Lompat ke isi

Ikuanisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tempat ibadah Ikuanisme aliran Maitreya Great Tao (彌勒大道) di Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia. Di Indonesia, agama ini dianggap sebagai bagian dari agama Buddha, sebagai "Aliran Buddha Maitreya". Di Taiwan, Ikuanisme dianggap sebagai agama yang berdiri sendiri dan terpisah dari agama Buddha.
Yiguandao
一貫道
JenisWay of Former Heaven sect
PenggolonganAgama keselamatan Tiongkok
PendiriWang Jueyi
Didirikanakhir abad ke-19
Shandong
Nama lainZhenli Tiandao (眞理天道), Tiandao (天道)

Ikuanisme, Yi Guan Dao, I Kuan Tao (一貫道), juga dikenal sebagai Aliran Buddha Maitreya di Indonesia, adalah agama keselamatan Tiongkok yang bermula dari Republik Rakyat Tiongkok pada awal abad ke-20.[1] "I Kuan" berarti persatuan atau kesatuan, sementara "Tao" berarti jalan, kebenaran, atau juga Ketuhanan.

Menurut Dr. Sebastien Billioud, Ikuanisme dapat dilihat sebagai versi terbaru dari tradisi Tridharma (sinkretisme Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme). Pada kasus Ikuanisme, ajaran agama Kristen dan Islam juga diadopsi menjadi satu kesatuan dari lima ajaran.[2] Seiring perkembangannya, terjadi perbedaan pendapat sehingga terbentuk aliran Ikuanisme baru seperti Maitreya Great Tao atau Mi Le Ta Tao (彌勒大道) yang memisahkan diri.

Di Indonesia, meskipun timbul beberapa kontroversi dari berbagai aliran arus utama Buddhisme,[3] Ikuanisme secara resmi diakui oleh Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan dikenal sebagai Aliran Buddha Maitreya dengan Jalan Ketuhanan di bawah naungan Majelis Agama Buddha I Kuan Tao Indonesia.[4] Selain itu, Maitreya Great Tao (彌勒大道) juga diakui di bawah naungan Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia.[5] Ikuanisme di Indonesia berasal dari Taiwan sekitar tahun 1950-an. Akan tetapi, di Taiwan, Ikuanisme berdiri sendiri sebagai sebuah agama resmi yang diakui pemerintah dan terpisah dari agama Buddha.

Kelompok-kelompok agama rakyat dan agama keselamatan menjadi sangat populer di jaman dinasti Ming (1368-1644), dan Luo Qing / Luo Menghong (羅清 /羅夢鴻 / 羅孟 鴻) yang menulis Wubu Liuce / "Five Books in Six Volumes" (五部六冊) di tahun 1509 adalah salah satu tokoh yang menonjol di kala itu. Di kalangan I Kuan Tao, Luo Qing ini dikenal sebagai sesepuh ke-8. Kalangan I Kuan Tao meyakini Luo Qing mendapatkan Firman Tuhan dari Maha Guru ke 7 dan menjadi penerus silsilah Maha Guru selanjutnya. Para pengikut Luo Qing mendirikan kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Luoisme (罗教) / Jalan Luo (罗道) / Wuweiisme (无为教).[1]

    Di abad ke-16, Yin Ji'nan (應繼南) dari Zhejiang yang mengklaim diri sebagai titisan Luo Qing memulai sebuah aliran independen yang berhasil menyebar ke seluruh provinsi asalnya, Fujian, Jiangxi, dan provinsi-provinsi di selatan sekitarnya. Dia menjadi pemimpin sebuah kelompok Luoisme dan mereformasi aliran tersebut menjadi Laoguan ZhaiJiao (老官斋教) / Long Hua Jiao (龍華齋教), yang pada abad-abad berikutnya melahirkan aliran Xiantiandao (先天道) yang belakangan melahirkan 一貫道 I Kuan Tao.[6] Yin Ji'nan mengorganisir gerakannya ke dalam sebuah hirarki dan mengintegrasikan teologi tentang Maitreya, Wuji Lao Mu (舞技老母) sebagai inti kepercayaan, eskatologi 三阳 Tiga Masa Pancaran dan silsilah Maha Guru ke dalam doktrin-doktrin asli Luoisme.

