Lompat ke isi

Palari (perahu)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Palari dengan layar pinisi, Sulawesi barat, 1923–1925.

Palari adalah salah satu jenis kapal layar Indonesia dari Sulawesi Selatan. Terutama digunakan oleh orang-orang Ara dan Lemo Lemo, untuk mengangkut barang dan orang. Kapal ini dilengkapi dengan sistem layar pinisi, yang sering membuatnya lebih dikenal dengan nama "pinisi". Di Singapura, palari dikenal sebagai "Kapal dagang Makassar" (Makassar trader).[1]:110

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Nama perahu ini berasal dari bahasa Makassar-Bugis yaitu palari. Ini merujuk pada kenyataan bahwa kapal ini lebih gesit dan lebih cepat.[2][3]:22-23

Deskripsi

[sunting | sunting sumber]
Palari terdampar di Sulawesi Selatan.

Secara keseluruhan, palari memiliki panjang sekitar 50–70 kaki (15,24–21,34 m), dengan garis air saat muatan ringan 34–43 kaki (10,36–13,1 m). Layar dibangun menggunakan kanvas ringan, sedangkan bagian atasnya adalah kain linen. Awaknya sekitar 7–8 orang. Ia dikemudikan menggunakan kemudi samping ganda. Dalam kondisi yang menguntungkan, kecepatannya bisa mencapai 9–10 knot (16,7–18,5 km / jam). Sebuah kapal dengan garis air 30 kaki dapat membawa hampir 400 pikul (22,7–25 ton).[1]:112-113

Pada palari tahun 1920–1930-an, para kru tidur di rak sempit yang digantung dengan tali di bawah geladak. Secara tradisional, kapten memiliki kabin buritan kecil dengan panjang 2 m dan tinggi 1 m, di bawah papan dek. Penumpang tertentu memiliki kabin sementara yang dibangun di geladak. Memasak dilakukan di perapian memasak dari tanah liat di kotak yang bisa dipindah-pindahkan setinggi sekitar 1–2 m. Mereka kadang-kadang memiliki seorang wanita di atas perahu sebagai juru masak, kadang-kadang dia adalah istri sang kapten. Toiletnya terletak di belakang, tergantung di atas buritan. Air disimpan di jeriken, drum, and pot-pot dan para kru bertahan hidup dengan makan nasi.[4]

Lambung palari dibangun dari jenis lambung dari Sulawesi, yaitu pajala. Pajala adalah perahu pantai yang tidak bergeladak yang biasanya memiliki tiang tripod yang membawa satu layar tanja besar. Ia dibangun dengan carvel, dan seperti perahu melayu lainnya, ia berujung ganda (haluan dan buritan kapal tajam — memiliki linggi depan dan linggi belakang). Lambung palari, dibangun dengan menambahkan papan lebih ke atas lambung pajala sekitar 2–3 kaki (61–91 cm), menambahkan dek buritan menggantung (disebut ambeng dalam bahasa Melayu), ditambah pembuatan geladak.[1]:113-114

Ambengnya dilihat dari dekat.

Lambung pajala ke palari

[sunting | sunting sumber]

Pada abad ke-18, orang Bugis berlayar dengan sejenis perahu yang mirip dengan patorani. Lambungnya dari jenis pajala, sistem layar menggunakan layar segi empat miring di tiang tripod, dengan berat kurang dari 50 ton. Banyak dari mereka dapat dilihat di pantai Australia mencari teripang antara 1800–1840.[5] Pada tahun 1880, sebuah kapal yang dijuluki "perahu Bugis" tampaknya merupakan prototipe lambung palari. Ia adalah pengembangan di tengah jalan ke lambung palari, dengan dek bergaya barat tetapi dengan buritan tradisional. Tiang cucur dan layar haluan telah ditambahkan, tetapi masih menggunakan layar tanja pada tiang tripod tunggal. Tidak ada kabin di buritan.[6]

Lambung pajala kemudian mengalami modifikasi, dengan menambahkan papan tambahan sehingga membuat lambung lebih tinggi dan meningkatkan kapasitas kargo. Bentuk mirip "tangga" dibuat di haluan dan "dek buritan menggantung" (ambeng) juga ditambahkan.[7]

Dari padewakang-tanja ke palari-pinisi

[sunting | sunting sumber]

Pinisi Sulawesi pertama (yaitu perahu berlambung palari menggunakan sistem layar pinisi) diperkirakan pertama kali dibangun pada tahun 1906 oleh pembuat kapal Ara dan Lemo-Lemo, mereka membangun perahu penisiq [salah sebut] pertama untuk seorang kapten Bira.[8] Varian satu tiang disebut dengan palari jengki (mereka juga disebut pinisi satu tiang).[7] Perahu bertiang satu memiliki denah layar yang jauh lebih sederhana. Mereka dipasang dengan layar nade (sistem layar selup), kadang-kadang dengan sistem layar cutter berkaki bebas (tanpa pekaki, atau spar bawah).[1]:116

Yang mendorong [pelayar Sulawesi] untuk meninggalkan sombala tanja yang digunakan dari dahulu demi layar pinis yang lebih bersifat Eropa itu menurut Haji Daeng Pale adalah kemudahan dalam pemakaiannya. Bila anginnya bertambah, orang di atas perahu yang menggunakan layar tanja harus menggulung layarnya yang begitu besar itu ke atas bom bawahnya, suatu pekerjaan yang berat dan berbahaya. Layar pinis dapat dikurangi bagian demi bagian, dimulai dengan menutup layar puncak dan layar haluan. Jika anginnya bertambah lagi, maka agak gampang mengurangi layar besarnya dengan menariknya ke arah tiang, sehingga perahu dengan menggunakan layar yang ditutup setengah itu dan satu atau lebih layar anjungan masih bergerak secukupnya dan daya kemudi tak hilang. Selain ini, terdapat pula perbedaan dalam kemampuan berlayar, yakni bahwa layar pinis itu dapat berlayar lebih dekat ke arah angin. Yang paling penting adalah bahwa [perahu] dapat berbalik haluan dengan lebih gampang bila beropal-opal.[2][3]:26

