Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara Indonesia yaitu Garuda Pancasila. Semboyan negara ini menggambarkan kondisi Indonesia yang mempunyai banyak keragaman kemajemukan suku, budaya, adat dan agama namun tetap menjadi satu bangsa utuh.[1] Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah “Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.[2]
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan demikian sangat wajar apabila mempunyai banyak suku, agama, ras, dan antar golongan. Keragaman tersebut hidup saling menghormati dan menghargai dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.[3]
Kata bhinnêka berasal dari dua kata yang mengalami sandi, yaitu bhinna 'terpisah, berbeda' dan ika 'itu'. Kata tunggal berarti 'satu'. Secara harfiah, Bhinneka Tunggal Ika secara eksplisit dapat diartikan "Berbeda itu tetap satu", yang bermakna meskipun dalam aneka keberanekaragaman — pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh nan kokoh. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam adat, istiadat dan budaya, serta bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan serta kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular sekitar abad ke-14, di bawah pemerintahan Raja Rājasanagara, yang juga dikenal sebagai Hayam Wuruk Maharaja ke-4 Majapahit yang memerintah tahun 1350–1389, Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.[4]
Tujuan
[sunting | sunting sumber]Tujuan dari Bhinneka Tunggal Ika adalah untuk mengembangkan motivasi dan menghargai keragaman. Tanpa wawasan tersebut, akan sulit untuk memajukan kedaulatan dan kemerdekaan nasional Indonesia.
Cita-cita tersebut menjadi landasan nasionalisme masyarakat Indonesia. Tujuan dari kebangkitan nasionalis yang dipimpin Bhinneka Tunggal Ika adalah untuk menanamkan loyalitas dan dedikasi pada masyarakat dan bangsa.[1]
Sajak penuh
[sunting | sunting sumber]Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Terjemahan ini didasarkan, dengan adaptasi kecil, pada edisi teks kritis oleh Dr. Soewito Santoso.[5]
Galeri
[sunting | sunting sumber]-
Tarian dengan peserta berpakaian adat suku-suku di Indonesia.
-
Arak-arakan dengan tulisan "Bhinneka Tunggal Ika" menampilkan anak-anak dengan baju adat berbagai suku di Indonesia.
-
Penyanyi-penyanyi mengenakan pakaian adat di Indonesia
-
Anak-anak berpakaian adat daerah, umumnya digunakan untuk mengekspresikan keanekaragaman Indonesia.
-
Karnaval baju daerah untuk menunjukkan keberagaman budaya.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Widiyani, Rosmha. "Arti Bhinneka Tunggal Ika, Tujuan, Makna dari Kalimat Semboyan Indonesia". detikedu. Diakses tanggal 2023-05-31.
- ^ Kakawin Sutasoma [1]
- ^ Rahim, Rahmawaty (2012). "SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL TERHADAP KELOMPOK MINORITAS". Analisis: Jurnal Studi Keislaman. 12 (1): 161–182. doi:10.24042/ajsk.v12i1.634. ISSN 2502-3969.
- ^ "UUD 1945". depkumham.go.id. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 Februari 2010. line feed character di
|publisher=
pada posisi 48 (bantuan) - ^ Santoso, Soewito Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana 1975:578. New Delhi: International Academy of Culture