Lompat ke isi

George III dari Britania Raya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
George III dari Britania Raya
Full-length portrait in oils of a clean-shaven young George in eighteenth century dress: gold jacket and breeches, ermine cloak, powdered wig, white stockings, and buckled shoes.
Foto penobatan, 1762
Berkuasa25 Oktober 1760–29 Januari 1820
Penobatan22 September 1761
PendahuluGeorge II
PenerusGeorge IV
RegenGeorge, Pangeran Wales (1811–1820)
Kelahiran(1738-06-04)4 Juni 1738 [NS][c]
Norfolk House, St James's Square, London, Inggris
Kematian29 Januari 1820(1820-01-29) (umur 81)
Kastel Windsor, Berkshire, Inggris
Pemakaman16 Februari 1820
Pasangan
(m. 1761; meninggal 1818)
Keturunan
Nama lengkap
George William Frederick
WangsaHanover
AyahFrederick, Pangeran Wales
IbuPutri Augusta dari Saxe-Gotha
AgamaAnglikanisme
Tanda tanganHandwritten "George" with a huge leading "G" and a large capital "R" at the end for "Rex"

George III (George William Frederick; 4 Juni 1738 – 29 Januari 1820) adalah Raja Britania Raya dan Irlandia dari tanggal 25 Oktober 1760 hingga kematiannya pada tahun 1820. Undang-Undang Penyatuan 1800 mempersatukan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia menjadi Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia, dengan George sebagai raja pertamanya. Ia juga bertindak sebagai Adipati dan Pangeran-elektor Hanover di Kekaisaran Romawi Suci, kemudian dinobatkan sebagai Raja Hanover pada tanggal 12 Oktober 1814. Ia berasal dari Wangsa Hanover, yang tidak seperti kedua pendahulunya, lahir di Britania Raya, menuturkan bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya,[1] dan tidak pernah berkunjung ke Hanover.[2]

George lahir pada masa pemerintahan kakeknya, Raja George II. Ia adalah putra pertama dari pasangan Frederick, Pangeran Wales dengan Putri Augusta dari Saxe-Gotha. Setelah ayahnya mangkat pada tahun 1751, Pangeran George menjadi pewaris takhta sekaligus menyandang gelar Pangeran Wales. Ia naik takhta setelah George II mangkat pada tahun 1760. Setahun kemudian, ia menikah dengan Putri Charlotte dari Mecklenburg-Strelitz, dan dikaruniai 15 orang anak. Masa pemerintahan dan kehidupan George III ditandai oleh serangkaian konflik bersenjata yang terjadi di kerajaannya, sebagian besar wilayah Eropa lainnya, dan di tanah jajahan Britania Raya di Afrika, Amerika, dan Asia. Pada awal pemerintahannya, Britania Raya mengalahkan Prancis dalam Perang Tujuh Tahun, menjadikannya sebagai kekuatan Eropa yang berpengaruh di Amerika Utara dan India. Namun, Britania Raya kehilangan tiga belas jajahannya di Amerika Utara dalam Perang Kemerdekaan Amerika. Perang selanjutnya melawan Napoleon Prancis yang berlangsung sejak tahun 1793 berhasil mengalahkan Napoleon dalam Pertempuran Waterloo pada tahun 1815. Pada tahun 1807, perdagangan budak lintas Atlantik dihapuskan di Imperium Britania.

Menjelang akhir hayatnya, George mengidap penyakit mental yang sering kambuh dan pada akhirnya permanen. Jenis penyakit mental tersebut tidak diketahui secara jelas, tetapi para sejarawan dan pakar medis menduga bahwa gejala dan ciri-ciri perilakunya sesuai dengan gangguan bipolar atau porfiria. Pada tahun 1810, penyakit mental George kambuh untuk terakhir kalinya, dan putra sulungnya, Pangeran Wales, diangkat menjadi Pangeran Regen setahun kemudian. George wafat pada usia 81 tahun, dan putranya menggantikannya sebagai Raja dengan nama George IV. Masa pemerintahan George III bertepatan dengan Era George dan Regensi. Pada saat kematiannya, George adalah raja Britania Raya yang umurnya paling panjang dan berkuasa paling lama, yang memerintah selama 59 tahun dan 96 hari. Sampai saat ini, ia masih menjadi raja yang paling panjang usianya dan paling lama berkuasa dalam sejarah Britania Raya.

Masa kecil

Conversation piece in oils: Ayscough dressed in black with a clerical collar stands beside a settee on which the two boys sit, one wearing a grey suit the other a blue one. He holds a sheet of paper; the boys hold a book.
Pangeran George (kanan), adiknya Pangeran Edward, dan tutor mereka, Francis Ayscough (kelak menjadi Dekan Bristol), karya Richard Wilson, ca 1749

George lahir di Norfolk House di St James's Square, London, pada tanggal 4 Juni 1738.[c] Ia adalah cucu dari Raja George II dan putra sulung pasangan Frederick, Pangeran Wales dengan Augusta dari Saxe-Gotha. George lahir prematur dua bulan lebih awal dan diperkirakan tidak akan selamat. Oleh sebab itu, ia dibaptis pada hari itu juga oleh Thomas Secker, Rektor Gereja St James, Piccadilly dan Uskup Oxford.[3][4] Satu bulan kemudian, ia kembali dibaptis di depan khalayak di Norfolk House oleh Uskup yang sama. Wali baptisnya adalah Raja Frederick I dari Swedia (diwakili oleh Lord Baltimore), pamannya Frederick III, Adipati Saxe-Gotha (diwakili oleh Lord Carnarvon), dan bibi buyutnya, Sophia Dorothea, Ratu Prusia (diwakili oleh Lady Charlotte Edwin).[5]

George tumbuh menjadi anak yang sehat, pendiam dan pemalu. Keluarganya lalu pindah ke Leicester Square, tempat George dan adiknya, Edward (kelak menjadi Adipati York dan Albany) belajar secara privat. Surat-surat yang ditulis keluarganya menunjukkan bahwa saat berusia delapan tahun, ia bisa membaca dan menulis dalam bahasa Inggris dan Jerman, serta kerap mengomentari peristiwa politik yang terjadi pada saat itu.[6] Ia adalah raja Britania Raya pertama yang mempelajari sains secara teratur.[7]

Selain kimia dan fisika, ia juga mempelajari astronomi, matematika, sejarah, musik, geografi, perdagangan, pertanian, hukum tata negara, bahasa Perancis dan Latin, serta belajar olahraga dan bersosialisasi seperti dansa, anggar, dan berkuda. Pendidikan agama yang dipelajarinya adalah Anglikan.[7] Pada usia 10 tahun, George ikut serta dalam pementasan drama Cato karya Joseph Addison.[8][9]

