Lompat ke isi

Blok Poros

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
warna hijau adalah pihak Sekutu (hijau terang adalah yang bergabung setelah penyerangan ke Pearl Harbor), Negara-negara sentral berwarna biru dan warna abu-abu adalah negara netral
Bendera Jerman, Jepang, dan Italia dikibarkan berurutan di Kedubes Jepang di Tiergartenstraße, Berlin (September 1940)
Dua pemimpin blok poros, yaitu Duce Benito Mussolini (Italia) dan Führer Adolf Hitler (Jerman).
Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo (tengah) bersama perwakilan pemerintah sesama Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Di sebelah kiri Tojo, dari kiri ke kanan: Ba Maw dari Burma, Zhang Jinghui dari Manchuria, Wang Jingwei dari Cina. Di sebelah kanan Tojo, dari kiri ke kanan, Wan Waithayakon dari Thailand, José P. Laurel dari Filipina, Subhas Chandra Bose dari India.

Blok Poros (bahasa Jerman: Achsenmächte, Jepang: 枢軸国 Sūjikukoku, bahasa Italia: Potenze dell'Asse), dikenal juga sebagai Axis, adalah negara-negara yang berperang dalam Perang Dunia Kedua melawan pasukan Sekutu. Kekuatan Poros sepakat tentang perlawanan mereka terhadap Sekutu, tetapi tidak mengkoordinasikan perang mereka.

Blok Poros tumbuh dari upaya diplomatik Jerman, Italia dan Jepang untuk mengamankan kepentingan ekspansionis mereka di pertengahan 1930-an. Langkah pertama adalah perjanjian yang ditandatangani oleh Jerman dan Italia pada tahun 1936. Mussolini menyatakan pada tanggal 1 November bahwa semua negara-negara Eropa lainnya akan mulai berputar pada poros Roma-Berlin, sehingga menciptakan istilah "Axis".[1][2] Secara bersamaan langkah kedua dilakukan melalui pentandatanganan Pakta Anti-Kominern pada November 1936 yang merupakan perjanjian anti-komunis antara Jerman dan Jepang. Italia bergabung dengan pakta ini pada tahun 1937. "Poros Roma-Berlin" pun menjadi aliansi militer pada tahun 1939 melalui "Pakta Baja", dengan Pakta Tripartit (1940) yang mengarah ke integrasi tujuan militer Jerman dan dua sekutu perjanjian tersebut.

Dalam puncak kejayaan mereka di Perang Dunia II, Axis memimpin dan menduduki sebagian besar wilayah Eropa, Afrika Utara, dan Asia Timur. Tidak ada pertemuan puncak/KTT antar anggota serta kerjasama dan koordinasi mereka sangat minim. Meskipun ada kedua hal tersebut antara Jerman dan Italia, namun sangatlah kecil. Perang berakhir pada tahun 1945 dengan kekalahan blok Poros dan pembubaran aliansi mereka. Seperti pihak Sekutu, keanggotaan Negara-negara Poros tidak tetap, dan beberapa negara bergabung dan kemudian meninggalkan Negara-negara Poros selama perang berlangsung.

Asal nama dan pendirian

Istilah "axis" digunakan pertama kali dalam hubungan Italia-Jerman oleh PM Italia Benito Mussolini pada September 1923, ketika ia menulis dalam kata pengantar untuk Germania Repubblica karya Roberto Suster, bahwa "tidak ada keraguan bahwa pada saat ini sumbu sejarah Eropa sedang melewati Berlin" (non v'ha dubbio che in questo momento l'asse della storia europea passa per Berlino).[3] Saat itu, ia sedang melihat adanya aliansi dengan Jerman melawan Yugoslavia dan Perancis dalam sengketa wilayah Fiume.[4]

Istilah tersebut digunakan PM Hongaria Gyula Gömbös ketika mendukung aliansi dengan Jerman dan Italia pada awal 1930-an. [5] Upaya Gömbös memberikan efeknya dalam Protokol Roma antara Italia-Hongaria, namun kematiannya secara tiba-tiba pada tahun 1936 saat bernegosiasi dengan Jerman di Munchen dan diangkatnya Kálmán Darányi menjadi PM Hongaria mengakhiri keterlibatan Hongaria dalam membuat koalisi trilateral.[5] Negosiasi dan perdebatan antara menteri luar negeri Italia, Galeazzo Ciano, dan Duta Besar Jerman, Ulrich von Hassell, menghasilkan Protokol 19 Poin, yang ditandatangani oleh Ciano dan rekannya dari Jerman, Konstantin von Neurath, pada tahun 1936. Ketika Mussolini mengumumkan penandatanganan pada 1 November, dia mendeklarasikan berdirinya poros Roma-Berlin.[4]

