Lompat ke isi

Ketuhanan dalam Buddhisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Brahma Sahampati meminta Sang Buddha untuk mengajar. Ajaran Buddha menerima keberadaan para dewa dan brahma, namun makhluk-makhluk ini bukanlah Tuhan personal Yang Maha Kuasa; juga tidak kekal (mereka bisa menderita dan mati).

Ketuhanan dalam Buddhisme tidak berdasarkan kepada suatu Tuhan personal Yang Maha Kuasa sebagai pencipta dan pengatur alam semesta (Pali: issara; Sanskerta: īśvara).[1] Buddhisme menyatakan bahwa alam semesta diatur oleh Niyāma, yaitu suatu hukum alam impersonal yang bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi. Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai Tuhan. Buddha merupakan guru agung umat Buddha yang telah menemukan Dhamma, bukan menciptakan Dhamma.[2]

Umat Buddha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai dewa dan brahma. Akan tetapi, tidak seperti Hinduisme, mereka tidak dianggap sebagai Tuhan. Sebagai akibatnya, konsep-konsep agama Buddha yang berkaitan dengannya juga berbeda dengan konsep-konsep dari agama lain. Buddhisme tidak menekankan pada keterlibatan pribadi pencipta dunia dalam pemahamannya mengenai iman, berdoa, terbentuknya alam semesta, munculnya manusia, kiamat, hingga keselamatan atau kebebasan.[3]

Untuk memenuhi sila pertama Pancasila Indonesia, maka Nirwana sebagai keadaan dan tujuan tertinggi diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Nirwana sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali, sebagaimana dijelaskan dalam Tatiyanibbāna Sutta, Udāna 8.3, adalah "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" dengan makna:

  1. Yang Tidak Dilahirkan (ajāta)
  2. Yang Tidak Menjelma (abhūta)
  3. Yang Tidak Tercipta (akata)
  4. Yang Tidak Terkondisi (asaṅkhata)

Buddha juga mengajarkan pengembangan sifat-sifat ketuhanan luhur yang disebut Brahmawihara, yaitu cinta kasih (mettā), belas kasih (karuṇā), simpati (mudita), dan ketenangan (upekkhā).[4] Alih-alih fokus pada suatu Tuhan personal, ibadah umat Buddha lebih fokus pada keyakinan kepada Tiratana, perenungan Empat Kebenaran Mulia, dan penerapan Jalan Mulia Berunsur Delapan untuk mencapai Nirwana.[5]


Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Menurut beberapa diskursus dalam kitab suci Tripitaka Pali beserta kitab-kitab komentarnya yang diyakini oleh para pengikut aliran Theravāda, Sang Buddha menjelaskan beberapa pandangan-Nya atas gagasan tentang Tuhan dan Ketuhanan.

Tuhan personal

[sunting | sunting sumber]

Penolakan Buddha atas Tuhan personal (Pali: issara; Sanskerta: īśvara) sebagai pencipta tertuang dalam Titthāyatana Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.61:[6]


Kutipan kitab suci Tipiṭaka tersebut menjelaskan salah satu pandangan salah yang harus dihindari, yaitu mengandalkan aktivitas issara sebagai kebenaran mendasar. Pada beberapa versi terjemahan, issara diartikan sebagai "Tuhan pencipta",[6] "Tuhan Tertinggi",[7] "Supreme God",[8] dan "God Almighty".[9] Menurut Sang Buddha, orang yang menganut pandangan tersebut tidak memahami sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan sehingga berpikiran kacau, tidak menjaga diri mereka sendiri, dan tidak pantas disebut sebagai petapa.

Masalah kejahatan

[sunting | sunting sumber]

Beberapa cerita dalam kitab Jātaka dan Majjhima Nikāya menguraikan kritik terhadap dewa atau Tuhan pencipta yang mirip seperti masalah kejahatan dalam filsafat agama.[10]

Dalam Bhūridatta Jātaka (Jātaka no. 543), Buddha Gotama sewaktu masih menjadi seorang Bodhisatwa (calon Buddha) berkata:[11]

Dia yang memiliki mata dapat melihat pemandangan yang memuakkan;
Mengapa Brahma tidak meluruskan makhluk-makhluknya?
Jika kekuasaannya memang luas tanpa-batas;
Mengapa tangannya begitu jarang terulur untuk memberkati?
Mengapa semua makhluknya dikutuk untuk menderita?
Mengapa dia tidak memberikan kebahagiaan kepada semua orang?
Mengapa penipuan, kebohongan, dan ketidaktahuan merajalela?
Mengapa kepalsuan menang—kebenaran dan keadilan gagal?
Aku menganggapmu, Brahma, sebagai sesuatu yang tidak adil;
Yang menciptakan dunia untuk melindungi kesalahan.

Dalam Mahābodhi Jātaka (Jātaka no. 528), Bodhisatwa berkata:[12]

Jika ada Tuhan Yang Maha Kuasa yang menetap;
Dalam kebahagiaan atau kesengsaraan,
dan tindakan baik atau buruk setiap makhluk;
Tuhan itu ternoda oleh dosa (kesalahan),
manusia hanya menjalankan keinginannya.

Dalam Devadaha Sutta, Majjhima Nikāya 101, Sang Buddha berkata:[13]

Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan Yang Tertinggi, maka para Nigaṇṭha (petapa agama Jain) pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang jahat, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. ... Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan Yang Tertinggi, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

Kemahakuasaan dewa

[sunting | sunting sumber]
Kosmologi Buddhis yang meliputi loka surga dan loka brahma.

