Ketupat
Ketupat کتوڤت | |
---|---|
Nama lain | Kupat (Jawa, dan Sunda), Tipat (Bali), dan Topa' (Madura). |
Sajian | Hidangan utama |
Tempat asal | Indonesia[1] |
Daerah | Asia Tenggara |
Suhu penyajian | Hangat atau temperatur ruangan |
Bahan utama | Beras yang dibuat di dalam kantong anyaman daun kelapa muda. |
Variasi | Ketupat pulut, ketupat daun palas, lepet. |
Semangkuk ketupat sayur memiliki sekitar 93 kalori[2] kkal | |
Sunting kotak info • L • B | |
Ketupat atau kupat adalah makanan dari bahan dasar beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa muda (janur), atau ada juga yang menggunakan daun palma. Hidangan ini berasal dari Indonesia, yang dalam perkembangannya menyebar ke negara lain, seperti; Brunei, Malaysia, Singapura, dan Thailand selatan. Di Filipina juga dijumpai bugnoy yang mirip ketupat namun dengan pola anyaman berbeda.[3] Kupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, dan Kupatan yang dilaksanakan seminggu setelah lebaran.[4][5][6][7]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Berdasarkan buku Makna Ketipat dalam Upacara Telung Bulan di Denpasar karya Ni Made Yuliani dan I Ketut Wardana Yasa (2020), ketupat telah dipernalkan sejak jaman Hindu-Budha. Penyebutan kupat, akupat, dan khupat-kupatan tercantum dalam Kakawin Kresnayana, Kakawin Subadra Wiwaha, dan Kidung Sri Tanjung. Sebagai negeri agraris pada jaman Hindu-Budha, ketupat merupakan bagian dari bentuk pemujaan terhadap Dewi Sri. Dewi Sri adalah dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris salah satunya di Nusantara.
Kemudian terjadi desakralisasi dan demitologisasi yang mana Dewi Sri tidak lagi dipuja sebagai dewi kesuburan dan pertanian tetapi hanya sebagai lambang dengan dipresentasikan dalam bentuk ketupat. Hingga akhirnya ketupat merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada era selanjutnya yakni era Kerajaan Demak 'Kupat' memiliki definisi arti dalam bahasa Jawa, yaitu ngaku lepat yang berarti 'mengakui kesalahan' atau laku papat (4 perilaku) yang juga melambangkan 4 sisi dari kupat, yaitu lebaran (pintu maaf), luberan (berlimpah), leburan (saling memaafkan), dan laburan (dari kata Labur; putih, yang berarti 'bersih dari dosa-dosa').[8]
Kupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Kesultanan Demak pimpinan Raden Fatah awal abad ke-15. Bentuknya yang persegi empat bermakna "kiblat papat lima pancer," sebagai keseimbangan alam yakni 4 arah mata angin yang bertumpu pada satu pusat. Kupat pertama kali muncul di tanah Jawa, diperkenalkan oleh sunan kalijaga kepada masyarakat Jawa yang merupakan hasil perpaduan makan tradisional Tepo yang dibalut anyaman yang dapat ditemukan di Wengker sekitar Gunung Lawu. Sunan Kalijaga menjadikan kupat sebagai budaya dan filosofi Jawa.[9][10][11] Kupat umumnya disajikan pada saat Lebaran[12], Kupatan[13][14][15][16] dll. Dalam perkembangannya, panganan ini menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara sebagai hidangan utama saat lebaran karena pengaruh Wali Songo dan murid-muridnya, seperti Malaysia yang dibawa prajurit Kesultanan Demak yang kemudian menetap di Semanjung Melayu.[17]
Bentuk
[sunting | sunting sumber]Ada 2 bentuk utama ketupat yaitu kepal bersudut tujuh (lebih umum) dan jajaran genjang bersudut enam. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang dan lebar, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.
Tradisi adat dan Jenis
[sunting | sunting sumber]Makanan khas yang menggunakan ketupat, antara lain kupat tahu (Magelang, Bandung, Tasikmalaya, Purbalingga), tahu masak (Banjarnegara, Banyumas, Kebumen, Cilacap), kupat gecot (Purbalingga), Tegal (kupat glabed, kupat bongkok, kupat blegong, kupat tahu petis), tahu kupat (surakarta), ketoprak (Purbalingga, Cirebon), katupat kandangan (Banjar), coto makassar (dari Makassar, ketupat dinamakan katupa), lotek, kupat tahu, tipat cantok (Bali), serta gado-gado yang dapat dihidangkan dengan ketupat atau lontong. Ketupat juga dapat dihidangkan untuk menyertai satai, meskipun lontong lebih umum.