Proposal awal aliansi Jerman-Italia

Berkas:Benito Mussolini Duce.jpg
Benito Mussolini
Gustav Stresemann

Italia dibawah Duce Benito Mussolini berusaha mengupayakan aliansi strategis Italia-Jerman melawan Perancis sejak awal 1920-an.[6] Sebelum menjadi kepala pemerintahan di Italia sebagai kepala gerakan Fasisme Italia, Mussolini menganjurkan aliansi dengan Jerman yang kalah perang setelah Konferensi Perdamaian Paris (1919) menyelesaikan PD I.[6] Mussolini percaya Italia dalam memperluas pengaruhnya di Eropa dengan berkerjasama dengan Jerman melawan Perancis.[6] Pada awal 1923, sebagai isyarat adanya niat baik ke Jerman, Italia secara diam-diam mengirimkan senjata ke tentara Jerman yang dilucuti senjatanya akibat dari ketentuan Perjanjian Versailles.[6]

Pada September 1923, Mussolini menawarkan Kanselir Jerman Gustav Stresemann "kebijakan umum": ia mencari dukungan militer Jerman melawan ancaman intervensi militer Perancis atas sengketa diplomatik atas Fiume dengan Yugoslavia, dimana pengambilalihan Fiume dapat menjadi perang antara Italia dan Yugoslavia. Duta Besar Jerman ke Italia pada tahun 1924 melaporkan bahwa Mussolini melihat kaum nasioanlis Jerman sebagai sekutu penting untuk Italia melawan Perancis, dan berharap untuk memanfaatkan keinginan tentara Jerman dan hak politik Jerman untuk perang balas dendam terhadap Perancis.[6]

Dalam masa Republik Weimar, pemerintah Jerman tidak menghormati Perjanjian Versailles karena menganggap telah dipaksa untuk mentandatanganinya, dan berbagai tokoh pemerintahannya pada waktu itu menolak perbatasan Jerman hasil perjanjian Versailles. Jenderal Hans von Seeckt (kepala Reichswehr memimpin 1920-1926) mendukung aliansi Jerman-Uni Soviet untuk menginvasi dan membagi Polandia antara keduanya dan mengembalikan perbatasan Jerman-Rusia tahun 1914.[7] Gustav Streseman sebagai Menteri Luar Negeri Jerman tahun 1925 menyatakan bahwa pengambilalihan wilayah yang hilang ke Polandia dan Danzig dalam Perjanjian Versailles adalah masalah penting kebijakan luar negeri Jerman[7] Memorandum Menteri Reichswehr 1926 menyatakan niat unuk mencari cara pengambilalihan kembali wilayah Jerman yag hilang ke tangan Polandia sebagai prioritas pertama, dilanjutkan dengan pengembalian wilayah Saar, aneksasi Austria, dan re-milterisasi Rhineland.[7]

Sejak tahun 1920-an Italia menganggap tahun 1935 adalah tahun penting untuk menyiapkan perang terhadap Perancis, karena pada tahun 1935 kewajiban Jerman dalam perjanjian Versailles akan segera berakhir.[8]

Pertemuan berlangsung di Berlin pada tahun 1924 antara Jenderal Italia Luigi Capello dan tokoh penting militer Jerman seperti von Seeckt dan Erich von Ludendorff atas kerjasama militer antara Jerman dan Italia. Diskusi menyimpulkan bahwa Jerman masih ingin melakukan perang balas dendam melawan Prancis tapi hanya mempunyai sedikit persenjataan dan berharap bahwa Italia bisa membantu Jerman.[9]