Umat Buddha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai dewa. Dalam kosmologi Buddhisme, dewa adalah sebutan untuk makhluk-makhluk yang menempati loka surga, di dalamnya termasuk loka brahma (brahmaloka). Dewa digambarkan sebagai makhluk yang tidak setara dengan manusia, memiliki kesaktian, dan berumur panjang. Para dewa yang tinggal di loka brahma (brahmaloka) secara spesifik disebut sebagai 'brahma'. Akan tetapi, mereka tetap tunduk pada kematian dan belum tentu lebih bijaksana daripada makhluk lainnya. Mereka bukan Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak Maha Sempurna. Para dewa, layaknya manusia, juga merupakan makhluk yang sedang dalam usaha mencari kesempurnaan hidup. Bahkan, Buddha sering disebut sebagai guru para dewa.[1]

Kendati sama-sama merupakan agama berbasis darma, brahma dalam agama Buddha berbeda dengan Brahma dalam agama Hindu yang diyakini sebagai pencipta dunia. Mahābrahmā, atau Brahma Agung, disebutkan dalam Dīgha Nikāya sebagai makhluk yang menempati alam atas.[14] Ia merupakan dewa pemimpin dan penguasa loka brahma.[15][16] Brahma, sebagai dewa yang berkedudukan lebih tinggi dalam kosmologi Buddhisme, juga bukan merupakan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kepercayaan bahwa dunia yang sekarang memiliki awal dan akhir—dengan merenungkan perumpamaan tentang rumah dengan pembangunnya—sampai pada kesimpulan bahwa dunia pasti memiliki pencipta: Sang Pencipta, Brahma, atau ‘Tuhan’ pada umumnya. Namun, menurut Buddhisme, terjadinya dunia merupakan suatu siklus. Pandangan ini meyakini bahwa banyak dunia yang telah terbentuk dan hancur pada masa lampau. Setelahnya, dunia yang baru akan menggantikan dunia yang sekarang pada masa yang akan datang dan seterusnya.[17][18] Dengan menekankan pada siklus terbentuknya dunia, Sang Buddha menolak kedudukan Mahābrahmā sebagai Tuhan, Pencipta, Yang Maha Kuasa, Yang Tak Tertaklukkan, Maha Melihat, Yang Termulia, Penguasa, Pengambil Keputusan, Pemberi Perintah, dan sebagainya dalam Brahmajāla Sutta, Dīgha Nikāya 1.[19][20]

Niyāma yang impersonal

[sunting | sunting sumber]

Dengan ditolaknya gagasan Tuhan personal sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, kitab-kitab komentar Buddhisme aliran Theravāda menyatakan bahwa alam semesta dan seluruh isinya diatur oleh Niyāma ("Hukum Alam"), yaitu lima hukum kepastian atau keteraturan (pañca-niyāma) impersonal yang bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi:

  1. Utu Niyāma, hukum kepastian atau keteraturan musim
  2. Bija Niyāma, hukum kepastian atau keteraturan benih
  3. Kamma Niyāma, hukum kepastian atau keteraturan kamma (perbuatan)
  4. Citta Niyāma, hukum kepastian atau keteraturan kesadaran
  5. Dhamma Niyāma, hukum kepastian atau keteraturan dhamma (fenomena)

Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, penganut Buddhisme meninggalkan pandangan yang salah (micchādiṭṭhi) tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan personal sebagai pencipta.[1][21]

Interpretasi Nirwana

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan beberapa pendapat yang berasal dari aliran Theravāda di Indonesia,[3] Nirwana sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat dinyatakan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa untuk memenuhi sila pertama Pancasila Indonesia. Pernyataan dari Sang Buddha yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan Nirwana dalam agama Buddha terdapat dalam Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta Sutta atau Tatiyanibbāna Sutta, Udāna 8.3:[22]

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang merupakan konsep Nirwana yang kemudian diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Nirwana sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" yang artinya:

  1. Yang Tidak Dilahirkan (ajāta)
  2. Yang Tidak Menjelma (abhūta)
  3. Yang Tidak Tercipta (akata)
  4. Yang Tidak Terkondisi (asaṅkhata)

Dalam hal ini, Nirwana sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuatu yang tidak terpersonifikasi atau tanpa-Aku (anatta). Dengan adanya Yang Mutlak atau Yang Tidak Terkondisi (asaṅkhata) maka manusia yang berkondisi (saṅkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (saṃsāra).[3] Di kesempatan lain, Buddha menggunakan istilah-istilah lain yang juga merujuk kepada Nibbāna. Dalam keseluruhan teks bagian Asaṅkhatasaṁyutta, Saṁyutta Nikāya 43, Buddha menguraikan 33 nama Nibbāna:[23][24][25][26][27][28][29]

  1. Yang Tak Terkondisi (asaṅkhata)
  2. Hancurnya Nafsu, Hancurnya Kebencian, Hancurnya Delusi (rāgakkhaya dosakkhaya mohakkhaya)
  3. Ketidak-Condongan (anata)
  4. Ketanpa-Nodaan (anāsava)
  5. Kebenaran (sacca)
  6. Pantai Seberang (pāra)
  7. Yang Halus (nipuṇa)
  8. Yang Sangat Sulit Dilihat (sududdasa)
  9. Yang Tanpa Penuaan (ajajjara)
  10. Yang Stabil (dhuva)
  11. Ketidak-Hancuran (apalokita)
  12. Ketidak-Berwujudan (anidassana)
  13. Yang Tanpa Proliferasi (nippapañca)
  14. Yang Damai (santa)
  15. Tanpa-Kematian (amata)
  16. Yang Luhur (paṇīta)
  17. Yang Menguntungkan (siva)
  18. Yang Aman (khema)
  19. Hancurnya Ketagihan (taṇhākkhaya)
  20. Yang Menakjubkan (acchariya)
  21. Yang Tanpa Penyakit (abbhuta)
  22. Kondisi Tanpa Penyakit (anītika)
  23. Nirwana atau Kepadaman (nibbāna)
  24. Yang Tidak Dirundung (abyābajjha)
  25. Kebosanan atau Ketanpa-keinginan (virāga)
  26. Kemurnian (suddhi)
  27. Kebebasan (mutti)
  28. Yang Tidak Melekat (anālaya)
  29. Pulau (dīpa)
  30. Naungan (leṇa)
  31. Suaka (tāṇa)
  32. Perlindungan (saraṇa)
  33. Tujuan (pāraya)

