Lompat ke isi

Pegunungan Dieng

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lukisan panorama Dieng oleh Franz Wilhelm Junghuhn ca 1853-1854.

Pegunungan Dieng (bahasa Jawa: ꦥꦒꦸꦤꦸꦔꦤ꧀ꦝꦶꦪꦺꦁ, translit. Pagunungan Dièng) merupakan kawasan budaya dan pegunungan di pulau Jawa di provinsi Jawa Tengah. Mencakup wilayah agraris yang memiliki iklim tropis dengan tingkat curah hujan tinggi. Karena terletak pada ±2.000 meter di atas permukaan laut dan dihimpit oleh pegunungan, sehingga udaranya cukup dingin.

Wilayah Dieng meliputi Dieng Kulon di Banjarnegara dan Dieng Wetan di Wonosobo, wilayah ini dikenal sebagai kawasan budaya Jawa pegunungan. Sebelah barat berbatasan dengan Jawa Barat, sebelah utara berbatasan dengan wilayah pantai utara Pekalongan dan Batang (bekas Keresidenan Pekalongan), di sebelah timur berbatasan dengan Temanggung dan Magelang (bekas Keresidenan Kedu), dan ke selatan berbatasan dengan Kebumen.[1]

Dieng adalah salah satu daerah penghasil sayur-sayuran terbesar di Jawa Tengah, dengan sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan dan di dominasi tanaman sayur. Kondisi iklim dan cuaca di wilayah ini sangat mendukung dilakukannya aktifitas pertanian, sehingga sebagian besar masyarakat Dieng bermata pencarian sebagai petani.[1]

Etimologi

Nama "Dihyang" berasal dari bahasa Jawa Kuno: di berarti "tempat" dan hyang berarti "leluhur", secara harfiah Dihyang bermakna "tempat para leluhur". Dihyang adalah daerah pegunungan, orang Jawa kuno percaya bahwa para leluhur dan dewa bersemayam di tempat ketinggian.[2]

Sebuah prasasti mengungkapkan bahwa wilayah Dihyang oleh orang Jawa Kuno pada zamannya digunakan untuk pusat beribadah. Disebutkan dalam prasasti Gunung Wule tahun 861 Masehi, seseorang diperintahkan memelihara bangunan suci di daerah yang bernama Dihyang. Masyarakat pada umumnya menyebut daerah ini dengan sebutan populer "negeri di atas awan", karena wilayah tersebut dikelilingi awan atau kabut dari pegunungan.

Iklim

Suasana candi Arjuna pada pagi hari.

Dihyang memiliki iklim tropis. Karena terletak pada ±2.000 meter (6.600 kaki) di atas permukaan laut dan terhimpit oleh empat gunung. Dihiasi oleh tumbuhan, semak-semak dan udaranya yang dingin menjadikan Dihyang sebagai wilayah dengan pemandangan alam yang memberikan perasaan tenang.

Pada musim kemarau di siang hari suhu berkisar antara 15° C – 10° C sedangkan pada malam hari suhu berkisar antara 5° C – 10° C, terkadang mencapai 0o dan biasanya kondisi tersebut disebut Bun Upas, yaitu salju tipis atau embun yang menghampar wilayah Dihyang dengan suhu di bawah titik beku. Akan tetapi pada bulan Juni, Juli dan Agustus sirkulasi udara biasanya berganti musim. Maka dalam bulan-bulan tersebut suhu udara berubah.[1]

Dikenal karena memiliki iklim yang dingin, suhu di Dihyang bahkan bisa turun hingga 2° C (bersamaan dengan angin dingin hingga -2º C) di puncak musim kemaraunya. Meskipun jarang terjadi namun embun beku akan muncul setiap tahun, terutama malam hari dan pagi hari di bulan Juli dan Agustus. Hal ini berlangsung rata-rata selama satu minggu. Meskipun fenomena cuaca yang jarang terjadi secara regional ini kadang-kadang menarik wisatawan untuk datang ke daerah Dihyang.[3] Ketika salju tiba pertanian di sekitar Dihyang akan mengalami kerusakan dan gagal panen, pertanian dan tanaman seperti kentang yang paling parah terkena dampaknya.