Namun saat ini Mussolini menekankan satu syarat penting yang harus dikejar Italia dalam aliansinya dengan Jerman: bahwa Italia "harus ... menarik mereka, bukannya ditarik mereka".[6] Menteri Luar Negeri Italia Dino Grandi pada awal 1930-an menekankan pentingnya "penentuan beban", menyangkut hubungan Italia dengan Perancis dan Jerman, dimana ia akui bahwa Italia bukanlah kekuatan utama, tapi juga dirasakan bahwa Italia tidak memiliki pengaruh cukup kuat untuk mengubah situasi politik di Eropa dengan menempatkan bobot dukungannya ke salah satu sisi atau yang lain.[10] Namun Grandi menekankan bahwa Italia harus berusaha untuk menghindari menjadi "budak tiga aturan" untuk mengejar kepentingannya, dengan alasan bahwa meskipun ketegangan Italia-Perancis cukup besar, Italia tidak akan beraliansi tanpa syarat dengan Jerman.[11] Rencana Grandi untuk menjaga keseimbangan diplomatik antara Perancis dan Jerman diuji pada tahun 1932 dengan tekanan oleh pihak Perancis, yang ingin menyiapkan suatu aliansi antara Britania dan Amerika Serikat melawan ancaman balas dendam Jerman.[12] Pemerintah Perancsi memperingatkan Italia apa yang dipilihnya apakah berada di kelompok pro-Versailles atau kelompok anti-Versailles.[12] Grandi merespon bahwa Italia akan memberi dukungan kepada Perancis melawan Jerman asalkan Italia diberikan mandat atas Kamerun dan mengizinkan Italia kebebasan bertindak atas Ethiopia.[12] Perancis menolak usulan Italia, karena diyakini tuntutan Italia tidak dapat diterima dan ancaman Jerman belum tiba.[12]

Pada 23 Oktober 1932, Mussolini menyatakan dukungan pada Direktorat Empat Kekuatan yang terdiri atas Britania, Perancis, Jerman dan Italia, untuk membawa revisi perjanjian tertib di luar pengaruh Liga Bangsa-Bangsa yang dianggap sudah kuno.[12] Direktorat ini sebenarnya dibuat untuk mengurangi hegemoni Perancis di benua Eropa, untuk mengurangi ketegangan antara kekuatan besar dalam jangka pendek untuk membeli bantuan Italia dan ditekan menjadi aliansi perang tertentu sementara pada saat yang sama memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan dari penawaran diplomatik pada revisi perjanjian.[12]

Pengembangan aliansi Jerman-Jepang-Italia

Fumimaro Konoe

Ketertarikan Jerman dan Jepang beraliansi dimulai pada saat Oshima Hiroshi mengunjungi Joachim von Ribbentrop di Berlin pada tahun 1935.[13] Oshima memberitahu Ribbentrop ketertarikan Jepang membentuk aliansi Jerman-Jepang melawan pengaruh Uni Soviet.[13] Ribbentrop memperluas proposal Oshima dengan menganjurkan aliansi tersebut berkonteks pada konteks politik untuk menentang Komintern.[13] Rencana tersebut menuai tanggapan beragam di Jepang, dimana faksi ultra-nasionalis mensetujui pakta tersebut sedangkan Angkatan Laut Jepang dan Menteri Luar Negeri Jepang menolak pakta tersebut.[14] Ada kekhawatiran besar dalam pemerintahan Jepang, pakta dengan Jerman bisa mengganggu hubungan Jepang dengan Britania, dimana membahayakan perjanjian Anglo-Jepang, yang memungkinkan Jepang untuk mendapat tempat pertama di masyarakat internasional.[15] Respon terhadap pakta itu hampir sama di Jerman, perjanjian yang diusulkan tersebut populer di kalangan eselon atas Partai Nazi, namun ditentang oleh banyak orang di Kementerian Luar Negeri, Angkatan Darat, dan komunitas bisnis yang memiliki kepentingan keuangan di Tiongkok yang bermusuhan dengan Jepang.

"Teman-teman yang baik di tiga negara" (1938): propaganda kartu pos Jepang merayakan partisipasi Italia di Pakta Anti-Komintern pada tanggal 6 November 1937. Di atas terdapat gambar Hitler, Konoe dan Mussolini.