Sifat-sifat Ketuhanan

[sunting | sunting sumber]

Handaka Vijjānanda, dalam bukunya yang berjudul "Dhamma untuk Anak", berpendapat bahwa Tuhan dalam Buddhisme adalah empat sifat luhur yang merujuk pada cattāri brahmavihārā.[30] Brahmavihāra dalam Buddhisme meliputi:

  1. Mettā, cinta kasih.
  2. Karuṇā, belas kasih.
  3. Mudita, simpati.
  4. Upekkhā, ketenangan.

Penjelasan demikian digunakan dalam konteks spesifik, yaitu ketika perlu menjelaskan konsep ketuhanan kepada anak-anak dengan asumsi bahwa pemahaman mereka terbatas sehingga penjelasan yang terlalu rinci mungkin saja terdengar membingungkan. Dalam beberapa kesempatan lainnya, beberapa biksu (bhikkhu) Theravāda di Indonesia juga berkata demikian:[31]

... Untuk menjelaskan kepada anak-anak, oleh karena Sang Buddha merupakan sosok yang paling dekat dengan Nibbāna, dapat dijelaskan dengan sederhana bahwa "Tuhan dalam agama Buddha adalah Sang Buddha" agar mudah dipahami. Akan tetapi, pemahamannya adalah karena Sang Buddha telah mencapai Nibbāna sebagai keadaan dan tujuan tertinggi....

— Bhante Abhijato

Buddha sebagai penemu Dhamma

[sunting | sunting sumber]

Dhamma bukanlah ciptaan para Buddha. Para Buddha adalah penemu Dhamma, bukan pencipta Dhamma.[2] Setelah menemukan Dhamma, Buddha mengajarkannya kepada semua makhluk agar mereka yang telah siap dapat memperoleh manfaatnya. Dengan demikian, ada atau tidak ada Buddha, hukum abadi tersebut akan tetap ada sepanjang zaman, sebagaimana disabdakan Buddha dalam Uppādā Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.136.[32]

Konsep tanpa-pencipta

[sunting | sunting sumber]

Konsep-konsep tentang iman, berdoa, terbentuknya alam semesta, terjadinya bumi, kiamat, dan keselamatan yang dijelaskan di bagian ini utamanya dianut oleh aliran Theravāda yang didasarkan pada teks-teks dalam kitab suci Tripitaka Pali.

Iman atau keyakinan

[sunting | sunting sumber]

Meskipun Buddha menolak adanya pribadi pencipta Yang Maha Kuasa, Buddha tetap menekankan pentingnya keyakinan atau iman (saddhā) terhadap Tiratana (Buddha, Dhamma, Saṅgha), hukum kamma, kelahiran kembali, dan Nibbāna.

Secara umum, umat Buddha Theravāda mendefinisikan ulang terminologi berdoa sebagai aktivitas batin yang merenungi Dhamma dan menyampaikan puji-pujian kepada Tiratana, bukan meminta sesuatu yang diinginkan kepada makhluk apa pun. Jika berdoa didefinisikan sebagai suatu aktivitas batin yang memohon atau meminta sesuatu yang diinginkan—misalnya kebahagiaan—kepada dewa, brahma, atau makhluk apa pun yang diyakini bisa memberikannya, maka Buddhisme menolak kegiatan berdoa. Dengan pengertian tersebut, kebahagiaan dianggap hanya bisa didapatkan melalui berdoa dan merupakan hadiah dari makhluk yang diminta. Apabila makhluk tersebut tidak berkenan, maka kebahagiaan tidak bisa terwujud karena tidak ada makhluk lain yang bisa menghalangi kehendaknya; termasuk diri sendiri. Dengan demikian, kebahagiaan menjadi sesuatu yang berada di luar kuasa seseorang. Dengan batasan istilah seperti ini, maka paritta buddhis, seperti Ettāvatā dan Brahmavihārapharaṇa, tidak termasuk dalam terminologi berdoa karena keduanya melibatkan perbuatan baik yang menjadi faktor utama kemunculan kebahagiaan.[33]

Dengan tiadanya pencipta dunia, pandangan Buddhisme mengenai berdoa pun tidak melibatkan kehadiran pencipta dunia. Dalam Iṭṭha Sutta, Aṅguttara Nikāya 5.43,[34] Buddha menyatakan bahwa kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga tidak dapat diperoleh melalui doa-doa atau aspirasi-aspirasi. Kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga hanya dapat diperoleh dengan mempraktikkan jalan yang menuju padanya. Alih-alih berdoa untuk meminta kebahagiaan kepada suatu sosok, Sammāsambuddha mengatakan bahwa sebab dari kebahagiaan adalah mengikuti jalan yang membawa ke kebahagiaan. Jalan yang membawa ke kebahagiaan adalah praktik-praktik kebajikan seperti dāna (bederma), sīla (moralitas) dan lain-lain (dānasīlādikā puññapaṭipadā).[33]

Terbentuknya alam semesta

[sunting | sunting sumber]

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini sangat luas dengan banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan Bhikkhu Ānanda dalam Cūḷanikā Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.80.[35] Berdasarkan teks tersebut, sebuah dvisahassi majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000.000 tata surya dan sebuah tisahassi mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000.000 tata surya. Terkait dengan terjadinya Bumi dan manusia pertama, Aggañña Sutta, Dīgha Nikāya 27[36] dan Brahmajāla Sutta, Dīgha Nikāya 1[37] menguraikan bahwa manusia pertama bukanlah seorang atau dua orang, tetapi banyak orang.

