Lompat ke isi

Epilepsi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Epilepsi
Penyamarataan lonjakan dan gelombang 3 Hz pada elektroencefalogram
Informasi umum
SpesialisasiNeurologi, epileptology Sunting ini di Wikidata

Ayan , saman atau Epilepsi (berasal dari kata kerja Yunani Kuno ἐπιλαμβάνειν yang berarti "menguasai, memiliki, atau menimpa")[1] adalah sekelompok gangguan neurologis jangka panjang yang cirinya ditandai dengan serangan-serangan epileptik.[2] Serangan epileptik ini episodenya bisa bermacam-macam mulai dari serangan singkat dan hampir tak terdeteksi hingga guncangan kuat untuk periode yang lama.[3] Dalam epilepsi, serangan cenderung berulang, dan tidak ada penyebab yang mendasari secara langsung [2] sementara serangan yang disebabkan oleh penyebab khusus tidak dianggap mewakili epilepsi.[4] Dalam bahasa Indonesia digunakan istilah "penyakit ayan" untuk berbagai kasus epilepsi.

Dalam kebanyakan kasus, penyebabnya tidak diketahui, walaupun beberapa orang menderita epilepsi sebagai akibat dari cedera otak, stroke, kanker otak, dan penyalahgunaan obat dan alkohol, di antaranya. Kejang epileptik adalah akibat dari aktivitas sel saraf kortikal yang berlebihan dan tidak normal di dalam otak.[4] Diagnosisnya biasanya termasuk menyingkirkan kondisi-kondisi lain yang mungkin menyebabkan gejala-gejala serupa (seperti sinkop) serta mencari tahu apakah ada penyebab-penyebab langsung. Epilepsi sering bisa dikonfirmasikan dengan elektroensefalografi (EEG).

Epilepsi tidak bisa disembuhkan, tetapi serangan-serangan bisa dikontrol dengan pengobatan pada sekitar 70% kasus.[5] Bagi mereka yang serangannya tidak berespon terhadap pengobatan, bedah, stimulasi saraf atau perubahan asupan makanan bisa dipertimbangkan. Tidak semua gejala epilepsi berlangsung seumur hidup, dan sejumlah besar orang mengalami perbaikan bahkan hingga pengobatan tidak diperlukan lagi. Epilepsi seperti halnya tuberkulosis pengobatannya harus tuntas, walaupun tampaknya sudah sehat. Pada epilepsi pengobatan dihentikan satu tahun setelah serangan terakhir.

Sekitar 1% penduduk dunia (65 juta) menderita epilepsi,[6] dan hampir 80% kasus muncul di negara-negara berkembang.[3] Epilepsi menjadi lebih sering ditemui seiring dengan berjalannya usia.[7][8] Di negara-negara maju, gejala awal dari kasus-kasus baru muncul paling sering di kalangan anak-anak dan manula;[9] di negara-negara berkembang paling sering muncul di kalangan anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa muda,[10] karena perbedaan dalam kekerapan penyebab-penyebab yang mendasarinya. Sekitar 5–10% dari semua orang akan mengalami kejang tanpa sebab sebelum mencapai usia 80,[11] dan kemungkinan mengalami serangan kedua berkisar antara 40 dan 50%.[12] Di banyak wilayah dunia, mereka yang menderita epilepsi dibatasi dalam mengemudi atau tidak diperbolehkan sama sekali,[13] tetapi kebanyakan bisa kembali mengemudi setelah periode tertentu bebas serangan.

Tanda-tanda dan gejala-gejala

[sunting | sunting sumber]
Video mengenai serangan kejang
Seseorang yang menggigit ujung lidahnya saat mengalami serangan epilespi

Epilepsi ditandai dengan risiko jangka panjang untuk terjadinya serangan berulang.[14] Serangan ini bisa terjadi dalam beberapa cara tergantung pada bagian otak mana yang terlibat dan usia penderita.[14][15]

Jenis serangan epilepsi yang paling umum (60%) adalah konvulsi/kejang.[15] Dari serangan-serangan ini, dua per tiga mulai dengan serangan kejang fokal (yang kemudian bisa menjadi umum) sementara sepertiganya mulai dengan serangan kejang umum.[15] Sisa 40% jenis serangan lainnya adalah non konvulsi. Contoh dari jenis ini adalah serangan absans, yang menunjukkan adanya penurunan level kesadaran dan biasanya berlangsung sekitar 10 detik.[16][17]

