Negara-negara Tentara Salib
Negara-negara Tentara Salib, yang juga dikenal dengan sebutan Outremer, adalah empat negara Kristen Katolik di Timur Tengah yang berdiri dari tahun 1098 sampai 1291. Negara-negara feodal ini didirikan oleh para panglima Tentara Salib Katolik Latin pada Perang Salib I melalui penaklukan dan intrik politik. Keempat negara tersebut adalah Kabupaten Edesa (tahun 1098–1150), Kepangeranan Antiokhia (tahun 1098–1287), Kabupaten Tripoli (tahun 1102–1289), dan Kerajaan Yerusalem (tahun 1099–1291). Kerajaan Yerusalem berdaulat atas kawasan yang kini menjadi wilayah negara Israel dan Palestina, daerah Tepi Barat, daerah Jalur Gaza, dan daerah-daerah sekitarnya. Tiga negara selebihnya berada di utara, dan berdaulat atas kawasan pesisir yang kini menjadi wilayah negara Suriah, kawasan tenggara wilayah Turki, dan wilayah negara Libanon. Sebutan "negara-negara Tentara Salib" bisa saja menimbulkan kesalahpahaman, karena dari tahun 1130 hanya segelintir dari populasi orang Peringgi yang menjadi anggota pasukan Tentara Salib. Istilah "Outremer", yang digunakan para penulis Abad Pertengahan maupun zaman modern sebagai sinonimnya, berasal dari istilah Prancis yang berarti tanah seberang.
Pada tahun 1098, rombongan ziarah bersenjata ke Yerusalem berkirab melintasi Suriah. Tentara Salib yang bernama Balduinus, putra bungsu Bupati Boulogne, merebut tampuk pemerintahan Edesa dengan mengudeta penguasanya yang beragama Kristen Ortodoks Yunani, dan Tentara Salib yang bernama Boamundus, Pangeran Taranto, menjadi Pangeran Antiokhia sesudah Tentara Salib berhasil merebut kota itu. Pada tahun 1099, Yerusalem berhasil direbut sesudah sebulan lebih dikepung. Konsolidasi wilayah kemudian dilakukan, antara lain dengan merebut Tripoli. Pada masa jayanya, wilayah kedaulatan negara-negara ini meliputi kawasan pesisir yang kini menjadi kawasan selatan wilayah Turki, wilayah Suriah, wilayah Libanon, serta wilayah Israel dan Palestina. Edesa direbut seorang panglima perang Turki pada tahun 1144, tetapi tiga negara selebihnya terus berdaulat sampai akhirnya ditumbangkan Kesultanan Mamluk pada abad ke-13. Antiokhia jatuh ke tangan musuh pada tahun 1268, dan Tripoli mengalami nasib yang sama pada tahun 1289. Sesudah Ako, ibu kota Kerajaan Yerusalem, jatuh ke tangan Mamluk pada tahun 1291, wilayah kedaulatan yang tersisa pun sirna dalam waktu singkat, dan warganya mengungsi ke Kerajaan Siprus (didirikan seusai Perang Salib III).
Kajian negara-negara Tentara Salib sebagai suatu bidang kajian mandiri, alih-alih sebagai cabang kajian Perang Salib, muncul pada abad ke-19 di Prancis sebagai analogi kiprah kolonial Prancis di Levans. Para sejarawan abad ke-20 menolak kajian tersebut. Menurut pandangan konsensus mereka, orang Peringgi, yakni orang-orang Eropa Barat, merupakan golongan minoritas yang tinggal di kota-kota, terisolasi dari masyarakat pribumi, dan memiliki tatanan kehakiman maupun keagamaan sendiri. Masyarakat pribumi adalah masyarakat Kristen dan Muslim penutur bahasa Arab, Yunani, dan Suryani.
Outremer
Istilah "negara-negara Tentara Salib" maupun istilah "Outremer" (bahasa Prancis: outre-mer, "tanah seberang") dipakai untuk menyifatkan empat negara feodal yang didirikan seusai Perang Salib I di Levans sekitar tahun 1100, yakni (dari utara ke selatan) Negara-Kabupaten Edesa, Negara-Kepangeranan Antiokhia, Negara-Kabupaten Tripoli, dan Negara-Kerajaan Yerusalem. Istilah "Outremer" berasal dari Abad Pertengahan, sementara sejarawan-sejarawan modern memakai istilah "negara-negara Tentara Salib" sebagai padanannya, dan istilah "orang Peringgi" sebagai sebutan bagi para pendatang dari Eropa. Meskipun demikian, pendatang dari Eropa yang mengikrarkan prasetia Tentara Salib tidaklah banyak.[1][2] Tawarikh-tawarikh Latin mengenai Perang Salib I, yang ditulis pada permulaan ke-11, menyamaratakan semua pendatang Kristen Barat dari Eropa dengan sebutan Franci (orang Peringgi) tanpa pandang bulu. Sumber-sumber pustaka Yunani Abad Pertengahan memakai istilah Frangkoi, dan sumber-sumber Arab memakai istilah Ifranji. Istilah alternatif yang dipakai di dalam tawarikh-tawarikh tersebut adalah Latini (orang Latin). Etnonim-etnonim Abad Pertengahan ini menunjukkan bahwa para pendatang Eropa dapat dibedakan dari masyarakat pribumi dari segi bahasa maupun agama.[3] Mayoritas orang Peringgi adalah umat Kristen Katolik-Roma penutur bahasa Prancis, sementara mayoritas orang pribumi adalah penutur bahasa Arab atau Yunani yang memeluk agama Islam, Kristen aliran lain, atau Yahudi.[2][4]
Kerajaan Yerusalem berdaulat atas kawasan historis negeri Palestina, dan pada masa jayanya juga berdaulat atas beberapa daerah di sebelah timur Sungai Yordan. Negara-negara di utara berdaulat atas daerah-daerah yang kini menjadi bagian dari wilayah Suriah, tenggara Turki, dan Libanon, yakni daerah-daerah yang dikenal dalam catatan sejarah dengan nama Suriah (atau Syam dalam bahasa Arab) dan Mesopotamia Hulu. Wilayah Edesa membentang ke timur melewati Sungai Efrat. Pada Abad Pertengahan, negara-negara Tentara Salib juga dikenal dengan sebutan Latin Syria maupun padanan Prancisnya, Syrie.[5] Sejak tahun 1115, kepala negara Kerajaan Yerusalem digelari 'Raja orang Latin di Yerusalem'. Sejarawan Hans Eberhard Mayer yakin bahwa gelar tersebut menunjukkan bahwa orang Latin sajalah yang sempurna hak hukum dan hak politiknya di negara kerajaan itu, dan bahwasanya kesenjangan utama yang memecah-belah masyarakat bukanlah kesenjangan di antara ningrat dan jelata melainkan kesenjangan di antara Peringgi dan pribumi.[6] Meskipun adakalanya menerima sembah bakti dari, dan bertindak selaku wali atas, kepala-kepala negara Tentara Salib lainnya, Raja Yerusalem tidak memiliki status resmi sebagai rajadiraja, dan negara-negara tersebut secara hukum tetap berada di luar Kerajaan Yerusalem.[7]
Baik umat Yahudi, umat Kristen, maupun umat Islam memuliakan negeri Palestina, yang mereka sebut Tanah Suci, sebagai petilasan suci istimewa. Ketiga-tiga golongan umat beragama tersebut mengaitkan negeri itu dengan riwayat hidup nabi-nabi Perjanjian Lama. Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, negeri Palestina dihadirkan sebagai ajang kiprah Yesus dan rasul-rasulnya. Bagi umat Islam, Yerusalem, kota utama di negeri Palestina, adalah tempat berlangsungnya peristiwa Isra Mikraj Muhammad. Petilasan-petilasan yang dihubung-hubungkan dengan orang-orang suci berkembang menjadi tempat-tempat suci yang disambangi para peziarah dari negeri-negeri yang jauh, biasanya dalam rangka menjalankan laku tobat. Gereja Makam Kudus pun didirikan untuk mengenang peristiwa penyaliban dan kebangkitan Kristus di Yerusalem. Gereja Kelahiran dibangun menaungi petilasan yang dipercaya sebagai tempat Kristus dilahirkan di Betlehem. Kubah Sakrah dan Mesjid Aqsa dibangun untuk mengenang Isra Mikraj Muhammad.[8][9] Meskipun sebagian besar petilasan yang disucikan itu terletak di negeri Palestina, ada pula tempat-tempat suci yang dibangun di negeri tetangganya, Suriah.[10] Sebagai daerah perbatasan Dunia Islam, negeri Suriah merupakan medan laga utama jihad, perang suci Islam, kendati semangat jihad sudah memudar menjelang akhir abad ke-11.[11] Di lain pihak, ideologi perang suci Katolik Roma justru berkembang pesat, dan pada puncaknya melahirkan gagasan Perang Salib demi mendaulat wilayah bagi kepentingan agama Kristen.[10][12]
Latar belakang
Eropa Katolik
Mayoritas Tentara Salib berasal dari kawasan yang pernah menjadi wilayah Kekaisaran Kulawangsa Karling sekitar tahun 800 tarikh Masehi. Negara besar itu sudah pecah menjadi dua negara penerus yang renggang persatuannya, yaitu Kerajaan Prancis, dan Kekaisaran Romawi Suci yang berdaulat atas Jerman beserta Italia Utara dan sekitarnya. Jerman terbagi-bagi menjadi beberapa kadipaten semisal Lotharingen Hilir dan Saksen. Para adipati Jerman pun tidak selalu patuh kepada kaisar. Prancis malah lebih renggang lagi persatuannya. Raja-raja Prancis hanya memerintah secara langsung di daerah pusat yang kecil, sementara daerah-daerah selebihnya diperintah oleh para bupati atau adipati. Beberapa di antara kepala-kepala daerah itu sangat kaya dan berkuasa, terutama Adipati Aquitania, Adipati Normandia, Bupati Anjou, Bupati Champagne, Bupati Flandria, dan Bupati Toulouse. Jerman maupun Prancis dikelilingi banyak negara merdeka, masing-masing diperintah seorang raja, salah satunya adalah Inggris, negara monarki Eropa Barat dengan pemerintahan yang paling terpusat.[13][14]
Umat Kristen Barat dan umat Islam lebih sering berinteraksi lewat peperangan dan perdagangan. Sepanjang abad ke-8 dan ke-9, umat Islam giat melancarkan serangan, dan perhubungan niaga lebih menguntungkan Dunia Islam. Eropa masih udik dan terbelakang, hanya sedikit yang dapat ditawarkannya selain bahan baku dan budak belian sebagai ganti rempah-rempah, bahan sandang, dan barang-barang mewah lainnya dari Timur Tengah.[15][16] Perubahan iklim yang terjadi pada Zaman Hangat Abad Pertengahan mendatangkan dampak yang berbeda di Timur Tengah dan di Eropa Barat. Perubahan tersebut mengakibatkan kemarau panjang di Timur, tetapi melipatgandakan hasil panen di Barat. Peningkatan hasil panen mendorong pertumbuhan populasi, ekspansi niaga, serta munculnya golongan elit militer dan pengusaha yang makmur.[17]
Di Eropa Katolik, tata negara dan tata kemasyarakatan diselaraskan dengan pranata-pranata feodal. Kekayaan dalam bentuk lahan biasanya merupakan anugerah bumi lungguh, ganjaran atas jasa bakti yang akan diberikan si penerima anugerah atau kawula kepada si pemberi anugerah atau majikan. Kawula berutang bakti kepada majikan, dan diharapkan untuk menyumbangkan tenaga maupun pikiran dalam perjuangan majikannya.[18] Tindak kekerasan merajalela di mana-mana, dan muncul suatu golongan pejuang yang bertunggangan kuda, yakni golongan kesatria. Banyak kesatria membangun puri, dan perseteruan antarkesatria kerap menyengsarakan populasi yang tidak bersenjata. Geliat pertumbuhan golongan kesatria terjadi bersamaan dengan penundukan kaum tani merdeka menjadi kawula tani, tetapi keterkaitan di antara kedua proses tersebut tidaklah jelas.[19] Lantaran orang dapat menjadi majikan feodal dengan cara mendaulat lahan, kaum ningrat di Barat pun dengan sukarela melancarkan kampanye-kampanye militer ofensif, bahkan sampai ke tempat-tempat yang jauh.[20] Ekspansi Eropa Katolik di kawasan Laut Tengah bermula pada paro akhir abad ke-11. Panglima-panglima perang Norman merampas kawasan selatan Italia dari Kekaisaran Romawi Timur dan mendepak raja-raja Islam dari Sisilia. Bangsawan-bangsawan Prancis bergegas mendatangi Semenanjung Iberia untuk memerangi orang Moro di Andalus, dan armada-armada Italia melancarkan aksi serbu-jarah di bandar-bandar Afrika Utara. Perubahan arah angin kekuasaan ini menguntungkan kaum saudagar Eropa, khususnya saudagar-saudagar asal Amalfi, Genova, Pisa, dan Venesia, negara-negara kota di Italia. Kiprah mereka menggeser peran tengkulak-tengkulak Yahudi dan Islam di kancah perniagaan lintas Laut Tengah, dan armada-armada mereka menjadi angkatan-angkatan laut yang terkemuka di kawasan itu.[21][22]
Menjelang Perang Salib, sesudah seribu tahun lamanya para paus silih berganti memerintah tanpa jeda, kepausan merupakan lembaga tertua di Eropa. Para paus dipandang sebagai pengganti Rasul Petrus, dan sangat dihormati. Di Barat, Reformasi Gregorian membatasi pengaruh umat awam dalam kehidupan beragama dan menguatkan wewenang paus atas kaum rohaniwan.[23][24] Umat Kristen Timur tetap memandang paus tidak lebih daripada salah seorang di antara kelima pucuk pimpinan Gereja yang digelari "batrik", dan menolak gagasan supremasi paus. Penolakan terhadap supremasi paus serta berbagai macam ketidaksamaan di bidang teologi dan liturgi menimbulkan pertengkaran-pertengkaran sengit yang kian meruncing tatkala seorang utusan paus mengekskomunikasi Batrik Oikumene Konstantinopel pada tahun 1054. Batrik Aleksandria, Batrik Antiokhia, dan Batrik Yerusalem memihak Batrik Oikumene melawan lembaga kepausan, tetapi Skisma Timur–Barat belum sampai ke tahap tak-terelakkan, dan Gereja Katolik masih bersatu sempurna dengan Gereja Ortodoks.[25] Reformasi Gregorian menguatkan pengaruh paus terhadap perkara-perkara sekuler. Demi berbagai tujuan politik, para paus mengekskomunikasi lawan-lawan mereka, menempatkan seantero negeri di bawah interdiksi, dan menjanjikan pahala rohani sebagai ganti kerelaan orang untuk mengangkat senjata demi kepentingan mereka. Pada tahun 1074, Paus Gregorius VII malah menjajaki kemungkinan untuk memimpin sendiri suatu kampanye militer melawan orang Turki yang merongrong kedaulatan Romawi Timur di Anatolia.[26]
Levans
Arus migrasi bangsa Turki memasuki kawasan Timur Tengah sejak abad ke-9. Laskar-laskar Muslim penyerbu perbatasan menawan warga kaum kelana Turki di daerah-daerah perbatasan Asia Tengah dan menjual mereka kepada para petinggi Muslim. Di tangan para petinggi Muslim, mereka dilatih menjadi tentara budak. Tentara budak disebut gulam atau mamluk, dan dimerdekakan bilamana memeluk agama Islam. Mamluk dinilai tinggi karena terkenal sangat setia kepada majikan tempatnya menggantungkan nasib. Dalam konteks politik Timur Tengah, kesetiaan semacam itu membuat mereka menjadi pihak yang lebih dipercaya daripada kaum kerabat sendiri.[a] Beberapa orang keturunan mamluk pada akhirnya berjaya mengangkat derajatnya menjadi negarawan penentu suksesi kepemimpinan, bahkan ada pula yang menjadi wangsakarta.[27][28]
Pada pertengahan abad ke-11, sebuah puak kecil dari suku Turki Oghuz yang diberi nama "Seljuk" menurut nama leluhurnya yang terkenal sebagai seorang panglima perang dari negeri di seberang Sungai Oksos, sudah berhasil menguasai Khurasan, Iran, dan Bagdad. Di Bagdad, cucu Seljuk yang bernama Tugril dianugerahi gelar sultan (kata Arab yang berarti "kuasa") oleh khalifah dari Bani Abas. Sang khalifah tetap dimuliakan selaku penguasa yang sah, tetapi kuasa politik berada di tangan para sultan.[29][30] Wangsa Seljuk meraih kejayaannya dengan cara-cara kekerasan. Mereka membawa masuk gaya hidup kelana ke dalam lingkungan masyarakat Levans yang terbiasa hidup menetap, dan menghadirkan suatu pola acuan yang diikuti puak-puak kelana Turki lainnya semisal wangsa Danisymend dan wangsa Artuk. Kemaharajaan Seljuk Raja tidak terpusat, menuturkan aneka bahasa, dan terdiri atas beragam suku-bangsa. Generasi muda wangsa Seljuk yang diangkat menjadi kepala daerah yang dipercayakan kepada mereka sebagai bumi lungguh diberi gelar malik, kata Arab yang berarti "raja".