    Xiantiandao didirikan di Jiangxi pada abad ke-17 dinasti Qing sebagai cabang dari Sekte Teratai Hijau (青蓮教) yang sebelumnya merupakan aliran Dacheng (大乘) atau Yuandun (圆顿), salah satu cabang dari perkembangan Luoisme di bagian timur.[6][7] Sekte Dacheng (乘教) dari Luoism di tangan kepemimpinan Yuang Zhiqian (袁志謙) berubah nama menjadi Sekte Teratai Hijau. Sekte ini menyatukan tiga agama dengan mempraktikkan tata krama Konfusianisme, praktik-praktik Taoisme, dan sila-sila Buddhisme. Sekte ini juga menyakini akan segera hadirnya Buddha Maitreya yang dikirim Ibu Suci untuk menjemput anak-anaknya yang tersesat kembali ke Nirwana. Dinamakan Teratai Hijau untuk bersaing dengan sekte Teratai Putih yang populer saat itu.[8] Akibat ditekan pemerintah, sekte Teratai Hijau ini bergerak secara sembunyi-sembunyi dan akhirnya terpecah menjadi banyak kelompok. Salah satu kelompok yang bertahan yang dipimpin oleh 黃德輝 Huang De Hui (sesepuh ke-9) kemudian berganti nama menjadi Xiantian Dao.[9]

    Karena dianggap sebagai heterodoks, Xiantian Dao ditekan pemerintah di awal abad 19 tapi berhasil bertahan. Para penganut Xiantiandao melihat diri mereka sendiri sebagai pelaksana dari misi Ibu Suci dengan melintasi orang-orang dan membimbing mereka di jalan pembinaan yang pada akhirnya akan membawa mereka kembali ke Surga. Aliran Xiantian Dao masih ada di Indonesia dalam bentuk kelenteng-kelenteng. Salah satu cabang Xiantian Dao yang dipimpin oleh 王覺一 Wang Jue Yi mulai berjalan sendiri dan memisahkan diri dari Xiantian Dao. Di kalangan I Kuan Tao, Wang Jue Yi dikenal sebagai maha guru ke-15. Di tahun 1877, berdasarkan titah Ibu Suci dari Tulisan Pasir (扶乩) menunjuk Wang Jue Yi sebagai maha guru ke-15. Dan kelompok cabang yang dia pimpin selanjutnya dinamakan Mohou Yizhujiao / Agama Akhir Jaman (末后一着教).[1] Maha Guru Wang yang mengubah teologis dan ritualnya. Maha Guru Wang juga menghapus syarat "bervegetarian" dan "menjalankan pantangan" untuk para pengikutnya, sehingga membuat kelompoknya berkembang cepat saat itu. Dokumen dinasti Ching yang ditemukan belakangan ini menunjukkan bahwa Wang Jue Yi (王覺一), sesepuh ke-15, mendirikan aliran "I Kuan Ciao" (一貫教) pada zaman dinasti Qing (sekitar tahun 1850). Di tahun 1883, pemerintahan Qing melarang kelompok ini sehingga menekannya. Maha Guru Wang hidup bersembunyi sampai meninggal.[10] Xiantian Dao di bawah kepemimpinan Wang Jue Yi secara signifikan banyak menggunakan ajaran Konfusius sebagai dasar ajarannya; para praktisi harus mengikuti kitab suci Daxue (大學), sementara praktik Taoisme seperti pertapaan dan pengobatan dihapuskan. Dari sesepuh ke-15, silsilah Tao berlanjut ke Liu Hua Pu (劉化普) sebagai sesepuh ke-16. Di tahun 1905, maha guru ke 16 menggunakan kata-kata Konfusius yang berkata bahwa 吴道一以贯之 "jalan yang saya ikuti adalah jalan yang menyatukan semua" yang selanjutnya menamakan kalangan Tao dengan nama I Kuan Tao (一貫道).[1]

Selanjutnya setelah Liu Qingxu meninggal, kepemimpinan kalangan I Kuan Tao dilanjutkan oleh Lu Zhong Yi (路中一) yang menjadi maha guru ke 17. Pada tahun 1895, pada usia 46 tahun, beliau dikatakan bermimpi dan Tuhan yang memerintahkannya untuk menjadi murid dari maha guru ke-16 Liu Qingxu. Dia menjadi maha guru ke-17 pada tahun 1905, di Qingzhou. Kalangan I Kuan Tao mengyakini Lu Zhong Yi sebagai maha guru pertama di era Pancaran Putih, era terakhir dari Tiga Pancaran, dan merupakan reinkarnasi dari Buddha Maitreya.