Belajar dari negosiasi Jepang-Jerman, Italia juga tertarik membina aliansi dengan Jepang.[13] Italia berharap karena hubungan dekat Britania-Jepang, aliansi Jepang-Italia dapat menekan Britania untuk mengadopsi sikap yang lebih akomodatif terhadap Italia di Mediterania.[13] Pada musim panas 1936, Menteri luar negeri Italia Ciano memberitahu Duta Besar Jepang di Italia, Sugimura Yotaro, "Saya mendengar persetujuan Jepang-Jerman tentang masalah Uni Soviet sudah dicapai, dan saya pikir hal alami akan terjadi juga untuk perjanjian serupa yang akan dibuat antara Italia dan Jepang".[13] Awalnya Jepang menyepelekan usulan Italia, melihat aliansi Jerman-Jepang melawan Uni Soviet sebagai yang utama dan mengenai aliansi Italia-Jepang hanyalah sebagai hal sekunder, seperti Jepang menghindari aliansi Italia-Jepang yang mungkin akan membuat Jepang memusuhi Britania yang mengutuk invasi Italia ke Ethiopia.[13] Sikap Jepang terhadap Italia diubah pada tahun 1937 setelah Liga Bangsa-Bangsa mengutuk Jepang karena serangannya di Tiongkok dan isolasi internasional yang dihadapi, sementara Italia tetap menguntungkan ke Jepang.[13]Sebagai hasil dari dukungan Italia terhadap Jepang dalam kecaman internasional, Jepang mengambil sikap yang lebih positif terhadap Italia dan menawarkan proposal perjanjian non-agresi atau netralitas dengan Italia.[16]

"Blok Poros" secara resmi dinamakan pada tanggal 27 September 1940, di Berlin. Pakta tersebut ditandatangan oleh Jerman, Italia dan Jepang. Pakta tersebut kemudian ditandatangani selajnutnya oleh Hongaria (20 November 1940), Rumania (23 November 1940), Slowakia (24 November 1940), dan Bulgaria (1 Maret 1941). [17]


Ideologi

Dalam ideologinya blok poros bertujuan untuk menghancurkan plutokrasi-kapitalis kekuatan barat dan melindungi peradaban dari pengaruh komunisme.[18]

Sumber ekonomi

Penduduk Poros pada tahun 1938 sebanyak 258 juta orang, sedangkan populasi Sekutu (termasuk Uni Soviet dan Amerika Serikat, yang kemudian bergabung dengan Sekutu) adalah 689 juta orang [19] Dengan demikian kekuatan Sekutu mengalahkan jumlah kekuatan Poros [20] Negara-negara utama Axis memiliki populasi berikut:

  • Jerman 75,5 juta orang (termasuk 6,8 juta dari Austria yang baru diambilalih)
  • Jepang 71,9 juta orang (tidak termasuk jajahannya)
  • Italia 43,4 juta orang (tidak termasuk koloninya)

Britania Raya (tidak termasuk koloninya) memiliki populasi 47,5 juta orang dan Perancis (tidak termasuk koloninya) 42 juta orang [19].

Produk domestik bruto (PDB) Blok Poros tertinggi (1941) adalah $911 juta dolar internasional (harga 1990-an). [21] PDB dari Sekutu adalah $1,798 miliar. Amerika Serikat memiliki PDB $1,094 miliar, jauh lebih besar dari Blok Poros digabungkan. [22]

Beban perang terhadap negara-negara peserta perang telah diukur melalui persentase produk nasional bruto (PNB) yang ditujukan untuk pengeluaran militer. [23] Hampir seperempat dari PNB Jerman digunakan untuk perang pada tahun 1939, dan kemudian meningkat menjadi tiga perempat dari PNB pada tahun 1944, sebelum runtuhnya perekonomian. [23] Pada tahun 1939, Jepang menggunakan 22% dari PNB untuk perang di Tiongkok, kemudian meningkat menjadi tiga perempat dari PNB pada tahun 1944 [23] Italia tidak memobilisasi ekonominya, dimana PNB yang digunakan untuk perang tetap pada tingkat sebelum perang. [23]

Italia dan Jepang tidak memiliki kapasitas industri, ekonomi mereka yang kecil, tergantung pada perdagangan internasional serta sumber bahan bakar dan sumber daya industri mereka berasal dari luar.[23] Akibatnya, mobilisasi Italia dan Jepang tetap rendah, bahkan pada tahun 1943.[23]