Berdasarkan klasifikasi iklim Köppen, Dihyang masuk dalam golongan Cwb, dengan musim kemarau yang dingin dan musim hujan yang relatif lebih hangat. Rata-rata suhu tahunan di Dihyang adalah 14,0 °C.[4]

Data iklim Dihyang
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahun
Rata-rata tertinggi °C (°F) 17.9
(64.2)
18.5
(65.3)
18.6
(65.5)
18.4
(65.1)
18.5
(65.3)
18.5
(65.3)
18.2
(64.8)
18.0
(64.4)
18.5
(65.3)
18.8
(65.8)
19.2
(66.6)
18.8
(65.8)
18.49
(65.28)
Rata-rata harian °C (°F) 13.9
(57)
14.3
(57.7)
14.4
(57.9)
14.4
(57.9)
14.3
(57.7)
13.8
(56.8)
13.2
(55.8)
12.8
(55)
13.6
(56.5)
14.2
(57.6)
14.7
(58.5)
14.4
(57.9)
14
(57.19)
Rata-rata terendah °C (°F) 10.0
(50)
10.1
(50.2)
10.3
(50.5)
10.4
(50.7)
10.1
(50.2)
9.2
(48.6)
8.3
(46.9)
7.6
(45.7)
8.7
(47.7)
9.6
(49.3)
10.3
(50.5)
10.1
(50.2)
9.56
(49.21)
Presipitasi mm (inci) 370
(14.57)
430
(16.93)
434
(17.09)
249
(9.8)
153
(6.02)
83
(3.27)
53
(2.09)
35
(1.38)
57
(2.24)
170
(6.69)
230
(9.06)
388
(15.28)
2.652
(104,42)
Sumber: [4]

Geografi

Telaga warna di Dieng.

Dieng merupakan kawasan vulkanik aktif yang juga gunung api raksasa berbentuk dataran luas dengan panjang kurang lebih 9 mil (14 km) dan lebar 4 mil (6 km) memanjang dari arah barat daya-tenggara. Ketinggian Dieng mencapai 2000 Meter di atas permukaan laut.

Secara administratif Dieng meliputi Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Wilayah Kabupaten Wonosobo di bagian timur disebut Dieng Wetan. Sedangkan wilayah bagian barat di Kabupaten Banjarnegara disebut Dieng Kulon.

Luas wilayah Dieng Wetan adalah 282.000 ha, yang dihuni oleh penduduk sebanyak 1.557 jiwa. Sebaliknya Dieng Kulon lebih luas dari Dieng Wetan, dengan luas 337.864 ha yang dihuni oleh penduduk sebanyak 2.480 jiwa.

Secara teritorial antara Dieng Kulon dan Dieng Wetan dibatasi dengan sungai kecil yang bernama Kali Tulis. Wilayah Dieng terletak di sebelah barat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sehingga pemandangan disekitarnya tampak asri dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi.

Beberapa peninggalan budaya dan wilayah geografi Dieng telah dijadikan sebagai objek wisata dan dikelola bersama oleh kedua pemerintah setempat, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo.

Geologi

Dieng adalah kaldera yang dikelilingi pegunungan di sekitarnya. Gunung ini meliputi Gunung Sindoro, Gunung Prahu, Gunung Sikunir, Gunung Pakuwaja, Gunung Sipandu, Gunung Bisma, Gunung Sigepak, Gunung Pangonan, Gunung Midangan dan Gunung Rogojembangan.

Di Dieng terdapat banyak kawah (crater) dan rekahan (vent) yang mengeluarkan hasil aktivitas geologi dalam berbagai wujud: fumarola, solfatara, sumber gas (CO2 maupun CO), dan mata air (panas maupun dingin), serta danau vulkanik. Beberapa kawah di Dieng yang masih aktif, seperti Sileri, Candradimuka, dan Sikidang.

Kondisi ini memiliki potensi bahaya bagi penduduk disekitarnya. Tidak hanya gas beracun dan erupsi, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi (vulkanik), erupsi lumpur, tanah longsor, dan banjir. Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan.

Dari sisi biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena di air panas di dekat kawah ditemukan beberapa spesies mikroorganisme termofilik (penyuka panas) yang berpotensi menyingkap kehidupan awal di dumi. Dieng juga memiliki beberapa spesies tumbuhan khas yang jarang dijumpai di tempat lain akibat kombinasi kondisi iklim dan geotermalnya yang unik.

Sejarah

Sesajian di candi Parikesit pada tahun 1886, gambar dari majalah Eigen Haard.

Dihyang dahulu merupakan pusat kegamaan Hindu dan tempat ditemukannya delapan candi dari Kerajaan Mataram Kuno.[5]:79,90 Belum ditemukan sumber prasasti mengenai kapan candi tersebut dibangun, diperkirakan berkisar antara pertengahan abad ke-7 hingga abad ke-8 Masehi; candi yang ditemukan di daerah Dieng diketahui didapati memiliki struktur batu tertua yang diketahui di Jawa.[6] Pada zamannya candi di Dihyang diperkirakan berjumlah 400 tetapi hanya delapan yang tersisa. Candi-candi yang tersisa sekarang dinamai menurut nama tokoh pada epos Mahabharata dan pewayangan Jawa.[7]