Raja George II tidak menyukai Pangeran Frederick dan tidak terlalu tertarik pada cucu-cucunya. Namun, pada tahun 1751, Frederick meninggal dunia secara tak terduga akibat cedera paru-paru pada usia 44 tahun, dan putranya, George, menjadi pewaris takhta dan mewarisi gelar Adipati Edinburgh dari ayahnya. Raja George II kemudian mulai memperhatikan cucunya dan mengangkatnya menjadi Pangeran Wales tiga minggu kemudian.[10][11]

Head-and-shoulders portrait of a young clean-shaven George wearing a finely-embroidered jacket, the blue sash of the Order of the Garter, and a powdered wig.
Potret pastel George sebagai Pangeran Wales karya Jean-Étienne Liotard, 1754

Pada musim semi 1756, saat George hampir berulang tahun kedelapan belas, Raja menawarinya sebuah bangunan megah di Istana St James, tetapi George menolak tawaran tersebut atas keputusan ibu dan orang kepercayaannya, Lord Bute, yang kelak menjadi perdana menteri.[12] Ibunda George, yang sekarang bergelar Janda Putri Wales, lebih memilih untuk mendidik George di rumah agar ia bisa mengawasinya secara cermat.[13][14]

Penahbisan dan pernikahan

Pada tahun 1759, George jatuh hati pada Lady Sarah Lennox, adik perempuan Charles Lennox, Adipati Richmond ke-3, tetapi Lord Bute menentang perjodohan tersebut, dan George mulai berhenti memikirkan pernikahan. "Saya dilahirkan demi kebahagiaan atau kesengsaraan bangsa besar ini," tulisnya, "dan akibatnya perbuatan saya sering kali bertentangan dengan hasrat saya."[15] Meskipun demikian, George dan ibunya menolak upaya Raja untuk menikahkan George dengan Putri Sophie Caroline dari Brunswick-Wolfenbüttel.[16] Sophie Caroline kemudian menikah dengan Frederick, Margrave Bayreuth.[17]

Setahun kemudian, pada usia 22 tahun, George naik takhta ketika kakeknya, George II, meninggal dunia mendadak pada tanggal 25 Oktober 1760, pada usia 76 tahun. Pencarian calon istri yang cocok untuk George semakin intensif. Setelah mempertimbangkan sejumlah putri kerajaan Jerman yang beragama Protestan , Ibu George mengutus Kolonel David Graeme untuk melamar Putri Charlotte dari Mecklenburg-Strelitz atas nama putranya, dan Charlotte menerimanya. Saat keluarga dan staf kerajaan berkumpul menanti kedatangan Charlotte di London, Lord Harcourt, Kepala Kavaleri kerajaan, mengawal Charlotte dari Strelitz ke London. Charlotte tiba pada sore hari tanggal 8 September 1761 dan upacara pernikahan diselenggarakan pada malam harinya di Chapel Royal, Istana St James.[18][d] Penobatan George dan Charlotte diselenggarakan di Westminster Abbey dua minggu kemudian pada tanggal 22 September. George tidak pernah memiliki gundik (berbeda dengan kakek dan putra-putranya), dan pasangan tersebut menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia sampai George terserang penyakit mental.[1][8]

Raja dan Ratu memiliki 15 anak—sembilan putra dan enam putri. Pada tahun 1762, George membeli Buckingham House (di lokasi yang saat ini berdiri Istana Buckingham) untuk dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan bagi keluarganya.[20] Ia juga mendiami Istana Kew dan Kastel Windsor. Istana St James dipergunakan sebagai pusat pemerintahan resmi. George jarang bepergian dan menghabiskan seluruh hidupnya di Inggris selatan. Pada tahun 1790-an, George dan keluarganya berlibur di Weymouth, Dorset,[21] yang kemudian tersohor sebagai salah satu sanggraloka tepi laut pertama di Inggris.[22]

Pemerintahan

Awal pemerintahan

Dalam pidato penahbisannya, George menyatakan: "Lahir dan dididik di negara ini, saya berbangga atas nama Britania."[23] Ia menyisipkan kalimat tersebut ke dalam pidatonya, yang ditulis oleh Lord Hardwicke, demi menunjukkan hasratnya untuk menjauhkan diri dari leluhurnya yang berdarah Jerman, yang selama ini dianggap lebih peduli pada Hanover ketimbang Inggris.[24] Pada masa pemerintahannya, Britania Raya adalah sebuah negara monarki konstitusional, yang dijalankan oleh para menteri dan tokoh-tokoh terkemuka di parlemen.[25] Meskipun penahbisannya awalnya disambut baik oleh politikus dari semua partai,[e] tahun-tahun pertama pemerintahannya ditandai dengan ketidakstabilan politik, terutama berkaitan dengan ketidaksetujuan atas Perang Tujuh Tahun.[27] George dianggap lebih menyukai menteri dari faksi Tory, sehingga ia dikritik oleh faksi Whig sebagai seorang autokrat.[1]

Pada saat George naik takhta, pendapatan dari tanah Kerajaan tidak terlalu besar. Sebagian besar pendapatan diperoleh melalui pajak dan bea cukai. George menyerahkan pengelolaan Lahan Kerajaan ke tangan Parlemen dengan imbalan anuitas belanja negara untuk menyokong kebutuhan rumah tangganya dan biaya pemerintahan.[28] Anggapan bahwa ia menggunakan pendapatan negara untuk menyuap para pendukungnya dibantah oleh para sejarawan, yang mengungkapkan bahwa tuduhan tersebut "hanyalah kebohongan yang dilontarkan oleh lawan yang tidak puas".[29][30] Utang sebesar lebih dari £3 juta semasa pemerintahan George dibayar oleh Parlemen, dan anuitas belanja negara terus meningkat dari tahun ke tahun.[31] George membantu Royal Academy of Arts dengan menghibahkan kekayaan pribadinya dalam jumlah besar,[32] dan ia diduga telah menyumbangkan lebih dari separo kekayaan pribadinya untuk kepentingan amal.[33] Koleksi seninya yang paling terkemuka adalah lukisan Lady at the Virginals karya Johannes Vermeer dan sejumlah lukisan karya Canaletto. Ia dikenal sebagai pengoleksi buku.[34] King's Library dibuka bagi para pelajar dan menjadi cikal bakal perpustakaan nasional yang baru.[35]

