Lompat ke isi

Radin Intan II

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Radin Intan II
(Gelar Kesuma Ratu)
Foto pahlawan Radin Intan II
Informasi pribadi
Lahir1834
Hindia Belanda Kuripan, Lampung, Hindia Belanda
Meninggal5 Oktober 1856(1856-10-05) (umur 21–22)
Hindia Belanda Negara Ratu, Lampung, Hindia Belanda
Sebab kematianTerbunuh oleh Radin Ngerapat dan serdadu Belanda
MakamDesa Gedungharta, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan
Orang tua
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Radin Intan II[1] (Aksara Lampung: 𞜎𞜈𞜓𞜗 𞜀𞜓𞜗𞜇𞜕𞜗 𞜁𞜎𞜔𞜐; lahir 1 Januari 1834 – 5 Oktober 1856[2][3]) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai nama bandara, perguruan tinggi, dan halte busway.

Berdasarkan penelitian, Radin Intan II masih keturunan Syarif Hidayatullah dari perkawinannya dengan Putri Sinar Alam, seorang putri dari Ratu Pugung dari Kebandaran Keratuan Pugung, yang melahirkan Muhammad Aji Saka gelar Ratu Darah Putih.

Ratu Darah Putih Menikahi Tun Penatih, memiliki Putra Sulung bernama Ratu Batin Ratu Radin Imba Kesuma Ratu I, lalu dari Radin Imba I memiliki Putra Dalom Kesuma Ratu I, dari Dalom Kesuma Ratu I memiliki Putra Sulung Radin Intan I.

Radin Intan II adalah putra tunggal Radin Imba II (28-34). Radin Imba II sendiri putra sulung Radin Intan I gelar Dalam Ratu Kesuma, Dengan demikian, Radin Intan II cucu dari Radin Intan I.

Perjuangan

[sunting | sunting sumber]

Pada saat Radin Intan II lahir tahun 1834, ayahnya, Radin Imba II, ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Timor, akibat memimpin perlawanan bersenjata menentang kehadiran Belanda yang ingin menjajah Lampung. Istrinya yang sedang hamil tua, Ratu Mas, tidak dibawa ke pengasingannya. Pemerintahan Kebandaran Keratuan Lampung dijalankan oleh Dewan Perwalian yang dikontrol oleh Belanda.

Radin Intan II tidak pernah mengenal ayah kandungnya tersebut, tetapi ibunya selalu menceritakan perjuangan ayahnya sehingga pada saat dinobatkan sebagai Negara Ratu, Radin Intan II melanjutkan berjuang memimpin rakyat di daerah Lampung Selatan untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayahnya. Perjuangannya didukung secara luas oleh rakyat daerah Lampung Selatan dan mendapatkan bantuan dari daerah lain, seperti Banten.

Salah satunya dengan H. Wakhia, tokoh Banten yang pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda dan kemudian menyingkir ke Lampung. Radin Intan II mengangkat H. Wakhia sebagai penasihatnya. H. Wakhia menggerakkan perlawanan di daerah Semaka dan Sekampung dengan menyerang pos-pos militer Belanda. Tokoh lain yang juga menjadi pendukung utama Radin Intan II ialah Singa Beranta, Saibatin Marga Rajabasa.

Sementara itu, Radin Intan II memperkuat benteng-benteng yang sudah ada dan membangun benteng-benteng baru. Benteng-benteng ini dipersenjatai dengan meriam, lila, dan senjata tradisional. Bahan makanan seperti beras dan ternak disiapkan dalam benteng untuk menghadapi perang yang diperkirakan akan berlangsung lama. Semua benteng tersebut terletak di punggung gunung yang terjal, sehingga sulit dicapai musuh. Beberapa panglima perang ditugasi memimpin benteng-benteng tersebut. Singaberanta di dalam sejarah memimpin benteng Bendulu, sedangkan Radin Intan II sendiri memimpim benteng Ketimbang.