Kiamat atau hancur leburnya Bumi dijelaskan dalam Sattasūriya Sutta, Aṅguttara Nikāya 7.66.[38] Menurut Buddhisme, kiamat disebabkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya, dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini, muncullah matahari yang kedua. Lalu, dengan berselangnya suatu masa yang lama, matahari ketiga muncul. Kemudian, matahari keempat hingga ketujuh muncul secara bertahap. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.

Keselamatan atau kebebasan

[sunting | sunting sumber]

Keselamatan atau kebebasan dapat dicapai dalam masa kehidupan kita sebagai manusia. Kebebasan tertinggi menurut Buddhisme adalah Nibbāna. Kebebasan ini seharusnya diketahui oleh orang bersangkutan, seperti yang disabdakan oleh Buddha dalam Parinibbāna Sutta:

Mengenai Bhikkhu Salba, O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya selama hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah mendapatkan kebebasan melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya sendiri.

Untuk mencapai kebebasan atau keselamatan (Nibbāna), Buddha telah menunjukkan jalan yang dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dengan mengikuti jalan (Jalan Mulia Berunsur Delapan) yang telah ditunjukkan ini, seseorang diyakini dapat mencapai kesucian pada kehidupan sekarang ini juga, seperti yang diuraikan Buddha dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, Majjhima Nikāya 10.[39]

Mahāyāna

[sunting | sunting sumber]

Pada dasarnya, aliran Mahāyāna juga meyakini Nibbāna-sebagai-Ketuhanan. Namun, aliran Mahāyāna juga memercayai beberapa paham khusus mengenai hakikat Tuhan Yang Maha Esa, seperti tertera dalam dialog antara Sakyamuni Buddha dengan Mahamati Bodhisattva, yang tercatat dalam kitab suci Lankavatara Sutra sebagai berikut:

"...... untuk alasan ini Mahamati, silahkan para Bodhisattva Mahasattva yang sedang mencari pemujaan kebenaran menghasilkan kesucian Tathagatagarba yang dikenal sebagai Alayavijnanam. Mahamati, bila kau berkata bahwa tak ada Tathagatagarba yang dikenal sebagai Alayavijnanam, maka tak ada juga keterbitan maupun penghilangan dalam ketidakhadiran-Nya. Tathagatagarba dikenal juga sebagai Alayavijnanam. (Lankavatara Sutra Hal. 190).

...... Mahamati, Tathagatagarba (penerangan unggul) memegang di dalam kedua-duanya, yaitu: kebaikan dan kejahatan, dan olehNya semua bentuk keadaan dihasilkan. (Lankavatara Sutra Hal. 190).

......Sesungguhnya Mahamati, para Tathagata, yang sepenuhnya diterangi menyampaikan ajaran Tathagatagarba yang sebetulnya tak dikenal sebagai persamaan dengan buah pikiran sifat egoisnya para ahli filsfat. Maka Mahamati, supaya tak meninggalkan hal kesalahpahaman yang dipelihara oleh para ahli filsafat, kamu harus berjuang untuk mengajar sifat tak egois dan Tathagatagarba.(Lankavatara Sutra XXVIII, hal. 68).

...... Mahamati, bahwa kerajaan Tathagatahood adalah kerajaan Tathagatagarba, dimulai dengan Alayavijnanam adalah teruntuk Bodhisattva Mahasattva, yang seperti kamu juga dihadiahkan kelembutan, kecerdikan yang menembusi kekuatan pemikiran dan pengertiannya adalah sesuai dengan artinya, dan tidak untuk yang lain. Seperti ahli filsafat Sravakah dan Pratyekabuddha, yang terlihat kepada naskah-naskah keagamaan, untuk alasan ini, Mahamati, supaya kamu dan para Bodhisattva Mahasattva yang lain menertibkan diri dalam kerajaan Tathagatahood.

...... Diceritakan oleh saya dalam Naskah undang-undang keagamaan yang berkaitan dengan Ratu Srimala dan dalam hal lain, Bodhisattva dihadiahkan keajaiban, kelembutan, kehalusan, pengetahuan asli telah didukung (oleh kekuatan Rohani saja), bahwa Tathagatagarba dikenal sebagai Alayavijnanam yang lambat laun menjadi bersama dengan ketujuh Vijnana. Ini ditujukan kepada Sravakah yang tak bebas dari ikatan, untuk memperlihatkan kepada mereka sesuatu yang tak egois, dan untuk Ratu Srimala kepada siapa kekuatan kesucian rohani Buddha ditambahkan, kerajaan Tathagata yang asli dituangkan. Ini tak termasuk dalam kerajaan, ada untung karena ini dilanjutkan oleh Sravakah, Pratyekabuddha dan lain-lain filsafat tanpa kecuali. Mahamati, bahwa kerjaan Tathagata adalah kerajaan Tathagatagarba Alayavijnanam teruntuk Bodhisattva Mahasattva"

Mengingat Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjangkau dalam alam pikiran manusia, maka Sakyamuni Buddha dengan berbagai cara dan dengan memakai berbagai perumpamaan mencoba menjelaskan perihal Tuhan Yang Maha Esa, antara lain dengan menyebutkan sebagai hukum yang tunggal (Saddharma Pundarika Sutra). Tathagatagarba merupakan sumbernya semua Tathagata/Para Buddha Penerangan Unggul, disabdakan oleh Sakyamuni Buddha sebagai terang benderang dan Esa (Lankavatara Sutra XXVIII, hal. 63). Dari dialog antara Sakyamuni Buddha dengan Mahamati Bodhisattva, Mahāyāna memercayai adanya kekuatan yang kekal yang berada di luar jangkauan daya pikiran manusia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalam agama Buddha aliran Mahayana dikenal dengan sebutan Tathagatagarba. Alayavijnanam adalah percikan-percikan dari benih-benih Tathagatagarba (Tuhan Yang Maha Esa) yang terdapat di dalam setiap manusia.