Di antara tiga kekuatan Poros, Jepang memiliki pendapatan per kapita paling rendah, sementara Jerman dan Italia memiliki tingkat pendapatan sebanding dengan Britania. [24]

Negara Anggota

Anggota Negara-negara Poros yang utama

Anggota Negara-negara Poros minoritas

Negara Boneka Jepang

Disini Indonesia tidak terlibat perang karena tidak mau bekerjasama dengan Jepang

Negara boneka Italia

Negara boneka Jerman

Negara lainnya yang berkoalisi

Bekas anggota

Rujukan

  1. ^ Cornelia Schmitz-Berning (2007). Vokabular des Nationalsozialismus. Berlin: De Gruyter. hlm. 745. ISBN 978-3-11-019549-1. 
  2. ^ "Axis". GlobalSecurity.org. Diakses tanggal 26 March 2015. 
  3. ^ Martin-Dietrich Glessgen and Günter Holtus, eds., Genesi e dimensioni di un vocabolario etimologico, Lessico Etimologico Italiano: Etymologie und Wortgeschichte des Italienischen (Ludwig Reichert, 1992), p. 63.
  4. ^ a b D. C. Watt, "The Rome–Berlin Axis, 1936–1940: Myth and Reality", The Review of Politics, 22: 4 (1960), pp. 530–31.
  5. ^ a b Sinor 1959, hlm. 291.
  6. ^ a b c d e f MacGregor Knox. Common Destiny: Dictatorship, Foreign Policy, and War in Fascist Italy and Nazi Germany. Cambridge University Press, 2000. Pp. 124.
  7. ^ a b c Christian Leitz. Nazi Foreign Policy, 1933-1941: The Road to Global War. p10.
  8. ^ MacGregor Knox. Common Destiny: Dictatorship, Foreign Policy, and War in Fascist Italy and Nazi Germany. Cambridge University Press, 2000. Pp. 125.
  9. ^ John Gooch. Mussolini and His Generals: The Armed Forces and Fascist Foreign Policy, 1922-1940. Cambridge University Press, 2007. P11.
  10. ^ Gerhard Schreiber, Bern Stegemann, Detlef Vogel. Germany and the Second World War. Oxford University Press, 1995. Pp. 113.
  11. ^ Gerhard Schreiber, Bern Stegemann, Detlef Vogel. Germany and the Second World War. Oxford University Press, 1995. P. 113.
  12. ^ a b c d e f H. James Burgwyn. Italian foreign policy in the interwar period, 1918–1940. Wesport, Connecticut, USA: Greenwood Publishing Group, 1997. P. 68.
  13. ^ a b c d e f g h Adriana Boscaro, Franco Gatti, Massimo Raveri, (eds). Rethinking Japan. 1. Literature, visual arts & linguistics. P. 32. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "boscaro" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  14. ^ Adriana Boscaro, Franco Gatti, Massimo Raveri, (eds). Rethinking Japan. 1. Literature, visual arts & linguistics. P. 33.
  15. ^ Adriana Boscaro, Franco Gatti, Massimo Raveri, (eds). Rethinking Japan. 1. Literature, visual arts & linguistics. P. 38.
  16. ^ Adriana Boscaro, Franco Gatti, Massimo Raveri, (eds). Rethinking Japan. 1. Literature, visual arts & linguistics. Pp. 39–40.
  17. ^ Hill 2003, hlm. 91.
  18. ^ Stanley G. Payne. A History of Fascism, 1914–1945. Madison, Wisconsin, USA: University of Wisconsin Press, 1995. P. 379
  19. ^ a b Harrison 2000, hlm. 3.
  20. ^ Harrison 2000, hlm. 4.
  21. ^ Harrison 2000, hlm. 10.
  22. ^ Harrison 2000, hlm. 10,25.
  23. ^ a b c d e f Harrison 2000, hlm. 20.
  24. ^ Harrison 2000, hlm. 19.

Referensi

  • Harrison, Mark (2000) [1998]. The Economics of World War II: Six Great Powers in International Comparison. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-78503-7. 
  • Hill, Richard (2003) [2002]. Hitler Attacks Pearl Harbor: Why the United States Declared War on Germany. Boulder, CO: Lynne Rienner.