeaud tidak masuk akal. Bacaan aslinya mungkin adalah sadak akusuma, daun sirih berbunga.[6]

Bendera lainnya

Bendera dengan bentuk serupa:

Referensi

  1. ^ Wasitaatmadja 2018, hlm. 21.
  2. ^ Yamin 1954, hlm. 90-92, 137-150.
  3. ^ Windoe, Kandi (2-05-2015). "Melihat Kibar Bendera Merah Putih dan Nusantara Sebelum Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 14-09-2020. Diakses tanggal 12-03-2018. 
  4. ^ Pigeaud 1962, hlm. 53-58.
  5. ^ Pigeaud 1960b, hlm. 38.
  6. ^ a b Pigeaud 1960b, hlm. 39.
  7. ^ Pigeaud 1960c, hlm. 24.
  8. ^ a b c d Pigeaud 1962, hlm. 58.
  9. ^ Ranoewidjojo, Romo Dony S. (2021). "Bendera Gula Kelapa dan Kontras Bayangan Wayang Kulit Nusantara". Majalah Adiluhung Edisi 28: Wayang, Keris, Batik, dan Kuliner Tradisional. PT Daniasta Perdana. hlm. 18. 
  10. ^ Muljana 2005, hlm. 58-59.

Daftar pustaka

  • Muljana, Raden Benedictus Slamet (2005). Al-Fayyadl, Muhammad, ed. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960a). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume I: Javanese Texts in Transcription (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960b). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume II: Notes on the Texts and the Translations (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-011-8774-9. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960c). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume III: Translations (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-011-8772-5. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume IV: Commentaries and Recapitulations (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-017-7133-7. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1963). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume V: Glossary, General Index (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-011-8778-7. 
  • Prapanca, Mpu (2018). Isidora, ed. Kakawin Nagarakertagama: Teks Asli dan Terjemahan. Diterjemahkan oleh Saktiani, Damaika; Widya, Kartika; Aminullah, Zakaria Pamuji; Marginingrum, Novi; Septi, Neda (edisi ke-2 (revisi)). Yogyakarta: Narasi. ISBN 978-979-168-553-5. 
  • Yamin, Mohammad (1954). 600 Tahun Sang Merah-Putih, jaitu Uraian Tentang Hasil-Penjelidikan Sedjarah dan Arti jang dikandung Sang Merah-Putih Sebagai Warna-Kebangsaan. Penerbit Siguntang. 
  • Wasitaatmadja, Fokky Fuad (2018). Spiritualisme Pancasila. Prenada Media. ISBN 9786024222673.