Lompat ke isi

Perang Salib Pertama

Dengarkan artikel ini
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 2 Agustus 2024 06.26 oleh Dikaalnas (bicara | kontrib) (+)

Perang Salib Pertama (1096–1099) adalah perang pertama dari serangkaian perang agama, atau Perang Salib, yang digagas, didukung, dan diarahkan oleh Gereja Latin pada Abad Pertengahan. Tujuannya adalah merebut kembali Tanah Suci dari kekuasaan Islam. Meskipun Yerusalem telah dikuasai oleh Muslim selama ratusan tahun, berkuasanya Seljuk di wilayah tersebut pada abad ke-11 memunculkan kekhawatiran mengenai keselamatan penduduk Kristen di Yerusalem, menghalangi peziarahan dari Dunia Barat, dan mengancam keberlangsungan Kekaisaran Bizantium. Gagasan awal Perang Salib Pertama bermula pada tahun 1095 ketika Kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus meminta dukungan militer dari Konsili Piacenza untuk berperang dengan Turki Seljuk. Bantuan militer juga datang dari Konsili Clermont setelah Paus Urbanus II menyatakan dukungannya terhadap Kekaisaran Bizantium dan mengajak umat Kristen yang beriman untuk melakukan ziarah bersenjata ke Yerusalem.

Seruan Sri Paus disambut dengan bergelora oleh segenap rakyat di Eropa Barat. Ribuan umat Kristen, yang kebanyakannya adalah rakyat jelata, dipimpin oleh imam Prancis Peter sang Pertapa, menjadi kalangan pertama yang menanggapi seruan Paus. Rombongan tersebut kemudian berarak melintasi Jerman dan melancarkan berbagai tindakan anti-Yahudi, seperti pembantaian Rhineland. Konflik-konflik yang terjadi pada masa itu dikenal dengan Perang Salib Rakyat. Saat hendak menyeberangi wilayah Bizantium di Anatolia, pasukan tersebut disergap dan dihabisi oleh kafilah Turki yang dipimpin oleh Sultan Seljuk Kilij Arslan I dalam Pertempuran Civetot pada bulan Oktober 1096.

Kalangan bangsawan Eropa dan pasukannya berangkat pada akhir musim panas 1096 dan tiba di Konstantinopel antara bulan November dan April 1097. Rombongan tersebut terdiri dari bala tentara feodal yang dipimpin oleh para pangeran termasyhur di Eropa Barat: pasukan Prancis selatan dipimpin oleh Raymond IV dari Toulouse dan Adhemar dari Le Puy; pasukan dari Lorraine Hulu dan Hilir dipimpin oleh Godfrey dari Bouillon dan adiknya Baldwin dari Boulogne; pasukan Italia-Norman dipimpin oleh Bohemond dari Taranto dan keponakannya Tancred; serta sejumlah pasukan yang terdiri dari bala tentara Prancis utara dan Flemish di bawah pimpinan Robert Curthose dari Normandia, Stephen dari Blois, Hugh dari Vermandois, dan Robert II dari Flandria. Secara keseluruhan, jumlah serdadu tentara salib diperkirakan sebanyak 100.000 orang.

Tentara salib tiba secara bertahap di Anatolia. Dengan absennya Kilij Arslan, tentara salib berhasil memenangkan pertempuran awal setelah diserbunya Anatolia oleh bangsa Franka dan serangan laut oleh Bizantium semasa Pengepungan Nikea pada bulan Juni 1097. Pada bulan Juli, bala tentara salib memenangkan Pertempuran Dorilaeum melawan pemanah berkuda Turki. Seusai menempuh perjalanan sulit melintasi Anatolia, tentara salib memulai Pengepungan Antiokhia, dan berhasil merebut kota tersebut pada bulan Juni 1098. Yerusalem, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Fatimiyah, dikepung dan direbut pada bulan Juli 1099 setelah para penduduknya dibantai dengan keji. Serangan balasan Fatimiyah berhasil dipukul mundur pada akhir 1099 dalam Pertempuran Ascalon, yang mengakhiri Perang Salib Pertama. Seusai perang, sebagian besar tentara salib kembali ke kampung halamannya.