Melihat munculnya kembali perlawanan di daerah Lampung Selatan setelah reda selama enam belas tahun, pada tahun 1851 Belanda mengirim pasukan dari Batavia. Pasukan berkekuatan 400 prajurit yang dipimpin oleh Kapten Jucht ini bertugas merebut benteng Ketimbang. Akan tetapi, mereka dipukul mundur oleh pasukan Radin Intan II. Karena gagal merebut Ketimbang, Belanda mengubah taktik. Kapten Kohler, Asisten Residen Belanda di Teluk Betung, ditugasi untuk mengadakan perundingan dengan Radin Intan II.

Setelah berkali – kali mengadakan perundingan, akhirnya tidak dicapai perjanjian untuk tidak saling menyerang. Belanda tidak mengakui eksistensi Negara Ratu. Raden Intan II pun mengakui kekuasaan Belanda di tempat – tempat yang sudah mereka duduki. Perjanjian itu digunakan Belanda hanya sebagai adem pause menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan besar – besaran. Bagi Belanda dengan cara apa pun, Raden Intan II harus kalahkan.

Belanda yakin, selama Radin Intan II masih berkuasa, kedudukan mereka di Lampung Selatan akan tetap terancam. Namun, sebelum memulai serangan-serangan baru, Belanda berusaha memecah belah masyarakat Lampung Selatan. Kelompok yang satu diadu dengan kelompok yang lain. Di kalangan masyarakat ditimbulkan suasana saling mencurigai. Tugas itu dipercayakan kepda Kapten Kohler.

Di beberapa tempat usahanya perkebunan nya berhasil. Tokoh – tokoh masyarakat Kalianda, misalnya termakan hasutan untuk memusuhi Radin Intan II, sehingga mereka tidak menghalang – halangi pasukan Belanda berpatroli di sekitar Gunung Rajabasa.

Pada tanggal 10 Agustus 1856 pasukan Belanda diberangkatkan dari Batavia dengan beberapa kapal perang. Pasukan ini dipimpin oleh Kolonel Welson dan terdiri atas pasukan infanteri, artileri dan zeni disertai sejumlah besar kuli pengangkut barang. Esok harinya mereka mendarat di Canti. Kekuatan mereka bertambah dengan bergabungnya pasukan Djajadilampung II, bangsawan Lampung yang sudah memihak Belanda.

Iring – iringan kapal perang Belanda yang memasuki perairan Lampung Selatan ini dilihat oleh Singaberanta dari Benteng Bendulu. Ia segera mengirim kurir ke Benteng Ketimbang untuk memberitahukan hal itu kepada Radin Intan II yang selanjutnya memerintahkan pasukannya di benteng-benteng lain agar menyiapkan diri.

Belanda mengirim ultimatum kepada Radin Intan II agar paling lambat dalam waktu lima hari ia dan seluruh pasukannya menyerahkan diri. Bila tidak, Belanda akan melancarkan serangan. Singaberanta pun dikirimi surat yang mengajaknya untuk berdamai. Sambil menunggu jawaban dari Radin Intan II dan Singaberanta, pasukan Belanda mengadakan konsolidasi. Radin Intan II pun meningkatkan persiapannya.

Benteng-benteng diperkuat. Beberapa orang kepercayaannya diperintahkan memasuki daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda untuk menganjurkan penduduk di tempat tersebut agar mengadakan perlawanan. Sampai batas waktu ultimatum berakhir, baik Radin Intan II maupun Singaberanta tidak memberikan jawaban.

Maka, pada tanggal 16 Agustus 1856 pasukan Belanda pun mulai melancarkan serangan. Sasaran mereka hari itu ialah merebut Benteng Bendulu. Pukul 08.00 mereka sudah tiba di Bendulu setelah menempuh jarak setapak di punggung gunung yang cukup terjal.