I Kuan Tao mulai berkembang pesat saat sesepuh ke-18 Zhang Thien Ran (張天然) memegang pemimpin. Sesepuh Zhang lahir tahun 1889 pada tanggal Imlek 19 bulan 7, di Jining, provinsi Shandong. Sesepuh Zhang mengikuti aliran I Kuan Tao sejak tahun 1914. Sesepuh ke-17 Lu Zhong Yi yang dipercaya adalah inkarnasi Buddha Maitreya melihat talenta Sesepuh Zhang. Dan setelah meninggalnya sesepuh ke-17 tahun 1925, Sesepuh Zhang diangkat menjadi sesepuh ke-18 tahun 1930. Sesepuh Zhang dikatakan sebagai inkarnasi Buddha Ji Gong (濟公) , atau disebut Buddha Hidup Ji Gong (濟公活佛). Sesepuh Zhang Thien Ran disebut sebagai Se Cun 師尊 (Bapak Guru Agung). Sesepuh Zhang dikatakan atas mandat Lao Mu, bersama Sesepuh Sun Su Zhen (孫素真) yang disebut sebagai inkarnasi Bodhisatwa Yue Huei 月慧菩薩 (Dewi Bulan Bijaksana). Sesepuh Sun Su Zhen besama Sesepuh Zhang Thien Ran menjabat sebagai sesepuh ke-18 I Kuan Tao. Sun dihormati sebagai Se Mu 師母 (Ibu Guru Suci).

I Kuan Tao menyebar pesat dari tahun 1930 sampai 1936. Dari tahun 1937-1947 selama kekuasaan Jepang, I Kuan Tao juga berhasil menarik penganut dari utara, tengah sampai selatan Tiongkok. Melalui aktivitas misionaris, dalam kekacauan politik dan sosial yang disebabkan oleh invasi Jepang ke Tiongkok pada tahun 1940-an, yang membuat kepercayaan Milenarianisme I Kuan Tao menjadi meyakinkan buat masyarakat saat itu, agama ini berkembang dengan sangat cepat, hingga mencapai sekitar 12 juta orang pengikut.[1] Sesepuh Zhang Thien Ran meninggal tahun 1947 saat komunis mulai berkuasa di Tiongkok.

Setelah meninggalnya Sesepuh Zhang, dan bangkitnya Partai Komunis Tiongkok pada tahun 1949, I Kuan Tao mengalami tekanan dari pemerintah Tiongkok waktu itu.[11] I Kuan Tao ditindas, karena dianggap sebagai kelompok reaksioner terbesar (反動會道門). Pada bulan Desember 1950, The People's Daily (人民日报) menerbitkan editorial “Melarang Keras I Kuan Tao” (堅決取締一貫道), yang menyatakan bahwa gerakan ini telah digunakan sebagai alat kontrarevolusi oleh kaum imperialis dan Kuomintang. Editorial tersebut menandai dimulainya kampanye nasional pemberantasan I Kuan Tao di China. Target utama dari kampanye ini adalah untuk menghancurkan organisasi dan kepemimpinan gerakan tersebut. Para pemimpin tertinggi dieksekusi atau dikirim ke penjara, para anggota dipaksa untuk menjalani pendidikan ulang politik dan mereka diawasi dengan ketat.[1]

Sebuah pameran yang mengecam I Kuan Tao diadakan di Beijing pada bulan Januari 1951. Pada tahun 1952, komunis merilis “The Way of Persistently Harming People” (一贯害人道 Yiguan Hairen Dao), sebuah film yang menentang I Kuan Tao.[1] Sejumlah penganut I Kuan Tao, termasuk Sun Suzhen, melarikan diri ke Hong Kong dan kemudian ke Taiwan, di mana agama tersebut saat ini berkembang pesat. Sementara itu, para murid Sesepuh Zhang secara individual juga menyebarkan ajaran I Kuan Tao di Taiwan, sehingga muncul kelompok-kelompok I Kuan Tao dengan sesepuh atau pemimpin yang berbeda-beda.[1]

Di Taiwan, I Kuan Tao juga dilarang sejak tahun 1952. Tapi kelompok-kelompok I Kuan Tao tetap bergerak secara sembunyi-sembunyi dan menyebarkan ajaran. Pada tanggal 13 Januari 1987, pemerintah Kuomintang di Taiwan pada akhirnya secara resmi melegalkan I Kuan Tao. I Kuan Tao menjadi agama pertama yang bertransformasi dari kelompok yang ditindas menjadi kelompok agama yang sah di kalangan masyarakat Tiongkok modern.[1]

Doktrin dan Ajaran

[sunting | sunting sumber]

Ibu Suci Abadi

[sunting | sunting sumber]

Pemujaan tertinggi kalangan I Kuan Tao tertuju pada Ibu Suci Tanpa Batas (舞技母 Wujimu), yang juga dikenal sebagai Ibu Suci Abadi (無聲老母Wusheng Laomu) atau disingkat Lao Mu, sosok yang menjadi ciri khas dari agama-agama rakyat Tiongkok lainnya. Lao Mu di sini dianggap sebagai sumber dari segala sesuatu, bukan laki-laki maupun perempuan, meskipun disebut “Ibu” atau “Ibu Surgawi”.[1]