Empat negara tentara salib didirikan di Tanah Suci: Kerajaan Yerusalem, County Edessa, Kepangeranan Antiokhia, dan County Tripoli. Keberadaan tentara salib tetap dipertahankan di wilayah tersebut sampai runtuhnya benteng besar terakhir tentara salib dalam Pengepungan Akko pada tahun 1291. Setelah tentara salib kehilangan seluruh wilayahnya di Levant, tidak ada lagi upaya nyata yang dilakukan untuk merebut kembali Tanah Suci.

Konteks sejarah

Negeri-negeri Kristen dan Muslim telah bertikai sejak berdirinya Islam pada abad ke-7. Satu abad setelah kematian nabi Muhammad pada tahun 632, tentara Muslim merebut Yerusalem dan Levant, Afrika Utara, serta Semenanjung Iberia, yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kristen. Pada abad ke-11, penguasa Kristen secara bertahap memulihkan kembali Iberia dari pengaruh Islam melalui Reconquista, tetapi keterikatan mereka dengan Tanah Suci telah memburuk. Penguasa Muslim di Levant sering kali memberlakukan aturan keras terhadap penganut Kristen.[2]

Perang Salib Pertama adalah upaya dunia Kristen untuk membendung perluasan pengaruh Islam ke Tanah Suci dan Bizantium, terutama oleh Fatimiyah dan Seljuk. Di Eropa Barat, Yerusalem dianggap sebagai tempat layak untuk peziarahan penebusan dosa. Meskipun kekuasaan Seljuk di Yerusalem lemah (yang kelak menyerahkan kota tersebut kepada Fatimiyah), para peziarah yang kembali ke Eropa melaporkan adanya kesusahan dan penindasan yang dialami oleh umat Kristen. Dukungan militer yang diperlukan oleh Bizantium bertepatan dengan meningkatnya jumlah prajurit di Eropa Barat yang bersedia menerima perintah perang kepausan.[3]

Situasi di Eropa

map of Iberia 1060
Peta wilayah Kristen dan Muslim Iberia pada tahun 1060

Pada abad ke-11, jumlah penduduk Eropa meningkat pesat akibat munculnya pembaruan di bidang teknologi dan pertanian yang memungkinkan berkembangnya perdagangan. Gereja Katolik telah menjadi lembaga yang sangat berpengaruh bagi peradaban Barat. Kehidupan masyarakat diatur melalui manorialisme dan feodalisme, struktur politik dengan para kesatria dan bangsawan berutang pengabdian militer kepada para penguasa sebagai imbalan atas hak untuk menyewakan tanah dan manor.[4]

Dalam rentang tahun 1050 sampai 1080, gerakan Reformasi Gregorian mengembangkan kebijakan yang semakin tegas demi meningkatkan kekuatan dan pengaruhnya. Hal tersebut memicu pertikaian dengan umat Kekristenan Timur yang tidak mengakui doktrin supremasi kepausan. Gereja Timur menganggap paus hanyalah satu dari lima patriark Gereja, bersama dengan patriark Aleksandria, Antiokhia, Konstantinopel, dan Yerusalem. Lantaran adanya perbedaan kebiasaan, kredo, dan praktik antar umat Kristen, Paus Leo IX mengirim utusan ke Patriark Mikael I Kerularius dari Konstantinopel pada tahun 1054, yang berakhir dengan pemisahan gereja dan Skisma Timur–Barat.[5]