Para panglima Mamluk yang menjadi pembimbing sekaligus pengasuh bagi pangeran-pangeran belia wangsa Seljuk memegang jabatan atabeg, kata Turki yang berarti "bapa panglima". Jika anak asuhnya dianugerahi daerah bumi lungguh, maka atabeglah yang menjalankan pemerintahan daerah itu selaku patih sang malik yang belum cukup umur. Adakalanya atabeg terus berkuasa sesudah anak asuhnya cukup umur atau wafat.[31][32] Wangsa Seljuk mengadopsi dan memperkuat sistem iqta, tata usaha penerimaan negara tradisional. Sistem ini menjamin kelancaran pembayaran upah para panglima melalui penganugerahan hak kepada mereka untuk memungut pajak bumi di wilayah kewenangan yang jelas batas-batasnya, tetapi membuat wajib pajak rentan menjadi korban keserakahan penguasa yang tidak hadir di wilayah pemerintahannya maupun perlakuan semena-mena dari para pegawainya.[33][34] Meskipun roda pemerintahan negara wangsa Seljuk berjalan lancar manakala ikatan kekeluargaan dan kesetiaan perorangan bertumpang tindih dengan ambisi pribadi kepala negara, anugerah iqta berlimpah ditambah lagi dengan persaingan antar-malik, antar-atabeg, dan antar-panglima berpeluang menimbulkan perpecahan pada masa-masa genting.[35]
Keberagaman suku-bangsa dan agama mengakibatkan keterkucilan pemerintah di tengah-tengah populasi rakyatnya. Di Suriah, wangsa Seljuk yang berpaham Suni memerintah masyarakat pribumi yang berpaham Syiah. Di Kilikia dan kawasan utara Suriah, pemerintah Romawi Timur, Arab, dan Turki menekan populasi bangsa Armenia. Kawasan selatan negeri Palestina menjadi wilayah yang diperebutkan wangsa Seljuk dan Mesir, negara tempat para penguasa Syiah memerintah rakyat yang mayoritas berpaham Suni melalui wazir-wazir tangguh yang sebagian besar adalah orang orang-orang berkebangsaan Turki atau Armenia, alih-alih berkebangsaan Mesir atau Arab.[36] Wangsa Seljuk dan Khilafah Bani Fatimah di Mesir saling membenci, lantaran wangsa Seljuk menganggap dirinya sebagai pembela Khilafah Bani Abas yang berpaham Suni, sementara Khilafah Bani Fatimah di Mesir adalah daulat Syiah terkuat di Dunia Islam.[37] Biang keladinya bukanlah konflik budaya maupun ras, melainkan perpecahan umat Islam yang timbul sepeninggal Muhammad. Golongan Suni mengusung suksesi khalifah yang bermula dari Abu Bakar, salah seorang sahabat Muhammad, sementara golongan Syiah mendukung suksesi imam yang bermula dari Ali, sepupu sekaligus menantu Muhammad.[38][39]
Syariat Islam memberikan status zimi (kaum yang dilindungi) kepada ahlul kitab (kaum berkitab) seperti umat Kristen dan umat Yahudi. Zimi adalah warga negara kelas dua, diwajibkan membayar pajak per kapita khusus, yakni jizyah, tetapi diizinkan mengamalkan agamanya dan mempertahankan mahkamah peradilannya masing-masing.[40][41] Perbedaan-perbedaan di bidang teologi, liturgi, dan kebudayaan memunculkan berbagai denominasi Kristen yang saling bersaing di Levans sebelum bangsa Arab Muslim melancarkan aksi penaklukan pada abad ke-7. Masyarakat pribumi yang beragama Kristen Ortodoks Yunani, yakni umat Kristen Maliki, tetap bersatu dengan Gereja Kekaisaran Romawi Timur, dan sering kali dipimpin pemuka-pemuka agama asal Konstantinopel, ibu kota negara Romawi Timur. Pada abad ke-5, umat Kristen berakidah Nasathirah maupun umat Kristen Yakubi, Armenia, dan Kubti yang berakidah monofisit memutuskan hubungan dengan Gereja negara Romawi Timur. Organisasi gerejawi tersendiri yang khusus mewadahi umat Kristen Mawarinah terbentuk pada zaman daulat Islam.[42]
Pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11, Kekaisaran Romawi Timur bangkit menerjang, merebut kembali Antiokhia pada tahun 969, sesudah tiga abad lamanya dikuasai bangsa Arab, dan menginvasi Suriah.[43][44] Gerombolan-gerombolan penyamun Turki maupun gerombolan-gerombolan penyamun Romawi Timur yang disebut akritai dan sering kali juga beranggotakan orang-orang berkebangsaan Turki, melancarkan aksi-aksi penyerbuan lintas perbatasan. Pada tahun 1071, saat berusaha mengamankan garis perbatasan utara pada masa jeda perang melawan Khilafah Bani Fatimah, Sultan Alp Arslan mengalahkan Kaisar Romanos Diogenes dalam pertempuran di Manzikert. Penawanan atas diri Romanos disusul perpecahan antar golongan di Kekaisaran Romawi Timur melemahkan kendali Romawi Timur atas daerah perbatasannya. Situasi ini dimanfaatkan sejumlah besar laskar dan penggembala kelana Turki untuk menerobos masuk ke Anatolia. Sepupu Alp Arslan yang bernama Sulaiman bin Kutalmis merebut Kilikia dan memasuki Antiokhia pada tahun 1084. Dua tahun kemudian, ia tewas terbunuh dalam konflik dengan Kemaharajaan Seljuk Raya.[45] Antara tahun 1092 sampai 1094, baik Sultan Malik Syah dan Wazir Nizamul Muluk, maupun Khalifah Mustansir Billah dan Wazir Badrul Jamali, semuanya mangkat.[46][47] Adik Sultan Malik Syah yang bernama Tutus, Atabeg Halab, dan Atabeg Edesa tewas terbunuh dalam konflik suksesi, dan putra Sulaiman yang bernama Kilij Arslan menghidupkan kembali Kesultanan Rum yang dulu didirikan mendiang ayahnya di Anatolia. Suksesi Khilafah Bani Fatimah di Mesir menimbulkan perpecahan di kalangan pengikut mazhab Ismaili, salah satu cabang Islam Syiah. Kelompok yang memisahkan diri dipimpin oleh seorang da'i Persia bernama Hasani Sabah. Mereka membentuk mazhab Nizari, salah satu cabang Ismaili. Mazhab ini dikenal sebagai Dakwah Baru di Suriah dan sebagai tarekat Asasin di dalam historiografi Barat. Karena tidak memiliki kekuatan militer, tarekat Asasin mengukuhkan keberadaannya dengan aksi-aksi pembunuhan bersasaran.[48]
Serbuan-serbuan Seljuk, keterpurukan Kekaisaran Romawi Timur maupun keterpurukan Khilafah Bani Fatimah sebagai akibatnya, dan perpecahan Kemaharajaan Seljuk menghidupkan kembali tatanan negara kota khas Levans lama.[49] Kawasan Levans sudah sedari dulu kala merupakan kawasan dengan banyak kota, dan kelompok-kelompok masyarakat di kawasan itu ditata sedemikian rupa sehingga membentuk jejaring-jejaring permukiman yang saling bergantung, masing-masing jejaring permukiman berpusat pada satu kota besar atau satu kota kecil utama.[50] Pada akhir abad ke-11, jejaring-jejaring ini tumbuh menjadi daerah-daerah swatantra di bawah kepemimpinan seorang panglima perang Turki, Arab, atau Armenia, atau di bawah kepemimpinan suatu dewan kotapraja.[51] Pemerintahan Tirus dan Tripoli diambil alih para kadi setempat, kabilah Arab Bani Munqid merebut Saijar, sementara putra-putra Tutus yang bernama Duqaq dan Ridwan masing-masing memerintah atas Damsyik dan Halab, penyelenggara pemerintahannya adalah atabeg mereka masing-masing, yakni Janahud Daulah dan Togtekin. Abdi Ridwan yang bernama Sökmen bin Artuk memerintah Yerusalem, ayah mertua Ridwan yang bernama Yağısıyan memerintah Antiokhia, sementara seorang panglima perang bernama Toros merebut Edesa atas nama Kekaisaran Romawi Timur.[52] Pada kurun waktu inilah perseteruan lama Suni-Syiah memicu umat Islam untuk saling memerangi, ketimbang memerangi umat Kristen.[53]
Sejarah
Pendirian
Kekaisaran Romawi Timur memperbesar angkatan perangnya dengan prajurit-prajurit upahan berkebangsaan Turki maupun Eropa. Kebijakan ini ditempuh demi menyiasati keterbatasan sumber daya manusia akibat hilangnya wilayah, khususnya di Jazirah Anatolia.[54] Pada tahun 1095, di dalam Konsili Piacenza, Kaisar Aleksius Komnenus meminta dukungan Paus Urbanus II untuk menghadapi ancaman Seljuk.[55] Kemungkinan besar yang diharapkan Kaisar hanyalah angkatan perang yang tidak seberapa besar, tetapi uluran bantuan yang diterima ternyata melampaui harapan, karena Sri Paus menyerukan Perang Salib I dalam Konsili Clermont. Sri Paus mengembangkan suatu doktrin bellum sacrum (perang suci), kemudian merukunkannya dengan ajaran Gereja dengan merujuk ayat-ayat Perjanjian Lama tentang tuntunan Allah yang mengantarkan orang-orang Ibrani meraih kejayaan di medan perang.[56] Ziarah bersenjata demi membebaskan umat Kristen Timur dan merebut kembali Tanah Suci yang diserukan Sri Paus menyalakan semangat juang yang belum pernah berkobar sedemikian besarnya di dalam sejarah Eropa Katolik. Dalam jangka waktu satu tahun, puluhan ribu orang, ningrat maupun jelata, bertolak menuju medan laga.[57] Motivasi yang menggerakkan tiap-tiap orang untuk turut berjuang tidaklah sama, tetapi kemungkinan besar beberapa orang bertolak meninggalkan Eropa dengan niat untuk seterusnya menetap di Levans.[58]
Dengan penuh kewaspadaan, Kaisar Aleksius menyambut kedatangan pasukan-pasukan feodal di bawah pimpinan bangsawan-bangsawan Barat. Dengan cara cautiously welcomed the feudal armies commanded by western nobles. Aleksius menyilaukan mata mereka dengan harta kekayaan dan memikat hati mereka dengan sanjungan, sehingga sebagian besar panglima pasukan Tentara Salib bersedia berprasetia kepadanya. Selaku kawula Aleksius, Godefridus, Tuan Besar Bouillon yang menyandang jabatan nominal Adipati Lotharingen Hilir; Boamundus, Pangeran Taranto yang berdarah Norman-Italia; kemenakan Boamundus yang bernama Tankredius, putra keluarga bangsawan Altevilla; maupun adik Godefridus yang bernama Balduinus putra bungsu Bupati Boulogne, bersumpah akan menyerahkan semua daerah bekas wilayah Kekaisaran Romawi yang dapat mereka rebut kepada narapraja Romawi Timur yang mewakili Aleksius. Hanya Raimundus IV, Bupati Toulouse, yang tidak bersedia ikut bersumpah, tetapi berjanji tidak akan memerangi Aleksius.[59]
Narapraja Romawi Timur yang bernama Tatikios memandu bala Tentara Salib menempuh perjalanan berat selama tiga bulan dalam rangka merebut Antiokhia. Pada waktu itulah orang Peringgi menjalin persekutuan dengan masyarakat Armenia setempat.[60] Dalam perjalanan menuju Antiokhia, Balduinus dan anak buahnya memisahkan diri dari rombongan, berkirab menuju daerah di sekitar Sungai Efrat, melibatkan diri dalam percaturan politik setempat, kemudian merebut benteng Turbesel dan benteng Rawandan, tempat ia disambut gembira oleh masyarakat Armenia.[61] Toros, kepala daerah itu, tidak berdaya mengatur maupun mempertahankan Edesa, oleh karena itu ia berusaha mempekerjakan orang Peringgi sebagai prajurit upahan. Kemudian hari, Balduinus ia jadikan anak angkatnya di dalam bingkai suatu perjanjian bagi kuasa. Pada bulan Maret 1098, sebulan sebelum kedatangan Balduinus, timbul kerusuhan umat Kristen di Edesa. Para perusuh membunuh Toros dan mengelu-elukan Balduinus sebagai douks, gelar Romawi Timur yang disandang Toros.[62] Kedudukan baru Balduinus ini lebih bersifat pribadi ketimbang kelembagaan, karena roda pemerintahan Edesa tetap berada di tangan para pamong praja Armenia. Kabupaten Edesa yang baru dikuasai Balduinus terdiri atas daerah-daerah kantong yang terpisah dari Turbesel, Rawandan, dan Samosata yang juga dikuasainya, karena diantarai daerah-daerah kekuasaan para panglima perang Turki dan Armenia maupun aliran Sungai Efrat.[63]
Saat Tentara Salib berkirab menuju Antiokhia, umat Islam Suriah meminta pertolongan Sultan Barkiyaruq, sayangnya sultan masih sibuk berebut takhta dengan kakaknya, Muhammad Tapar.[64] Setibanya di Antiokhia, Boamundus membujuk panglima-panglima lain untuk mengakui kepemilikannya atas Antiokhia apabila ia berhasil merebut kota itu dan Kaisar Aleksius tidak datang untuk mengklaimnya. Alih-alih ikut berjuang merebut Antiokhia, Aleksius malah memutuskan untuk mundur lantaran diberitahu Stefanus, Bupati Blois (yang mangkir meninggalkan tugasnya) bahwa Tentara Salib sudah pasti kalah. Pada bulan Juni 1098, Boamundus membujuk seorang panglima Armenia durhaka, kepala pasukan pengawal menara kota, untuk membiarkan Tentara Salib memasuki Antiokhia. Tentara Salib membantai warga Muslim kota itu, bahkan keliru membantai beberapa warga Kristen.[65][66] Mula-mula para panglima Tentara Salib memutuskan untuk menyerahkan Antiokhia kepada Kaisar Aleksius sesuai sumpah mereka di Konstantinopel,[67] tetapi sesudah mengetahui tindakan pengecut kaisar, Boamundus pun menyatakan diri sebagai penguasa Antiokhia. Panglima-panglima lain setuju, kecuali Raimundus, yang mendukung persekutuan dengan Romawi Timur.