Menurut Mahāyāna, di dalam jiwa setiap manusia sesungguhnya terdapat kesadaran yang kekal, yang merupakan percikan-percikan benih Ketuhanan, Tathagatagarba (Alayavijnanam). Akan tetapi, benih Ketuhanan ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara dan dirawat. Dalam hal ini adalah tergantung pada kemauan orang tersebut, apakah dia mau merawat, memelihara dengan baik benih-benih Ketuhanan yang ada didalam dirinya sehingga dia dapat manunggal, bersatu dengan kekekalan, atau sebaliknya. Di dalam memelihara dan merawat benih-benih Ketuhanan inilah perlunya manusia beragama dengan melaksanakan jalan Bodhisatta untuk merawat dan memelihara benih-benih Ketuhanan tersebut agar tidak salah dan tidak keliru dalam pelaksanaannya.[40]

Sang Hyang Adi Buddha

[sunting | sunting sumber]

Majelis Buddhayana Indonesia menggunakan istilah Sang Hyang Adi Buddha yang diadaptasi dari konsep Adi Buddha yang hidup di kalangan Buddhisme Esoteris Indonesia. Istilah tersebut terdapat dalam beberapa kitab seperti Sang Hyang Kamahayanikan (kitab Jawa kuno) yang menggunakan bahasa Kawi.[41][42][43]

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988),[44] Adi Buddha dan tradisi yang menggunakan istilah ini dijelaskan sebagai berikut:

“Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut paham Ketuhanan dalam agama Buddha. Kata ini berasal dari ‘Isvara’ yang berarti ‘Tuhan’, ‘Maha Buddha’, atau ’Yang Maha Kuasa’; dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’.”

“Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong Mahayana. Sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di Nepal.”

“Menurut paham ini, seseorang dapat menyatu (moksa) dengan Adi‐Buddha atau Isvara melalui upaya yang dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersemadi (dhyana).”

Umat Buddha Indonesia sejak zaman Syailendra dan Mataram Kuno sudah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kitab Namasangiti yang ditulis oleh seorang bhikkhu Indonesia benama Candrakirti, dan simbolisme yang terpancar pada stupa mandala candi Borobudur, memberi bukti bahwa agama Buddha yang dipeluk oleh rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Mataram Kuno, Syailendra, dan Majapahit adalah agama Buddha yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa.

Beberapa ulasan yang menggunakan istilah Sang Hyang Adi Buddha:

1. Guna Kāraṇḍavyūha Sūtra

Teks ini dapat ditemukan dalam Tripitaka Taishō no.1050, dan Tripitaka Tibet: Tohoku no.116:

"Sewaktu belum ada apa-apa, Sambhu sudah ada, inilah yang disebut Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), dan mendahului segala sesuatu, karena itu disebut juga Sang Adi Buddha."

2. Kitab Sang Hyang Kamahayanikan

Kitab ini merupakan karya sastra dalam bentuk prosa karya seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi.

"Segala puji bagi Sang Hyang Adi Buddha, inilah Sang Hyang Kamahayanikan yang hendak Kuajarkan kepadamu, kepada putra Buddha (yang juga) keluarga Tathagata, keagungan pelaksanaan Sang Hyang Mahayana itulah yang kuajarkan kepadamu."

3. Herman S. Hendro (1968) dalam tulisannya menyebutkan:

"Stupa besar teratas [Borobudur] jang tertutup adalah lambang dari manusia jang telah mentjapai Kebebasan Mutlak (Nibbāna/Nirwana) dan manunggal dengan Sang Adi Buddha. Dalam stupa tersebut dulu terdapat sebuah artja Buddha dalam bentuk kasar dan tak terselesaikan jang menggambarkan Sang Adi Buddha jang tak dapat dibajangkan oleh manusia."

Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren

[sunting | sunting sumber]

Aliran Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren memercayai adanya "Mystic Law" (Hukum Mistik) berdasarkan Lotus Sutra (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra) yang merupakan salah satu sutra Mahayana yang paling populer dan berpengaruh, dasar di mana aliran-aliran ajaran Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren didirikan. Menurut Paul Williams, "Bagi banyak penganut Buddha Asia Timur sejak masa awal Saddharma Pundarika Sutra (Lotus Sutra) berisi ajaran terakhir Sang Buddha, lengkap dan cukup untuk keselamatan."[45]

Hukum mistik ini adalah entitas tertinggi atau kebenaran yang menembus semua fenomena di alam semesta, tetapi itu bukan makhluk yang dipersonifikasikan. Ada satu kesatuan tertinggi dari manusia dan hukum tertinggi ini, yaitu tidak ada pemisahan antara manusia (semua manusia) dan gagasan tentang Tuhan ini sebagai Hukum Mistik.