Pada abad ke-16, sebuah mitologi seputar Ibu Suci mulai terbentuk, diintegrasikan kepercayaan tentang Maitreya, yang telah tersebar luas sejak dinasti Yuan. Kepercayaan Maitreya bersifat milenarian, yang menyatakan bahwa dunia akan segera berakhir dan Maitreya akan menjelma di alam fisik untuk menyelamatkan umat manusia. Dalam keyakinan terhadap Ibu Suci, Maitreya adalah salah satu dari tiga makhluk yang tercerahkan yang dikirim oleh Ibu Suci untuk membawa misi penyelamatan.[1]

Sosok Ibu Abadi berasal dari sosok Xiwangmu, “Ibu Ratu dari Barat”, dewi ibu kuno Tiongkok, yang terkait dengan mitos Kunlun, poros dunia, dan dengan demikian juga dengan Hundun.[1] Ibu Suci Tanpa Batas dianggap sebagai mahakuasa, dan dianggap oleh pengikut I Kuan Tao sebagai sosok yang penuh welas asih, yang mengkhawatirkan putra-putrinya yang sudah kehilangan sifat aslinya, dan karena itu berusaha membawa mereka kembali ke surga yang merupakan kampung halaman mereka.[1]

Eskatologi

[sunting | sunting sumber]

I Kuan Tao menyakini bahwa pencipta alam semesta, bumi, dan seluruh mahluk hidup adalah Lao Mu. Satu lingkaran (元) siklus dunia terbentuk sampai musnah kembali adalah selama 129.600 tahun. Satu lingkaran tersebut dibagi 12 fase (會) yang tiap fasenya adalah selama 10.800 tahun, dan I Kuan Tao menyakini bahwa kita kini berada dalam zaman terakhir dimana manusia telah hidup 60.000 tahun. Manusia sebagai anak-anak dari Tuhan (Lao Mu) karena telah terlalu lama di bumi, tersesat dalam hidup duniawi, terjerumus dalam dosa menyebabkan mereka hidup dalam roda reinkarnasi dan tidak bisa kembali ke Surga. Lao Mu sangat merindukan anak-anaknya di bumi ini, dan mengutus 10 Buddha untuk menyelamatkan anak-anaknya di bumi. 7 Buddha pertama telah datang saat bermulanya kebudayaan manusia, dan 3 Buddha terakhir mengemban tugas penyelamatan. Sehingga dibagi 3 Masa Pancaran (三陽) : Masa Pancaran Hijau, Pancaran Merah, dan Pancaran Putih. Buddha Dipankara diutus saat Masa Pancaran Hijau (sekitar 3000 SM) sampai lahirnya Siddharta Buddha. Masa Pancaran Merah bermula dengan diutusnya Siddharta Gautama. Zaman Pancaran Putih atau zaman terakhir bermula saat Buddha Maitreya diutus. Seperti sering diutarakan oleh para Sesepuh I Kuan Tao bahwa Buddha Maitreya telah datang ke dunia sebagai Guru ke-17 Lu Zhong Yi.[12]

Sejarah resmi I Kuan Tao membagi perkembangan Tao dalam 3 periode. Periode pertama disebut sebagai 18 Sesepuh Pertama dari Timur, yang bermula dari awal adanya manusia. Sesepuh pertama adalah Fu Xi, tokoh dari Tiongkok, pencipta Pa Kua (8 triagram). Kemudian berlanjut ke Shen Nong (penemu pertanian), Huang Di (Kaisar Kuning), diteruskan ke raja-raja Tiongkok, sampai Kong Hu Cu, dan terakhir Lao Zi (Penulis Tao Te Ching). Dikatakan bahwa karena perang saudara di daratan Tiongkok, menyebabkan Lao Zi membawa Tao ke India dan meneruskan ke Siddharta Gautama. Di sini bermula periode ke-2 yang disebut 28 Sesepuh dari Barat, bermula dari Siddharta Gautama, diteruskan ke Mahakassapa, dan menurut aliran Zen sampai terakhir Bodhidharma. Bodhidharma dikatakan membawa Tao kembali ke Tiongkok, dan bermulalah periode ke-3: 18 Sesepuh Terakhir dari Timur. Bermula dari Bodhidharma sampai sesepuh ke-6 Hui Neng (sama seperti aliran Zen). Dari sesepuh ke-7 sampai ke-18 dimulainya periode rumah api di mana Tao diturunkan secara rahasia dan berakhir di sesepuh ke-18 yaitu Zhang Thien Ran dan Sun Hui Ming.[12]