Ketidaksepahaman di jajaran panglima ini mengakibatkan pergerakan Tentara Salib tertahan di kawasan utara Suriah. Lantaran kerap melakukan hubungan diplomatik dengan penguasa-penguasa Muslim, Tentara Salib akhirnya menyadari kekacaubalauan kancah politik Muslim. Raimundus menjalankan ekspedisi kecil-kecilan. Ia memimpin pasukannya memutari Saijar dan mengepung Arqa untuk memaksa penguasanya membayar upeti.[68] Saat Raimundus berada jauh dari Antiokhia, Boamundus mengusir sisa pasukan Raimundus dari kota itu, dan mengukuhkan kedudukannya sebagai pemimpin atas wilayah yang kemudian hari menjadi negara Kepangeranan Antiokhia.
Lantaran didesak orang-orang Peringgi yang lebih miskin, Godefridus dan Robertus II, Bupati Flandria, terpaksa melibatkan diri dalam usaha perebutan kota Arqa yang berakhir dengan kegagalan. Kaisar Aleksius minta Tentara Salib menunda kirab ke Yerusalem, supaya Romawi Timur berkesempatan turut membantu. Dukungan Raimundus terhadap strategi kaisar ini memperuncing ketidakakuran di jajaran panglima, dan merusak reputasinya di mata para prajurit.[69][70]
Bala Tentara Salib berkirab menyusuri pantai Laut Tengah menuju Yerusalem. Pada tanggal 15 Juli 1099, Tentara Salib berhasil merebut Yerusalem sesudah lebih dari sebulan lamanya mengepung kota itu. Ribuan warga Muslim dan Yahudi tewas terbunuh, dan yang selamat dijual sebagai budak belian. Usulan-usulan untuk menjadikan Yerusalem sebagai sebuah negara agama ditolak. Raimundus menolak pemakaian gelar raja, dengan alasan hanya Kristus yang pantas bertajuk mahkota di Yerusalem. Mungkin saja lewat penolakan tersebut, Raimundus berusaha membuat Godefridus yang lebih populer itu untuk mengurungkan niatnya menjadi kepala negara Yerusalem, tetapi Godefridus memakai gelar Advocatus Sancti Sepulchri (Pembela Makam Kudus) ketika dipermaklumkan sebagai penguasa Peringgi yang pertama atas Yerusalem.[71] Di Eropa Barat, advocatus adalah sebutan bagi tokoh awam yang bertanggung jawab melindungi dan mengelola harta Gereja.[72]
Pembentukan tiga negara Tentara Salib ini tidak menimbulkan perubahan yang berarti di kancah politik Levans. Panglima-panglima Peringgi menggantikan panglima-panglima perang setempat sebagai penguasa kota, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan kolonisasi besar-besaran. Para penakluk baru itu pun tidak mengubah tatanan permukiman dan kepemilikan tradisional di pedesaan.[73] Para pemimpin Muslim dibantai atau dipaksa menyingkir ke pembuangan. Warga pribumi, yang sudah terbiasa hidup di bawah pemerintahan laskar-laskar yuda yang tertata baik, tidak menunjukkan banyak perlawanan terhadap penguasa-penguasa mereka yang baru.[74] Hukum kanon Gereja Barat mengakui keabsahan perjanjian-perjanjian damai maupun gencatan senjata yang disepakati umat Kristen dengan umat Islam. Para kesatria Peringgi memandang panglima-panglima Turki sebagai rekan sederajat yang menjunjung nilai-nilai hidup yang tidak asing bagi mereka, dan ketidakasingan ini mempermulus perundingan mereka dengan para pemimpin Muslim. Penaklukan sebuah kota kerap dibarengi pembuatan kesepakatan dengan penguasa-penguasa Muslim jiran mereka yang sudah terbiasa dipaksa membayar upeti keamanan.[75] Negara-negara Tentara Salib menduduki tempat istimewa di dalam kesadaran Kristen Barat. Banyak bangsawan Katolik siap sedia berjuang bagi Tanah Suci, meskipun selama beberapa dasawarsa menyusul kekalahan besar Perang Salib tahun 1101 di Anatolia, rombongan-rombongan peziarah bersenjata yang bertolak menuju Outremer tidak lagi sebesar rombongan-rombongan sebelumnya.[76]
Konsolidasi (tahun 1099 sampai 1130)
Perseteruan Khilafah Bani Fatimah dengan wangsa Seljuk menghalangi umat Islam untuk bertindak selama lebih dari satu dasawarsa. Meskipun posisinya senantiasa berada di ujung tanduk lantaran kalah jumlah dari musuh-musuhnya, orang Peringgi berhasil menjalin persekutuan-sementara dengan jiran-jiran mereka yang berkebangsaan Armenia, Arab, dan Turki. Masing-masing negara Tentara Salib mengusung tujuan strategis sendiri pada tahun-tahun pertama keberadaannya. Kerajaan Yerusalem membutuhkan akses yang leluasa ke kawasan Laut Tengah, Kepangeranan Antiokhia ingin mendaulat Kilikia dan daerah sepanjang bagian hulu Sungai Orontes, sementara Kabupaten Edesa bercita-cita menguasai daerah hulu lembah Sungai Efrat.[77] Togtekin, Atabeg Damsyik, penguasa Muslim terkuat di Suriah, mengambil pendekatan praktis dalam berurusan dengan orang Peringgi. Kesepakatan-kesepakatan pembentukan kondominium (pemerintahan bersama) Damsyik–Yerusalem di wilayah-wilayah sengketa yang diprakarsainya menjadi preseden bagi pemimpin-pemimpin Muslim lain.[78][79]
Pada bulan Agustus 1099, Godefridus mengalahkan angkatan perang Mesir yang dipimpin Malikul Afdal Syahansyah, wazir Khilafah Bani Fatimah, di Askelon. Ketika Daimbertus, Uskup Agung Pisa, tiba di Levans selaku utusan paus, membawa 120 kapal dari Pisa, Godefridus mendapatkan dukungan angkatan laut yang sangat ia butuhkan. Sebagai balas jasa, Godefridus mendukung Daimbertus menjadi Batrik Yerusalem, menyerahkan sebagian kawasan kota Yerusalem kepadanya, dan menganugerahkan lingkungan khusus kepada orang-orang Pisa di bandar Yafo. Daimbertus menghidupkan kembali gagasan untuk membentuk sebuah negara agama, dan berhasil meyakinkan Godefridus maupun Boamundus untuk berprasetia kepadanya.
Ketika Godefridus tutup usia pada tahun 1100, anak buahnya menduduki Menara Daud demi mengamankan hak waris adiknya, Balduinus. Daimbertus dan Tankredius meminta bantuan Boamundus untuk menghadapi orang-orang Lotharingen, tetapi Boamundus ditawan wangsa Danisymend di bawah pimpinan Gazi Gümüstigin saat berusaha mengamankan daerah perbatasan utara wilayah Kepangeranan Antiokhia. Sebelum berangkat ke Yerusalem, Balduinus menyerahkan pemerintahan Edesa kepada saudara misannya, Balduinus bangsawan Bourcq. Kedatangannya Balduinus ke Yerusalem mengugurkan cita-cita Daimbertus, yang akhirnya memahkotai Balduinus sebagai raja Latin pertama atas Yerusalem pada hari Natal tahun 1100. Dengan melaksanakan upacara penobatan tersebut, sang batrik melepaskan klaimnya untuk memerintah Tanah Suci.[80][81]
Tankredius terus menentang Balduinus sampai rombongan caraka Kepangeranan Antiokhia datang menawarinya jabatan pemangku pada bulan Maret 1101. Ia menyerahkan Kepangeranan Galilea kepada raja, dengan syarat dijamin haknya untuk mengklaim kembali daerah itu sebagai bumi lungguh apabila ia kembali dari Antiokhia dalam jangka waktu lima belas bulan. Tankredius memerintah Antiokhia selama dua tahun berikutnya. Ia menaklukkan Kilikia yang dikuasai Romawi Timur dan beberapa daerah di Suriah.[82] Khilafah Bani Fatimah menyerbu Yerusalem pada tahun 1101, 1102, dan pada tahun 1105 bersama-sama Togtekin. Raja Balduinus mematahkan serbuan-serbuan tersebut dengan kekuatan armada Genova, Venesia, dan Norwegia, serta menundukkan semua kota di pesisir Palestina kecuali Tirus dan Askelon.[83]
Raimundus adalah perintis negara Tentara Salib yang keempat, yakni negara Kabupaten Tripoli. Ia merebut Tartus dan Jubail, serta mengepung Tripoli. Saudara misannya, Wilelmus Yordan, melanjutkan pengepungan Tripoli sesudah Raimundus tutup usia pada tahun 1105. Tripoli berhasil direbut pada tahun 1109, ketika putra Raimundus yang bernama Bertrandus tiba. Raja Balduinus membantu selaku perantara dalam pembuatan kesepakatan yang membagi wilayah negara baru itu kepada Wilelmus dan Bertrandus. Sesudah Wilelmus Yordan tutup usia, seluruh wilayah Kabupaten Tripoli kembali menyatu. Bertrandus berprasetia kepada Raja Balduinus, meskipun Wilelmus Yordan dulunya berprasetia kepada Tankredius.[84]
Ketika Boamundus dibebaskan dengan uang tebusan pada tahun 1103, Tankredius ia ganjari anugerah tanah dan berbagai macam hadiah. Balduinus bangsawan Bourcq dan saudara misan sekaligus bawahannya, Yoselinus bangsawan Courtenay, tertawan saat menyerang Emir Halab, Fakhrul Muluk Ridwan, di Haran bersama Boamundus. Tankredius mengambil alih pemerintahan Edesa selaku pemangku. Romawi Timur memanfaatkan kesempatan itu untuk merebut kembali Kilikia. Pelabuhan dapat dikuasai, tetapi benteng Laodikia gagal mereka tundukkan.