Kebenaran abadi dan tidak berubah yang ada dalam diri kita adalah sumber dari mana kita dapat menarik kebijaksanaan belas kasih yang sesuai dengan keadaan yang berubah, dan keberanian serta keyakinan untuk hidup sesuai dengan kebijaksanaan itu. Ini mistis, bukan magis, karena totalitasnya di luar konseptualisasi manusia; dan upaya untuk mengkotak-kotakkannya, katakanlah dalam bentuk manusia, hanya membatas-batasi. Umat Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren memandang bahwa realitas tertinggi, kebenaran tertinggi, kemurnian tertinggi ada di dalam setiap manusia. Karena itu, semua orang sebagai sakral dan secara sempurna memiliki potensi untuk menjadi individu yang sangat bahagia dan tercerahkan. Tidak ada 'kita' dan 'mereka', tidak ada yang saleh dan durhaka, semua adalah anak-anak Tuhan yang merupakan entitas dari Hukum Mistik.

Sebutan Nichiren untuk Tuhan adalah "Nam-myoho-renge-kyo", suatu Hukum Mistik. Mereka percaya Tuhan ada baik "di sini" (dalam diri) maupun "di luar sana" (luar diri) dan bahwa cahaya batin ini dapat bersinar dari dalam ketika kita terbangun dan membuka hati kita melalui tindakan memuji "Nam-myoho-renge-kyo".

Secara linguistik, Namu Myōhō Renge Kyō terdiri dari yang berikut ini:

  • Namu 南無 "devoted to" (khusyuk terhadap), transliterasi bahasa Sansekerta namas
  • Myōhō 妙法 "exquisite law" (hukum yang sangat indah)
    • Myō 妙, dari Bahasa Tionghoa Pertengahan mièw, "strange, mystery, miracle, cleverness" (aneh, misteri, mukjizat, kepandaian)
    • 法, dari Bahasa Tionghoa Pertengahan pjap, "law, principle, doctrine" (hukum, asas, doktrin)
  • Renge-kyō 蓮華經 "Lotus Sutra"
    • Renge 蓮華 ""padma (lotus)"" (teratai)
      • Ren 蓮, dari Bahasa Tionghoa Pertengahan len, "lotus" (teratai)
      • Ge 華, dari Bahasa Tionghoa Pertengahan xwæ, "flower" (bunga)
    • Kyō 經, dari Bahasa Tionghoa Pertengahan kjeng, "sutra" (sutra)

Aliran ini telah mulai membayangkan alam semesta dengan cara yang berbeda. Konsep Tuhan sebagai Hukum Mistik sesuai dengan pemahaman yang telah mereka capai sendiri. Mereka akan menemukan, karena sebagian besar penganut Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren dapat membuktikan, bahwa Hukum Mistik akan, dengan cukup baik, mengisi lubang berbentuk 'Tuhan' dalam diri spiritual mereka.[46]

Vajrayāna

[sunting | sunting sumber]

Di dalam ajaran Vajrayāna—yang berbasis Mahāyāna—memang dikenal adanya sosok Buddha primordial, yang sebenarnya adalah personifikasi kualitas terdalam dari batin kita di level Dharmakaya. Aliran Nyingma di Tibet yang muncul paling awal menyebutnya sebagai Samantabhadra. Sementara aliran Sarma yang muncul selanjutnya yakni Sakya, Kagyu, Jonang, dan Gelug menyebut sebagai Vajradhara. Di Nepal dikenal istilah Adinata yang berarti "pelindung utama"; juga Swayambhulokanatta yang berarti "pelindung jagat yang tidak dilahirkan". Sementara Buddha primordial dalam aliran Shingon atau tantra Jepang adalah Vairochana.[47][48]

Rangtong berarti “kosong dari sifat diri sendiri”. Ini adalah istilah filosofis dalam agama Buddha Tibet yang digunakan untuk menyebut tentang sifat śūnyatā atau “kekosongan”, yaitu bahwa semua fenomena kosong dari masa lalu dan/atau esensi yang tidak berubah atau “diri”, bahwa kekosongan ini bukanlah kenyataan absolut, melainkan hanya merupakan karakterisasi nominal dari fenomena. Rangtong ingin mengatakan bahwa di dalam realita yang absolut, tiada yang absolut. Hal ini terkait dengan pandangan prasangika, yang berpendapat bahwa tidak ada bentuk penalaran silogisme yang seharusnya digunakan untuk memperdebatkan gagasan keberadaan yang inheren, namun hanya argumen yang menunjukkan implikasi logis dan absurditas posisi berdasarkan eksistensi yang melekat. Pandangan ini merupakan tafsir utama Madhyamaka dari Gelugpa, aliran Buddhisme Vajrayana yang didirikan oleh Lama Tsongkhapa.