Umat Kristen awal terbiasa menggunakan kekerasan untuk kepentingan komunal. Teologi Kristen mengenai kewajiban berperang berkembang sejak kewarganegaraan Romawi dan Kekristenan dipersatukan. Warga negara diharuskan berperang melawan musuh-musuh kekaisaran. Berawal dari pemikiran teolog abad ke-4, Agustinus dari Hippo, doktrin perang suci mulai berkembang. Agustinus berpendapat bahwa perang agresi itu dosa, tetapi perang bisa dibenarkan jika dinyatakan oleh penguasa yang sah seperti raja atau uskup, untuk mempertahankan diri atau merebut kembali wilayah, dan tidak melakukan kekerasan berkelebihan. Terpecahnya Kekaisaran Karoling di Eropa Barat menyebabkan munculnya golongan prajurit yang saling bertempur sesama mereka sendiri. Tindakan kekerasan umumnya digunakan untuk penyelesaian sengketa, dan kepausan berusaha mengentaskan hal tersebut.[6]

Paus Aleksander II mengembangkan sistem penerimaan prajurit melalui sumpah untuk membangun pasukan militer, yang kemudian diperluas oleh Gregorius VII ke seluruh Eropa. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Gereja dalam menghadapi perseteruan antara Kristen dengan Muslim di Semenanjung Iberia dan melawan penaklukan Sisilia oleh Norman. Gregorius VII melangkah lebih jauh pada tahun 1074, yang merencanakan unjuk kekuatan militer untuk memperkuat prinsip kedaulatan kepausan dalam perang suci mendukung Bizantium melawan Seljuk, tetapi tidak mendapatkan banyak dukungan. Teolog Anselmus dari Lucca mengambil langkah tegas sehubungan dengan ideologi tentara salib. Ia menyatakan bahwa berperang demi tujuan yang benar dapat mengampuni dosa.[7]

Di Semenanjung Iberia, tidak ada pemerintahan Kristen yang berpengaruh. Kerajaan Kristen León, Navarra, dan Catalonia tidak memiliki kesamaan identitas dan keterikatan sejarah yang berlandaskan pada suku atau etnis, sehingga mereka berkali-kali bersatu dan berpisah di sepanjang abad ke-11 dan ke-12. Meskipun kecil, kerajaan-kerajaan tersebut mengembangkan teknik militer atas dasar kebangsawanan, dan pada tahun 1031, runtuhnya Kekhalifahan Córdoba di Spanyol selatan membuka peluang untuk menyatukan wilayah, yang kemudian dinamai Reconquista. Pada tahun 1063, William VIII dari Aquitaine memimpin pasukan yang terdiri dari gabungan kesatria Prancis, Aragon, dan Catalan dalam Pengepungan Barbastro untuk merebut kembali kota-kota yang telah dikuasai Muslim sejak tahun 711. Tindakan tersebut mendapat dukungan penuh dari Paus Aleksander II. Setelah gencatan senjata dinyatakan di Catalonia, para prajurit perang diberikan penghapusan dosa. Perang tersebut digolongkan sebagai perang suci, tetapi berbeda dengan Perang Salib Pertama karena tidak ada peziarahan, tidak ada sumpah, dan tidak ada pengesahan resmi oleh gereja.[8] Sesaat sebelum Perang Salib Pertama, Paus Urbanus II mengajak umat Kristiani Iberia untuk merebut Tarragona, memakai banyak simbolisme dan retorika yang kemudian juga digunakan untuk memaklumatkan perang salib kepada rakyat Eropa.[9]

Bangsa Italo-Norman berhasil merebut sebagian Italia Selatan dan Sisilia dari Bizantium dan Arab Afrika Utara beberapa dekade sebelum Perang Salib Pertama.[10] Hal tersebut menyebabkan munculnya perseteruan dengan kepausan. Paus Leo IX kemudian menyerukan perlawanan terhadap mereka melalui Pertempuran Civitate, yang berhasil dimenangkan oleh Norman. Meskipun demikian, ketika menyerbu Sisilia Muslim pada tahun 1059, Norman melancarkannya di bawah panji kepausan Invexillum sancti Petrior, atau panji Santo Petrus.[11] Robert Guiscard merebut kota Bizantium Bari pada tahun 1071 dan melancarkan perlawanan di sepanjang pesisir timur Adriatik di dekat Dyrrachium pada tahun 1081 dan 1085.[12]

Situasi di Timur Tengah

Kekhalifahan Umayyah dengan wilayah terluasnya.