Boamundus kembali ke Italia untuk mencari sekutu dan mengumpulkan perbekalan. Tankredius mengambil alih pemerintahan Antiokhia, dan saudara misannya, Rikhardus bangsawan Salerno mengambil langkah serupa di Edessa. Pada tahun 1107, Boamundur berlayar mengarungi Laut Adriatik dan mengepung Dirakhion di Semenanjung Balkan, tetapi berakhir dengan kegagalan. Perjanjian Devol mewajibkan Boamundus untuk mengembalikan Laodikia dan Kilikia kepada Kaisar Aleksius, menjadi kawula kaisar, dan memulihkan jabatan Batrik Antiokhia Yunani. Boamundus tak pernah pulang lagi ke Antiokhia. Ia mangkat, meninggalkan seorang putra belia yang juga bernama Boamundus. Tankredius terus memerintah Antiokhia selaku pemangku tanpa mengindahkan Perjanjian Devol. Putra Rikhardus yang bernama Rugerus menjadi pemangku yang baru sesudah Tankredius tutup usia pada tahun 1112.[85][86]
Jatuhnya Tripoli ke tangan Tentara Salib mendorong Sultan Muhammad Tapar untuk mengangkat Atabeg Mosul, Mawdud, menjadi panglima perang jihad melawan orang Peringgi. Antara tahun 1110 sampai 1113, Mawdud melancarkan empat kali kampanye militer di Mesopotamia dan Suriah, tetapi persaingan antar-panglima pasukan yang berbeda suku-bangsa membuatnya terpaksa menghentikan penyerbuan dalam tiap kampanye.[87][88] Karena Edesa adalah saingan utama Mosul, Mawdud dua kali menyerbu kota itu.[89] Pasukan jihad menimbulkan kekacauan, dan bagian timur wilayah Kabupaten Edesa untuk seterusnya tidak dapat direbut kembali.[90] Para penguasa Muslim Suriah memandang campur tangan sultan sebagai ancaman terhadap keswatantraan mereka, dan oleh karena itu bekerja sama dengan orang Peringgi. Setelah Mawdud tewas dibunuh, agaknya oleh seorang anggota aliran Nizari, Sultan Muhammad Tapar dua kali melancarkan kampanye militer ke Suriah, tetapi kedua-duanya berakhir dengan kegagalan.[91]
Karena Halab masih rentan diserbu orang Peringgi, para pemimpin kota itu berusaha mencari pihak luar yang mampu memberikan perlindungan. Mereka menjalin persekutuan dengan pangeran-pangeran petualang dari wangsa Artuk, yakni Ilgazi dan Balak, yang memang cukup kuat untuk mengalahkan orang Peringgi antara tahun 1119 sampai 1124, tetapi jarang dapat mematahkan gempuran anti-invasi yang dilancarkan orang Peringgi.[92][93]
Pada tahun 1118, Balduinus bangsawan Bourcq naik takhta menggantikan Raja Balduinus I sebagai kepala negara Kerajaan Yerusalem, dan mengangkat Yoselinus menjadi Bupati Edesa menggantikan dirinya. sesudah Rugerus gugur dalam Pertempuran Ager Sanguinis (Pertempuran Tanah Darah), Raja Balduinus II mengambil alih pemerintahan Antiokhia selaku pemangku karena Boamundus II sedang berada di luar Antiokhia. Masyarakat menganggap malapetaka beruntun yang menimpa Outremer, yakni kekalahan melawan musuh dan wabah hama belalang, sebagai azab atas dosa-dosa orang Peringgi. Demi memperbaiki akhlak, para petinggi negara dan pemuka agama di Yerusalem bersidang bersidang di Nablus dan menghasilkan maklumat menentang percabulan, semburit, bigami, dan persetubuhan pemeluk agama Katolik dengan pemeluk agama Islam.[94]
Usulan sekelompok kesatria saleh untuk membentuk tarekat rahib khusus bagi pejuang-pejuang yang warak agaknya pertama kali dibahas dalam Konsili Nablus. Para petinggi Gereja serta merta menyambut baik gagasan rahib bersenjata, sehingga dalam rentang satu dasawarsa terbentuklah dua tarekat tentara, yakni tarekat Kesatria Haikal dan tarekat Kesatria Panti Husada.[95][96] Karena Khilafah Bani Fatimah bukan lagi ancaman utama bagi Yerusalem, tetapi Antiokhia dan Edesa masih rentan diinvasi, urusan pertahanan negara-negara Tentara Salib di utara menyita sebagian besar waktu Raja Balduinus II. Ketidakhadirannya di istana, dampak ketidakhadirannya terhadap penyelenggaraan pemerintahan, dan keputusannya mengangkat kaum kerabat beserta kawula mereka untuk memegang jabatan-jabatan penting menimbulkan penentangan dari sebagian pihak di Yerusalem. Tertawannya Raja Balduinus II selama enam belas bulan mendorong beberapa orang bangsawan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Salah seorang calon kuat yang mereka gadang-gadangkan menjadi raja pengganti adalah Karolus Budiman, Bupati Flandria. Meskipun demikian, Karolus menampik tawaran mereka untuk menduduki takhta Kerajaan Yerusalem.[90][97]
Raja Balduinus II dikaruniai empat orang anak perempuan. Pada tahun 1126, Pangeran Boamundus II akhirnya cukup umur untuk memerintah sendiri, dan mengawini Putri Alisia, anak kedua Raja Balduinus II, di Antiokhia.[98] Halab dilanda huru hara, tetapi Boamundus II tidak dapat mengatasinya karena sedang berkonflik dengan Yoselinus. Imaduddin Zanki, Atabeg Mosul yang baru, merebut Halab pada tahun 1128. Penyatuan dua pusat besar Muslim itu menimbulkan ancaman khusus bagi Edesa,[99][100] tetapi juga menimbulkan rasa was-was di hati Emir Damsyik yang baru, Tajul Muluk Buri.[101] Putri Melisenda, anak sulung Raja Balduinus II, adalah ahli waris sang raja. Melisenda dijodohkan dengan Fulko, Bupati Anjou, bangsawan yang luas koneksinya di Barat, dengan harapan koneksi Fulko kelak berguna bagi Kerajaan Yerusalem. Sesudah Fulko tiba di Yerusalem, raja membentuk angkatan perang yang besar untuk menyerbu Damsyik. Angkatan perang ini mencakup kepala-kepala negara Tentara Salib lainnya, dan pasukan Anjou bawaan Fulko yang lumayan besar. Rencana menyerbu Damsyik dibatalkan ketika pasukan yang bertugas mencari bahan makanan diporak-porandakan musuh, dan cuaca buruk membuat jalanan muskil dilalui. Boamundus II gugur saat menyerbu Kilikia pada tahun 1130, meninggalkan Alisia dan bayi perempuan mereka, Konstansia. Raja Balduinus II tidak menyambut baik peralihan kepemimpinan kepada Alisia, dan mengambil alih pemerintahan Antiokhia selaku wali Konstansia sampai dengan kemangkatannya pada tahun 1131.[102][103]
Kebangunan Muslim (tahun 1131 sampai 1174)
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Raja Balduinus II menetapkan Fulko, Melisenda, dan putra belia mereka yang bernama Balduinus bersama-sama menjadi ahli warisnya. Fulko ingin membatalkan ketetapan tersebut, tetapi kecenderungannya untuk menganakemaskan rekan-rekan sedaerah asal menimbulkan penentangan hebat terhadap dirinya di Kerajaan Yerusalem. Pada tahun 1134, Fulko memadamkan pemberontakan Hugo II, Bupati Yafo, salah seorang kerabat Melisenda, tetapi tetap tidak berdaya melanggar ketetapan mendiang raja. Ia juga menghalang-halangi upaya berulang adik iparnya, Putri Alisia, untuk menjadi pemangku takhta Antiokhia, antara lain dengan memerangi Ponsius Bupati Tripoli dan Yoselinus II Bupati Edesa.[104] Kelemahan Antiokhia dimanfaatkan Leo, seorang bangsawan Armenia Kilikia, untuk merebut dataran Kilikia.[105]
Penyelenggaraan dan lembaga negara
Historiografi modern sudah menumpukan perhatiannya kepada Kerajaan Yerusalem, kemungkinan besar karena keterkaitannya dengan tujuan Perang Salib I, maupun dengan citra kota Yerusalem sebagai pusat dan kota utama Dunia Kristen pada Abad Pertengahan. Meskipun demikian, penelitian terhadap Kerajaan Yerusalem tidak menghasilkan suatu pola acuan umum yang komprehensif bagi pengembangan permukiman-permukiman Latin lainnya.[106] Penyelenggaraan negara Kerajaan Yerusalem berpusat di kota Yerusalem sampai kota itu direbut Salahuddin, dan selanjutnya berpusat di kota Ako. Penyelenggaraan negara tersebut menampakkan unsur-unsur yang lazim dijumpai di dalam majelis istana di Barat pada umumnya, yaitu rohaniwan kepala tata usaha, jagabaya, marsekal, kepala rumah tangga istana, kanselir, seneskal, dan kepala pelayan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah di dalam wilayah kedaulatan negara ditangani langsung oleh para bupati muda.[7] Semua barang bukti keberadaan hukum tertulis sudah musnah ketika Yerusalem jatuh ke tangan Muslim pada tahun 1187.[107] Majelis istana Pangeran Antiokhia serupa dengan majelis istana Yerusalem, dan menghasilkan kitab undang-undang orang Norman-Italia yang kelak diadopsi negara Armenia Kilikia, yakni undang-undang yang dikenal dengan sebutan Amar Putusan Antiokhia. Undang-undang ini terlestarikan lewat naskah-naskah terjemahannya ke dalam bahasa Armenia yang dikerjakan pada abad ke-13. Warga negara Antiokhia yang majemuk (terdiri atas orang Peringgi, Suriah, Yunani, Yahudi, dan Muslim) pada umumnya hidup berdampingan secara rukun dan damai.[108]
Militer
Kekuatan tempur dan perekrutan
Semua perkiraan jumlah kekuatan angkatan perang Peringgi maupun angkatan perang Muslim tidak dapat dipastikan kebenarannya. Peninggalan-peninggalan tertulis yang ada mengindikasikan bahwa kemungkinan besar orang Peringgi di Outremer membentuk angkatan perang terbesar di Dunia Kristen Katolik. Seawal-awalnya pada tahun 1111, keempat negara Tentara Salib mengerahkan 16.000 prajurit dalam kampanye militer gabungan melawan Syaizar. Edesa dan Tripoli membentuk angkatan perang yang terdiri atas 1.000 sampai 3.000 prajurit, Antiokhia dan Yerusalem mengerahkan 4.000 sampai 6.000 prajurit. Sebagai perbandingan, Wilelmus Penakluk mengepalai 5.000 sampai 7.000 prajurit dalam Pertempuran Hastings, sementara 12.000 Tentara Salib bertempur melawan orang Moro dalam Pertempuran Las Navas de Tolosa di Iberia.[109] Di antara lawan-lawan terawal orang Peringgi, khilafah Bani Fatimah memiliki 10.000 sampai 12.000 prajurit, Emir Halab memiliki 7.000 sampai 8.000 prajurit, dan Atabeg Damsyik memimpin 2.000 sampai 5.000 prajurit. Wangsa Artuk mampu mengupah sampai 30.000 orang Turki, tetapi para pejuang kelana ini tidak cocok dikerahkan dalam aksi-aksi pengepungan yang berlangsung lama. Sesudah mempersatukan Mesir, Suriah, dan sebagian besar wilayah Irak, Salahuddin membentuk angkatan perang berkekuatan kurang lebih 20.000 prajurit. Demi menghadapi Salahuddin, orang Peringgi buru-buru menambah jumlah prajuritnya hingga mencapai 18.000 orang, tetapi harus dibarengi langkah-langkah pengetatan anggaran.[110] Pada abad ke-13, kendali atas kegiatan perdagangan yang menguntungkan di Ako memungkinkan pemerintah Peringgi untuk mempertahankan jumlah kekuatan angkatan perang yang cukup besar.[111] Dalam Pertempuran La Forbie, 16.000 pejuang Peringgi gugur di medan laga, tetapi pertempuran ini adalah kali terakhir segenap angkatan perang Yerusalem berlaga dalam pertempuran terbuka.[112] Dalam peristiwa pengepungan Ako tahun 1291, kurang lebih 15.000 prajurit Peringgi dikerahkan untuk membendung serangan 60.000 pejuang Mamluk.[113]
Kekuatan militer negara-negara Tentara Salib lebih banyak bergantung kepada empat golongan utama prajurit, yaitu bangsawan bawahan, prajurit upahan, perantau dari Barat, dan prajurit tarekat tentara.[114] Para bangsawan bawahan diharapkan untuk menunaikan kewajiban militernya secara langsung selaku kesatria berkuda bobot-berat atau bintara bersenjata ringan. Bangsawati-bangsawati lajang pemangku bumi lungguh harus mempekerjakan prajurit upahan, sama dengan cara penunaian kewajiban militer yang berlaku bagi bangsawan bawahan yang belum cukup umur. Yang cacat dan yang berumur di atas enam puluh tahun diwajibkan menyerahkan kuda dan persenjataannya kepada majikan. Bangsawan bawahan yang berkewajiban mengerahkan lebih dari satu tenaga prajurit harus mengerahkan para bawahannya atau mempekerjakan para prajurit upahan.[115] Angkatan perang seorang majikan feodal bisa saja cukup besar. Sebagai contoh, dalam kampanye militer gabungan Antiokhia-Edesa melawan Mawdud pada tahun 1111, ada 60 prajurit berkuda dan 100 prajurit pejalan kaki mendampingi Rikardus bangsawan Salerno yang saat itu menjabat selaku Tuan Besar Maras.[116] Banyaknya keluhan soal kesulitan para penguasa Peringgi membayar upah prajurit menunjukkan betapa pentingnya tenaga prajurit upahan dalam urusan peperangan di Levans. Para prajurit upahan secara teratur dipekerjakan untuk kepentingan kampanye-kampanye militer, dijadikan pasukan pengawal benteng-benteng, dan khusus di Antiokhia dijadikan abdi dalem bersenjata.[117] Negara-negara Tentara Salib sukar sekali bertahan andaikata tidak ada dukungan tetap dari Barat. Para peziarah bersenjata yang tiba dalam situasi genting dapat saja menjadi juru selamat, contohnya para peziarah yang mendarat tepat sesudah Raja Balduinus I mengalami kekalahan di Ramlah pada tahun 1102. Para pendatang dari Barat enggan tunduk kepada para penguasa Peringgi.[118]
Tarekat tentara