Kebijakan dan politik

Quarter-length portrait in oils of a clean-shaven young George in profile wearing a red suit, the Garter star, a blue sash, and a powdered wig. He has a receding chin and his forehead slopes away from the bridge of his nose making his head look round in shape.
Lukisan karya Allan Ramsay, 1762

Pada bulan Mei 1762, faksi berkuasa Whig yang dipimpin oleh Thomas Pelham-Holles, Adipati Newcastle ke-1, digantikan oleh faksi Tory pimpinan Lord Bute. Lawan-lawan Bute berupaya menghadang dengan menyebarkan fitnah bahwa ia berselingkuh dengan ibu Raja, dan dengan menggalakkan sentimen anti-Skotlandia di kalangan rakyat Inggris.[36] Seorang anggota parlemen bernama John Wilkes menerbitkan The North Briton, yang bertujuan menghasut dan memfitnah dengan mengecam Bute dan pemerintah. Wilkes akhirnya ditangkap atas tuduhan menyebarkan fitnah hasutan, tetapi ia melarikan diri ke Prancis untuk menghindari hukuman. Wilkes dikeluarkan dari Dewan Rakyat Britania Raya dan dinyatakan bersalah secara in absentia atas pemfitnahan dan penghasutan.[37] Pada tahun 1763, setelah menandatangani Perjanjian Paris yang mengakhiri Perang Tujuh Tahun, Lord Bute mengundurkan diri, dan dengan demikian, Whig di bawah pimpinan George Grenville kembali berkuasa. Hasil perjanjian ini sangat menguntungkan Britania dengan diserahkannya Florida Barat. Britania Raya mengembalikan pulau-pulau gula di Hindia Barat kepada Prancis, termasuk Guadeloupe dan Martinik. Prancis menyerahkan Kanada kepada Britania, termasuk seluruh wilayah di sepanjang Pegunungan Allegheny dan Sungai Mississippi, kecuali New Orleans, yang diserahkan kepada Spanyol.[38]

Proklamasi Kerajaan 1763 membatasi perluasan koloni Amerika ke arah barat dan mendirikan Reservasi Indian. Proklamasi tersebut bertujuan untuk mengalihkan perluasan koloni ke arah utara (Nova Scotia) dan selatan (Florida), serta melindungi perdagangan bulu hewan antara Britania dengan suku Indian.[39] Perbatasan yang diciptakan tidak dipermasalahkan oleh mayoritas petani, tetapi tidak didukung oleh kalangan minoritas yang vokal. Ketidakpuasan ini pada akhirnya turut memicu terjadinya konflik antara para kolonis dengan pemerintah Britania.[40] Para kolonis di Amerika tidak terbebani oleh pajak Britania, sehingga pemerintah menganggap bahwa mereka pantas untuk membayar pajak demi mempertahankan koloni dari pemberontakan penduduk asli dan kemungkinan serangan dari Prancis.[f]

Permasalahan utama bagi para kolonis bukanlah besaran pajak, tetapi kelayakan Parlemen untuk memungut pajak tanpa persetujuan rakyat Amerika, karena tidak ada kursi bagi rakyat Amerika di Parlemen Britania.[43] Rakyat Amerika memprotes bahwa seperti halnya rakyat Britania lainnya, mereka mempunyai hak untuk "menolak pajak tanpa perwakilan rakyat". Pada tahun 1765, Grenville memperkenalkan Undang-Undang Stempel, yang memungut bea meterai bagi setiap dokumen di koloni Britania di Amerika Utara. Surat kabar harus dicetak di atas kertas bermeterai, sehingga paling terdampak oleh kebijakan tersebut, padahal surat kabar adalah media yang paling efektif untuk menyebarkan propaganda dalam menentang pajak.[44]

Sementara itu, George gusar atas upaya Grenville untuk mengurangi hak prerogatif Raja, dan berupaya membujuk William Pitt untuk menerima jabatan perdana menteri, tetapi tidak berhasil.[45] George kemudian menunjuk Lord Rockingham untuk membentuk pemerintahan dan memecat Grenville.[46]

Patung dada karya John van Nost the younger, 1767

Dengan dukungan Pitt dan Raja, Lord Buckingham mencabut Undang-Undang Stempel Grenville yang tidak mendapat dukungan rakyat. Pemerintahan Rockingham lemah, dan ia digantikan sebagai perdana menteri pada tahun 1766 oleh Pitt, yang diangkat oleh George dengan gelar Earl Chatham. Tindakan Lord Chatham dan George III dalam menghapuskan Undang-Undang Stempel sangat didukung oleh rakyat Amerika, sehingga patung mereka berdua didirikan di New York City.[47] Lord Chatham jatuh sakit pada tahun 1767, dan Augustus FitzRoy, Adipati Grafton ke-3, mengambil alih pemerintahan. Grafton secara resmi menjadi perdana menteri pada tahun 1768. Pada tahun tersebut, John Wilkes kembali ke Inggris dan mencalonkan diri sebagai salah seorang kandidat dalam pemilihan umum. Ia berhasil menduduki peringkat teratas dalam jajak pendapat di daerah pemilihan Middlesex . Wilkes lagi-lagi dikeluarkan dari Parlemen. Ia terpilih kembali dan dikeluarkan dua kali lagi, akhirnya Dewan Rakyat memutuskan bahwa pencalonannya tidak sah dan menyatakan Henry Luttrell, Earl Carhampton ke-2 sebagai pemenangnya.[48] ​​Pemerintahan Grafton bubar pada tahun 1770, sehingga faksi Tory yang dipimpin oleh Lord North kembali berkuasa.[49]

Masalah keluarga dan ketidakpuasan di Amerika

Three-quarter length seated portrait of a clean-shaven George with a fleshy face and white eyebrows wearing a powdered wig.
Potret oleh Johan Zoffany, 1771

George sangat taat dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdoa,[50] tetapi ketaatannya tidak diikuti oleh adik-adiknya. George merasa ngeri dengan kebobrokan moral adik-adiknya. Pada tahun 1770, adiknya, Pangeran Henry, Adipati Cumberland dan Strathearn, terungkap sebagai seorang pezina. Setahun kemudian, Henry menikah dengan seorang janda muda bernama Anne Horton. Raja menganggap Anne tidak pantas sebagai pengantin kerajaan, ia berasal dari kelas sosial rendah dan hukum Jerman melarang anak yang lahir dari pasangan tersebut menjadi pewaris takhta Hanover.[51]