Shentong, secara harfiah berarti “kekosongan lain”, adalah pandangan minoritas di dalam Madhyamaka Tibet. Aliran ini berpendapat bahwa śūnyatā menyetujui kenyataan relatif kosong dari sifat diri sendiri, namun menyatakan bahwa kenyataan absolut itu sendiri tidak kosong dan benar-benar ada. Realitas absolut ini digambarkan dengan istilah positif, sehingga mirip dengan kebenaran tertinggi dalam konsep Hindu. Shentong disistematisasikan dan diartikulasikan oleh Dolpopa Sherab Gyaltsen (1292-1361), seorang lama dari aliran Jonang, yang identik dengan praktik Tantra Kalachakra. Dalam sejarahnya, pandangan Shentong digilas oleh aliran Gelug yang dominan selama beberapa ratus tahun sejak Dalai Lama kelima, karena alasan politis dan doktrin. Pada tahun 1658, penguasa Gelug juga melarang aliran Jonang karena alasan politik, dan mengubah biarawan dan biara aliran itu menjadi Gelug. Ajaran dan kitab-kitab shentong dilarang, sehingga membuat posisi rangtong sangat dominan dalam corak agama Buddha Tibet dan aliran Jonang nyaris musnah. Namun pada abad ke-19 pandangan Shentong bangkit kembali, dan berlanjut dengan gerakan Rimé (nonsektarian). Saat ini pandangan Shentong hadir lagi dan merasuk terutama di aliran Nyingma dan Kagyu. Dengan mengutip kitab Mahāyāna Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sūtra Aṅgulimālīya dan Sātra Śrīmālādevī Siṃhanāda, Dolpopa menyebut bahwa Buddha atau diri sejati yang ada di dalam masing-masing pribadi sebagai kebenaran aktual, tidak dikondisikan atau dihasilkan oleh proses sebab-akibat temporal. Interpretasi Shentong tentang doktrin tathāgatagarbha adalah bahwa Buddha di dalam semua makhluk adalah sifat-sifat yang tidak berubah, permanen, tidak terkondisi. Buddha adalah kualitas kebahagiaan, welas asih, kebijaksanaan, kekuatan, dan sebagainya yang dianggap sebagai sesuatu yang sesungguhnya terus ada permanen dan tak terbatas, walau tertutupi oleh keserakahan, kemarahan, dan kebotohan batin manusia.

Menurut Shentong, kebenaran tertinggi, yang disebut oleh istilah seperti tathāgatagarbha (Esensi Buddha), dharmadhātu (Dimensi Kebenaran), dan dharmakāya (Tubuh Kebenaran), adalah keadaan permanen atau kekal. Menurutnya, semuanya berkaitan dengan ranah Nirvana, dan menjadi satu dengan sifat Buddha. Menurut Dolpopa, yang diutarakannya ini bukan sekadar pandangan intelektual, tapi pengalaman langsung tentang kebahagiaan dan realitas tertinggi yang telah dialaminya.[49]

Hinduisme

[sunting | sunting sumber]

Dalam agama Hindu, pribadi yang diyakini sebagai Buddha Gotama muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi dan manifestasi dari Tuhan) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Beliau disebut sebagai awatara Wisnu ke-24.

Berbeda dengan ajaran Hindu, Buddhisme tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" sehingga agama Buddha termasuk bagian dari salah satu aliran nāstika (heterodoks; secara harfiah berarti "Itu tidak ada") menurut aliran-aliran agama Darmik lainnya, seperti Dwaita. Kata Buddha berarti "Dia yang mendapat kecerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha.