Tarekat-tarekat tentara muncul sebagai bentuk baru dari organisasi keagamaan untuk menanggapi tantangan ketidakstabilan di perbatasan wilayah Kristen. Tarekat tentara yang pertama, yakni Tarekat Kesatria Haikal, adalah hasil pengembangan sebuah serikat persaudaraan kesatria yang erat kaitannya dengan Gereja Makam Kudus. Sekitar tahun 1119, para kesatria tersebut mengikrarkan kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan seperti yang dilakukan para ahli zuhud Kristen, dan mendarmabaktikan jiwa raga bagi perlindungan para peziarah Kristen yang menyambangi Yerusalem. Perjodohan ganjil semangat zuhud dan keperwiraan ini tidak disambut hangat oleh khalayak ramai, tetapi berhasil menarik simpati seorang tokoh yang disegani di Dunia Kristen, yakni Bernardus, kepala biara tarekat Sistersien Klaravalis. Tata tertib zuhud Tarekat Kesatria Haikal akhirnya disahkan dalam Konsili Troyes tahun 1129. Namanya diembel-embeli kata haikal lantaran tarekat ini mula-mula bermarkas di Mesjid Aqsa, yakni gedung yang disebut Haikal Sulaiman oleh orang Peringgi.[119][120] Komitmen Kesatria Haikal untuk membela saudara-saudari seimannya terbukti merupakan suatu gagasan menarik, sehingga merangsang pembentukan tarekat-tarekat tentara baru, yang di Outremer senantiasa dilakukan lewat jalan militerisasi organisasi-organisasi amal-kasih. Tarekat Kesatria Panti Husada adalah contoh tarekat tentara yang paling awal dibentuk mengikuti jejak Tarekat Kesatria Haikal. Mulanya tarekat ini adalah serikat persaudaraan juru rawat di sebuah balai kesehatan yang didirikan para saudagar asal Amalfi di Yerusalem, dan mulai menjalankan fungsi-fungsi ketentaraan pada dasawarsa 1130-an. Kemudian hari ada tiga lagi tarekat tentara yang terbentuk di Levans, yaitu Tarekat Santo Lazarus yang dibentuk pada dasawarsa 1130-an untuk mewadahi para juru rawat panti kusta, Tarekat Kesatria Teuton yang dibentuk bangsa Jerman pada tahun 1198, dan Tarekat Santo Tomas di Ako yang dibentuk bangsa Inggris pada tahun 1228.[121][122]
Karena kerap menerima derma dari seluruh Eropa dan Levans, Tarekat Kesatria Panti Husada, Tarekat Kesatria Haikal, dan sampai taraf tertentu juga Tarekat Kesatria Teuton menjadi lembaga-lembaga dengan harta kekayaan yang lumayan besar. Harta benda milik tarekat yang tersebar di mana-mana dikelola melalui suatu jaringan luas markas cabang. Setiap markas cabang diwajibkan mentransfer sebagian (pada umumnya sepertiga) pendapatannya ke markas besar di Yerusalem. Lantaran kegiatan transfer emas dan uang secara teratur membutuhkan pengembangan sistem logistik dan sistem keuangan yang rumit, ketiga tarekat tersebut beroperasi sebagai bentuk-bentuk perdana dari lembaga kredit dan balai dagang yang supranasional. Jejaring yang luas memperlancar kegiatan transfer uang, karena dana yang disimpan di sebuah markas cabang dapat dicairkan di markas cabang yang lain, dan pinjaman yang diterima di suatu negara dapat dilunasi di negara lain.[123] Tarekat Kesatria Panti Husada tidak pernah melalaikan karya amal mereka. Balai pengobatan mereka di Yerusalem melayani ratusan pasien pria maupun wanita dari berbagai agama. Mereka juga menyantuni para peziarah, wanita hamil, anak-anak terlantar, dan fakir miskin.[124] Meskipun demikan, memerangi orang kafir tetap menjadi kewajiban utama tarekat-tarekat tentara. Sebagai pasukan-pasukan tentara permanen perdana, tarekat-tarekat ini menjadi salah satu unsur penting dari kekuatan pertahanan negara-negara Tentara Salib. Para bruder-kesatria beserta para pelayan bersenjata mereka merupakan prajurit-prajurit profesional yang mengikrarkan kaul-kaul zuhud. Mereka mengenakan pakaian seragam tarekat yang selalu dihiasi tanda salib dan menunjukkan pangkat pemakainya.[125] Lantaran jarang memiliki cukup dana untuk mengongkosi usaha pertahanan di perbatasan wilayah, para penguasa dan kaum bangsawan tak sungkan-sungkan menyerahkan benteng-benteng perbatasan mereka kepada tarekat-tarekat tentara. Contoh-contoh paling awal dari benteng perbatasan yang diserahkan kepada tarekat tentara antara lain adalah Bet Gibelin di Yerusalem, dan Krak des Chevaliers di Tripoli. Kedua benteng tersebut dikuasai Tarekat Kesatria Panti Husada.[126]
Senjata dan taktik
Kesatuan-kesatuan kesatria berkuda yang sangat terlatih adalah unsur utama angkatan perang Peringgi. Kecakapan militer maupun ikatan rasa senasib sepenanggungan yang kuat di antara mereka merupakan keistimewaan yang membedakan mereka dari prajurit-prajurit berkuda bobot-berat Romawi Timur maupun Muslim. Prajurit-prajurit pejalan kaki Peringgi dilatih untuk bekerjasama dengan para kesatria dan melindungi mereka dari serangan pasukan berkuda bobot-ringan Turki. Unsur yang menjadi ciri khas angkatan perang Peringgi adalah pasukan pejalan kaki yang dipersenjatai busur silang. Para panglima Muslim nyaris hanya mengerahkan pasukan pemanah busur silang dalam aksi pengepungan.[127] Umat Kristen pribumi, orang-orang Turki yang sudah masuk Kristen, dan beberapa orang Peringgi disatukan menjadi pasukan berkuda bobot-ringan yang disebut turkopoli.[128][129] Pasukan ini disiagakan untuk menghadapi pasukan berkuda bobot-ringan Turki, dan sangat cocok dikerahkan dalam aksi-aksi penyerbuan.[130]
Kesatria-kesatria Peringgi bertempur dalam formasi barisan rapat dan menerapkan berbagai macam taktik untuk memperbesar dampak serangan pasukan berkuda, antara lain taktik serangan dadakan saat fajar menyingsing dan taktik menghalau kawanan sapi ke lokasi perkemahan musuh. Bilamana pasukan berkuda Peringgi melancarkan serangan, pasukan-pasukan Muslim akan berusaha menghindari bentrok langsung sampai para kesatria terpisah dari pasukan pejalan kaki dan kuda tunggangan mereka kelelahan. Prajurit-prajurit pejalan kaki Peringgi dapat membentuk atap perisai untuk menangkis hujan panah Turki. Taktik pura-pura mundur digunakan pasukan Muslim maupun pasukan Peringgi, sekalipun dianggap sebagai taktik yang memalukan oleh para petawarikh Kristen. Bilamana melancarkan aksi pengepungan, pasukan Peringgi akan menghindari serangan langsung dan berusaha memblokade kota supaya pihak-bertahan kelaparan dan menyerah, sementara para panglima Muslim justru lebih suka melancarkan serangan langsung lantaran mudah mengerahkan pasukan-pasukan baru untuk menggantikan pasukan-pasukan yang gugur.[131] Baik pihak Muslim maupun pihak Peringgi menggunakan perkakas-perkakas kepung yang sama, antara lain menara kepung kayu, balak pendobrak, manjanik, dan sejak dasawarsa 1150-an juga manjanik magribi berukuran raksasa.[132] Salah satu unsur penting dalam seni perang Muslim adalah pemanfaatan burung merpati pos dan api suar secara ekstensif. Karena para panglima Muslim mendapatkan informasi yang tepat-waktu mengenai pergerakan pihak Peringgi, mereka dapat menyergap pasukan Peringgi tanpa diduga-duga.[133] Jika dibandingkan dengan situasi di Eropa pada masa itu, pertempuran bukan peristiwa langka di Outremer. Pasukan Peringgi lebih sering bertempur selaku pihak-bertahan. Mereka hanya akan menggunakan taktik mengulur-ulur waktu jika jelas-jelas sudah tidak berpeluang mengalahkan pihak-penyerang, seperti yang terjadi ketika Salahuddin menginvasi Antiokhia pada tahun 1187 dan ketika pasukan Mamluk menggempur Outremer pada dasawarsa 1260-an. Bilamana menjadi pihak-penyerang, pasukan Peringgi biasanya akan nekat mengadu nasib dalam pertempuran-pertempuran terbuka jika melihat ada peluang untuk mendapatkan wilayah yang cukup luas dan ada golongan masyarakat setempat yang mendukung mereka.[134]
Kelemahan dan kemunduran
Karena orang Peringgi tidak mampu mengatasi musibah seefektif musuh-musuhnya, kekalahan di dalam perang yang besar dapat saja membahayakan keberadaan sebuah negara Tentara Salib. Contohnya antara lain adalah menyempitnya wilayah kedaulatan Antiokhia menyusul kekalahan koalisi Antiokhia–Edesa dalam Pertempuran Haran pada tahun 1104 dan konsekuensi-konsekuensi teritorial dari kemenangan Salahudin di Hatin.[135] Sejak dasawarsa 1150-an, para pengamat seperti petawarikh Mikhael Assuryani dan Ali bin Atsir menyimpulkan bahwa kecakapan militer Peringgi sudah menurun. Pada kenyataannya, orang Peringgi masih mampu melancarkan kampanye-kampanye militer jarak jauh ke Mesir maupun membendung gempuran-gempuran musuh tanpa bekal memadai selama berhari-hari. Oleh karena itu, seperti usulan sejarawan Nicholas Morton, kekalahan-kekalahan orang Peringgi agaknya lebih disebabkan oleh keluwesan musuh-musuhnya. Pihak Muslim sudah belajar mengatasi keterbatasan-keterbatasannya dan memanfaatkan kelemahan-kelemahan pihak Peringgi.[136] Para pemimpin Muslim menggencarkan propaganda jihād guna meredakan ketegangan antar-etnis, sementara pertikaian-pertikaian orang Peringgi dengan para panglima Eropa menghambat terwujudnya kerjasama efektif di antara mereka. Para panglima Muslim mengadopsi taktik-taktik baru untuk melawan kesatria-kesatria berbaju zirah lengkap, misalnya membelah pasukan secara mendadak saat melancarkan serbuan pasukan berkuda. Pihak Peringgi sebaliknya tidak mampu menyaingi kegesitan musuh-musuhnya. Dalam pelaksanaan pengepungan, pihak Peringgi bersikeras menggunakan menara-menara kepung, padahal pengerjaan sebuah menara kepung bisa menghabiskan waktu empat sampai enam minggu, dan dalam rentang waktu itu bala bantuan mungkin saja sudah mencapai kota atau benteng yang dikepung. Pihak Muslim sebaliknya memilih menggunakan operasi-operasi penggalian, misalnya menggali gorong-gorong di bawah tembok benteng atau membakar tembok.[137]
Demografi
Tanpa peninggalan tertulis sebagai pijakan, hitungan modern ukuran populasi negara-negara Tentara Salib hanyalah terkaan belaka.[138][139][140] Tawarikh-tawarikh Abad Pertengahan memuat data demografis, tetapi rata-rata menyajikan angka-angka yang dilebih-lebihkan serta tidak membedakan orang Peringgi dari umat Kristen pribumi. Hitungan-hitungan yang berkaitan dengan populasi sebuah kota didasarkan atas laporan-laporan aksi pengepungan, manakala arus pengungsi dari desa-desa di sekitarnya sudah melipatgandakan populasi kota itu.[138] Jumlah-jumlah perkiraan orang Peringgi di Outremer berkisar antara 120.000 sampai 300.000 jiwa.[141] Jika angka-angka tersebut dapat dipercaya, maka jumlah orang Peringgi hanya mencapai 15% dari keseluruhan populasi negara-negara Tentara Salib.[138] Dalam konteks tertentu, Josiah Russell memperkirakan populasi kawasan yang ia sebut 'wilayah Islam' kira-kira berjumlah 12,5 juta jiwa pada tahun 1000 (8 juta jiwa di Anatolia; 2 juta jiwa di Suriah; 1,5 juta jiwa di Mesir; 1 juta jiwa di Afrika Utara), sementara populasi kawasan-kawasan Eropa pemasok Tentara Salib berjumlah 23,7 juta jiwa. Ia memperkirakan bahwa pada tahun 1200, angka-angka tersebut sudah meningkat menjadi 13,7 juta jiwa di wilayah Islam (7 juta jiwa di Anatolia; 2,7 juta jiwa di Suriah; 2,5 juta jiwa di Mesir; 1,5 juta jiwa di Afrika Utara), sementara populasi 'negeri-negeri asal' Tentara Salib meningkat menjadi 35,6 juta jiwa. Josiah Russell mengakui bahwa sebagian besar populasi Anatolia beragama Kristen atau berada di bawah pemerintahan Romawi Timur, dan beberapa daerah yang dianggap Islami seperti Mosul dan Bahdad memiliki populasi Kristen yang signifikan.[142]
Imigrasi dari Eropa Katolik terus berlangsung secara berkesinambungan sampai dengan tamatnya riwayat negara-negara Tentara Salib. Meskipun sebagian besar pemukim pendatang menetap di kota-kota pesisir, peninggalan-peninggalan tertulis mengabadikan keberadaan pemukim Peringgi di lebih dari 200 desa (kira-kira 15% dari keseluruhan permukiman pedesaan) di Kerajaan Yerusalem.[143][144] Beberapa permukiman orang Peringgi di kawasan pedesaan adalah desa berencana yang sengaja didirikan untuk menarik pendatang dari Barat. Beberapa di antaranya didiami bersama-sama umat Kristen pribumi. Populasi pribumi menetap di casalia, atau permukiman-permukiman pedesaan, yang menampung kira-kira tiga sampai lima puluh keluarga.[145] Sejak akhir abad ke-12, arus pengungsi dari daerah-daerah yang direbut pihak Muslim melonjakkan populasi Kristen di kota-kota pesisir, tetapi juga terdeteksi adanya arus emigrasi ke Siprus maupun ke daerah-daerah di Yunani yang dikuasai orang Peringgi. Ekspansi populasi perkotaan paling jelas terlihat di Ako, tempat sebuah upakota baru dikembangkan menyusul Perang Salib III. Emigrasi dari Outremer mengalami peningkatan semenjak dasawarsa 1240-an seiring kian suramnya masa depan negara-negara Tentara Salib.[146] Pada masa itulah luapan pengungsi Peringgi dan Kristen pribumi ke Siprus terdokumentasikan dengan baik. Orang-orang Peringgi yang tidak ikut mengungsi dapat bertahan menyintasi penaklukan Mamluk sebagai budak atau pembelot. Lebih dari satu dasawarsa sesudah Ako jatuh ke tangan Mamluk, seorang frater Fransiskan menjumpai orang-orang Peringgi yang menjadi tawanan perang dan yang masuk Islam di kota itu.[147]
Masyarakat