George bersikeras meloloskan undang-undang baru yang melarang anggota keluarga kerajaan menikah secara sah tanpa persetujuan dari penguasa. RUU berikutnya tidak disetujui oleh Parlemen, termasuk oleh para menteri George sendiri, tetapi akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang Pernikahan Kerajaan 1772. Tidak lama kemudian, adik ketiga George, Pangeran William Henry, Adipati Gloucester dan Edinburgh, mengungkapkan bahwa ia diam-diam telah menikah dengan Maria, Countess Waldegrave, putri tidak sah Sir Edward Walpole. Kabar tersebut membuktikan bahwa keputusan George benar dalam menerapkan undang-undang tersebut, karena Maria berkerabat dengan salah seorang lawan politiknya.[51]

Pemerintahan Lord North prihatin dengan ketidakpuasan para kolonis di Amerika. Untuk meredakan ketidakpuasan tersebut, sebagian besar bea masuk dicabut, kecuali bea teh, yang menurut George adalah "pajak untuk mempertahankan hak [untuk memungut pajak]".[52] Pada tahun 1773, kapal teh yang ditambatkan di Pelabuhan Boston diambil alih oleh para kolonis dan teh dibuang ke laut, peristiwa yang kelak dikenal sebagai Pesta Teh Boston. Di Britania, tindakan para kolonis ini sangat ditentang, dan Chatham sepakat dengan North bahwa pemusnahan teh adalah "tindakan kriminal terang-terangan".[53]

Dengan dukungan nyata dari Parlemen, Lord North memperkenalkan langkah-langkah, yang disebutnya Undang-Undang Tak Termaklumi bagi para kolonis. Pelabuhan Boston ditutup dan piagam Massachusetts dirombak dengan ditunjuknya majelis tinggi legislatif oleh Kerajaan, bukannya dipilih oleh majelis rendah.[54] Menurut pendapat Profesor Peter Thomas, "harapan George bertumpu pada solusi politik, dan ia selalu tunduk pada pendapat kabinetnya meskipun ia skeptis terhadap keberhasilannya. Bukti rinci dari tahun 1763 sampai 1775 cenderung membebaskan George III dari segala tanggung jawab nyata atas pecahnya Revolusi Amerika."[55] Meskipun sejarawan Amerika dan Britania menganggap George sebagai seorang tiran, pada tahun-tahun ini ia bertindak sebagai raja konstitusional yang mendukung prakarsa para menterinya.[56]

Perang Kemerdekaan Amerika

Perobohan Patung George III di Bowling Green, 9 Juli 1776, William Walcutt (1854)

Perang Kemerdekaan Amerika adalah puncak dari Revolusi Amerika secara sipil dan politik. Pada tahun 1760-an, serangkaian undang-undang yang disahkan oleh Parlemen Britania ditentang oleh Tiga Belas Koloni Britania di Amerika Utara. Secara khusus, para kolonis menolak pajak baru yang dikenakan oleh Parlemen, lembaga yang tidak mereka wakili secara langsung. Koloni Amerika sebelumnya diberi otonomi yang luas terkait urusan dalam negeri dan menganggap Parlemen Britania berupaya untuk melemahkan hak mereka sebagai warga Inggris.[57] Konflik bersenjata dimulai antara pasukan tetap Britania dengan para milisi kolonial dalam Pertempuran Lexington dan Concord pada bulan April 1775. Kongres Kontinental Kedua mengirim petisi kepada Kerajaan untuk berdamai dengan Parlemen, tetapi Raja dan Parlemen menolaknya. George menyatakan pemimpin Amerika adalah seorang pengkhianat dan pertempuran terus berlanjut. Dalam bukunya yang berjudul Common Sense, Thomas Paine menyebut George III sebagai "Raja Zalim dari Britania Raya".[58]

Ketigabelas koloni mendeklarasikan kemerdekaan Amerika Serikat pada bulan Juli 1776, merincikan daftar tujuh belas keluhan terhadap raja dan badan legislatif Britania Raya sembari meminta dukungan dari rakyat. Keluhan-keluhan tersebut antara lain menuduh bahwa George telah "menyerahkan pemerintahan di koloni-koloni Amerika, mencuri kekayaan laut kita, menghancurkan pantai kita, membakar kota-kota kita, dan memusnahkankan nyawa rakyat kita." Patung berkuda berlapis emas George di New York dirobohkan.[59] Britania berhasil menaklukkan kota tersebut pada tahun 1776, tetapi kehilangan Boston, dan rencana strategis besar untuk menyerang dari Kanada dan melumpuhkan New England gagal setelah menyerahnya Letnan Jenderal Britania John Burgoyne dalam Pertempuran Saratoga.[60]

Perdana Menteri Lord North bukanlah seorang pemimpin perang yang ideal, tetapi George III berhasil mendorong Parlemen agar terus berperang, dan North tetap mampu mempertahankan kabinetnya. Sejumlah menteri kabinet North seperti Earl Sandwich, Laksamana Pertama Angkatan Laut, dan Lord George Germain, Menteri Negara untuk Koloni, terbukti kurang memiliki keterampilan memimpin yang diperlukan bagi jabatan mereka.[61]

George III kerap dituding keras kepala dalam upayanya untuk terus mengobarkan peperangan dengan pemberontak, meskipun ditentang oleh menteri-menterinya sendiri.[62] Sejarawan Inggris, George Otto Trevelyan, mengungkapkan bahwa "Raja bertekad tidak akan pernah mengakui kemerdekaan Amerika, menghukum ketidakpatuhan mereka dengan terus mengobarkan perang abadi."[63] George menginginkan "para pemberontak tersiksa, cemas, dan miskin, sampai pada akhirnya ketidakpuasan dan kekecewaan berubah menjadi penyesalan dan pertobatan".[64] Sejarawan lainnya membela George, mengungkapkan bahwa dalam konteks masa, tidak ada raja yang rela menyerahkan wilayah seluas itu,[8][65] dan sikapnya tidak lebih kejam jika dibandingkan dengan raja-raja Eropa lainnya pada masa itu.[66] Setelah peristiwa Saratoga, baik Parlemen maupun rakyat Britania turut mendukung perang. Perekrutan dilakukan secara besar-besaran dan para lawan politiknya, meskipun berpendapat terang-terangan, masih menjadi minoritas kecil.[8][67]

Lukisan oleh Johann Heinrich von Hurter [de], 1781 (Royal Collection)