Tao sebagai Jalan Keselamatan untuk Terlepas dari Tumimbal Lahir

[sunting | sunting sumber]

I Kuan Tao menyakini bahwa di dunia ini ada yang dinamakan Tao. Tao adalah Kebenaran Mutlak. Tao sudah ada sebelum Langit dan Bumi diciptakan. Tao bakal tetap ada setelah hancurnya langit dan bumi. Tao adalah sumber dari segalanya. Tao ada di manapun. Tao adalah inti dari segalanya. Dengan berkembangnya jaman, moralitas telah menurun dan hati manusia tidak lagi murni. Bencana turun di mana-mana. Untuk menyelamatkan manusia dari bencana akhir jaman, Lao Mu menurunkan guru-guru penerang yang memiliki firman Tuhan (天命) turun ke dunia untuk menurunkan Tao ini kepada umat manusia. Setelah orang mendapatkan Tao, maka roh sejati-nya akan terselamatkan dari bencana akhir.[12]

Sejak zaman dahulu, Tao jarang sekali ditunjukkan kepada manusia. Oleh karena itu melampaui siklus kelahiran dan kematian sangat sulit dicapai. Pada masa itu, seseorang harus melatih diri selama banyak kehidupan dan melakukan perjalanan jauh untuk mencari Guru Penerang untuk menerima Tao. Saat ini, umat manusia mendekati Masa Penghakiman Terakhir. Untuk menyelamatkan yang baik, Tuhan membuat Tao bisa didapatkan oleh semua orang.[12] Di masa pancaran terakhir ini, keselamatan dapat dicapai dengan cara mendapatkan "tiga mustika" pada saat upacara memohon Tao (求道 qiudao), yaitu "pintu suci" (玄關), "ucapan suci" (口诀), "pertanda suci" (合同). Ketiga mustika ini memungkinkan para pengikut I Kuan Tao untuk melampaui lingkaran kelahiran dan kematian dan langsung naik ke Dunia Surga yang Kekal (理天) setelah mereka meninggal.[1]

Hukum Karma dan Amal Jasa

[sunting | sunting sumber]

I Kuan Tao menyakini adanya hukum sebab-akibat (Karma). Segala tindakan dan sebab akan menghasilkan akibat. Amal Jasa Pahala (功德) diyakini sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhi hukum karma. Karma buruk biasanya akan mendatangkan penyakit dan penderitaan. Dengan melakukan banyak amal jasa pahala maka diyakini itu dapat meringankan penderitaan dan penyakit. I Kuan Tao juga menyakini bahwa dengan Amal Jasa Pahala yang cukup maka seseorang dapat terbebas dari lingkaran kelahiran dan kematian serta mendapatkan kedudukan tinggi di Surga. Selain itu jasa pahala juga dapat ditransmisikan kepada leluhur.[1]

I Kuan Tao juga menyakini bahwa setelah memohon Tao, untuk dapat mencapai kesempurnaan seseorang harus melunasi hutang karma yang telah tertumpuk selama 60.000 tahun, sehingga dalam kehidupan ini harus berusaha untuk melunasinya dengan melakukan banyak amal jasa serta mengikis karma pada saat mengalami penderitaan.[12] Ada 3 jenis amal jasa yang bisa dilakukan yaitu Amal Materi, Amal Dharma dan Amal Tenaga. Beberapa Amal Pahala dianggap sangat besar kebajikannya seperti melintasi umat manusia untuk mendapatkan Tao, mengorbankan diri untuk kalangan Tao dan mendirikan Vihara pribadi, sehingga mendorong banyak umat I Kuan Tao untuk melakukan tugas misionaris, dengan anggapan bahwa semakin banyak orang yang mereka lintasi maka semakin besar amal pahala yang terkumpul.[1]

Enam Jalur Reinkarnasi

[sunting | sunting sumber]

I Kuan Tao mempunyai konsep enam jalur reinkarnasi yang sedikit berbeda dengan yang ada pada Buddhisme. Enam jalur reinkarnasi itu adalah :[12]

  1. Dewa : Para dewa hidup di Alam Hawa (氣天 Qi Tian). Manusia yang melakukan banyak kebajikan dan mengumpulkan banyak amal pahala selama hidup tapi belum mendapatkan Tao akan terlahir kembali di Alam Hawa sebagai para dewa.
  2. Manusia : Tingkat tertinggi kedua dari seluruh jalur reinkarnasi. Ada penderitaan lahir, tua, sakit mati.
  3. Asura : Manusia yang banyak berbuat baik di hidupnya akan masuk ke Alam Hawa sebagai dewa. Tapi untuk orang yang belum bisa menghilangkan kemarahan akan menjadi asura
  4. Neraka : Orang yang banyak berbuat dosa dan menanam karma buruk selama hidup akan dihukum di alam neraka.
  5. Preta : Preta adalah mahluk yang selalu kelaparan sepanjang hidupnya. Selama hidupnya dia memiliki banyak keinginan tapi juga banyak berbuat baik.
  6. Binatang : Orang yang banyak berbuat kejahatan setelah menyelesaikan hukumannya di alam neraka akan terlahir kembali di alam binatang.