Penelitian modern menunjukkan bahwa umat Islam dan masyarakat Kristen pribumi kurang terintegrasi daripada yang diduga sebelumnya. Umat Kristen tinggal di sekitar Yerusalem dan di sepanjang jalur yang membujur dari Yerikho dan Sungai Yordan sampai Hebron di selatan.[148] Perbandingan bukti arkeologis gereja-gereja Romawi Timur yang dibangun sebelum aksi penaklukan Muslim dan catatan sensus Usmani dari abad ke-16 menunjukkan bahwa beberapa komunitas Kristen Ortodoks Yunani menghilang sebelum Perang Salib, tetapi sebagian besar masih bertahan selama Perang Salib bahkan sampai berabad-abad sesudahnya. Umat Kristen Mawarinah terkonsentrasi di Tripoli. Umat Kristen Yakubi terkonsentrasi di Antiokhia dan Edesa. Umat Kristen Armenia terkonsentrasi di utara, tetapi komunitas-komunitas Kristen Armenia dapat ditemukan di semua kota utama. Mayoritas penduduk kawasan tengah adalah umat Islam Suni, tetapi ada pula komunitas-komunitas Islam Syiah di Galilea. Umat Islam Durzi tinggal di daerah pegunungan Tripoli. Umat Yahudi tinggal di kota-kota pesisir dan beberapa desa di Galilea.[149][150] Konversi ke agama Islam belum banyak diteliti, tetapi bukti-bukti yang ada mendorong Ellenblum untuk menyimpulkan bahwa umat Kristen masih menjadi warga mayoritas di sekitar Nablus dan Yerusalem.[151]
Rata-rata warga pribumi bermatapencaharian sebagai petani gurem. Piagam-piagam dari awal abad ke-12 memperlihatkan bukti penghibahan tenaga villanus (kawula tani merdeka) setempat kepada bangsawan-bangsawan dan lembaga-lembaga keagamaan. Mungkin ini adalah salah satu cara untuk menandai pendapatan yang diterima dari para villanus tersebut atau pendapatan dari tanah yang tidak jelas batas-batasnya. Kawula tani pribumi disebut villanus atau surianus jika beragama Kristen, dan disebut sarracenus jika beragama Islam. Istilah servus hanya dipakai sebagai sebutan bagi sekian banyak budak rumah tangga perkotaan yang dimiliki orang Peringgi. Penggunaan istilah villanus diduga mencerminkan status lebih terhormat yang dimiliki warga desa atau kawula tani di Timur Dekat. Warga pribumi dianggap memiliki lahan garapan tetap, alih-alih dianggap bukan orang merdeka. Status villanus berbeda dari status kawula tani di Barat, karena mereka boleh kawin dengan orang dari luar daerah kekuasaan majikannya, tidak diwajibkan bekerja bakti, serta dapat menguasai tanah dan mewariskan harta. Meskipun demikian, lantaran orang Peringgi butuh produktivitas tetap terjaga, warga desa pun dibuat terikat dengan tanah garapannya. Piagam-piagam menunjukkan bahwa tuan-tuan tanah sepakat untuk memulangkan vilanus tuan tanah lain yang mereka dapati di tanah mereka. Petani diwajibkan menyerahkan seperempat sampai setengah dari hasil panennya kepada majikan. Peziarah Muslim Ibnu Jubair melaporkan adanya pungutan pajak per kapita sebesar satu dinar lima qirat (satu qirat sama dengan seperdua belas dirham) tiap orang dan pajak hasil bumi dari pohon-pohon. Piagam-piagam abad ke-13 menunjukkan bahwa pajak-pajak tersebut dinaikkan sesudah runtuhnya Kerajaan Yerusalem perdana untuk menambal kehilangan pendapatan orang Peringgi. Sejarawan Christopher MacEvitt mengemukakannya sebagai alasan bahwa istilah petani berikatan kerja adalah istilah yang lebih tepat digunakan ketimbang istilah kawula tani untuk menyifatkan warga pedesaan di dalam wilayah kekuasaan orang Latin di Dunia Timur.[152]
Ketidaksamaan bahasa terus menjadi unsur pembeda utama yang memisahkan tuan-tuan Peringgi dari masyarakat pribumi. Orang Peringgi lazimnya bertutur dalam bahasa Prancis Lama dan bersurat dalam bahasa Latin. Meskipun ada orang Peringgi yang mempelajari bahasa Arab, Yunani, Armenia, Suryani, dan Ibrani, belajar bahasa asing bukanlah kegiatan yang lumrah pada masa itu.[153] Masyarakat terstratifikasi secara politik dan hukum. Komunitas-komunitas berbasis etnis merupakan komunitas-komunitas swatantra, dan perhubungan lintas komunitas diatur oleh orang Peringgi.[154] Telah dilakukan penelitian yang berfokus pada peran para rais, istilah Arab yang berarti pemimpin, penghulu, atau wali kota. Riley-Smith membedakan para rais menjadi glongan orang merdeka perkotaan dan golongan buruh tani pedesaan. Para rais mengelola harta kekayaan orang Peringgi, mengepalai komunitas-komunitas pribumi, dan sering kali adalah tuan-tuan tanah setempat yang terpandang. Jika komunitas-komunitasnya tersegregasi, seperti yang ditunjukkan oleh bukti tertulis dan diidentifikasi oleh Riley-Smith dan Prawer, konflik antarkomunitas dihindari dan interaksi antara tuan tanah dan kawula tani dibatasi. McEvitt mengidentifikasi kemungkinan adanya ketegangan antar kelompok yang saling bersaing. Menurut catatan para ahli hukum abad ke-13, rais mengetuai Cour des Syriens (mahkamah orang Suriah) di kota-kota, dan bukti lain menunjukkan bahwa adakalanya para rais memimpin pasukan tempur.[155] Mahkamah-mahkamah komunitas pribumi mengadili sengketa-sengketa perdata dan pidana ringan. Mahkamah orang Peringgi, yakni cour des bourgeois atau mahkamah borjuis, yakni sebutan bagi tokoh masyarakat Peringgi yang bukan bangsawan, mengadili pelanggaran-pelanggaran dan perkara-perkara lebih serius yang melibatkan orang Peringgi.[156] Tingkat asimilasi sulit diidentifikasi, lantaran terbatasnya bukti material. Bukti-bukti arkeologi menunjukkan adanya sikap menutup diri terhadap budaya yang berbeda, dan bukti-bukti tertulis mengindikasikan adanya keterpecahan yang mendalam lantaran perbedaan agama. Beberapa sejarawan berasumsi bahwa kebhinekaan negara-negara Tentara Salib menggerus pemilah-milahan masyarakat berdasarkan ras.[157] Pemilahan status dan taraf ekonomi yang terutama adalah pemilahan masyarakat menjadi penduduk perkotaan dan penduduk pedesaan. Bumiputra Kristen berkesempatan menaikkan status dan menimbun kekayaan melalui usaha dagang dan industri di kota-kota, tetapi bumiputra Muslim yang tinggal di daerah perkotaan selain budak hanya segelitir jumlahnya.[158]
Raja dan ratu Peringgi mencerminkan kebhinekaan yang ada di kawasan itu. Ratu Melisenda adalah tokoh peranakan Armenia yang bersuamikan Fulko, bangsawan asal Anjou. Putra mereka, Amalrikus, mengawini seorang perempuan Peringgi kelahiran Levans sebelum memperistri seorang perempuan Yunani asal Romawi Timur. Pujangga Wilelmus sampai terperangah melihat tingginya pemanfaatan jasa tabib-tabib Yahudi, Suriah, dan Muslim oleh kaum bangsawan Levans. Antiokhia menjadi semacam pusat pertukaran budaya melalui warga Kristen yang menuturkan bahasa Yunani dan bahasa Arab. Bangsa pribumi memberikan penghormatan kepada kaum bangsawan Peringgi seturut adat istiadat mereka, dan sebaliknya orang Peringgi mengadopsi adat-kebiasaan bangsa pribumi di bidang sandang, pangan, papan, dan ketentaraan. Meskipun demikian, masyarakat Peringgi bukanlah sebuah kuali peleburan budaya. Hubungan antarkomunitas bersifat dangkal, jati diri menjadi unsur pemisah, dan komunitas-komunitas lain dianggap sebagai pihak asing.[159]
Ekonomi
Negara-negara Tentara Salib merupakan pusat-pusat ekonomi yang menghambat usaha dagang Muslim, baik usaha dagang lewat laut dengan dunia Barat maupun usaha dagang lewat darat dengan Mesopotamia, Suriah, dan ekonomi perkotaan Sungai Nil. Perdagangan dilanjutkan dengan kota-kota pesisir yang menjadi pintu keluar barang-barang dari daerah-daerah Muslim di pedalaman, dan jumlah barang-barang pecah belah buatan Timur yang diekspor ke Eropa jauh lebih besar daripada yang sudah-sudah. Usaha dagang Romawi Timur-Muslim mungkin sudah bertumbuh pada abad ke-12 dan ke-13, tetapi agaknya Perang Salib mempercepat laju pertumbuhannya. Populasi dan ekonomi Eropa Barat sedang mengalami lonjakan, yang melahirkan suatu golongan masyarakat berkembang yang menginginkan barang-barang kerajinan dan barang-barang impor dari Timur. Armada-armada Eropa bertambah besar dengan kapal-kapal yang lebih baik, ilmu navigasi mengalami kemajuan, dan para peziarah yang membayar tarif angkut penumpang membantu meringankan biaya pelayaran. Usaha tani yang kebanyakan ditekuni masyarakat pribumi mengalami perkembangan sebelum Kerajaan Yerusalem perdana ditumbangkan pada tahun 1187, tetapi ditelantarkan sesudahnya. Orang Peringgi, Muslim, Yahudi, dan Kristen pribumi berjual beli hasta karya di suq, pasar khas Dunia Timur yang terdapat di kota-kota.[160]
Buah zaitun, buah anggur, gandum, dan jelai adalah hasil-hasil pertanian utama sebelum Salahudin melancarkan aksi penaklukan. Pembuatan kaca dan produksi sabun merupakan usaha-usaha industri besar di kota-kota.[161] Orang-orang Italia, Provence, dan Katala memonopoli bidang usaha angkutan laut, ekspor-impor barang, transportasi, dan perbankan. Hasil pungutan pajak dagang, pajak pasar, pajak peziarah, dan pajak industri, ditambah hasil pengusahaan tanah merupakan sumber penghasilan kaum ningrat dan Gereja orang Peringgi.[162] Monopoli tuan tanah atau hak ban mewajibkan penggarap lahan untuk menggunakan kilang, pemanggang roti, dan fasilitas-fasilitas lain milik tuan tanah. Keberadaan batu kilangan di sebagian besar hunian keluarga merupakan bukti usaha kawula tani untuk mengelak dari monopoli tuan tanah dalam beberapa bidang.[163] Pusat-pusat produksi adalah Antiokhia, Tripoli, Tirus, dan Beirut. Bahan sandang, teristimewa sutra, kaca, aneka kain celupan, zaitun, minuman anggur, minyak wijen, dan gula merupakan komoditas ekspor.[164]
Orang Peringgi membuka pasaran pakaian dan barang jadi.[165] Mereka mengadopsi sistem ekonomi pribumi yang lebih termonetisasi dengan menggunakan alat tukar bauran uang perak kawasan utara Italia dan uang perak kawasan selatan Prancis. Uang tembaga Peringgi dicetak dengan gaya Arab dan Romawi Timur, demikian pula dirham perak dan dinar emas. Selepas tahun 1124, orang Peringgi meniru dinar Mesir dan menciptakan bezant emas Yerusalem. Sesudah Kerajaan Yerusalem perdana ditumbangkan pada tahun 1187, perdagangan menggeser pertanian di bidang ekonomi, dan uang logam Barat lumrah digunakan di mana-mana. Sekalipun Tirus, Sidon, dan Beirut mengeluarkan uang perak pecahan kecil dan uang tembaga, tidak banyak bukti yang menunjukkan adanya usaha sistematis untuk menciptakan mata uang bersama.[166]
Tiga republik maritim di Jazirah Italia, yakni Pisa, Venesia, dan Genova, adalah negara-negara pejuang Perang Salib yang gigih. Negara-negara ini kaya berkat usaha dagangnya sehingga mampu menyediakan landasan finansial dan sumber daya angkatan laut bagi orang Peringgi.[167] Sebagai imbalannya, ketiga kota itu maupun kota-kota lainnya, semisal Amalfi, Barcelona, dan Marseille, mendapatkan hak untuk berdagang maupun akses ke pasar-pasar Timur. Seiring bergulirnya waktu, saudagar-saudagar Eropa membentuk kampung-kampung rantau menurut negara asal masing-masing, lengkap dengan harta kekayaan dan yurisdiksinya sendiri.[168] Kampung-kampung perantau Italia, Provence, dan Katala, yang kebanyakan berlokasi di bandar Ako, Tirus, Tripoli, dan Sidon, memiliki budaya khasnya masing-masing, dan mengampu kekuasaan politik swatantra yang terpisah dari pemerintah Peringgi. Kampung-kampung rantau tersebut memelihara ikatan erat dengan kota-kota asalnya, yang memberi mereka monopoli atas usaha dagang, perbankan, dan angkutan laut luar negeri. Peluang-peluang untuk mendapatkan hak istimewa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, pada tahun 1124, orang-orang Venesia diberi sepertiga bagian dari kota Tirus berikut daerah bawahannya tanpa kewajiban membayar pajak sebagai balas jasa keikutsertaan Venesia dalam perjuangan merebut kota itu. Bandar-bandar tersebut tidak mampu menggeser kedudukan Aleksandria dan Konstantinopel sebagai pusat-pusat niaga utama, dan malah bersaing dengan kepala-kepala negara maupun satu sama lain demi mempertahankan keuntungan ekonomi. Jumlah kampung-kampung rantau tidak pernah melebihi angka ratusan. Kekuasaannya bersumber dari dukungan kota asal masing-masing. Memasuki pertengahan abad ke-13, para kepala kampung rantau tidak lagi mengindahkan wewenang pemerintah Peringgi, dan membagi wilayah Ako menjadi beberapa negara republik mini berpagar benteng.[169][170]
Karya seni dan arsitektur
Menurut Prawer, tidak ada budayawan Barat terkemuka yang menetap di negara-negara Tentara Salib, tetapi bahwasanya orang-orang lain tergugah untuk berkunjung ke Timur berkat pengungkapan citraan di dalam karya-karya seni puisi Barat.[171] Para sejarawan meyakini bahwa arsitektur militer yang menunjukkan suatu sintesis tradisi Eropa, tradisi Romawi Timur, dan tradisi Muslim adalah capaian artistik asli Tentara Salib yang mengesankan. Puri merupakan lambang keberdaulatan golongan minoritas Peringgi atas golongan mayoritas bumiputra yang digunakan sebagai pusat tata usaha pemerintahan.[172] Historiografi modern menolak konsensus abad ke-19 yang mengatakan bahwa orang-orang Barat mendapatkan dasar-dasar ilmu arsitektur militernya dari Timur Dekat. Pertumbuhan teknologi pertahanan sudah berlangsung di Eropa sebelum Perang Salib. Perkenalan dengan bangunan pertahanan Arab yang aslinya dibangun Romawi Timur memengaruhi perkembangan di Timur, tetapi tidak banyak bukti yang menunjukkan perbedaan budaya rancangan dan desakan situasi. Puri-puri Tentara Salib ditambahi unsur-unsur Timur semisal waduk besar, sedangkan unsur-unsur Barat semisal parit justru ditiadakan.[173] Rancangan gereja berlanggam Romanik Prancis tampak pada bangunan baru Gereja Makam Kudus dari abad ke-12. Orang Peringgi mempertahankan unsur-unsur Romawi Timur dari bangunan lamanya, tetapi menambahkan bilik-bilik kapel dan pelengkung-pelengkung khas Prancis Utara, Aquitania, dan Provence. Jajaran pilar muka bangunan di sisi selatan dibuat bercorak Suriah klasik, tetapi hanya sedikit bukti yang menunjukkan adanya pengaruh pribumi dalam seni pahat.[174]