Serangan epilepsi fokal sering diawali dengan pengalaman tertentu, yang dikenal sebagai aura.[18] Ini bisa termasuk: fenomena indra (penglihat, pendengar atau pembau), psikis, otonomik, atau motorik.[16] Kekejangan bisa mulai dengan sekelompok otot tertentu dan menyebar ke kelompok otot sekitarnya yang dikenal sebagai serangan epilepsi Jacksonian.[19] Otomatisme bisa terjadi; ini adalah gerakan yang tidak disadari dan kebanyakan gerakan berulang sederhana seperti memainkan bibir atau gerakan yang lebih kompleks seperti mencoba mengambil sesuatu.[19]

Ada enam jenis utama serangan epilepsi umum: tonik-klonik, tonik, klonik, myoklonik, absans, dan serangan atonik.[20] Semuanya melibatkan hilangnya kesadaran dan biasanya terjadi tanpa peringatan. Serangan tonik-klonik terjadi dengan kontraksi anggota tubuh diikuti dengan ekstensi disertai dengan punggung melengkung ke belakang yang berlangsung selama 10–30 detik (fase tonik). Jeritan mungkin terdengar karena kontraksi otot-otot dada. Ini kemudian diikuti dengan gerakan anggota tubuh secara serempak (fase klonik). Serangan tonik menyebabkan kontraksi otot terus-menerus. Penderita sering menjadi biru karena pernafasan terhenti.Dalam serangan klonik anggota tubuh bergerak serempak. Setelah gerakan terhenti, penderita mungkin perlu waktu 10–30 menit untuk kembali normal; periode ini disebut "fase postiktal".

Hilangnya kontrol buang air besar atau air kecil bisa muncul selama serangan epilesi.[3] Ujung atau sisi lidah bisa tergigit selama serangan epilespi.[21] Dalam kejang tonik-klonik, gigitan pada sisi lidah lebih sering terjadi.[21] Gigitan lidah juga cukup biasa terjadi dalam serangan psikogenik non-epileptik.[21]

Serangan miotonik melibatkan kejang otot di beberapa atau di seluruh area.[22] Serangan absans [kehilangan kesadaran mendadak] bisa tersamar dengan hanya kepala menoleh sedikit atau mata berkedip-kedip.[16] Orangnya tidak terjatuh dan kembali normal setelah serangan terhenti.[16] Serangan atonik melibatkan hilangnya aktivitas otot selama lebih dari satu detik.[19] Ini biasanya terjadi di kedua sisi tubuh.[19]

Sekitar 6% dari penderita epilepsi mengalami serangan yang sering dipicu oleh kejadian-kejadian khusus dan dikenal sebagai serangan refleks.[23] Penderita epilepsi refleks mengalami serangan yang hanya dipicu oleh rangsangan tertentu.[24] Pemicu umum termasuk kilatan cahaya dan suara-suara tiba-tiba.[23] Pada epilepsi jenis tertentu, serangan lebih sering terjadi pada saat tidur,[25] dan pada jenis lain serangan-serangan terjadi hampir hanya waktu tidur.[26]

Postiktal

[sunting | sunting sumber]

Setelah serangan aktif biasanya ada periode kebingungan yang disebut periode postiktal sebelum tingkat kesadaran normal kembali.[18] Ini biasanya berlangsung selama 3 hingga 15 menit[27] tetapi bisa berlangsung selama berjam-jam.[28] Gejala umum lainnya termasuk: merasa lelah, sakit kepala, susah bicara, dan tingkah laku abnormal.[28] Psikosis setelah sebuah serangan cukup sering, terjadi pada 6-10% penderita.[29] Penderita sering tidak ingat apa yang terjadi selama waktu ini.[28] Kelemahan lokal, dikenal sebagai kelumpuhan Todd, bisa juga terjadi setelah serangan epilepsi fokal. Bila terjadi, ini biasanya berlangsung selama beberapa detik hingga menit tetapi jarang berlansung selama satu atau dua hari.[30]

Psikososial

[sunting | sunting sumber]

Epilepsi bisa memiliki efek merugikan pada kesejahteraan sosial dan psikologis seseorang.[15] Efek-efek ini bisa termasuk isolasi sosial, stigmatisasi, atau ketidakmampuan.[15] Efek-efek itu bisa menyebabkan pencapaian prestasi belajar yang rendah dan kesempatan kerja yang lebih buruk.[15] Kesulitan belajar umum ditemukan pada penderita epilepsi, dan terutama dalam anak-anak penderita epilepsi.[15] Stigma epilepsi bisa juga mempengaruhi keluarga penderita.[3]