Setelah gagal mempertahankan Amerika, Lord North hendak menyerahkan kekuasaannya kepada Lord Chatham, yang menurutnya lebih mampu, tetapi George menolaknya. Ia malah menyarankan agar Chatham menempati jabatan wakil menteri dalam kabinet North, tetapi Chatham menolak. Chatham wafat tidak lama kemudian.[68] North bersekutu dengan "Sahabat-Sahabat Raja" di Parlemen dan percaya bahwa George III memiliki hak untuk menggunakan kekuasaannya.[69] Pada awal 1778, Louis XVI dari Prancis (saingan utama Britania) menandatangani perjanjian persekutuan dengan Amerika Serikat yang baru merdeka.[70] Armada Prancis menerobos blokade angkatan laut Britania di Laut Tengah dan berlayar ke Amerika.[70] Konflik pada saat itu turut memengaruhi Amerika, Eropa, dan India.[70] Charles III dari Spanyol dilanda keraguan dan mencemaskan koloni Spanyol di Amerika, tetapi akhirnya memutuskan untuk memihak Prancis secara terbatas pada tahun 1779.[71] Salah satu negara Republik Belanda memutuskan membantu Amerika, sedangkan yang lainnya berpihak pada Britania, bersama dengan para sekutu Loyalis dan bala bantuan Jerman. Lord Gower dan Lord Weymouth mundur dari pemerintahan. Lord North kembali memohon izin untuk mengundurkan diri, tetapi ia tetap berada di Parlemen atas permintaan George III.[72]

Pada musim panas 1779, armada angkatan laut gabungan Prancis-Spanyol mengancam akan menyerang Britania dan mengangkut 31.000 tentara Prancis mengarungi Selat Inggris. George III menyatakan bahwa Britania tengah menghadapi "krisis paling serius yang pernah diketahui oleh bangsa ini". Pada bulan Agustus, 66 kapal perang berlabuh di Selat Inggris, tetapi penyakit, kelaparan, dan kondisi angin yang tidak bagus memaksa armada Prancis-Spanyol untuk mundur, yang mengakhiri rencana menginvasi Britania.[73]

Pada akhir 1779, George III menganjurkan agar Britania mengirimkan lebih banyak kapal perang dan pasukan ke Hindia Barat. Ia mengatakan: "Kita harus mempertaruhkan sesuatu, jika tidak kita hanya akan merana dalam perang ini. Saya mau, saya berharap entah itu semangat untuk melaluinya, atau menghadapi kehancuran." Pada bulan Januari 1780, 7.000 tentara Britania di bawah komando Jenderal Sir John Vaughan dikirim ke Hindia Barat.[74] Namun, penentangan terhadap biaya perang yang mahal semakin meningkat, dan memicu terjadinya kerusuhan di London yang dikenal dengan Kerusuhan Gordon pada bulan Juni 1780.[75]

Pada saat pengepungan Charleston tahun 1780, para Loyalis masih percaya bahwa mereka akan menang, karena pasukan Britania melibas tentara Kontinental dalam Pertempuran Camden dan Pertempuran Guilford Court House.[76] Pada akhir 1781, kabar penyerahan diri Lord Cornwallis dalam pengepungan Yorktown tiba di London. Dukungan Parlemen terhadap North merosot dan ia mundur setahun kemudian. George juga menulis draf pemberitahuan pengunduran dirinya, tetapi tidak pernah ia ajukan.[65][77] George akhirnya menerima kekalahan Britania di Amerika dan menitahkan negosiasi damai. Britania Raya secara resmi mengakui kemerdekaan Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris yang disahkan pada tahun 1782 dan 1783.[78] Pada awal 1783, George III secara pribadi mengakui "Amerika telah lepas!" Ia mengutarakan bahwa koloni-koloni Utara telah berkembang menjadi "saingan kuat" Britania dalam perdagangan komersial dan perikanan.[79] Sekitar 70.000 Loyalis melarikan diri ke Kanada, Karibia, atau kembali ke Inggris.[80]

John Adams diutus sebagai perwakilan Amerika ke London pada tahun 1785, saat George telah merestui hubungan baru antara negaranya dan bekas koloninya. Ia memberi tahu Adams, "Saya adalah orang terakhir yang menyetujui pemisahan tersebut, tetapi pemisahan tetap terjadi dan tak terelakkan, saya selalu berkata, seperti halnya saat ini, bahwa saya akan menjadi orang pertama yang akan menjalin persahabatan dengan Amerika Serikat sebagai negara merdeka."[81]

Paruh pemerintahan

Birokrasi

Centre: George III, drawn as a paunchy man with pockets bulging with gold coins, receives a wheel-barrow filled with money-bags from William Pitt, whose pockets also overflow with coin. To the left, a quadriplegic veteran begs on the street. To the right, George, Prince of Wales, is depicted dressed in rags.
Dalam karikatur "A New Way to Pay the National Debt" (1786) karya James Gillray, digambarkan Raja George III dan Ratu Charlotte dibanjiri oleh uang negara untuk menutupi utang kerajaan, sementara Pitt memberikan sekantong uang lagi kepada mereka.

Setelah kabinet Lord North dibubarkan pada tahun 1782, Lord Rockingham dari faksi Whig menjadi perdana menteri untuk kedua kalinya, tetapi ia wafat beberapa bulan kemudian. George kemudian menunjuk Lord Shelburne sebagai penggantinya. Namun, Charles James Fox menolak bekerja sama dengan Shelburne, dan menuntut agar George menunjuk William Cavendish-Bentinck, Adipati Portland ke-3 sebagai perdana menteri. Pada tahun 1783, Dewan Rakyat memaksa Shelburne mundur dan digantikan oleh Koalisi Fox–North. Portland menjadi perdana menteri, sedangkan Fox dan Lord North menjabat sebagai menteri luar negeri dan menteri dalam negeri.[8]