  1. ^ a b c Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 175-176. ISBN 978-602-427-074-2. "Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya."
  2. ^ a b "Sutta reference for that Buddha discovered the Dhamma, not invented it". SuttaCentral Discuss & Discover. Diakses tanggal 2024-02-08. 
  3. ^ a b c Wowor, Cornelis (1984). Ketuhanan Yang Mahaesa Dalam Agama Buddha (PDF). Jakarta: Akademi Buddhis Nalanda. 
  4. ^ Tran, Alex (2016-06-08). "Brahma-Vihara: The Four Divine States or Four Immeasurables of Buddhism". Seattle Yoga News (dalam bahasa Inggris). 
  5. ^ Admin (2003-10-30). "Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha". Samaggi Phala. 
  6. ^ a b Anggara, Indra. "AN 3.61: Titthāyatanasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  7. ^ Anggara, Indra. "MN 101: Devadahasutta (Indonesian translation by Indra Anggara)". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-08-06. 
  8. ^ Sujato, Bhikkhu. "MN 101: Devadahasutta (English translation by Bhikkhu Sujato)". SuttaCentral (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-08-06. 
  9. ^ Thanissaro, Bhikkhu. "MN 101: Devadahasutta (English translation by Thanissaro Bhikkhu)". SuttaCentral (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-08-06. 
  10. ^ Harold Netland, Keith Yandell (2009). "Buddhism: A Christian Exploration and Appraisal", pp. 184 - 186. InterVarsity Press.
  11. ^ Narada Thera (2006) "The Buddha and His Teachings," pp. 268-269, Jaico Publishing House.
  12. ^ Narada Thera (2006) "The Buddha and His Teachings," p. 271, Jaico Publishing House.
  13. ^ Anggara, Indra. "Terjemahan bahasa Indonesia untuk MN 101: Devadaha Sutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-08-10. 
  14. ^ Peter Harvey (2013). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 35–36. ISBN 978-0-521-85942-4. 
  15. ^ Richard K. Payne; Taigen Dan Leighton (2006). Discourse and Ideology in Medieval Japanese Buddhism. Routledge. hlm. 57–58. ISBN 978-1-134-24210-8. 
  16. ^ Joseph Edkins. Chinese Buddhism: A Volume of Sketches, Historical, Descriptive and Critical. Trübner. hlm. 224–225. 
  17. ^ Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. ISBN 978-602-427-074-2. "Dalam mencari sebab pertama permulaan dunia, mereka gagal. Namun, dengan merenungkan tentang rumah dan bangunan dengan perancang dan pembangunnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya dan ia pastilah Sang Pencipta, mahabrahma, atau ‘Tuhan’."
  18. ^ Corneles Wowor, M.A. "Ketuhanan Yang Mahaesa Dalam Agama Buddha". Website Buddhis Samaggi Phala. "Mereka antara lain: 1. Helmut von Glasenapp, Buddhism, A Non-Theistic Religion. 2. Douglas M. Burns, M.D., Buddhism, Science and Atheism. Kedua penulis ini menitikberatkan pengertian atau konsep Ketuhanan seperti konsep Ketuhanan yang ada pada agama lain di luar agama Buddha. Mereka menanggapi dengan serius tentang Maha Brahma sebagai pencipta yang ditolak oleh Sang Buddha. Bila Maha Brahma dilegitimasikan sebagai atau sama dengan Ketuhanan dalam agama tersebut, ini berarti bahwa Ketuhanan dalam agama tersebut pun turun derajatnya menjadi dewa atau manusia! Jelas pandangan seperti ini adalah keliru. Menurut pandangan Buddhis, Maha Brahma yang disebutkan dalam Brahmajala Sutta adalah mahluk yang belum mencapi tingkat kesucian, dan pada suatu waktu kelak bila karma baik Maha Brahma tersebut untuk hidup di alam Maha Brahma itu telah habis, maka Maha Brahma itu akan terlahir di alam yang lebih rendah yaitu di alam para dewa (devaloka) atau terlahir sebagai manusia. Banyak penulis yang berpandangan seperti di atas, tapi karena terbatasnya waktu maka cukup dua penulis itu yang disinggung di sini."
  19. ^ Anggara, Indra. "DN 1: Brahmajālasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  20. ^ Sutta Pitaka, Digha Nikaya I, Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha hal 22-24. "Kecuali alam Suddhavasa (Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akahittha) dari 31 alam ini yaitu 26 alam pernah menjadi tempat kelahiran dari mahluk yang telah menjadi manusia sekarang. Dengan kata lain kita dapat terlahir di 26 alam tersebut, tapi selama kita belum mencapai kesucian atau kebebasan mutlak maka alam kehidupan kita berubah terus. Terlahir kembali menurut pandangan Buddhis yaitu kelahiran seseorang di antara 31 alam kehidupan tersebut. Dalam ungkapan "Bila seorang meninggal dunia maka ia akan langsung terlahir kembali" ini berarti orang tersebut langsung terlahir kembali di salah satu alam dari 31 alam, dan kelahiran ini tergantung dari amal perbuatan selama hidup juga sampai di mana kematangan batinnya. Lima alam Suddhavasa adalah khusus tempat kelahiran para anagami dan dari alam-akam Suddhavasa ini mereka akan parinibbana yang berarti tidak akan terlahir lagi sebagai mahluk di alam mana pun. Nibbana (nirvana) bukan alam tetapi sesuatu keadaan batin yang bebas dari belenggu."
  21. ^ Hansen, Upa. Sasanasena Seng (September 2008). Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakata: Insight Vidyasena Production. 
  22. ^ Anggara, Indra. "Ud 8.3: Tatiyanibbānapaṭisaṁyuttasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  23. ^ Anggara, Indra. "SN 43: Asaṅkhatasaṁyutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-04-24. 
  24. ^ Anggara, Indra. "SN 43.1: Kāyagatāsatisutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  25. ^ Anggara, Indra. "SN 43.12: Asaṅkhatasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  26. ^ Anggara, Indra. "SN 43.2: Samathavipassanāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  27. ^ Anggara, Indra. "SN 43.13: Anatasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  28. ^ Anggara, Indra. "SN 43.14–43: Anāsavādisutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  29. ^ Anggara, Indra. "SN 43.44: Parāyanasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  30. ^ Vijjānanda, Handaka. Dhamma untuk Anak. Ehipassiko Foundation. 
  31. ^ Vihara Eka Dharma Loka (2024-06-22), Bhante Abhijato | Buddhism: Religion or Philosophy of Life | ASADHA Diskusi Dhamma | 22/06/2024, diakses tanggal 2024-07-02 
  32. ^ Anggara, Indra. "AN 3.136: Uppādāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  33. ^ a b Kheminda, Ashin. "Berdoa Dari Sudut Pandang Buddhisme". Dhammavihari Buddhist Studies. Diakses tanggal 2022-09-19. 
  34. ^ Anggara, Indra. "AN 5.43: Iṭṭhasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  35. ^ Anggara, Indra. "AN 3.80: Cūḷanikāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  36. ^ Anggara, Indra. "DN 27: Aggaññasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  37. ^ Anggara, Indra. "DN 1: Brahmajālasutta—Indra Anggara". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  38. ^ Anggara, Indra. "AN 7.66: Sattasūriyasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  39. ^ Anggara, Indra. "MN 10: Mahāsatipaṭṭhānasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  40. ^ 2014. Biksu Dutavira Mahasthavira (Koordinator Dewan Sangha Walubi).
  41. ^ R. B. Cribb, Audrey Kahin (2004). Historical Dictionary of Indonesia (edisi ke-Second Edition). Scarecrow Press. hlm. 63. ISBN 978-0810849358.  (Inggris)
  42. ^ Andrew Clinton Willford, Kenneth M. George, ed. (2004). Spirited Politics: Religion and Public Life in Contemporary Southeast Asia. Cornell University Southeast Asia Program. hlm. 132. ISBN 978-0877277378.  (Inggris)
  43. ^ Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia. 28 November 2008. Konsep Ketuhanan Dalam Agama Buddha Diarsipkan 2013-10-23 di Wayback Machine..
  44. ^ Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988). Jakarta: Cipta Adi Pustaka
  45. ^ Williams 1989, p. 149.
  46. ^ Phillip Hammond and David W. Machacck, “Soka Gakkai in America,” (Oxford University Press Inc., New York 1999).
  47. ^ Dolpopa Sherab Gyaltshen (2006). Mountain doctrine: Tibet’s fundamental treatise on other-emptiness and the Buddha-matrix. Ithaca, NY: Snow Lion Publications.
  48. ^ Stearns, Cyrus (2010). The Buddha from Dölpo: a study of the life and thought of the Tibetan master Dölpopa Sherab Gyaltsen. Ithaca, NY: Snow Lion Publications.
  49. ^ Thera, Nyanaponika. “Buddhism and the God-idea”. The Vision of the Dhamma. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. (accesstoinsight.org)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]