Gangguan-gangguan tertentu muncul lebih sering di kalangan penderita epilepsi, sebagian tergantung pada gejala epilepsi yang ada. Ini bisa termasuk: depresi, gangguan cemas, dan migrain.[31] Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Pikiran/Hiperaktivitas (GPPH) mempengaruhi anak-anak penderita epilepsi tiga hingga lima kali lebih sering dibandingkan anak-anak dalam populasi umum.[32] GPPH dan epilepsi memiliki konsekuensi penting pada tingkah laku, kemampuan belajar dan perkembangan sosial anak.[33] Epilepsi juga lebih sering terjadi pada mereka yang menderita autisme.[34]

Epilepsi bukanlah penyakit tunggal, melainkan suatu gejala yang dapat dihasilkan oleh sejumlah gangguan berbeda.[15] Menurut definisinya, serangan epilepsi terjadi secara spontan dan tanpa ada sebab langsung seperti pada penyakit akut.[6] Penyebab yang mendasari epilepsi dapat diidentifikasikan sebagai masalah genetik, struktural, atau metabolisme, namun 60%[3][15] kasus epilepsi tidak diketahui sebabnya.[35] Genetik, cacat bawaan lahir, dan gangguan perkembangan lebih umum dialami mereka yang lebih muda, sedangkan tumor otak dan stroke lebih mungkin pada orang yang lebih tua.[15] Serangan juga dapat terjadi sebagai akibat masalah kesehatan lain;[20] jika serangan terjadi tepat setelah adanya sebab tertentu, seperti stroke, cedera kepala, konsumsi bahan toksik, atau masalah metabolisme, serangan ini disebut kejang simtomatik akut, dan termasuk kejang-kejang dalam klasifikasi yang lebih luas gangguan terkait-kejang bukan epilepsi.[6][36] Banyak di antara sebab-sebab kejang simtomatik akut yang juga dapat mengarah pada kejang yang disebutkan belakangan, yaitu epilepsi sekunder.[3]

Genetik diyakini ikut terlibat dalam sebagian besar kasus, baik secara langsung maupun tidak langsung.[37] Beberapa penyakit epilepsi disebabkan oleh kerusakan gen tunggal (1-2%); sebagian besar adalah akibat interaksi beberapa gen dan faktor lingkungan.[37] Masing-masing kerusakan gen tunggal jarang terjadi, dengan lebih dari 200 telah diuraikan.[38] Beberapa gen yang terlibat memengaruhi saluran ion, enzim, GABA, dan reseptor terkait protein G.[22]

Pada kembar identik, jika salah satu menderita epilepsi, ada kemungkinan 50-60% kembar lainnya juga ikut menderita epilepsi.[37] Pada kembar non-identik, risikonya 15%.[37] Risiko ini lebih besar pada penderita dengan kejang umum daripada kejang fokal.[37] Jika kedua kembar tersebut menderita epilepsi, kebanyakan (70-90%) memiliki sindrom epilepsi yang sama.[37] Kerabat dekat lainnya dari penderita epilepsi memiliki risiko lima kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak.[39] Antara 1 dan 10% penderita sindrom Down dan 90% penderita sindrom Angelman menderita epilepsi.[39]

Epilepsi dapat terjadi sebagai akibat sejumlah kondisi lain yang meliputi: tumor, stroke, cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat terdahulu, abnormalitas genetik, dan sebagai akibat kerusakan otak saat persalinan.[3][20] Bagi mereka yang memiliki tumor otak, hampir 30% penderitanya menderita epilepsi, yang terhitung dalam 4% penyebab kasus epilepsi.[39] Risiko paling besar adalah pada tumor yang berada di lobus temporal dan tumor yang tumbuh secara perlahan.[39] Lesi lain yang berupa massa seperti malformasi kavernosus serebral dan malformasi arteriovena memiliki risiko sebesar 40–60%.[39] Mereka yang pernah mengalami stroke, sebanyak 2-4% mengalami epilepsi di kemudian hari.[39] Di Inggris, stroke bertanggung jawab atas 15% kasus epilepsi[15] dan hal ini diyakini bertanggung jawab atas 30% kasus epilepsi pada lanjut usia.[39] Antara 6 hingga 20% kasus epilepsi diyakini disebabkan oleh cedera kepala.[39] Cedera otak ringan meningkatkan risiko sekitar dua kali lipat, sedangkan cedera otak berat meningkatkan risiko hingga tujuh kali lipat.[39] Pada mereka yang pernah mengalami luka tembak berkekuatan tinggi pada kepala, risikonya mencapai hampir 50%.[39]