Akan tetapi, mereka tidak menemukan benteng itu dalam keadaan kosong. Singaberanta sudah memindahkan sebagian pasukannya ke tempat lain. Ia dengan sengaja tidak menghindari perang terbuka, sebab yakin bahwa pasukan lawan yang dihadapinya tidak jauh lebih kuat. Pasukannya disebar di tempat-tempat yang cukup tersembunyi dengan tugas melakukan pencegatan terhadap patroli pasukan Belanda yang keluar benteng. Sesudah menduduki Benteng Bendulu, sebagian pasukan Belanda bergerak ke benteng Hawi Berak yang dapat mereka kuasai pada tanggal 19 Agustus 1856.

Di Bendulu, pasukan Belanda berhasil menangkap seorang kemenakan Singaberanta dan 14 orang lainnya. Mereka dipaksa menunjukkan tempat Singaberanta dan menunjukkan jalan menuju Ketimbang. Semuanya mengatakan tidak tahu. Namun, mereka terpaksa menunjukkan tempat Singaberanta menyimpan senjata, antara lain 25 tabung mesiu, 1 pucuk meriam, 4 pucuk lila, dan beberapa pucuk senapan.

Sasaran utama Belanda ialah merebut benteng Ketimbang, sebab di benteng inilah Radin Intan II bertahan. Untuk merebut benteng ini, kolonel Waleson membagi tiga pasukannya. Satu pasukan bergerak dari Bendulu ke arah selatan dan timur Gunung Rajabasa, satu pasukan bergerak menuju Kalianda dan Way Urang dengan tugas merebut benteng Merambung dan setelah itu langsung menuju Ketimbang.

Pasukan ketiga bergerak dari Panengahan untuk merebut benteng Salai Tabuhan dan selanjutnya menuju Ketimbang. Ternyata, pelaksanaannya tidak semudah seperti yang direncanakan. Kesulitan utama ialah Belanda belum mengetahui jalan menuju Ketimbang. Penduduk yang tertangkap tidak mau menunjukkan jalan tersebut. Oleh karena itu, pasukan yang langsung dipimpin Kolonel Welson dan sudah menduduki Hawi Berak, terpaksa kembali ke Bendulu. Pasukan lain yang dipimpin Mayor Van Ostade berhasil mencapai Way Urang yang penduduknya sudah memihak Belanda. Walaupun pasukan ini sempat tertahan di Kelau Penengahan Lampung Selatan akibat serangan yang dilancarkan pasukan Radin Intan II, tetapi akhirnya belanda berhasil juga merebut benteng Merambung.

Sebenarnya, letak benteng Ketimbang tidak jauh dari benteng Merambung. Akan tetapi, Belanda tidak mengetahuinya. Kesulitan untuk mengetahui jalan menuju Ketimbang baru dapat mereka atasi pada tanggal 26 Agustus 1856. Pada hari itu Belanda berhasil menangkap dua orang anak muda. Seorang diantaranya ditembak mati karena berusaha melarikan diri. Yang seorang lagi diancam akan dibunuh bila tidak mau menunjukkan jalan ke Ketimbang. Anak muda itupun terpaksa menuruti kehendak Belanda.

Setelah jalan ke Ketimbang diketahui, Kolonel Welson segera memerintahkan pasukannya untuk melakukan serbuan. Subuh tanggal 27 Agustus 1856 mereka mulai bergerak. Ketika tiba di Galah Tanah pukul 10.00 mereka dihadang oleh pasukan serta Radin Intan II. Pertempuran di tempat ini dimenangi oleh Belanda. Begitu pula pertempuran berikutnya di Pematang Sentok. Sebagian pasukan ditinggalkan di Pematang Sentok dan sebagian lagi meneruskan gerakan ke Ketimbang. Tengah hari pasukan ini sudah tiba di Ketimbang. Sesudah itu datang pula pasukan lain, termasuk pasukan Djajadilampung II. Ternyata, benteng Ketimbang sudah ditinggalkan oleh Radin Intan II dan pasukannya. Dalam benteng ini Belanda menemukan bahan makanan dalam jumlah yang cukup banyak. Benteng Ketimbang sudah jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi, Kolonel Welson kecewa, sebab Radin Inten II tidak tertangkap atau menyerah.