Budaya visual menampakkan sifat masyarakat negara-negara Tentara Salib. Hiasan pada tempat-tempat suci, lukisan, maupun produksi naskah memperlihatkan pengaruh para seniman bumiputra. Para perupa Peringgi meminjam kiat-kiat seniman Romawi Timur dan pribumi di bidang pembuatan ikon. Lukisan-lukisan monumental maupun lukisan-lukisan pada panel, mosaik-mosaik maupun iluminasi naskah-naskah mengadopsi gaya pribumi, dan melahirkan suatu sintesis budaya yang terlihat di Gereja Kelahiran. Seni mosaik penghias dinding tidak dikenal di Barat, tetapi tersebar luas di negara-negara Tentara Salib. Meskipun tidak diketahui apakah dikerjakan oleh tukang-tukang pribumi atau oleh tukang-tukang Peringgi yang mempelajarinya dari tukang-tukang pribumi, karya seni mosaik di negara-negara Tentara Salib memperlihatkan evolusi suatu gaya artistik yang asli dan khas.[175] Sanggar-sanggar kerja yang mewadahi pengrajin-pengrajin Italia, Prancis, Inggris, maupun pengrajin-pengrajin pribumi menghasilkan naskah-naskah berilustrasi yang memperlihatkan suatu perkawinan silang antargagasan dan antarteknik. Salah satu contohnya adalah Mazmur Melisenda. Gaya hasil kawin silang ini mungkin saja mencerminkan dan mungkin pula mempengaruhi selera pemesannya terhadap karya-karya seni rupa dengan imbas pengaruh Romawi Timur yang kian distilisasi. Ikon-ikon sebelumnya tidak dikenal orang Peringgi. Pembuatan karya-karya seni lukis semacam ini terus berlanjut, kadang-kadang dalam gaya Peringgi, menampilkan orang-orang kudus Gereja Barat, dan pada akhirnya melahirkan seni lukis panel Italia.[176] Merunut alur jejak rancangan ilustrasi dan puri sampai kepada sumber-sumbernya bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Lebih mudah melacak sumber-sumber karya tulis, yakni karya-karya tulis yang diterjemahkan di Antiokhia, yang terkenal tetapi tidak sepenting karya-karya tulis Muslim Spanyol dan karya-karya tulis yang dihasilkan kebudayaan hibrida di Sisilia.[177]
Agama
Tidak ada bukti tertulis yang menunjukkan bahwa orang Peringgi atau umat Kristen pribumi menyadari perbedaan agamawi di antara mereka sampai abad ke-13, manakala para ahli hukum mulai menggunakan frasa-frasa seperti orang-orang yang tidak mengikuti aturan Roma. [178] Tentara Salib memangku jabatan-jabatan gerejawi Ortodoks Yunani yang lowong. Sebagai contoh, ketika Batrik Simeon II wafat, seorang rohaniwan Peringgi bernama Arnulfus menjadi Batrik Yerusalem menggantikannya. Pengangkatan uskup-uskup Latin tidak menimbulkan dampak yang berarti terhadap umat Kristen Ortodoks penutur bahasa Arab. Uskup-uskup mereka sebelumnya pun adalah orang-orang asing, yakni orang-orang Romawi Timur berkebangsaan Yunani. Orang-orang Yunani dijadikan uskup-uskup bantu untuk melayani umat pribumi yang tidak memiliki rohaniwan, dan melakukannya dalam bahasa Latin. Umat Kristen Ortodoks pun kerap saling berbagi rumah ibadat. Di Antiokhia, orang-orang Yunani kadang-kadang diangkat menggantikan batrik-batrik Latin. Toleransi terus berjalan, kendati ada pula tindakan campur tangan dari pihak pro-Paus yang dilakukan Yakobus, Uskup Ako. Umat Kristen Armenia, Kubti, Yakubi, dan Mawarinah memiliki kebebasan yang lebih besar dalam urusan pengangkatan uskup, karena mereka dianggap bukan bagian dari Gereja Katolik.[179] Orang Peringgi memberlakukan undang-undang diskriminatif terhadap umat Yahudi dan umat Islam yang menghalangi terjadinya asimilasi. Secara keseluruhan, kedudukan hukum umat Yahudi dan umat Islam adalah semacam hasil adaptasi Kristen Latin dari sistem zimi.[180] Mereka dilarang bertempat tinggal di Yerusalem, ada undang-undang pembatasan belanja yang melarang mereka untuk mengenakan pakaian Peringgi, dan ancaman hukuman de iure terhadap tindakan persetubuhan antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Kristen adalah mutilasi. Umat Yahudi dan umat Islam berpegang teguh kepada tatanan hukum agamanya masing-masing. Mereka didiskriminasi di dalam hukum sipil maupun hukum yang mengatur hubungan antarumat beragama, dan diwajibkan membayar pajak per kapita (capitātiō).[181] Umat Islam diketepikan dari kehidupan kota, tetapi umat Islam pedesaan di wilayah kedaulatan Tentara Salib tampaknya sama sejahteranya dengan, bahkan mungkin lebih sejahtera daripada, saudara-saudara seiman mereka di negeri-negeri Muslim, bahkan orang-orang Badawi menyandang status istimewa.[181] Sejumlah mesjid diubah menjadi gereja ritus Latin, khususnya mesjid-mesjid besar, tetapi sebagian besar mesjid tetap menjadi milik umat Islam. Di tempat-tempat tertentu, umat Islam kadang-kadang diperbolehkan untuk beribadat di sebagian dari lingkungan rumah ibadat bekas mesjid,[181] seperti yang dialami sendiri oleh Usamah bin Munqid pada awal dasawarsa 1140-an.[182] Umat Islam tidak dipaksa masuk Kristen, karena mereka diharapkan tetap beragama Islam sehingga tetap berstatus kawula tani.[183] Disamping itu, Tentara Salib sendiri tampaknya tidak berminat untuk mengganti keyakinan umat Yahudi, umat Islam, maupun umat Kristen Miafisit dengan agama Kristen Latin. Para pemeluk agama yang berbeda-beda pun diperbolehkan untuk berbaur di dalam kegiatan pengamalan kepercayaan rakyat yang bersifat lintas agama, misalnya di Gua Para Pitarah yang sekarang ini sudah dibagi menjadi lingkungan peribadatan Islam dan lingkungan peribadatan Yahudi.[184]
Warisan sejarah
Mengingat kebiasaan orang Peringgi yang terus mengamalkan adat-istiadat negeri asal mereka, yakni adat-istiadat Eropa Barat, dapat dimaklumi jika hanya segelintir inovasi mereka yang sanggup bertahan menyintasi zaman. Tiga kekecualian yang menonjol adalah tarekat-tarekat tentara, inovasi di bidang peperangan, dan inovasi di bidang perbentengan. Tidak ada penyair, teolog, sarjana, maupun sejarawan besar Eropa yang menetap di Levans, kendati citraan-citraan dan gagasan-gagasan baru di bidang seni puisi Barat dapat ditelusuri asal-usulnya sampai kepada beberapa tokoh yang berkunjung ke Levans dalam rangka berziarah. Sekalipun mereka sendiri tidak bermigrasi ke Timur, karya-karya mereka kerap menggugah orang-orang lain untuk berkunjung ke Levans sebagai peziarah.[185] Para sejarawan yakin bahwa arsitektur Tentara Salib memperlihatkan suatu sintesis dari tradisi Eropa, tradisi Romawi Timur, dan tradisi Islam, juga bahwasanya arsitektur Tentara Salib merupakan capaian artistik Tentara Salib yang paling memukau.[172]
Sesudah Ako jatuh ke tangan Mamluk, tarekat Kesatria Panti Husada pertama-tama memindahkah markasnya ke Siprus, kemudian menaklukkan dan memerintah Rodos (tahun 1309–1522) dan Malta (tahun 1530–1798). Tarekat Tentara Malta Berdaulat masih bertahan sampai sekarang. Kemungkinan besar alasan-alasan keuangan dan politiklah yang mendorong Raja Filipus Rupawan untuk memusuhi tarekat Kesatria Haikal. Akibat tekanannya pula Paus Klemens V membubarkan tarekat Kesatria Haikal pada tahun 1312 dengan alasan semburit, sihir, dan bidat, yang kemungkinan besar hanyalah dalih belaka yang direkayasa untuk menjatuhkan nama baik mereka.[186] Pembentukan dan pengangkutan pasukan, serta usaha pengadaan perbekalan angkatan bersenjata mendorong munculnya perniagaan antara Eropa dan negara-negara Tentara Salib. negara-negara kota Genova dan Venesia di Italia menjadi makmur berkat kampung-kampung saudagar di Levans yang menjadi penghasil laba.[187][188] Banyak sejarawan berpendapat bahwa interaksi antara umat Kristen Barat dan kebudayaan Islam adalah pengaruh penting dan positif yang turut andil dalam perkembangan peradaban Eropa dan Renaisans.[189] Perhubungan antara orang Eropa dan Dunia Islam merentang sepanjang bentangan Laut Tengah, sehingga menyulitkan para sejarawan untuk mengidentifikasi mana saja hasil kawin-silang budaya yang berasal dari negara-negara Tentara Salib, yang berasal dari Sisilia, dan yang berasal dari Spanyol.[177]
Historiografi
Pada abad ke-19, negara-negara Tentara Salib dijadikan sebuah bidang studi tersendiri, terpisah dari bidang studi Perang Salib, terutama di Prancis. Narasi-narasi hebat dari Joseph François Michaud secara khusus mengulik topik-topik perang, penaklukan, dan pemukiman, secara terang-terangan dikait-kaitkan dengan ambisi-ambisi kolonial Prancis di Levans. Les colonies franques de Syrie aux XIIme et XIIIme siècles karya Emmanuel Rey menyifatkan permukiman-permukiman Peringgi di Levans sebagai koloni, tempat anak-anak hasil kawin campur mengadopsi adat-istiadat setempat. Sejarawan Perang Salib pertama dari Amerika, Dana Carleton Munro, memaparkan jerih payah orang Peringgi untuk ‘’memikat hati bumiputra’’. Para sejarawan menolak pendekatan ini pada abad ke-20. menurut R. C. Smail, pendekatan tersebut mengidentifikasi sebuah masyarakat teritegrasi yang tidak pernah maujud demi membenarkan kolonialisme Prancis. Menurut konsensus baru, masyarakat Peringgi di Levans sesungguhnya tersegregasi, dengan pertukaran sosial dan budaya yang terbatas. Berfokus pada bukti kerangka kerja sosial, hukum, dan politik di Yerusalem, Joshua Prawer dan Jonathan Riley-Smith menyajikan pandangan yang berterima luas, yakni pandangan bahwa masyarakat Peringgi di Levans adalah masyarakat yang sangat bersifat perkotaan, terisolasi dari masyarakat pribumi, dengan tatanan kehakiman dan keagamaannya sendiri. Karya tulis Prawer yang terbit tahun 1972, The Latin Kingdom of Jerusalem: European Colonialism in the Middle Ages, memperluas analisis tersebut dengan mengatakan bahwa ketiadaan integrasi berpangkal pada bidang ekonomi, manakala kedudukan orang Peringgi bergantung kepada masyarakat bumiputra yang tertaklukkan dan ternafikan hak-haknya. Motivasi-motivasi utama orang Peringgi adalah motivasi-motivasi ekonomi. Menurut sejarawan agama Islam, Carole Hillenbrand, masyarakat Islam menanggapinya dengan rasa dongkol, curiga, dan penolakan terhadap orang Peringgi.[190] Pandangan tersebut belakangan ini disanggah para sejarawan semisal Ronnie Ellenblum dengan menggunakan penelitian arkeologis, tetapi belum ada model alternatif yang diterima.[191] Christopher Tyerman menunjukkan bahwa langkah tersebut bukanlah tindakan berbalik kepada teori-teori lama karena sumber-sumber yang sama jua yang digunakan dan arkeologi tidak dapat dipastikan kebenarannya. Di mata spesialis Denys Pringle, langkah ini tidak berkontradiksi dengan pandangan sebelumnya. Hans Eberhard Mayer sebelumnya sudah menganjurkan supaya jumlah orang Peringgi yang tinggal di daerah pedesaan jangan disepelekan.[192] Teori-teori tersebut mendukung gagasan bahwa negara-negara Tentara Salib merupakan bagian dari ekspansi Eropa Barat yang lebih besar, didorong oleh gerakan pembaruan agamawi dan kekuasaan paus yang kian menanjak. Meskipun demikian, para sejarawan berpendapat bahwa tidak ada gerakan pembaruan Gereja di Timur maupun aniaya terhadap orang Yahudi dan Ahli bidat sebagai konsekuensinya. Sejumlah pihak menganggap regulasi-regulasi Konsili Nablus tahun 1120 sebagai kekecualian, dan Benjamin Z. Kedar yakin bahwa regulasi-regulasi tersebut mengikuti preseden yang ada di Gereja Bizantin, alih-alih preseden yang ada di Gereja Barat pascapembaruan.[193] Perdebatan telah mendorong para sejarawan semisal Claude Cahen, Jean Richard, dan Christopher MacEvitt untuk berpendapat bahwa sejarah negara-negara Tentara Salib pada hakikatnya berbeda dari sejarah Perang Salib, sehingga terbuka ruang bagi penerapan teknik-teknik analisis lain yang menempatkan negara-negara Laskar Salib di dalam konteks percaturan politik Timur Dekat. Gagasan-gagasan ini masih sedang diartikulasikan oleh para sejarawan modern.[194]
Baca juga
- Frangkokratia
- Terra Mariana, negara-negara Tentara Salib di Livonia
- Daftar puri Tentara Salib
Rujukan
Catatan kaki
- ^ Wazir dan kepala pemerintahan efektif Kemaharajaan Seljuk Raya, Nizamul Muluk, menjabarkannya secara tertulis di dalam sebuah kitab pedoman kepemimpinan Islami.
Sumber
- ^ Asbridge 2012, hlm. 115, 698 (keterangan no. 49).
- ^ a b Murray 2013, hlm. 291–292.
- ^ Buck 2020, hlm. 274–276, 279.
- ^ Buck 2020, hlm. 297.
- ^ Murray 2006, hlm. 910.
- ^ Mayer 1978, hlm. 175–176.
- ^ a b Murray & Nicholson 2006, hlm. 671.