Risiko epilepsi setelah mengalami meningitis atau radang selaput otak adalah kurang dari 10%; penyakit tersebut umumnya menyebabkan kejang selama terjadinya infeksi itu sendiri.[39] Pada ensefalitis herpes simpleks risiko timbulnya kejang berkisar 50%[39] disertai dengan risiko tinggi timbulnya epilepsi setelahnya (mencapai 25%).[40][41] Infeksi akibat cacing pita babi, yang dapat menyebabkan neurosistiserkosis, adalah penyebab lebih dari separuh kasus epilepsi di daerah dimana parasit ini banyak ditemukan.[39] Epilepsi juga dapat terjadi setelah infeksi otak lain seperti malaria serebral, toksoplasmosis, dan toksokariasis.[39] Penggunaan alkohol menahun meningkatkan risiko epilepsi: mereka yang minum enam unit alkohol per hari memiliki dua setengah kali lipat risiko.[39] Risiko lainnya termasuk penyakit Alzheimer, multipel sklerosis, sklerosis tuberosa, dan ensefalitis autoimun.[39] Vaksinasi meningkatkan risiko epilepsi.[39] Malagizi adalah faktor risiko yang banyak dijumpai di negara-negara berkembang, meskipun tidak jelas apakah faktor ini menjadi penyebab langsung atau sekadar ada hubungan.[10]

Ada sejumlah sindrom epilepsi yang biasanya dikelompokkan menurut usia pada saat awal mulanya serangan yaitu: periode neonatus, kanak-kanak, dewasa, dan serangan tanpa hubungan usia yang erat.[20] Selain itu, ada kelompok-kelompok dengan kumpulan gejala spesifik, kelompok yang disebabkan oleh sebab-sebab metabolik atau struktural tertentu, dan kelompok yang tidak diketahui penyebabnya.[20] Pengklasifikasian sebab epilepsi ke dalam suatu sindrom tertentu lebih sering terjadi pada anak-anak.[36] Beberapa tipe tersebut antara lain: epilepsi Roland benigna (2,8 per 100.000), epilepsi absans anak-anak (0,8 per 100.000) dan epilepsi mioklonik juvenil (0,7 per 100.000).[36] Kejang demam dan kejang neonatal benigna bukanlah jenis dari epilepsi.[20]

Mekanisme

[sunting | sunting sumber]

Normalnya, aktivitas listrik otak bersifat tak-sinkron.[16] Pada kejang epilepsi, karena masalah struktural atau fungsi di dalam otak,[3] sekelompok neuron/sel saraf mulai melepaskan muatan listrik secara abnormal, berlebihan,[15] dan tersinkron.[16] Hal ini menghasilkan gelombang depolarisasi yang disebut dengan pergeseran depolarisasi paroksismal.[42]

Normalnya, setelah sel saraf eksitatori melepas muatan listrik, sel saraf menjadi lebih resistan untuk kembali melepas muatan listrik selama jangka waktu tertentu.[16] Hal ini disebabkan oleh efek sel saraf inhibitorik, perubahan listrik di dalam sel saraf eksitatori, dan efek negatif dari adenosin.[16] Pada epilepsi, resistansi sel saraf eksitatori untuk kembali melepas muatan listrik selama periode ini berkurang.[16] Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan pada saluran ion atau sel saraf penghambat tidak berfungsi dengan baik.[16] Kemudian, hal ini berakibat pada timbulnya area tertentu yang daripadanya dapat timbul kejang, yang dikenal sebagai "fokus kejang".[16] Mekanisme lain epilepsi kemungkinan adalah terjadinya peningkatan sirkuit eksitatori atau pengurangan jumlah sirkuit inhibitori setelah terjadinya cedera otak.[16][43] Epilepsi sekunder seperti ini terjadi melalui proses yang disebut dengan epileptogenesis.[16][43] Kegagalan sawar darah otak juga dapat menjadi mekanisme penyebab karena kegagalan ini memungkinkan zat-zat dalam darah memasuki otak.[44]

Kejang fokal dimulai di dalam satu hemisfer otak sedangkan kejang umum dimulai di kedua hemisfer.[20] Beberapa jenis kejang dapat mengubah struktur otak, sedangkan jenis lain tampaknya hanya memiliki sedikit efek.[45] Gliosis, hilangnya sel saraf, dan atrofi area tertentu pada otak dikaitkan dengan epilepsi, namun hal ini belum jelas apakah epilepsi menyebabkan perubahan-perubahan tersebut atau apakah perubahan ini mengakibatkan epilepsi.[45]

Diagnosis

[sunting | sunting sumber]
EEG dapat membantu menemukan fokus kejang pada penderita epilepsi.