George sangat tidak menyukai Fox, baik dari segi pandangan politik maupun karakternya. Ia menganggap Fox tidak memiliki prinsip dan berpengaruh buruk terhadap Pangeran Wales.[82] George merasa tidak berdaya karena harus menunjuk menteri yang tidak sesuai dengan keinginannya, tetapi kabinet Portland dengan cepat berkembang menjadi mayoritas di Dewan Rakyat dan sulit untuk digantikan. Ia makin kecewa ketika pemerintah memperkenalkan RUU India, yang mengusulkan reformasi pemerintahan India dengan mengalihkan kekuasaan politik dari Perusahaan Hindia Timur Britania kepada Parlemen.[83] Sebenarnya, George mendukung adanya kontrol pemerintah yang lebih besar atas perusahaan tersebut, tetapi anggota Parlemen yang diusulkan dalam RUU tersebut merupakan sekutu politik Fox.[84] Tak lama setelah Dewan Rakyat mengesahkan RUU India, George memberi wewenang kepada Lord Temple untuk memberitahu Dewan Bangsawan bahwa siapapun yang mendukung RUU India akan ia anggap sebagai musuhnya. RUU tersebut akhirnya ditolak oleh Dewan Bangsawan. Tiga hari kemudian, Portland dipecat dan William Pitt Muda diangkat sebagai perdana menteri, dengan Temple sebagai menteri luar negeri. Pada tanggal 17 Desember 1783, Parlemen sepakat mendukung mosi yang mengecam pengaruh monarki dalam pengambilan keputusan parlemen, menggolongkannya sebagai "pelanggaran besar" dan Temple dipaksa untuk mundur. Pengunduran diri Temple mengguncang pemerintahan, dan tiga bulan kemudian, pemerintahan kehilangan anggota mayoritas dan Parlemen dibubarkan. Pemilihan umum berikutnya dimenangkan oleh Pitt.[8]

Imaginary garden scene with birds of paradise, vines laden with grapes, and architectural columns. The two young princesses and their baby sister wear fine dresses and play with three spaniels and a tambourine.
The Three Youngest Daughters of King George III karya John Singleton Copley, ca 1785, menggambarkan: Putri Mary (kiri memegang tamborin), Sophia (kanan atas), dan Amelia (bayi).

Penunjukan Pitt sebagai perdana menteri menjadi kemenangan besar bagi George. Hal tersebut membuktikan bahwa Raja bisa menunjuk perdana menteri yang sesuai dengan penafsirannya terhadap keinginan publik tanpa harus mengikuti pilihan mayoritas di Dewan Rakyat. Sepanjang masa pemerintahan Pitt, George mendukung banyak kebijakan politik Pitt dan menahbiskan bangsawan-bangsawan baru secara masif untuk meningkatkan jumlah pendukung Pitt di Dewan Bangsawan.[85] Semasa dan setelah pemerintahan Pitt, George sangat termasyhur di Britania Raya.[86] Rakyat Britania mengaguminya karena kesalehan dan kesetiaannya kepada istrinya.[87] Ia sangat menyayangi anak-anaknya dan teramat berduka atas kematian dua bayi laki-lakinya pada tahun 1782 dan 1783.[88] Meskipun demikian, ia mendidik anak-anaknya secara cermat. Anak-anaknya diharuskan belajar mulai dari jam tujuh pagi dan menjalani kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai agama dan kebajikan.[89] Ketika perilaku anak-anaknya menyimpang dari prinsip-prinsip kebajikan, seperti yang dilakukan salah seorang putranya saat remaja, George akan merasa gundah dan kecewa.[90]

Penyakit

Gold coin bearing the profile of a round-headed George wearing a classical Roman-style haircut and a laurel wreath.
Koin guinea emas George III, 1789

Pada saat bersamaan, kesehatan George semakin memburuk. Ia menderita penyakit mental yang dicirikan dengan mania akut. Hingga pertengahan abad ke-20, penyakit George umumnya dianggap sebagai masalah batiniah. Pada tahun 1966, penelaahan oleh Ida Macalpine dan Richard Hunter menemukan bahwa penyakit George adalah penyakit ragawi, yang disebabkan oleh gangguan hati porfiria.[91] Meskipun ditentang oleh sejumlah pakar,[92] temuan ini diterima secara luas oleh kalangan akademisi.[93] Hasil penelitian terhadap sampel rambut George yang diterbitkan pada tahun 2005 menunjukkan adanya kadar arsenik tinggi, yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme darah dan menjadi pemicu porfiria. Sumber arsenik tersebut tidak diketahui, tetapi diduga berasal dari obat-obatan atau kosmetik.[94] Teori tersebut makin diperkuat dan dipercayai oleh publik melalui dramatisasi kehidupan George, seperti dalam sandiwara Alan Bennett berjudul The Madness of George III dan film berjudul sama karya Nicholas Hytner. Sejak tahun 2010, teori ini makin banyak ditentang, dan penelitian Macalpine dan Hunter turut dikritik.[95][96][97] Penelitian baru-baru ini menolak teori porfiria dan menganggap bahwa penyakit George berkaitan dengan masalah psikiatri, kemungkinan besar adalah gangguan bipolar.[98]

George diduga mengalami serangan penyakit mentalnya secara singkat pada tahun 1765, dan serangan yang lebih lama dimulai pada musim panas 1788. Menjelang berakhirnya sidang parlemen, ia berkunjung ke Cheltenham Spa untuk memulihkan diri dan mengunjungi Uskup Worcester di Kastel Hartlebury[99] serta Viscount Mount Edgcumbe di Cotehele, Cornwall, bersama Ratu dan putri-putrinya; Putri Royal, Putri Augusta dan Elizabeth, pada bulan Agustus 1765.[100] Kunjungan tersebut merupakan perjalanan terjauh yang ditempuhnya dari London, tetapi kondisinya semakin memburuk. Pada bulan November tahun itu, ia mengalami serangan serius, terkadang ia berbicara tanpa henti selama berjam-jam, yang menyebabkan mulutnya berbusa dan suaranya menjadi serak. George sering kali melakukan tindakan berulang dan menulis kalimat lebih dari 400 kata sekaligus. Perbendaharaan katanya jadi "lebih kompleks, kreatif, dan berwarna", kemungkinan adalah gejala gangguan bipolar.[101] Dokter pribadinya bingung menjelaskan penyakitnya, dan cerita-cerita palsu yang berkaitan dengan kondisi kesehatannyanya menyebar, misalnya gunjingan bahwa ia pernah berjabat tangan dengan sebatang pohon karena mengira bahwa pohon tersebut adalah Raja Prusia.[102] Pengobatan penyakit mental pada masa itu sangat terbelakang. Para dokter yang menangani George, termasuk Francis Willis, mengobatinya dengan cara mengekangnya sampai ia tenang, atau menempelkan tuam panas untuk mengeluarkan "humoral jahat".[103]