Ujian Pembinaan

[sunting | sunting sumber]

I Kuan Tao menyakini adanya “ujian” atau "cobaan" (考 kao). Dari sudut pandang mereka, seseorang harus mengalami berbagai macam cobaan dalam proses pembinaan : jika tidak ada ujian, maka tidak ada peningkatan. I Kuan Tao mengidentifikasi beberapa jenis ujian, seperti ujian dari dalam (內考 neikao - penderitaan seperti penyakit, rasa sakit, kebakaran, banjir, dan perampokan), ujian dari luar (外考 waikao - cemoohan dari kerabat, teman, dan tetangga, penindasan dan kekerasan dari pejabat pemerintah), ujian kemarahan (氣考 qikao), ujian yang tidak biasa (奇考 qikao), ujian lancar (順考 shunkao), ujian kesulitan (逆考 nikao), ujian kebingungan (顚倒考 diandao kao), dan ujian dari kalangan Tao (道考 daokao).[1]

Teori ini adalah teori yang mereka yakini untuk mengatasi penderitaan selama masa penindasan (ditekan pemerintah). Salah satu ujiannya adalah “ujian dari negara” (管考 guankao), yang mengacu pada “penindasan dan kekerasan dari pejabat pemerintah.”[13] Menurut teori I Kuan Tao, penindasan dapat menguntungkan para pengikutnya setidaknya dari aspek-aspek berikut. Pertama, karena penindasan adalah ujian yang diatur oleh Lao Mu untuk memilih orang-orang yang benar-benar beriman, mereka yang lulus ujian akan diberi imbalan setelah mereka memasuki Surga. Secara khusus, status surgawi mereka (果位 guowei) didasarkan pada penderitaan yang mereka alami selama penindasan. Semakin mereka menderita, semakin tinggi status surgawi yang akan mereka peroleh setelah kematian. Kedua, penindasan membantu “menghilangkan kebiasaan buruk dan memperbaiki sifat buruk” (去毛病 改脾氣 qumaobing gaipiqi).[1] I Kuan Tao ini berpandangan bahwa roh-roh asal yang dikirim oleh Lao Mu adalah suci, tetapi mereka berangsur-angsur kehilangan sifat aslinya dan menjadi kejam dan licik. Penindasan dapat membuat orang merefleksikan diri mereka sendiri dan membuang kebiasaan dan temperamen yang buruk, seperti ketidaksabaran dan kesombongan. Akhirnya, menanggung penganiayaan adalah cara untuk mengurangi karma (業障 yezhang), yang terakumulasi karena tindakan salah seseorang selama fase-fase kehidupan orang tersebut. Dengan menghadapi dan bertahan dalam penindasan, orang yang percaya dapat memperoleh jasa pahala, yang dapat membantu mereka melenyapkan lingkaran kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali. Singkatnya, semakin banyak umat sekte menderita, semakin banyak karma yang akan mereka kurangi; semakin banyak pahala yang mereka kumpulkan dengan menanggung penderitaan, semakin tinggi status surgawi yang akan mereka capai.[13]

Vegetarianime

[sunting | sunting sumber]

Vegetarianisme adalah salah satu ajaran inti dari I Kuan Tao .[14] Vegetarianisme diajarkan dari berbagai sudut pandang termasuk kesehatan, ekologi, kelestarian alam, mengurangi penderitaan hewan[1], dan pengembangan spiritual.[2] Pengikut I Kuan Tao disebut-sebut mengoperasikan 90% restoran vegetarian di Taiwan.[15]

Struktur Organisasi

[sunting | sunting sumber]

Organisasi dalam I Kuan Tao ini didefinisikan dengan jelas, dan jajaran para misionaris dan umat dapat dibagi ke dalam urutan berikut :[16]