Diagnosis epilepsi biasanya dilakukan berdasarkan deskripsi kejang dan peristiwa seputar kejang.[15] Elektroensefalogram dan neuroimaging atau pencitraan sel saraf biasanya juga menjadi bagian dari pemeriksaan medis.[15] Meskipun usaha untuk menemukan sindrom epilepsi tertentu sering dilakukan, hal ini tidak selalu memungkinkan.[15] Pemantauan video dan EEG jangka panjang dapat berguna pada kasus-kasus yang sulit.[46]

Dalam praktik, epilepsi didefinisikan sebagai dua atau lebih serangan epilepsi, yang terpisah lebih dari 24 jam, tanpa sebab yang jelas; sementara, serangan epilepsi didefinisikan sebagai tanda dan gejala sementara yang dihasilkan oleh aktivitas listrik abnormal di dalam otak.[6] Epilepsi juga dapat dilihat sebagai gangguan dimana seseorang sudah mengalami paling tidak satu kejang epilepsi dengan risiko berkelanjutan untuk serangan selanjutnya.[6]

Forum Internasional Melawan Epilepsi dan Biro Internasional untuk Epilepsi— sebagai mitra kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)[47]—mendefinisikan epilepsi dalam pernyataan bersama tahun 2005 sebagai “gangguan otak yang ditandai oleh predisposisi terus-menerus yang menghasilkan serangan epilepsi dan oleh adanya konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial atas kondisi ini. Definisi epilepsi mensyaratkan terjadinya paling tidak satu serangan epilepsi.”[48][49]

Klasifikasi

[sunting | sunting sumber]

Serangan-serangan pada penderita epilepsi sebaiknya diklasifikasikan menurut jenis serangan, sebab yang mendasari, sindrom epilepsi, dan peristiwa selama dan seputar terjadinya serangan tersebut.[46] Jenis serangan disusun menurut apakah sumber serangan terlokalisasi (kejang fokal) atau tersebar (kejang umum) di dalam otak.[20] Kejang umum dibagi berdasarkan dampaknya pada tubuh, antara lain: kejang tonik-klonik (grand mal), serangan absans (petit mal), mioklonik, klonik, tonik, dan atonik.[20][50] Beberapa kejang seperti spasme epileptik adalah jenis epilepsi yang tak diketahui.[20] Kejang fokal(sebelumnya dikenal sebagai kejang parsial[15]) dahulu dibagi menjadi kejang parsial sederhana atau parsial kompleks.[20] Pembagian ini tidak lagi direkomendasikan, dan sebagai gantinya lebih dipilih untuk mendeskripsikan gejala yang terjadi pada kejadian kejang.[20]

Pemeriksaan laboratorium

[sunting | sunting sumber]

Untuk orang dewasa, pemeriksaan elektrolit, gula darah dan kadar kalsium sangat penting untuk menyingkirkan masalah ini sebagai penyebab.[46] Pemeriksaan elektrokardiogram dapat menyingkirkan masalah yang berhubungan dengan ritme jantung.[46] Pungsi lumbal dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosis infeksi sistem saraf pusat tetapi tidak selalu diperlukan.[11] Pada anak-anak pemeriksaan tambahan mungkin diperlukan, misalnya biokimia urin dan tes darah untuk melihat adanya kelainan metabolik.[46][51]

Tingkat prolaktin darah yang tinggi pada 20 menit pertama setelah kejang merupakan tanda yang penting untuk mengkonfirmasi kejang epilepsi dan bukannya kejang psikogenik non-epileptik.[52][53] Kadar prolaktin serum kurang bermanfaat dalam hal mendeteksi kejang parsial.[54] Bila kadarnya normal maka kejang epileptik masih berupa kemungkinan[53] dan prolaktin serum tidak membedakan antara kejang epileptik dengan sinkop (pingsan).[55] Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin untuk mendiagnosis epilepsi.[46]

Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) dapat membantu memberikan gambaran aktivitas otak yang menunjukkan peningkatan risiko terjadinya seranga. Pemeriksaan ini direkomendasikan hanya pada mereka yang menunjukkan kejang epileptik sebagai gejala. Pada diagnosis epilepsi, elektroensefalografi dapat membantu membedakan jenis kejang atau sindrom yang ada saat itu. Pada anak-anak biasanya hanya diperlukan setelah adanya kejadian kejang kedua. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis, dan dapat menyebabkan tanda positif palsu pada mereka yang tidak mengidap penyakit ini. Pada situasi tertentu akan membantu apabila pemeriksaan dilakukan ketika pasien tertidur atau dalam keadaan kurang tidur.[46]