- ^ Cobb 2016, hlm. 33–34.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 34, 122.
- ^ a b Cobb 2016, hlm. 34–35.
- ^ Hillenbrand 1999, hlm. 100–103.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 28–29.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 2–3.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 8–9, 15–18.
- ^ Cobb 2016, hlm. 16, 19–22.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 57, 61–62.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 47, 53.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 3, 88.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 16–17.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 54.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 24–25.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 57, 62.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 4–6.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 25–26.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 28–29.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 25–27.
- ^ Findley 2005, hlm. 65–68.
- ^ Holt 1986, hlm. 6–7.
- ^ Findley 2005, hlm. 68–69.
- ^ Holt 1986, hlm. 222, 224.
- ^ Findley 2005, hlm. 71.
- ^ Holt 1986, hlm. 66–67.
- ^ Holt 1986, hlm. 68–69.
- ^ Cobb 2016, hlm. 27.
- ^ Cobb 2016, hlm. 82–83.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 12.
- ^ Barber 2012, hlm. 19, 46.
- ^ Barber 2012, hlm. 46.
- ^ Cobb 2016, hlm. 42–43.
- ^ Cobb 2016, hlm. 18, 30.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 18.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 8–10.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 42–46.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 27.
- ^ Holt 1986, hlm. 167–168.
- ^ Hillenbrand 1999, hlm. 33.
- ^ Cobb 2016, hlm. 85–86.
- ^ Holt 1986, hlm. 12, 14–15.
- ^ Köhler 2013, hlm. 8–9.
- ^ Cobb 2016, hlm. 20–21.
- ^ Köhler 2013, hlm. 8–19.
- ^ Köhler 2013, hlm. 11–19.
- ^ Asbridge 2004, hlm. 115-116.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 46–47.
- ^ Barber 2012, hlm. 9.
- ^ Asbridge 2004, hlm. 23-24.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 33–47.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 12–14.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 43–45, 50–52.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 59–60.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 51,58,60.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 65–70.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 75–76.
- ^ Hillenbrand 1999, hlm. 78.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 69, 72–73.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 86–88.
- ^ France 1970, hlm. 281.
- ^ France 1970, hlm. 298.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 150–152.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 85–88.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 59–60, 62.
- ^ Holt 1986, hlm. 23.
- ^ Köhler 2013, hlm. 7.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 113–115.
- ^ Köhler 2013, hlm. 33–34, 55.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 147–149.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 115–117.
- ^ Cobb 2016, hlm. 112–114.
- ^ Köhler 2013, hlm. 85–87.
- ^ Barber 2012, hlm. 56–64.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 116–120.
- ^ Barber 2012, hlm. 65, 78–81.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 118–136.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 71.
- ^ Barber 2012, hlm. 81–84, 103.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 192–194.
- ^ Köhler 2013, hlm. 96–98.
- ^ Cobb 2016, hlm. 118–120.
- ^ Köhler 2013, hlm. 97.
- ^ a b Jotischky 2004, hlm. 74.
- ^ Holt 1986, hlm. 27–28.
- ^ Hillenbrand 1999, hlm. 109–110.
- ^ Cobb 2016, hlm. 126.
- ^ Barber 2012, hlm. 129–131.
- ^ Barber 2012, hlm. 134–135.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 253–254.
- ^ Barber 2012, hlm. 143–144.
- ^ Barber 2012, hlm. 145, 152.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 187.
- ^ Barber 2012, hlm. 152.
- ^ Cobb 2016, hlm. 130.
- ^ Barber 2012, hlm. 144–149.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 79–80.
- ^ Barber 2012, hlm. 149, 151–155.
- ^ Lilie 2004, hlm. 105–106.
- ^ Asbridge 2000, hlm. 4.
- ^ Prawer 1972, hlm. 122.
- ^ Burgtorf 2006, hlm. 74.
- ^ Morton 2020, hlm. 9–11, 32, 41, 47–48, 153–159.
- ^ Morton 2020, hlm. 55, 57, 64, 69, 90–91, 160–161.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 717, 970 (keterangan nomor 10).
- ^ Jotischky 2004, hlm. 246.
- ^ Tyerman 2007, hlm. 820.
- ^ Morton 2020, hlm. 143–144.
- ^ Edbury 1977, hlm. 331–337.
- ^ Morton 2020, hlm. 11, 40.
- ^ Morton 2020, hlm. 144–151.
- ^ Morton 2020, hlm. 255–257.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 153–154.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 144, 146–147.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 144, 146.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 154–156.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 151–153, 160–161.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 155.
- ^ Jaspert 2006, hlm. 155–156, 158–160.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 87–89.
- ^ Morton 2020, hlm. 220–221.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 111, 190.
- ^ Barber 2012, hlm. 71.
- ^ Morton 2020, hlm. 222.
- ^ Morton 2020, hlm. 220–222, 229–234.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 373.
- ^ Morton 2020, hlm. 251.
- ^ Morton 2020, hlm. 192–197.
- ^ Morton 2020, hlm. 191.
- ^ Morton 2020, hlm. 242–244.
- ^ Morton 2020, hlm. 233–237, 244–262.
- ^ a b c Ellenblum 1998, hlm. 31.
- ^ Jacoby 2007, hlm. 169.
- ^ Morton 2020, hlm. 154 (note 196).
- ^ Morton 2020, hlm. 154.
- ^ Russell 1985, hlm. 298.
- ^ Jacoby 2007, hlm. 167–168.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 150.
- ^ Boas 1999, hlm. 62–68.
- ^ Jacoby 2007, hlm. 167–169.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 261.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 131.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 131–132.
- ^ Prawer 1972, hlm. 49,51.
- ^ Ellenblum 1998, hlm. 20–22.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 142–147, 149.
- ^ Asbridge 2012, hlm. 177.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 127.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 149.
- ^ Prawer 1972, hlm. 81.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 126–136.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 128–130.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 127, 131, 136–141.
- ^ Prawer 1972, hlm. 382.
- ^ Boas 1999, hlm. 76.
- ^ Prawer 1972, hlm. 352–354.
- ^ Boas 1999, hlm. 61.
- ^ Prawer 1972, hlm. 392–393.
- ^ Prawer 1972, hlm. 396–397.
- ^ Tyerman 2019, hlm. 120–121.
- ^ Holt 1986, hlm. 25.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 152, 165.
- ^ Prawer 1972, hlm. 85–93.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 151–152.
- ^ Prawer 1972, hlm. 468.
- ^ a b Prawer 1972, hlm. 280–281.
- ^ Prawer 1972, hlm. 295–296.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 146.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 145–146.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 147–149.
- ^ a b Asbridge 2012, hlm. 667–668.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 138.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 134–143.
- ^ Nikolas Jaspert, Die Kreuzzüge, 91.
- ^ a b c Daniella Talmon Heller, "Muslims in Outremer", The Crusades to the Holy Land: The Essential Reference Guide, 178.
- ^ Jamie Byrom, Michael Riley, Enquiring History - The Crusades: Conflict and Controversy, 1095-1291.
- ^ Jotischky 2004, hlm. 127–129.
- ^ Maribel Dietz, Wandering Monks, Virgins, and Pilgrims, 218.
- ^ Prawer 1972, hlm. 252, 468.
- ^ Davies 1997, hlm. 359.
- ^ Housley 2006, hlm. 152–154.
- ^ Davies 1997, hlm. 359–360.
- ^ Nicholson 2004, hlm. 96.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 14–17.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 13–14.
- ^ Tyerman 2011, hlm. 174–176.
- ^ MacEvitt 2008, hlm. 18–21.
- ^ Tyerman 2011, hlm. 177–178.
Kepustakaan
- Asbridge, Thomas (2000). The Creation of the Principality of Antioch: 1098-1130. The Boydell Press. ISBN 978-0-85115-661-3.
- Asbridge, Thomas (2012). The Crusades: The War for the Holy Land. Simon & Schuster. ISBN 978-1-84983-688-3.
- Asbridge, Thomas (2004). The First Crusade: A New History. Simon & Schuster. ISBN 978-0-7432-2083-5.
- Barber, Malcolm (2012). The Crusader States. Yale University Press. ISBN 978-0-300-11312-9. JSTOR j.ctt32bvs5.
- Boas, Adrian J. (1999). Crusader Archaeology: The Material Culture of the Latin East. Routledge. ISBN 978-0-415-17361-2.
- Buck, Andrew D. (2020). "Settlement, Identity, and Memory in the Latin East: An Examination of the Term 'Crusader States'". The English Historical Review. 135 (573): 271–302. doi:10.1093/ehr/ceaa008. ISSN 0013-8266.
- Burgtorf, Jochen (2006). "Antioch, Principality of". Dalam Murray, Alan V. The Crusades: An Encyclopedia. I:A-C. ABC-CLIO. hlm. 72–79. ISBN 978-1-57607-862-4.
- Burgtorf, Jochen (2016). "The Antiochene war of succession". Dalam Boas, Adrian J. The Crusader World. University of Wisconsin Press. hlm. 196–211. ISBN 978-0-415-82494-1.
- Cobb, Paul M. (2016) [2014]. The Race for Paradise: An Islamic History of the Crusades. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-878799-0.
- Davies, Norman (1997). Europe: A History. Pimlico. ISBN 978-0-7126-6633-6.
- Edbury, P. W. (1977). "Feudal Obligations in the Latin East". Byzantion. 47: 328–356. ISSN 2294-6209. JSTOR 44170515.
- Ellenblum, Ronnie (1998). Frankish Rural Settlement in the Latin Kingdom of Jerusalem. Cambridge University Press. ISBN 978-0-5215-2187-1.
- Findley, Carter Vaughn (2005). The Turks in World History. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-516770-2.
- France, John (1970). "The Crisis of the First Crusade: from the Defeat of Kerbogah to the Departure from Arqa". Byzantion. 40 (2): 276–308. ISSN 2294-6209. JSTOR 44171204.
- Hillenbrand, Carole (1999). The Crusades: Islamic Perspectives. Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-0630-6.
- Holt, Peter Malcolm (1986). The Age Of The Crusades-The Near East from the eleventh century to 1517. Pearson Longman. ISBN 978-0-58249-302-5.
- Housley, Norman (2006). Contesting the Crusades. Blackwell Publishing. ISBN 978-1-4051-1189-8.
- Jacoby, David (2007). "The Economic Function of the Crusader States of the Levant: A New Approach". Dalam Cavaciocchi, Simonetta. Europe's Economic Relations with the Islamic World, 13th-18th centuries. Le Monnier. hlm. 159–191. ISBN 978-8-80-072239-1.
- Jaspert, Nikolas (2006) [2003]. The Crusades. Diterjemahkan oleh Phyllis G. Jestice. Routledge. ISBN 978-0-415-35968-9.
- Jotischky, Andrew (2004). Crusading and the Crusader States. Taylor & Francis. ISBN 978-0-582-41851-6.
- Köhler, Michael A. (2013). Alliances and Treaties between Frankish and Muslim Rulers in the Middle East: Cross-Cultural Diplomacy in the Period of the Crusades. Diterjemahkan oleh Peter M. Holt. Brill Publishers. ISBN 978-90-04-24857-1.
- Lilie, Ralph-Johannes (2004) [1993]. Byzantium and the Crusader States 1096-1204. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-820407-7.
- MacEvitt, Christopher (2006). "Edessa, County of". Dalam Murray, Alan V. The Crusades: An Encyclopedia. II:D-J. ABC-CLIO. hlm. 379–385. ISBN 978-1-57607-862-4.
- MacEvitt, Christopher (2008). The Crusades and the Christian World of the East: Rough Tolerance. University of Pennsylvania Press. ISBN 978-0-8122-2083-4.
- Mayer, Hans Eberhard (1978). "Latins, Muslims, and Greeks in the Latin Kingdom of Jerusalem". History: The Journal of the Historical Association. 63 (208): 175–192. doi:10.1111/j.1468-229X.1978.tb02360.x. ISSN 0018-2648. JSTOR 24411092.
- Morton, Nicholas (2020). The Crusader States & their Neighbours: A Military History, 1099–1187. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-882454-1.
- Murray, Alan V; Nicholson, Helen (2006). "Jerusalem, (Latin) Kingdom of". Dalam Murray, Alan V. The Crusades: An Encyclopedia. II:D-J. ABC-CLIO. hlm. 662–672. ISBN 978-1-57607-862-4.
- Murray, Alan V (2006). "Outremer". Dalam Murray, Alan V. The Crusades: An Encyclopedia. III:K-P. ABC-CLIO. hlm. 910–912. ISBN 978-1-57607-862-4.
- Murray, Alan V (2013). "Chapter 4: Franks and Indigenous Communities in Palestine and Syria (1099–1187): A Hierarchical Model of Social Interaction in the Principalities of Outremer". Dalam Classen, Albrecht. East Meets West in the Middle Ages and Early Modern Times: Transcultural Experiences in the Premodern World. Walter de Gruyter GmbH. hlm. 291–310. ISBN 978-3-11-032878-3.
- Nicholson, Helen (2004). The Crusades. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-313-32685-1.
- Prawer, Joshua (1972). The Crusaders' Kingdom. Phoenix Press. ISBN 978-1-84212-224-2.
- Richard, Jean (2006). "Tripoli, County of". Dalam Murray, Alan V. The Crusades: An Encyclopedia. IV:R-Z. ABC-CLIO. hlm. 1197–1201. ISBN 978-1-57607-862-4.
- Riley-Smith, Jonathan (1971). "The Assise sur la Ligece and the Commune of Acre". Traditio. 27: 179–204. doi:10.1017/S0362152900005316. ISSN 2166-5508. JSTOR 27830920.
- Templat:Setton-A History of the Crusades
- Tyerman, Christopher (2007). God's War: A New History of the Crusades. Penguin. ISBN 978-0-141-90431-3.
- Tyerman, Christopher (2011). The Debate on the Crusades, 1099–2010. Manchester University Press. ISBN 978-0-7190-7320-5.
- Tyerman, Christopher (2019). The World of the Crusades. Yale University Press. ISBN 978-0-300-21739-1.
Bahan bacaan lanjutan
- Holt, Peter Malcolm (2004). The Crusader States and Their Neighbours, 1098-1291. Pearson Longman. ISBN 978-0-582-36931-3.
- Riley-Smith, Jonathan (1973). The Feudal Nobility and the Kingdom of Jerusalem, 1174–1277. The Macmillan Press. ISBN 978-1-349-15498-2.
Pranala luar
- Media tentang Negara-negara Tentara Salib di Wikimedia Commons