Welson mengirimkan pasukannya ke berbagai tempat untuk mencari Radin Intan II. Sebaliknya, untuk mengacaukan pendapat Belanda, Radin Intan II menyebarkan berita-berita palsu melalui orang-orang kepercayaannya. Beredar berita bahwa ia sudah menyerah di Way Urang. Welson pun segera menuju Way Urang. Ternyata, orang yang dicarinya tidak ada di tempat itu. Seorang perempuan melaporkan pula bahwa Radin Inten II ada di Rindeh dan hanya ditemani oleh beberapa orang pengikutnya. Berita itu pun ternyata berita bohong. Suatu kali, Belanda mengetahui tempat persembuyian Radin Inten II. Tempat itu pun dikepung di bawah pimpinan Kapten Kohler. Akan tetapi, Radin Intan II tidak berhasil meloloskan diri.

Sampai bulan Oktober 1856 sudah dua setengah bulan Belanda melancarkan operasi militer. Satu demi satu benteng pertahanan Radin Intan II berhasil mereka duduki. Namun, Sepengetahuan Belanda Radin Intan II masih belum tertangkap. Sementara itu, Belanda mendapat laporan bahwa Radin Intan II sudah pergi ke bagian utara Lampung Selatan, menyeberangi Way Seputih. Berita lain mengabarkan bahwa Singaberanta berada di Pulau Sebesi.

Belanda mengarahkan pasukan untuk memotong jalan Radin Intan II. Pasukan juga dikirim ke Pulau Sebesi untuk mencari Singaberanta. Hasilnya nihil. Baik Radin Intan II maupun Singaberanta tidak mereka temukan. Kolonel Welson hampir putus asa, ia merasa dipermainkan oleh seorang anak muda berumur 22 tahun.

Akhirnya, Waleson menemukan cara lain. Ia berhasil memperalat Radin Ngerapat. Maka pengkhianatan pun terjadi. Radin Ngerapat mengundang Radin Intan II untuk mengadakan pertemuan. Dikatakannya bahwa ia ingin membicarakan bantuan yang diberikannya kepada Radin Intan II. Tanpa curiga, Radin Inten II memenuhi undangan itu. Pertemuan diadakan malam tanggal 5 Oktober 1856 di suatu tempat dekat Kunyanya. Radin Intan II ditemani oleh satu orang pengikutnya. Radin Ngerapat disertai pula oleh beberapa orang. Akan tetapi, di tempat yang cukup tersembunyi, beberapa orang serdadu Belanda sudah disiapkan untuk bertindak bila diperlukan. Radin Ngerapat mempersilahkan Radin Intan II dan pengiringnya memakan makanan yang sengaja dibawanya terlebih dahulu.

Pada saat Radin Intan menyantap makanan tersebut, secara tiba-tiba ia diserang oleh Radin Ngerapat dan anak buahnya. Perkelahian yang tidak seimbang pun terjadi. Serdadu Belanda keluar dari tempat persembunyiannya dan ikut mengeroyok Radin Intan II. Radin Intan II wafat dalam perkelahian itu karena pengkhianatan yang dilakukan oleh orang sebangsanya dalam usia sangat muda, 22 tahun. Malam itu juga mayatnya yang masih berlumuran darah diperlihatkan kepada Kolonel Welson. Pada tahun 1986 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya gelar pahlawan nasional (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 082 Tahun 1986 tanggal 23 Oktober 1986).[4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ http://digilib.isi.ac.id/2719/
  2. ^ Biografi Radin Intan II Diarsipkan 2013-09-06 di Wayback Machine.. www.tokohindonesia.com. Diakses 21 September 2014.
  3. ^ "Data dan Informasi Tentang Pahlawan Nasional". KOMISI INFORMASI. 2017-11-10. Diakses tanggal 2019-03-21. 
  4. ^ "Perpres Tentang Pahlawan Nasional". KOMISI INFORMASI. 2017-11-10. Diakses tanggal 2019-03-21. 

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]