Pencitraan

[sunting | sunting sumber]

Pencitraan diagnostik menggunakan CT scan dan MRI direkomendasikan setelah kejang non-febril pertama untuk mendeteksi adanya masalah struktural di dalam dan sekitar otak.[46] MRI pada umumnya merupakan tes pencitraan yang lebih baik kecuali bila dicurigai terjadi pendarahan, dimana CT lebih sensitif dan lebih mudah dilakukan.[11] Bila seseorang masuk ke ruang gawat darurat dengan kejang tetapi pulih dengan cepat, pemeriksaan pencitraan dapat dilakukan kemudian.[11] Bila sebelumnya, seseorang telah didiagnosis epilepsi dengan pemeriksaan pencitraan, pemeriksaan pencitraan ulang tidak diperlukan walaupun terjadi kejang kembali.[46]

Diagnosis banding

[sunting | sunting sumber]

Menegakkan diagnosis untuk epilepsi dapat menyulitkan, dan dapat sering terjadi salah diagnosis (terjadi pada 5 hingga 30% dari kasus).[15] Sejumlah kondisi mungkin menunjukkan ciri-ciri dan gejala yang mirip dengan epilepsi, di antaranya: sinkop, hiperventilasi, migren, narkolepsi, serangan panik dan kejang psikogenik non-epileptik (PNES).[56][57] Sekitar satu di antara lima orang yang berada di klinik epilepsi menderita PNES[11] dan dari mereka yang mengalami PNES sekitar 10% juga menderita epilepsi.[58] Memisahkan keduanya berdasarkan episode kejang saja tanpa pemeriksaan lebih jauh pada umumnya sulit dilakukan.[58]

Anak-anak dapat memiliki sikap yang mudah disalahartikan sebagai kejang epileptic, padahal sebenarnya bukan. Hal ini meliputi: breath-holding spell (kondisi menahan napas yang tidak dapat dikendalikan oleh anak), mengompol, teror tidur, tik dan shudder attacks (gerakan bayi atau anak secara tiba-tiba).[57] Refluks gastroesofageal dapat menyebabkan punggung yang melengkung dan kaku dan terpelintirnya leher ke arah samping pada bayi, yang kemudian dapat salah dianggap sebagai kejang tonik klonik.[57]

Pencegahan

[sunting | sunting sumber]

Walaupun banyak kasus yang tidak dapat dicegah, usaha untuk mengurangi cedera kepala, yaitu dengan penanganan yang baik untuk wilayah sekitar kepala saat kelahiran, dan menekan parasit dari lingkungan seperti misalnya cacing pita dapat memberikan hasil yang efektif.[3] Langkah yang dilakukan di salah satu wilayah Amerika Tengah utuk menurunkan tingkat infeksi cacing pita telah berhasil menurunkan kasus baru epilepsi hingga 50%.[10]

Penatalaksanaan

[sunting | sunting sumber]

Epilepsi biasanya ditangani dengan pemberian obat setiap hari bila telah timbul kejang yang kedua,[15][46] tetapi untuk pasien dengan risiko tinggi, pengobatan dapat dimulai segera setelah kejang yang pertama kali.[46] Pada sejumlah kasus mungkin perlu dilakukan diet khusus, implantasi neurostimulator, atau pembedahan saraf.

Pertolongan pertama

[sunting | sunting sumber]

Memposisikan penderita dengan kejang tonik klonik aktif pada posisi bertumpu pada sisi badan dan pada posisi pulih akan membantu mencegah cairan masuk ke paru-paru.[59] Meletakkan jari, kotak gigitan atau penekan lidah di mulut tidak disarankan karena dapat menyebabkan penderita muntah atau menyebabkan penolong tergigit.[18][59] Usaha-usaha yang ada harus dilakukan agar penderita tidak mencederai diri sendiri.[18] Tindakan pencegahan cedera tulang belakang biasanya tidak diperlukan.[59]

Bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit atau terjadi dua atau lebih kejang dalam satu jam tanpa proses pemulihan ke keadaan normal di antaranya maka keadaan ini dianggap sebagai darurat medis yang dikenal sebagai status epileptikus.[46][60] Kondisi ini memerlukan pertolongan medis agar jalan napas tetap terbuka dan terlindung;[46] jalan napas nasofaringeal akan sangat membantu pada keadaan ini.[59] Untuk di rumah, pengobatan awal yang diberikan pada kejang dengan durasi yang lama adalah midazolam yang diletakkan di mulut.[61] Diazepam dapat juga diberikan dalam bentuk sediaan secara rektal.[61] Di rumah sakit, pemberian lorazepam secara intravena lebih disukai.[46] Bila dua dosis benzodiazepine tidak efektif, penggunaan obat lain yang dianjurkan adalah fenitoin.[46] Status epileptiku konvulsif yang tidak memberikan respon terhadap penanganan awal biasanya memerlukan perawatan di unit gawat darurat dan perawatan dengan senyawa yang lebih kuat seperti tiopenton atau propofol.[46]