Ditinjau dari segi arsitektur candi di Jawa Tengah, candi Dihyang memliki gaya arsitektur Jawa Tengahan atau Mataraman. Penelitian yang dilakukan memperkirakan bahwa candi-candi tersebut dibangun dalam periode yang sama, berkisar antara abad ke-7 hingga ke-8. Sebuah prasasti yang ditemukan di dekat candi Arjuna bertanggal sekitar tahun 808-809 M, merupakan bentuk aksara Jawa Kuno tertua yang masih ada, mengungkapkan bahwa candi di Dihyang terus dihuni dari pertengahan abad ke-7 hingga awal abad ke-9.[8]

Candi di Dihyang ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh seorang tentara Inggris saat mengunjungi reruntuhan candi yang terletak di tengah danau. Saat itu dataran di sekitar tergenang air dan membentuk danau kecil. Pada tahun 1856, Isidore van Kinsbergen memimpin upaya untuk mengeringkan danau untuk mengungkap candi. Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan proyek rekonstruksi pada tahun 1864, dilanjutkan dengan studi lebih lanjut dan foto-foto yang diambil oleh Van Kinsbergen.[9]

Tradisi

Prosesi upacara Ruwatan Rambut Gimbal.

Beberapa penduduk di Dieng diketahui memiliki fenotipe, rambut yang gimbal. Diduga sifat rambut ini diturunkan secara genetik. Setiap tahun diadakan upacara pemotongan rambut gimbal untuk warga dengan ciri fisik demikian. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Dieng pada tanggal siji Sura menurut Kalender Jawa. Tradisi ini bertujuan untuk membersihkan dan membebaskan anak-anak berambut gimbal dari sukerta (malapetaka).[10]

Kepercayaan bahwa anak berambut gimbal adalah keturunan Kyai Kolodete, seorang mantan resi Hindu yang kemudian memeluk Islam. Mereka juga percaya bahwa rambut gimbal hanya boleh dipotong bila anak yang bersangkutan sudah menghendakinya dan harus dilakukan ruwatan yang dipimpin tetua adat. Uniknya, ruwatan ini hanya dapat dilakukan setelah orang tua memenuhi permintaan yang diajukan oleh anak yang bersangkutan. Konon jika pemotongan rambut gimbal tidak dilakukan maka rambut tersebut akan kembali tumbuh dan anak akan sering sakit-sakitan.[11]

Galeri

Lihat juga

Bacaan lebih lanjut

  • Backshall, Stephan et al. (1999) Indonesia The Rough Guide London Penguin ISBN 1-85828-429-5 pp. 190–195
  • Dalton, Bill Indonesia Handbook fourth edition pp. 280–283
  • Dumarcay, J and Miksic J. Temples of the Dieng Plateau in Miksic, John 1996 (editor) 1996 Ancient History Volume 1 of Indonesian Heritage Series Archipelago Press, Singapore. ISBN 981-3018-26-7
  • Muffler, L.J.P., 1970, Geothermla potential of the Dieng Mountains, central Java, Indonesia: U.S. Geol. Survey Project rep. (IR) IND-10
  • Mertadiwangsa, S. Adisarwono, (1999) Dataran tinggi Dieng : objek wisata alam dan objek wisata budayanya: Kaliwangi Offset Yogyakarta, (In Indonesian)
  • Witton, Patrick (2003). Indonesia (edisi ke-7). Melbourne: Lonely Planet. hlm. 209–211. ISBN 1-74059-154-2. 

Referensi

  1. ^ a b c "Dieng Plateau". diengplateau.com. 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Mei 2021. 
  2. ^ Central Java hand book (edisi ke-2). Indonesia: Provincial Government of Central Java. 1983. 
  3. ^ "Wisatawan Berburu Foto Embun Es di Dataran Tinggi Dieng". Liputan6. 31 Juli 2018. 
  4. ^ a b http://en.climate-data.org/location/623617/
  5. ^ Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1. 
  6. ^ Romain, Julie (2011), "Indian Architecture in the 'Sanskrit Cosmopolis': The Temples of the Dieng Plateau", dalam Manguin, Pierre-Yves; Mani; Wade, Geoff, Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross-cultural Exchange, 2, Singapore: Nalanda-Sriwijaya Centre. Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 299–316, ISBN 9789814345101 
  7. ^ Wright, A., & Smith, C. (2013). Volcanoes of Indonesia: Creators and Destroyers. Editions Didier Millet.
  8. ^ Drs. R. Soekmono (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 87. 
  9. ^ Wright, A., & Smith, C. (2013). Volcanoes of Indonesia: Creators and Destroyers. Editions Didier Millet.
  10. ^ Abdoel, Ifa (2013). Journey to Amazing Sites. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm. 262–264. ISBN 9786020218335. 
  11. ^ "Anak-Anak Rambut Gimbal di Dieng Titipan Kyai Kolo Dete". Indonesia Kaya. Diakses tanggal 4 Maret 2019.