  1. Maha Guru / Patriark (祖師 zhushi) : Secara khusus mengacu pada Zhang Tian Ran dan Sun Hui Ming dan semua patriark yang ada dalam silsilah I Kuan Tao
  2. Pemimpin Kelompok (道長 daozhang) : Tokoh senior yang menjadi pemimpin kelompok yang tugasnya diberikan langsung oleh Maha Guru. Kelompok-kelompok I Kuan Tao biasanya dibedakan berdasarkan tokoh daozhang yang memimpin ini.
  3. Sesepuh Tua (老前人 lao qianren) : Tokoh senior dalam kalangan I Kuan Tao yang sekaligus daozhang ataupun sesepuh yang bertugas di bawah kepemimpinan daozhang.
  4. Sesepuh (前人 qianren) : Pandita yang menjadi perwakilan senior dan biasanya memimpin kelompok-kelompok yang lebih kecil di bawah sesepuh tua atau daozhang. Seorang sesepuh mendapat firman Tuhan dari Maha Guru sesuai kuota yang disetujui.
  5. Pandita (點傳師 dian chuanshi) : Pandita yang memiliki firman Tuhan yang bisa mengadakan ritual upacara qiudao. Para pandita biasanya berada di bawah kepemimpinan qianren. Sebutan lain untuk seorang dian chuanshi adalah jingli (經理) yang berarti manager.
  6. Master vihara (壇主 tanzhu) : Umat yang biasanya membuka vihara pribadi di rumahnya disebut dengan tanzhu.
  7. Penceramah (講師 jiangshi) : Para pengajar yang biasanya bertugas untuk memberikan kotbah atau ceramah di vihara.
  8. Tiga Medium (三才 sancai) : Tiga gadis yang menjadi medium pada saat ada fuji / peminjaman roh. Terdiri dari 天才 Tiancai, 人才 Rencai, dan地才Dicai.
  9. Umat (道親 daoqin) : Mereka yang telah memohon Tao (qiudao), disebut dengan "daoqin", yang artinya adalah kerabat Tao. Ini merupakan istilah untuk menunjukkan rasa kasih sayang di antara penganutnya. Para umat pria disebut dengan sebutan "qian dao" (乾道), sedangkan yang wanita disebut "kun dao" (坤道).

Aliran Buddha Maitreya di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

I Kuan Tao bermula di Indonesia pada tahun 1949 di Malang oleh seorang pengikut I Kuan Tao dari Taiwan bernama Tan Pik Ling (Hokkian) atau Chen Po Ling (陳伯齡) atau dikenal sebagai Maitreyawira (Indonesia). Tan adalah seorang dokter gigi, pertama sekali datang ke Indonesia sejak tahun 1930. Ia dikatakan diutus oleh Se Mu (Ibu Guru Suci) dan Pan Hua Ling (潘華齡) pemimpin Kelompok Pau Kuang (寶光組). Sejarah lain dari kelompok Pau Kuang Cien Te (寶光建德) mengatakan bahwa sesepuh Li Su Ken (呂樹根) mengutus Tan Pik Ling ke Indonesia. Vihara Maitreya pertama didirikan di Malang bernama Chiao Kuang pada tahun 1950. Vihara ini adalah Fo Tang (佛堂) pertama yang berdiri di luar China dan Taiwan. Di bawah pimpinan Tan, ajaran I Kuan Tao (Buddha Maitreya) berkembang pesat ke Surabaya, Jakarta, Medan, Bagansiapi-api, Pontianak, dll, dengan perkataan lain mencakup hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Tan meninggal pada tahun 1985. Di Indonesia, I Kuan Tao menempel sebagai agama Buddha, karena pemerintah hanya mengakui 5 agama resmi. Sehingga di Indonesia Buddha Maitreya muncul sebagai aliran agama Buddha, membentuk Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan bernaung di bawah Walubi.

Se Mu (師母) yang artinya Ibu Suci, sewaktu di Taiwan berada di bawah asuhan Wang Hao Te (王好德) atau sesepuh Ong selama 11 tahun, Wang sendiri adalah pengikut kelompok Pao Kuang (寶光組). Dengan meninggalnya Se Mu 4 April 1975, Wang Hao Te meneruskan sebagai penerus asli I Kuan Tao yang diangkat oleh Se Mu. Hanya melalui dia Kuasa Firman Tuhan Tien Ming dapat diberikan, Sesepuh Ong meneruskan sebagai penerus Benang Emas yang sejati. Banyak kelompok I Kuan Tao yang tidak terima sehingga Wang Hao Te meneruskan aliran sendiri yang disebut Tao Agung Maitreya atau Maha Tao Maitreya (彌勒大道). Tan Pik Ling di Indonesia yang juga pengikut kelompok Pao Kuang memutuskan untuk bergabung dengan Wang Hao Te.