Nama nama makanan kupat yang disajikan dalam acara tradisi adat Jawa dan Bali, antara lain: Kupat Sumpil (Bentuknya segitiga dengan daun bambu sebagai bungkusnya), Kupat landan, Kupat sinta (menggunakan 4 helai janur, ujung janurnya keluar di dua sudut berseberangan), Kupat luwer (menggunakan 2 helai janur, berbentuk persegi panjang seperti bata merah, helai janur keluar di kedua sudut), Kupat bawang (Berbentuk persegi empat, menggunakan 2 helai janur), Kupat jago (menggunakan 8 helai janur, berbentuk segitiga sama kaki dengan ujung menjuntai di kanan kiri. Helaian janur di bagian atasnya lalu diikat. Biasanya hadir di syukuran empat bulanan), Kupat tumpeng (Berbentuk mengerucut dengan dasar melebar, helai janur menjuntai di bagian yang runcing), Kupat sidalungguh (menggunakan 3 helai janur, ketiga helai janur dikeluarkan dari sisinya), Kupat sari (berbentuk segitiga sama sisi, ada helaian janur yg keluar di sudut kanan kirinya), Kupat sidapurna (Berbentuk seperti huruf P terbalik. Salah satu sudutnya terdapat hiasan lipatan janur mirip pita. Bagian sudut bawahnya dilipat sebagai hiasan), Kupat geleng (Berbentuk persigi panjang. Disemua sudutnya tidak keluar helaian janur, sehingga tampilannya terlihat sangat rapat), Kupat bagea (Bentuknya hampir bundar dengan janur menjuntai di bagian atas. Anyamannya saling menyilang), Kupat bebek (Bentuk bagian bawahnya sedikit membulat dengan ujungnya dibiarkan agak panjang dan miring ke atas, mirip mulut bebek), Kupat pandawa (Bentuknya segitiga dengan ujung berupa 2 helai janur yang dikepang)
Nama-nama lokal
[sunting | sunting sumber]- bahasa Aceh: keutupèt
- bahasa Bali: tipat (ᬢᬶᬧᬢ᭄)
- bahasa Banjar: katupat
- bahasa Bare'e (Poso-Tojo Grup): ketupat
- bahasa Betawi: tupat
- bahasa Camoru: katupat
- bahasa Gorontalo: atupato
- bahasa Indonesia: ketupat
- bahasa Jawa: kupat (ꦏꦸꦥꦠ꧀)
- bahasa Kapampangan: patupat
- bahasa Madura: ketopak
- bahasa Makassar: katupa' (ᨀᨈᨘᨄ)
- bahasa Melayu: ketupat (کتوڤت)
- bahasa Minangkabau: katupek
- bahasa Osing: kupat
- bahasa Sasak: topat (ᬢᭀᬧᬢ᭄)
- bahasa Sugbu: pusô
- bahasa Sunda: kupat (ᮊᮥᮕᮒ᮪)
- bahasa Tagalog: bugnoy
- bahasa Tausug: ta’mu
- bahasa Totoli: kasipat
- bahasa Palembang: kupat
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Rianti, Angelina; Novenia, Agnes E.; Christopher, Alvin; Lestari, Devi; Parassih, Elfa K. (March 2018). "Ketupat as traditional food of Indonesian culture". Journal of Ethnic Foods. 5 (1): 4–9. doi:10.1016/j.jef.2018.01.001 .
- ^ "Calories in indonesian food ketupat sayur". My Fitness Pal. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-03. Diakses tanggal 2019-06-03.
- ^ Almario, Virgilio, et al. 2010. UP Diksiyonaryong Filipino, 2nd ed. Anvil: Pasig.
- ^ Lebaran Ketupat, Tradisi Keislaman di Tanah Jawa yang Sarat Makna.[1]
- ^ Lebaran Ketupat, Tradisi Masyarakat Jawa Seminggu setelah Lebaran.[2]
- ^ MEMAHAMI TRADISI KUPATAN MASYARAKAT JAWA DAN ISLAM KOSMOPOLITAN[3]
- ^ Sejarah Tradisi Kupatan Atau Lebaran Ketupat Pada Masyarakat Jawa.[4]
- ^ Filosofi Ketupat saat Idulfitri, Punya Makna Mendalam.[5]
- ^ Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries : the Malay Annals of Semarang and Cerbon / translated and provided with comments by H.J. de Graaf and Th.G.Th. Pigeaud ; edited by M.C. Ricklefs.[6]
- ^ Fadly. Rahman. Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia
- ^ Angelina. Rianti. Ketupat as Traditional Food of Indonesia
- ^ Idul Fitri Tak Lengkap Tanpa Lepet.[7]
- ^ Lebaran Ketupat, Tradisi Keislaman di Tanah Jawa yang Sarat Makna.[8]
- ^ Lebaran Ketupat, Tradisi Masyarakat Jawa Seminggu setelah Lebaran.[9]
- ^ MEMAHAMI TRADISI KUPATAN MASYARAKAT JAWA DAN ISLAM KOSMOPOLITAN[10]
- ^ Sejarah Tradisi Kupatan Atau Lebaran Ketupat Pada Masyarakat Jawa[11]
- ^ Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries : the Malay Annals of Semarang and Cerbon / translated and provided with comments by H.J. de Graaf and Th.G.Th. Pigeaud ; edited by M.C. Ricklefs.[12]