Pengobatan

[sunting | sunting sumber]
Antikonvulsan

Penanganan andalan untuk epilepsi adalah dengan pemberian obat antikonvulsan, dengan kemungkinan pemberian seumur hidup.[15] Pemilihan penggunaan antikonvulsan tergantung pada tipe kejang, sindrom epilepsi, pengobatan lain yang digunakan, masalah kesehatan lainnya, dan usia serta gaya hidup penderita.[61] Pada awalnya direkomendasikan pengobatan tunggal;[62] bila tidak efektif, direkomendasikan beralih ke pengobatan tunggal lainnnya.[46] Dua jenis pengobatan sekaligus hanya direkomendasikan bila pengobatan tunggal tidak bekerja dengan baik.[46] Pada kurang lebih setengahnya, agen pertama efektif; agen tunggal kedua membantu sekitar 13% dan yang ketiga atau dua agen pada waktu bersamaan mungkin memberi tambahan bantuan sebanyak 4%.[63] Sekitar 30% dari penderita tetap mengalami kejang walaupun sudah mendapatkan penanganan dengan antikonvulsan.[5]

Terdapat berbagai pengobatan yang tersedia. Fenitoin, carbamazepin dan valproat tampaknya memberikan pengaruh yang sama pada kejang fokal dan yang umum.[64][65] Pelepasan terkontrol dari carbamazepin juga tampaknya bekerja dengan baik sebagaimana pelepasan langsung carbamazepin, dan mungkin hanya memberikan sedikit efek samping.[66] Di Inggris, carbamazepin atau lamotrigin direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk kejang fokal, dengan levetirasetam dan valproat sebagai lini kedua atas pertimbangan masalah biaya dan efek sampingnya.[46] Valproat direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk kejang secara umum dengan lamotrigin sebagai pengobatan lini kedua.[46] Pada penderita yang tidak disertai kejang, direkomendasikan penggunaan etosuksimid atau valproat; valproat pada umumnya efektif untuk kejang mioklonik dan kejang tonik atau atonik.[46] Bila kejang telah terkontrol dengan baik dengan penaganan tertentu, biasanya tidak selalu diperlukan pemeriksaan rutin kadar obat dalam darah.[46]

Jenis antikonvulsan yang lebih ekonomis adalah fenobarbital dengan harga sekitar Rp60.000  satu tahun.[10] The World Health Organization (Organisasi Kesehata Dunia) menjadikannya rekomendasi lini pertama di negara berkembang dan sangat umum dipakai di sana.[67][68] Akses untuk mendapatkannya mungkin sulit karena sejumlah negara menggolongkannya sebagai obat dengan pengontrolan.[10]

Efek simpang dari obat ini ini dilaporkan pada 10 hingga 90% penderita, tergantung pada cara dan sumber data yang dikumpulkan.[69] Kebanyakan efek yang merugikan berhubungan dengan tingkat dosis yang diberikan dan sifatnya ringan.[69] Beberapa contoh di antaranya termasuk perubahan suasana hati, rasa mengantuk, atau cara berjalan yang tidak stabil.[69] Sejumlah obat memberikan efek samping yang tidak berhubungan dengan dosis seperti misalnya ruam, keracunan hati, atau penekanan sumsum tulang.[69] Hingga seperempat penderita menghentikan pengobatan karena efek merugikan ini.[69] Sejumlah pengobatan dihubungkan dengan terjadinya cacat lahir bila digunakan pada saat hamil.[46] Valproat juga dikhawatirkan seperti ini, terutama selama trimester pertama.[70] Walaupun demikian, pengobatan dilanjutkan ketika sudah memberikan respon efektif, karena risiko epilepsi yang tidak ditangani dengan baik akan lebih berbahaya dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan dari pengobatan itu sendiri.[70]

Menghentikan pengobatan secara perlahan dapat dilakukan pada penderita yang tidak mengalami kejang selama dua hingga empat tahun, namun demikian, sepertiga dari penderita mengalami kejang kembali, pada umumnya selama enam bulan pertama.[46][71] Penghentian pengobatan dimungkinkan pada kurang lebih 70% anak-anak dan 60% dewasa.[3]

