Lompat ke isi

Kora-kora

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Armada Kora-kora dari Ternate dan Tidore menuju Ambon. 1817.

Kora-kora adalah perahu tradisional Kepulauan Maluku, Indonesia. Mereka biasa digunakan untuk perdagangan maupun peperangan,[1] namun pada umumnya adalah sebagai perahu angkatan laut untuk membawa orang-orang dalam perompakan untuk dijarah atau untuk budak. Di kepulauan Nusantara, mengambil budak adalah cara terhormat untuk mencari nafkah, dan kora kora dibutuhkan untuk pertahanan dari serangan serta untuk perampokan.[2] Kora-kora besar disebut juanga atau joanga.[3]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Asal dari namanya tidak diketahui, tetapi mungkin diambil dari kata Arab "قُرقور" qorqora; bentuk jamak dari qarâqir,[4] yang berarti "kapal dagang besar". Kemungkinan juga bahwa nama tersebut berasal dari bahasa asli, yang maknanya hilang seiring waktu, seperti kapal Austronesia lainnya yang meskipun tidak memiliki kontak dengan pedagang Arab juga menyandang nama yang mirip seperti karakuhan dari Ivatan dan korkor dari kepulauan Marshall.[5][6] Istilah ini juga mungkin berasal dari bahasa Spanyol atau bahasa Portugis carraca, tetapi dalam catatan Portugis dan Spanyol tertua akan Maluku mereka melaporkan caracora, coracora, carcoa, tetapi tidak pernah carraca. De Morga tidak hanya mengatakan secara tegas bahwa itu adalah kata kuno dan asli di antara orang-orang Tagal dari Mindoro, Marinduque, dan Luzon, tetapi juga kata Melayu-Polinesia sejati: Di semenanjung Melayu: ada perahu yang disebut kolek (perahu nelayan kecil), Amboina: kolekole, Mota (kepulauan Banks): kora, San Cristoval (kepulauan Solomon Selatan): ora.[7]

Deskripsi

[sunting | sunting sumber]
Sebuah kora kora yang digunakan oleh Belanda.

Panjangnya kira-kira 10 meter dan sangat sempit, biasanya terbuka, sangat rendah, dengan berat kira-kira 4 ton. Ia memiliki cadik bambu sekitar lima kaki (1,5 m) dari setiap sisi, yang mendukung sebuah panggung bambu yang memanjang sepanjang panjang kapal. Di bagian luar duduk dua puluh pendayung (secara keseluruhan dibutuhkan 40 pendayung),[8] sementara di bagian dalam bisa dilewati dari depan sampai belakang. Bagian tengah perahu ditutupi dengan atap ilalang, di mana ada barang dan penumpang. Deknya tidak lebih dari satu kaki (30 cm) di atas air, karena berat bagian atas dan berat bagian samping yang besar.[9]

Menurut Robert Dick-Read, setiap pemimpin di daerah Maluku memiliki kapal sendiri, status sang pemimpin tergantung dari jumlah budak, yang berasal dari pulau yang jauh, yang ditangkap dan dikumpulkannya. Setiap kapal didayung oleh 300 pendayung, didukung prajurit bersenjata tombak, sumpit, panah, dan pedang yang berada di tempat yang lebih tinggi (disebut 'balai'). Kapal memiliki 2 buah kemudi di bagian samping, batang tinggi di buritan dan haluan dihiasi pita-pita. Pada masa lalu, batang ini dihiasi kepala-kepala musuh yang ditaklukkan.[10] Perahu ini digunakan untuk perdagangan dan peperangan. Kora-kora yang lebih besar digunakan sebagai kapal perang selama perang dengan Belanda di Kepulauan Banda selama abad ke-17. Sejak zaman dahulu para pengemudi dan pendayung perahu dayung tradisional Maluku ini berteriak 'Mena Muria', untuk menyesuaikan tolakan dayung mereka saat ekspedisi di pantai. Ini berarti 'maju - mundur', tetapi juga dapat diterjemahkan menjadi 'Aku pergi - kami mengikuti' atau 'satu untuk semua - semua untuk satu'.

Beberapa perahu dayung yang lebih besar bisa memiliki lebih dari 100 pendayung dan ketika digunakan untuk perang maritim, misalnya pada pelayaran hongi atau "hongitocht" (ekspedisi perang VOC selama abad ke-17), datangnya kora kora membuat ketakutan penduduk dari desa pantai yang diserang.[11]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Belanda) National archive[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ Horridge (1982). h. 36.
  3. ^ Horridge (1982). h. 37 dan 70.
  4. ^ Instituut voor Nederlandse Geschiedenis - VOC-Glossarium bezocht 5 juli 2008
  5. ^ Charles P.G. Scott (1896). "The Malayan Words in English (First Part)". Journal of the American Oriental Society. 17: 93–144. 
  6. ^ Raymond Arveiller (1999). Max Pfister, ed. Addenda au FEW XIX (Orientalia). Beihefte zur Zeitschrift für romanische Philologie. Volume 298. Max Niemeyer. hlm. 174. ISBN 9783110927719. 
  7. ^ Folkard, H. C. (1901). The Sailing Boat 5th edition. London: Edward Stanford. 
  8. ^ (Inggris) Spice Islands voyage
  9. ^ "Authorama". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-08. Diakses tanggal 2018-07-16. 
  10. ^ Dick-Read, Robert (2008). Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. PT Mizan Publika. h. 67.
  11. ^ Clive Moore, New Guinea: Crossing Boundaries and History, University of Hawai'i Press, Honolulu, pp. 97-98

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]