Sampai kedatangan para tentara salib, kaum Bizantium terus berjuang melawan orang Seljuk dan dinasti Turki lainnya demi penguasaan atas Anatolia dan Suriah. Orang Seljuk, yang mana merupakan kaum Muslim Sunni yang ortodoks, sebelumnya memerintah Kesultanan Seljuk Raya, namun saat berlangsungnya Perang Salib Pertama telah terbagi-bagi menjadi beberapa negara kecil setelah wafatnya Malik-Shah I pada tahun 1092.

Malik-Shah digantikan oleh Kılıç Arslan I di Kesultanan Rûm di Anatolia, dan di Suriah oleh Tutuş I—yang kemudian wafat pada tahun 1095—saudaranya. Para putra Tutuş, yaitu Fahrülmülk Rıdvan dan Dukak berturut-turut mewarisi Aleppo dan Damaskus; mereka selanjutnya membagi-bagi Suriah di antara para amir yang saling bermusuhan, serta Kürboğa, atabeg dari Mosul.[13]

Mesir dan banyak daerah Palestina berada dalam kendali Kekhalifahan Fatimiyah penganut Syi'ah Arab, yang mana wilayahnya lebih kecil secara signifikan sejak kedatangan orang Seljuk. Peperangan antara Fatimiyah dan Seljuk menyebabkan gangguan yang sangat besar bagi kaum Kristen setempat dan para peziarah dari Barat. Kekhalifahan Fatimiyah, yang mana secara nominal berada di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Musta'li namun sesungguhnya berada di bawah kendali Wazir Al-Afdhal Syahansyah, telah kehilangan Yerusalem karena direbut Kesultanan Seljuk pada tahun 1073 (kendati beberapa catatan yang lebih lama menyebutkan tahun 1076).[14] Mereka merebutnya kembali pada tahun 1098 dari Dinasti Artuqid, suatu suku bangsa Turki Seljuk yang lebih kecil, sesaat sebelum kedatangan para tentara salib.[15]

Catatan

Referensi

  1. ^ Asbridge 2012, hlm. 42, The Call of the Cross.
  2. ^ Riley-Smith 1998, hlm. 37–38, Holy Sepulcre, Holy War.
  3. ^ Riley-Smith 2005, hlm. 10–12, The Birth of the Crusading Movement.
  4. ^ Painter, Sidney (1969). "Western Europe on the Eve of the Crusades Diarsipkan 4 January 2023 di Wayback Machine.". In Setton, K., A History of the Crusades: Volume I. hlm. 3–30.
  5. ^ Adrian Fortescue (1912). "The Eastern Schism". In Catholic Encyclopedia. 13. New York: Robert Appleton Company.
  6. ^ Asbridge 2012, hlm. 14–15, Warfare and Violence in Latin Europe.
  7. ^ Runciman 1951, hlm. 83–92, Holy Peace and Holy War.
  8. ^ Lock 2006, hlm. 205–213, Crusades in the Iberian Peninsula.
  9. ^ Riley-Smith 2005, hlm. 4–7, A war of liberation.
  10. ^ Asbridge 2012, hlm. 5–8, Western Europe in the Eleventh Century.
  11. ^ Lock 2006, hlm. 306–308, The Proto-Crusades, or the Prehistory of Crusading.
  12. ^ Tyerman 2019, hlm. 46, The Mediterranean Crisis and the Background to the First Crusade.
  13. ^ Holt 1989, hlm. 11, 14–15.
  14. ^ Gil 1997, hlm. 410, 411 note 61.
  15. ^ Holt 1989, hlm. 11–14.

Sumber

Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini
(2 bagian, 33 menit)
Ikon Wikipedia Lisan
Berkas-berkas suara berikut dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal
Error: tidak ada parameter tanggal yang diberikan
, sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.

Sumber utama

Sumber utama daring

Sumber tambahan

Bibliografi


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "upper-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="upper-alpha"/> yang berkaitan