I Kuan Tao membentuk organisasi sendiri dengan kantor pusat di El Monte, California, pada tahun 2000 membentuk organisasi Majelis I Kuan Tao Indonesia (dari kelompok Pau Kuang Cien Te).

Aliran Buddha Maitreya berkembang sebagai satuan dari agama Buddha di Indonesia. Aliran ini mengadopsi istilah-istilah bahasa Indonesia dari bahasa Sanskerta. Disebabkan juga oleh tekanan pemerintah Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa Mandarin, liturgi dan upacara keagamaan juga menggunakan Bahasa Indonesia. Dalam era reformasi sekarang, vihara Maitreya kembali lebih bebas menggunakan bahasa Mandarin. Vihara Maitreya di Indonesia berciri khas tercantum kalimat "Tuhan Maha Esa", mengikuti perayaan Buddha seperti Waisak, Kathina, dan menggantungkan gambar Buddha Siddharta .

Penerimaan WALUBI

[sunting | sunting sumber]

Aliran kepercayaan I Kuan Tao berada di bawah naungan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Tujuan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) adalah mengayomi dan membina seluruh umat Buddha di Indonesia serta berperan aktif melaksanakan kegiatan sosial kemanusiaan untuk membantu masyarakat, bangsa dan negara sebagai bentuk Dharma Negara, tidak memandang aliran-aliran Buddha tertentu, dan saling merangkul dibawah naungan WALUBI. Inti dari semua ajaran Agama Buddha adalah tidak saling membenci satu sama lain dikarenakan ajaran agama Buddha mengajarkan saling mengasihi, mencintai semua mahkluk hidup, tidak mengenal pertikaian, dan tidak mengenal konfrontasi dan non-provocative.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Lu, Yunfeng (2008). The transformation of Yiguan Dao in Taiwan: adapting to a changing religious economy. Lanham, Md.: Lexington Books. ISBN 978-0-7391-1719-4. 
  2. ^ a b Billioud, Sebastien (2020). Reclaiming the Wilderness: Contemporary Dynamics of the Yiguandao. Oxford and New York: Oxford University Press. hlm. 3. 
  3. ^ Shi Wen Du. BAGAIMANA SAYA MELEPASKAN DIRI DARI YI KUAN TAO (PDF). Diterjemahkan oleh Wijaya, Tjahyono. 
  4. ^ RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha-Kementerian Agama. "20 Tahun Majelis I Kuan Tao, Caliadi Ajak Bersinergi Program dan Layanan | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI". Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha - Kementerian Agama RI. Diakses tanggal 2024-05-22. 
  5. ^ "Sejarah Pendirian | Maha Vihara Maitreya". Diakses tanggal 2024-05-22. 
  6. ^ a b Ma, Xisha; Huiying, Meng (2011). Popular Religion and Shamanism. Brill. ISBN 978-9004174559. 
  7. ^ Palmer, David (2011). "Redemptive Societies in Cultural and Historical Context". Journal of Chinese Theatre, Ritual and Folklore / Minsu Quyi. 173. 
  8. ^ 《中國善書研究》. 南京: 江蘇人民出版社. 2010. ISBN 7214063190. 
  9. ^ "〈先天道嶺南道脈的思想和實踐:以廣東清遠飛霞洞為例〉". 《民俗曲藝》. 173: 23–58. 2011. 
  10. ^ "Impact of the State on the Evolution of a Sect" (PDF). Baylor University. 2006. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2024-10-31. Diakses tanggal 2024-10-31. 
  11. ^ Irons, Edward A. (2018). "The List: The Evolution of China's List of Illegal and Evil Cults" (PDF). The Journal of CESNUR. 2 (1): 33–57. doi:10.26338/tjoc.2018.2.1.3. 
  12. ^ a b c d e f 南屏道, 济 (1988). 性理題釋 Explanations of the Answers to the Truth. Hongkong: Jiu-hua Central Altar of the I-Kuan. 
  13. ^ a b 無妄, 郭 (1985). 一貫道大綱. 發行人郭正忠. 
  14. ^ Billioud, Sébastien; Thoraval, Joel (2015). The Sage and the People: The Confucian Revival in China. Oxford University Press. ISBN 978-0190258146. 
  15. ^ Davison, Gary Marvin (1998). Culture and Customs of Taiwan. Greenwood Press. ISBN 978-0313302985. 
  16. ^ "道親". 內政部全國宗教資訊網. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-16. Diakses tanggal 2024-10-31. 

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Iem Brown, 1990, 'Agama Buddha Maitreya: A Modern Buddhist Sect in Indonesia.' di Contributions to Southeast Asian Etnography 9:113-124.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]