Lompat ke isi

Lancaran (kapal)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sebuah lanchara sebagaimana digambar oleh Manuel Godinho de Erédia, 1613.

Lancaran adalah jenis kapal yang digunakan di Nusantara. Meskipun dalam bentuknya mirip dengan galai Mediterania, lancaran adalah tulang punggung armada regional di bagian Barat Nusantara sebelum pengaruh Mediterania datang.[1] Untuk armada perang mereka, orang Melayu lebih suka menggunakan kapal-kapal panjang dengan sarat air dangkal, berdayung, yang mirip dengan galai; contohnya lancaran, ghurab, dan ghali. Hal ini sangat berbeda dengan orang Jawa yang lebih menyukai kapal-kapal bundar dengan sarat air yang dalam dan dapat mencapai jarak jauh seperti jong dan malangbang. Alasan perbedaan ini adalah karena orang Melayu mengoperasikan kapal mereka di perairan sungai, zona selat terlindung, dan lingkungan kepulauan, sedangkan orang Jawa sering aktif di laut lepas dan berombak tinggi.[2]:270-277, 290-291, 296-301[3]:148, 155

Etimologi

Kata lancaran berasal dari kata Melayu "lancar", yang berarti "cepat", "laju", "tidak tersendat", dan "kecepatan tanpa susah payah". Jadi kata lancaran bisa diartikan sebagai "perahu yang laju (lancar) jalannya".[4]

Deskripsi

Sebuah galai atau lancaran dari Madura, 1601. Perhatikan adanya 'balai' (panggung tempur terangkat), tiga cetbang menghadap ke depan, dan setidaknya satu cetbang yang terletak di dekat bagian belakang kapal.

Lancaran adalah kapal yang cepat, yang digerakkan dengan dayung dan layar dengan dua kemudi di sisi buritan. Lancaran lebih tinggi dari galai tapi sama panjangnya.[5] Ia memiliki satu, dua, atau tiga tiang dengan layar jung atau layar tanja (layar persegi yang miring). Lancaran dapat membawa 150–200 kru. Lancaran dapat dilengkapi dengan beberapa lela (meriam sedang setara dengan falconet) dan meriam putar dari jenis cetbang dan rentaka. Fitur yang membedakan dari galai adalah adanya panggung tempur yang disebut balai, di mana prajurit laut Asia Tenggara biasanya berdiri dan melakukan tindakan boarding (melompat ke kapal musuh).[1] Lancaran niaga mempunyai daya angkut 150 ton. Lancaran Sunda memiliki tiang layar yang unik berbentuk seperti derek, dengan tangga disetiapnya agar mudah dinaiki.[6]

Peran

Lancaran digunakan sebagai kapal perang dan kapal niaga. Pada abad ke 14–15 masehi, kerajaan Singapura dan Sungai Raya masing-masing memiliki 100 buah lancaran bertiang tiga.[7] Pada serangan Kesultanan Demak ke portugis di Malaka pada tahun 1512–1513, lancaran digunakan sebagai angkutan pasukan bersenjata untuk mendarat ke pantai bersama penjajap dan kelulus, karena jung Jawa terlalu besar untuk mendekati pantai.[8]:74 Lancaran adalah jenis kapal lain yang dihitungnya setiap sampai pada suatu pelabuhan setelah kapal jung dan penjajap.[6]:185, 195

Sebuah kapal mirip galai milik Aceh menarik sebuah perahu, saat pengepungan Malaka tahun 1568. Ia memiliki 3 tiang dan kemudi ganda, juga digerakkan dengan 12 baris dayung. Karena memiliki 3 tiang, ia mungkin merupakan "lancaran bertiang tiga".

Lancaran kerajaan dari Lingga dikatakan membawa 200 orang dan seukuran galias besar (yaitu lebih besar dari galai biasa). Lancaran biasa dari Pasai dikatakan membawa 150 orang, dan berada di bawah komando kapten Jawa. Yang besar dengan 300 kru dikatakan merupakan kapal milik Jawa. Pada tahun 1520-an ada lancaran-lancaran kecil dari Bintan dan Pahang, dengan kru 50–60 orang, dipersenjatai 1 buah berço (meriam putar isian belakang, mungkin merujuk ke cetbang), tetapi memiliki panah, tombak dan galah kayu. Nicolau Pereira saat penyerbuan Malaka oleh Aceh tahun 1568 mengatakan bahwa di Aceh kapal yang ada merupakan lancaran. Ia memiliki dua baris pendayung dan sama panjang dengan galai.[9] Sebuah karya anonim yang menggambarkan pengepungan tahun 1568 menunjukkan sebuah kapal dengan kemudi samping ganda dan 3 tiang, bersesuaian dengan "lancaran bertiang tiga" yang disebut dalam teks-teks Melayu.[1]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c Wade, Geoff (2012). Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 148–151. ISBN 978-9814311960. 
  2. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8. 
  3. ^ Manguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali. In G. Wade & L. Tana (Eds.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (hlm. 146–182). Singapore: ISEAS Publishing.
  4. ^ Collins English Dictionary, Second Edition, Collins (London & Glasgow), 1986, hlm. 868, ISBN 0 00 433135-4.
  5. ^ Roy, Kaushik (2014). Military Transition in Early Modern Asia, 1400-1750: Cavalry, Guns, Government and Ships. A&C Black. hlm. 156. ISBN 1780938136. 
  6. ^ a b Cortesão, Armando (1944). The Suma oriental of Tomé Pires : an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515 ; and, the book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red Sea, nautical rules, almanack and maps, written and drawn in the East before 1515 volume I. London: The Hakluyt Society. ISBN 9784000085052.  Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  7. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. hlm. 276 dan 400, mengutip Sejarah Melayu, 14.9: 126–127. Kutipan: Karena pada masa itu kelengkapan Singapura juga seratus lancaran bertiang tiga, dan Sungai Raya pun demikian juga.
  8. ^ Winstedt, Richard Olaf (1962). A History of Malaya. Singapore: Marican & Sons. 
  9. ^ Wicki, Joseph (1971). Lista de moedas, pesos e embarcacoes do Oriente, composta por Nicolau Pereira S.J por 1582. hlm. 137.