Armada palari-pinisi pada akhir 1930-an menjadi armada perdagangan terbesar di kepulauan Indonesia, bersaing dengan leti-leti Madura, berlayar sejauh Singapura untuk berdagang. Tetapi ini berubah ketika kata perang dunia kedua pecah. Selama perang, tidak menguntungkan bagi mereka untuk berlayar lebih jauh ke barat melebihi Surabaya dan Semarang. Pulau Salemo adalah pusat perdagangan kecil yang telah menjadi rumah bagi sekitar 100 pinisi dagang. Seorang penduduk desa mengatakan bahwa di pantai timur pulau (yang panjangnya sekitar 650 m):[9]:218-219

"Pinisi akan membentuk garis yang tidak terputus, karena mereka berlabuh berdampingan, di sepanjang pantai. Seseorang bisa naik pinisi dari satu ujung; berjalan di atas geladak kapal dan turun di ujung yang lain; sehingga seseorang dapat bergerak dari selatan ke utara pulau tanpa menginjak tanah di antaranya"

Di pelabuhan Makassar.

Selama Perang Dunia II, Jepang memaksa pinisi orang Bira untuk memuat keperluan perang modern dan banyak yang ditenggelamkan oleh pesawat dan kapal perang Sekutu.[10] Situasinya sama di pulau Salemo, tepat sebelum hari kemerdekaan Indonesia, pulau Salemo menjadi sasaran serangan udara sekutu. Banyak pinisi ditangkap atau dibom di laut. Pemilik pinisi yang masih hidup melarikan diri ke Jakarta dan Surabaya.[9]:218-219 Setelah Perang Dunia II selama revolusi nasional Indonesia, banyak kapal Bira terlibat dalam penyelundupan senjata dari Singapura ke Jawa untuk Tentara Nasional Indonesia yang baru. Ketika perdamaian dipulihkan, kapal layar adalah satu-satunya alat transportasi yang dapat berfungsi tanpa suku cadang mahal yang harus diimpor dari luar negeri dan perdagangan Bira dihidupkan kembali dengan cepat.[10] Karena situasi ekonomi, pedagang baru hanya mampu membangun lambo, ukurannya lebih kecil dari pinisi.[9]:219 Sekalipun demikian, ketika sebelum perang kapal-kapal terbesar hanya dapat memuat sekitar 40 ton, pada 1950-an para pelaut Bira mulai memesan kapal-kapal 100 ton atau lebih dan sejak 1960 semakin banyak diangkut barang-barang kiriman yang dimiliki oleh para pedagang Cina dan Indonesia alih-alih barter dengan komoditas di Indonesia Timur.[10] Pada 1960–1970 palari-pinisi menjadi armada perdagangan perahu layar terbesar di dunia, berjumlah 800–1000 unit,[11] masih bersaing dengan leti-leti, yang memiliki jumlah yang hampir sama.[12] Mulai dari tahun 1970-an motorisasi kapal tradisional dimulai, dan akan terungkap bahwa lambung palari tradisional tidak dapat mengakomodasi mesin secara efektif tidak seperti lambung lambo. Sebuah kapal baru, lambo-pinisi, mengambil alih peran palari-pinisi, dan kemudian berevolusi menjadi PLM (Perahu Layar Motor), yang dapat memuat hingga 300 ton.[13]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Gibson-Hill, C.A. (February 1950). "The Indonesian Trading Boats reaching Singapore". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 23: 108–138. 
  2. ^ a b Vuuren, L. Van 1917. 'De Prauwvaart van Celebes'. Koloniale Studien, 1,107-116; 2, 329-339, pg. 108.
  3. ^ a b Nooteboom, Christiaan (1940). "Vaartuigen van Mandar". Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde. 80. 
  4. ^ Horridge (2015). h. 45.
  5. ^ Horridge (2015). h. 43.
  6. ^ Horridge (2015). h. 16.
  7. ^ a b Liebner, Horst (2016). "2016 Gambar Dan Tabel Perahu MSI short3" (PDF). Academia. Diakses tanggal 2 September 2019. 
  8. ^ Liebner, Horst H. and Rahman, Ahmad (1998): 'Pola Pengonsepan Pengetahuan Tradisional: Suatu Lontaraq Orang Bugis tentang Pelayaran ', Kesasteraan Bugis dalam Dunia Kontemporer (Makassar).
  9. ^ a b c Salam, Aziz; Katsuya, Osozawa (September 2008). "Technological Adaptation in the Transformation of Traditional Boats in the Spermonde Archipelago, South Sulawesi". Southeast Asian Studies. 46: 200–227. 
  10. ^ a b c Sailing - Bira - South Sulawesi, oleh Horst Liebner
  11. ^ Horridge (2015). h. 40.
  12. ^ Horridge (2015). h. 82.
  13. ^ Artikel Horst Liebner dicantumkan di bawah.

Bacaan lanjut

[sunting | sunting sumber]
  • Liebner, Horst H. (2005), "Perahu-Perahu Tradisional Nusantara: Suatu Tinjauan Perkapalan dan Pelayaran", dalam Edi, Sedyawati, Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim, Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan; Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia, hlm. 53–124 
  • Horridge, Adrian (2015). Perahu Layar Tradisional Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Terjemahan bahasa Indonesia dari Horridge, Adrian (1985). The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, second edition. Oxford: Oxford University Press.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]