Waduk Saguling
Waduk Saguling | |
---|---|
Nama | Waduk Saguling |
Lokasi | Saguling, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat |
Kegunaan | Pembangkitan listrik |
Status | Digunakan |
Mulai dibangun | 1980 |
Mulai dioperasikan | 1986 |
Biaya konstruksi | US$ 738.256.000 |
Pemilik | Perusahaan Listrik Negara |
Kontraktor |
|
Bendungan dan saluran pelimpah | |
Tipe bendungan | Urugan batu dengan inti tanah |
Tinggi | 97,5 meter |
Panjang | 301,4 meter |
Volume bendungan | 2.570.000 m³ |
Membendung | Sungai Citarum |
Jumlah pelimpah | 1 |
Tipe pelimpah | Ogee dan pintu |
Waduk | |
Kapasitas aktif | 609.000.000 m³ |
Kapasitas nonaktif | 350.000.000 m³ |
Luas genangan | 5.606 hektar |
PLTA Saguling | |
Pengelola | PT PLN Indonesia Power |
Jenis | Konvensional |
Jumlah turbin | 4 |
Kapasitas terpasang | 700 MW[1] |
Waduk Saguling (aksara Sunda: ᮝᮓᮥᮊ᮪ ᮞᮍᮥᮜᮤᮀ) adalah sebuah waduk yang terletak di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut.[2] Waduk ini adalah salah satu dari tiga waduk yang membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Dua waduk lainnya adalah Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata. Luas genangan waduk ini sekitar 5.606 hektare dengan volume tampungan awal sebesar 875 juta m3 air.
Pembangunan
Pada tahun 1922, para ahli asal Belanda telah mulai melakukan survei mengenai kelayakan pembangunan waduk ini, mulai dari survei hidrologi, survei topologi, hingga survei geologi. Survei yang lebih rinci kemudian dilakukan oleh Prof. Ir. W.J. van Blommestein guna memanfaatkan derasnya aliran Sungai Citarum untuk membangkitkan listrik.[1] Pada tahun 1948, ia pun menerbitkan makalah mengenai rencana pembangunan waduk di aliran Sungai Citarum. Dalam makalahnya, ia mengemukakan agar Waduk Jatiluhur dibangun lebih dahulu, karena dianggap paling mendesak. Setelah waduk tersebut, ia merencanakan pembangunan waduk-waduk tambahan, salah satunya adalah Waduk Saguling yang awalnya diberi nama Waduk Tarum.
Pembangunan Waduk Saguling dimulai dengan mulainya konstruksi bendungan di Desa Saguling, Kecamatan Saguling pada tahun 1980-1986. Konsultan desain bendungannya dari New JEC (Jepang) serta PT. Indra Karya sedangkan kontraktor pembangunannya oleh Dummer Travaux Publics (Prancis) dan PT. Raya Contractor. Biaya pembangunan waduk ini menghabiskan dana 662.968.000 Dollar AS termasuk biaya pembebasan lahan di 49 desa yang didominasi lahan pertanian.[3] Terdapat sekitar 12.00 Kepala Keluarga (KK) yang harus pindah dari desanya, sebagian ada pula yang transmigrasi.
Pemanfaatan
Semula, Waduk Saguling direncanakan hanya untuk keperluan menghasilkan tenaga listrik. Pada tahap pertama pembangkit tenaga listrik yang dipasang berkapasitas 700 MW, tetapi bila di kemudian hari ada peningkatan kebutuhan listrik pembangkit dapat ditingkatkan hingga mencapai 1.400 MW. Badan yang bertanggungjawab dalam pembangunannya adalah Proyek Induk Pembangkit Hidro (PIKITDRO) dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), Depatemen Pertambangan dan Energi (sekarang menjadi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Selanjutnya, dengan mempertimbangkan permasalahan lingkungan di daerah itu, Saguling ditata-ulang sebagai bendungan multiguna, termasuk untuk kegunaan pengembangan lain seperti perikanan, agri-akuakultur, pariwisata, dan lain-lain.
Permasalahan
Sekarang, waduk ini juga digunakan untuk kebutuhan lokal seperti mandi, mencuci, bahkan untuk membuang kotoran. Hal ini membuat Waduk Saguling kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur yang sudah dibangun lebih dahulu. Hal tersebut terjadi karena sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Saguling inilah semua kotoran "disaring" untuk pertama kali sebelum kemudian disaring kembali oleh Waduk Cirata dan terakhir oleh Waduk Jatiluhur.[4] Sisa usia Waduk Saguling diperkirakan tinggal 27 tahun apabila penanganan pencemaran air dan sedimentasi Sungai Citarum tidak dilakukan secara komprehensif. Seharusnya, usia Waduk Saguling minimal masih 31 tahun lagi. Laju sedimentasi di Waduk Saguling mencapai 4,2 juta meter kubik per tahun. Selain itu kandungan bahan kimia berbahaya dalam air waduk akibat pencemaran limbah rumah tangga dan pabrik di daerah aliran Citarum rentan memicu korosi alat pembangkit listrik.[5]
Daerah di sekitar Waduk Saguling berupa perbukitan, dengan banyak sumber air yang berkontribusi pada waduk. Hal tersebut membuat bentuk Waduk Saguling sangat tidak beraturan dengan banyak teluk. Daerah waduk ini asalnya adalah berupa daerah pertanian. Daerah perikanan dari waduk berhadapan dengan tekanan kuat dari populasi penduduk. Hal tersebut terjadi karena 50% dari populasi terdiri dari petani dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Peningkatan populasi petani tersebut mengakibatkan berkurangnya lahan yang dapat diolah sehingga memaksa mereka mengembangkan lahan pertanian mereka dengan melakukan pembabatan hutan. Sebagai konsekuensinya, muncul masalah banjir dan longsor di musim hujan. Institut Ekologi di Bandung telah mempelajari hal ini sejak tahun 1978, terutama tentang kondisi dasar daerah ini dan pemantauan serta pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan standar hidup penduduk.
Referensi
- ^ a b Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1.
- ^ "International Lake Environment Committee". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-05. Diakses tanggal 2008-09-01.
- ^ "Ikon: Waduk Saguling Bandung Barat". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-02-21. Diakses tanggal 2018-02-28.
- ^ ""Waduk Saguling yang Kian Terancam", Harian Kompas". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-12-08. Diakses tanggal 2008-09-01.
- ^ Usia Waduk Saguling Tinggal 27 Tahun