Di Parlemen, Fox dan Pitt berselisih mengenai ketentuan regensi semasa ketidakhadiran Raja. Keduanya sepakat bahwa Pangeran Wales akan bertindak sebagai pemangku, tetapi Fox mengusulkan agar Pangeran Wales diberi hak mutlak untuk berkuasa penuh atas nama ayahnya yang sedang sakit. Usulan Fox tidak disetujui oleh Pitt, yang khawatir akan dipecat jika Pangeran Wales diberdayakan. Pitt hendak membatasi kewenangan pemangku raja dan berpendapat bahwa penunjukan pemangku merupakan tugas Parlemen.[104] Pada bulan Februari 1789, RUU Regensi, yang memberi wewenang kepada Pangeran Wales untuk bertindak sebagai pemangku, diperkenalkan dan disetujui oleh Dewan Rakyat, tetapi sebelum Dewan Bangsawan mengesahkan RUU tersebut, George pulih.[105]

Catatan

  1. ^ Raja Britania Raya dari 1 Januari 1801, setelah Undang-Undang Penyatuan 1800
  2. ^ Raja dari 12 Oktober 1814
  3. ^ a b Semua tanggal dalam artikel ini menggunakan kalender Gregorian Gaya Baru. George lahir pada tanggal 24 Mei dalam kalender Julian Gaya Lama yang digunakan di Britania Raya sampai tahun 1752.
  4. ^ George was falsely said to have married Hannah Lightfoot, a Quaker, on 17 April 1759, prior to his marriage to Charlotte, and to have had at least one child by her. However, Lightfoot had married Isaac Axford in 1753, and had died in or before 1759, so there could have been no legal marriage or children. The jury at the 1866 trial of Lavinia Ryves, the daughter of imposter Olivia Serres who pretended to be "Princess Olive of Cumberland", unanimously found that a supposed marriage certificate produced by Ryves was a forgery.[19]
  5. ^ For example, the letters of Horace Walpole written at the time of the accession defended George but Walpole's later memoirs were hostile.[26]
  6. ^ An American taxpayer would pay a maximum of sixpence a year, compared to an average of twenty-five shillings (50 times as much) in England.[41] In 1763, the total revenue from America amounted to about £1 800, while the estimated annual cost of the military in America was put at £225 000. By 1767, it had risen to £400 000.[42]

Referensi

  1. ^ a b c "George III". Official website of the British monarchy. Royal Household. 31 December 2015. Diakses tanggal 18 April 2016. 
  2. ^ Brooke, p. 314; Fraser, p. 277.
  3. ^ Hibbert, p. 8.
  4. ^ The Third Register Book of the Parish of St James in the Liberty of Westminster For Births & Baptisms. 1723–1741. 24 May 1738.
  5. ^ "No. 7712". The London Gazette. 20 June 1738. hlm. 2. 
  6. ^ Brooke, pp. 23–41.
  7. ^ a b Brooke, pp. 42–44, 55.
  8. ^ a b c d e f Cannon, John (September 2004). "George III (1738–1820)". Oxford Dictionary of National Biography (edisi ke-online). Oxford University Press. doi:10.1093/ref:odnb/10540.  berlangganan atau keanggotan Perpustakaan Umum Britania Raya diperlukan (Subscription required).
  9. ^ Sedgwick, pp. ix–x.
  10. ^ "No. 9050". The London Gazette. 16 April 1751. hlm. 1. 
  11. ^ Hibbert, pp. 3–15.
  12. ^ Brooke, pp. 51–52; Hibbert, pp. 24–25.
  13. ^ Bullion, John L. (2004). "Augusta, princess of Wales (1719–1772)". Oxford Dictionary of National Biography. Oxford University Press. DOI:10.1093/ref:odnb/46829. Retrieved 17 September 2008 (Subscription required): "George III adopted the moral standards she tried to teach."
  14. ^ Ayling, p. 33.
  15. ^ Ayling, p. 54; Brooke, pp. 71–72.
  16. ^ Ayling, pp. 36–37; Brooke, p. 49; Hibbert, p. 31.
  17. ^ Benjamin, p. 62.
  18. ^ Hadlow, Janice (2014). A royal experiment : the private life of King George III. New York: Holt. hlm. 139–148. ISBN 978-0805096569. 
  19. ^ "Documents relating to the case". The National Archives. Diakses tanggal 14 October 2008. 
  20. ^ Ayling, pp. 85–87.
  21. ^ Ayling, p. 378; Cannon and Griffiths, p. 518.
  22. ^ Watson, p. 549.
  23. ^ Brooke, p. 391: "There can be no doubt that the King wrote 'Britain'."
  24. ^ Brooke, p. 88; Simms and Riotte, p. 58.
  25. ^ Baer, George III (1738–1820), 22 December 2021
  26. ^ Butterfield, pp. 22, 115–117, 129–130.
  27. ^ Hibbert, p. 86; Watson, pp. 67–79.
  28. ^ "Our history". The Crown Estate. 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 November 2017. Diakses tanggal 7 November 2017. 
  29. ^ Kelso, Paul (6 March 2000). "The royal family and the public purse". The Guardian. Diakses tanggal 4 April 2015. 
  30. ^ Watson, p. 88; this view is also shared by Brooke (see for example p. 99).
  31. ^ Medley, p. 501.
  32. ^ Ayling, p. 194; Brooke, pp. xv, 214, 301.
  33. ^ Brooke, p. 215.
  34. ^ Ayling, p. 195.
  35. ^ Ayling, pp. 196–198.
  36. ^ Brooke, p. 145; Carretta, pp. 59, 64 ff.; Watson, p. 93.
  37. ^ Brooke, pp. 146–147.
  38. ^ Willcox & Arnstein (1988), pp. 131–132.
  39. ^ Chernow, p. 137.
  40. ^ Watson, pp. 183–184.
  41. ^ Cannon and Griffiths, p. 505; Hibbert, p. 122.
  42. ^ Cannon and Griffiths, p. 505.
  43. ^ Black, p. 82.
  44. ^ Watson, pp. 184–185.
  45. ^ Ayling, pp. 122–133; Hibbert, pp. 107–109; Watson, pp. 106–111.
  46. ^ Ayling, pp. 122–133; Hibbert, pp. 111–113.
  47. ^ Ayling, p. 137; Hibbert, p. 124.
  48. ^ Ayling, pp. 154–160; Brooke, pp. 147–151.
  49. ^ Ayling, pp. 167–168; Hibbert, p. 140.
  50. ^ Brooke, p. 260; Fraser, p. 277.
  51. ^ a b Brooke, pp. 272–282; Cannon and Griffiths, p. 498.
  52. ^ Hibbert, p. 141.
  53. ^ Hibbert, p. 143.
  54. ^ Watson, p. 197.
  55. ^ Thomas, p. 31.
  56. ^ Ayling, p. 121.
  57. ^ Taylor (2016), pp. 91–100
  58. ^ Chernow, pp. 214–215.
  59. ^ Carretta, pp. 97–98, 367.
  60. ^ O'Shaughnessy, Andrew Jackson (2014). The Men Who Lost America: British Leadership, the American Revolution, and the Fate of the Empire. hlm. 158–164. 
  61. ^ Willcox & Arnstein (1988), p. 162.
  62. ^ O'Shaughnessy, ch 1.
  63. ^ Trevelyan, vol. 1 p. 4.
  64. ^ Trevelyan, vol. 1 p. 5.
  65. ^ a b Cannon and Griffiths, pp. 510–511.
  66. ^ Brooke, p. 183.
  67. ^ Brooke, pp. 180–182, 192, 223.
  68. ^ Hibbert, pp. 156–157.
  69. ^ Willcox & Arnstein, p. 157.
  70. ^ a b c Willcox & Arnstein, pp. 161, 165.
  71. ^ Stein, Stanley; Stein, Barbara (2003). Apogee of Empire: Spain and New Spain in the Age of Charles III, 1759–1789 (dalam bahasa Inggris). Johns Hopkins University Press. hlm. 338–340. ISBN 978-0801873393. 
  72. ^ Ayling, pp. 275–276.
  73. ^ Taylor (2016), p. 287
  74. ^ Taylor (2016), p. 290
  75. ^ Ayling, p. 284.
  76. ^ The Oxford Illustrated History of the British Army (1994) p. 129.
  77. ^ Brooke, p. 221.
  78. ^ U.S. Department of State, Treaty of Paris, 1783. Retrieved 5 July 2013.
  79. ^ Bullion, George III on Empire, 1783, p. 306.
  80. ^ Roos, Dave (7 October 2021). "Famous Loyalists of the Revolutionary War Era". history.com. Diakses tanggal 19 April 2022. 
  81. ^ Adams, C.F., ed. (1850–1856). The works of John Adams, second president of the United States. VIII. hlm. 255–257,  quoted in Ayling, p. 323 and Hibbert, p. 165.
  82. ^ e.g. Ayling, p. 281.
  83. ^ Hibbert, p. 243; Pares, p. 120.
  84. ^ Brooke, pp. 250–251.
  85. ^ Watson, pp. 272–279.
  86. ^ Brooke, p. 316; Carretta, pp. 262, 297.
  87. ^ Brooke, p. 259.
  88. ^ Ayling, p. 218.
  89. ^ Ayling, p. 220.
  90. ^ Ayling, pp. 222–230, 366–376.
  91. ^ Macalpine, Ida; Hunter, Richard (1966). "The "Insanity" of King George III: a Classic Case of Porphyria". British Medical Journal. 21 (1): 65–71. doi:10.1136/bmj.1.5479.65. PMC 1843211alt=Dapat diakses gratis. PMID 5323262. 
  92. ^ Robb-Smith, A.H.T. (1970). "George III and the Mad-Business by Ida Macalpine, Richard Hunter: Review". The English Historical Review. 85 (333): 808–810. JSTOR 563552. 
  93. ^ Röhl, Warren, and Hunt.
  94. ^ Cox, Timothy M.; Jack, N.; Lofthouse, S.; Watling, J.; Haines, J.; Warren, M. J. (2005). "King George III and porphyria: an elemental hypothesis and investigation". The Lancet. 366 (9482): 332–335. doi:10.1016/S0140-6736(05)66991-7. PMID 16039338. 
  95. ^ Peters, Timothy J.; Wilkinson, D. (2010). "King George III and porphyria: a clinical re-examination of the historical evidence". History of Psychiatry. 21 (1): 3–19. doi:10.1177/0957154X09102616. PMID 21877427. 
  96. ^ Peters, T. (June 2011). "King George III, bipolar disorder, porphyria and lessons for historians". Clinical Medicine. 11 (3): 261–264. doi:10.7861/clinmedicine.11-3-261. PMC 4953321alt=Dapat diakses gratis. PMID 21902081. 
  97. ^ Rentoumi, V.; Peters, T.; Conlin, J.; Garrard, P. (2017). "The acute mania of King George III: A computational linguistic analysis". PLOS One. 3 (12): e0171626. Bibcode:2017PLoSO..1271626R. doi:10.1371/journal.pone.0171626alt=Dapat diakses gratis. PMC 5362044alt=Dapat diakses gratis. PMID 28328964. 
  98. ^ Roberts, pp. 677–680
  99. ^ "Parishes: Hartlebury Pages 380–387 A History of the County of Worcester: Volume 3". British History Online. Victoria County History, 1918. Diakses tanggal 10 June 2023. 
  100. ^ "Parishes: Callington – St Columb Pages 51–67 Magna Britannia: Volume 3, Cornwall". British History Online. Cadell & Davies, London 1814. Diakses tanggal 10 June 2023. 
  101. ^ "Was George III a manic depressive?". BBC News. 15 April 2013. Diakses tanggal 23 July 2018. 
  102. ^ Ayling, pp. 329–335; Brooke, pp. 322–328; Fraser, pp. 281–282; Hibbert, pp. 262–267.
  103. ^ Ayling, pp. 334–343; Brooke, p. 332; Fraser, p. 282.
  104. ^ Ayling, pp. 338–342; Hibbert, p. 273.
  105. ^ Ayling, p. 345.

Daftar pustaka

Bacaan lanjutan

Pranala luar

George III dari Britania Raya
Cabang kadet Wangsa Welf
Lahir: 4 Juni 1738 Meninggal: 29 Januari 1820
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
George II
Raja Britania Raya dan Irlandia
25 Oktober 1760 – 31 Desember 1800
Akta Penyatuan 1800
Adipati Brunswick-Lüneburg
25 Oktober 1760 – 12 Oktober 1814
Kongres Wina
Akta Penyatuan 1800 Raja Britania Raya
1 Januari 1801 – 29 Januari 1820
Diteruskan oleh:
George IV
Kongres Wina Raja Hanover
12 Oktober 1814 – 29 Januari 1820
Britania
Didahului oleh:
Frederick
Pangeran Wales
1751–1760
Lowong
Selanjutnya dijabat oleh
George (IV)
Bangsawan Britania Raya
Didahului oleh:
Pangeran Frederick
Adipati Edinburgh
ke-1
1751–1760
Bergabung dengan Kerajaan
Hanya gelar saja
Didahului oleh:
George II
— TITULER —
Raja Prancis
25 Oktober 1760 – 31 Desember 1800
Gelar dihapus