Bedah epilepsi bisa menjadi pilihan bagi mereka yang menderita kejang fokal yang tak kunjung membaik setelah ditempuhnya penanganan-penanganan lain.[72] Penanganan lain tersebut mencakup paling tidak uji satu atau dua jenis pengobatan.[73] Sasaran bedah adalah kendali tuntas atas kejang yang dialami oleh pasien[74] dan ini bisa berhasil terlaksana dalam 60-70% kasus.[73] Prosedur-prosedur yang lazim ditempuh meliputi: pemotongan hipokampus lewat reseksi lobus temporal anterior, pengangkatan tumor, dan pengangkatan sebagian neokorteks.[73] Beberapa prosedur seperti kalosotomi korpus dilakukan dalam upaya mengurangi jumlah kejang alih-alih menyembuhkan kondisi si pasien.[73] Setelah bedah, pengobatan sering kali bisa dikurangi secara perlahan.[73]

Stimulasi saraf bisa menjadi pilihan alternatif bagi pasien yang tidak bisa menjalani pembedahan.[46] Ada tiga jenis yang telah terbukti efektif pada pasien yang tidak menunjukkan respons terhadap pengobatan:stimulasi saraf vagus, stimulasi talamik anterior, dan stimulasi responsif gelung tertutup.[75]

Suatu diet ketogenik (tinggi lemak, rendah karbohidrat, cukup protein) tampaknya bisa mengurangi jumlah kejang hingga setengahnya pada kira-kira 30-40% pasien anak.[76] Sekitar 10% berhasil menjalani diet tersebut selama beberapa tahun, 30% mengalami konstipasi, dan efek simpang lainnya merupakan efek yang umum terjadi.[76] Diet yang tidak sekeras itu lebih mudah ditoleransi dan bisa jadi juga efektif.[76] Belum jelas mengapa diet tersebut manjur.[77] Kegiatan olahraga telah diajukan sebagai sesuatu yang mungkin bisa bermanfaat dalam mencegah terjadinya kejang [78] dan pernyataan tersebut didukung oleh sejumlah data.[79]

Terapi penghindaran merupakan usaha untuk meminimalkan atau menghilangkan pemicu-pemicu. Contohnya, pada penderita yang peka terhadap cahaya ada baiknya untuk menggunakan televisi berlayar kecil, menghindari permainan video, atau memakai kacamata gelap.[80] Ada yang berpendapat bahwa anjing penanggap kejang, sejenis anjing pelayan, dapat memprediksi kejang. Akan tetapi, bukti yang mendukung hal ini belum memadai.[81] Umpan balik ragawi berbasis operan berdasarkan gelombang-gelombang EEG menunjukkan sejumlah kemanjuran pada penderita yang tidak merespons terhadap pengobatan.[82] Akan tetapi, metode psikologis tidak boleh dijadikan pengganti pengobatan.[46]

Pengobatan alternatif

[sunting | sunting sumber]

Pengobatan alternatif, termasuk akupunktur,[83] intervensi psikologis,[84] vitamin,[85] dan yoga,[86] tidak memiliki bukti yang andal untuk bisa mendukung penerapannya dalam epilepsi. Pemakaian kanabis tidak ditopang oleh bukti tersebut.[87] Melatonin tidak didukung oleh bukti yang cukup.[88]

Prognosis

[sunting | sunting sumber]
Tahun hidup tuna upaya untuk epilepsi per 100.000 penduduk pada 2004.
  no data
  <50
  50-72.5
  72.5-95
  95-117.5
  117.5-140
  140-162.5
  162.5-185
  185-207.5
  207.5-230
  230-252.5
  252.5-275
  >275

Epilepsi tidak dapat disembuhkan, tetapi pengobatan semata bisa secara efektif mengendalikan kejang pada sekitar 70% kasus.[5] Pada penderita kejang umum lebih dari 80% bisa dikendalikan secara baik dengan pengobatan, tetapi pada penderita kejang fokal persentase tersebut hanya mencapai 50%.[75] Salah satu prediktor hasil jangka panjang ialah jumlah kejang yang terjadi dalam enam bulan pertama.[15] Faktor lain yang meningkatkan risiko hasil yang buruk ialah: respons yang rendah terhadap penanganan awal, kejang umum, riwayat epilepsi dalam keluarga, masalah psikiatrik, dan gelombang-gelombang pada EEG yang mewakili aktivitas epileptiformik umum.[89] Di dunia berkembang, 75% penderita tidak ditangani atau mendapatkan penanganan yang kurang sesuai.[3] Di Afrika, 90% tidak mendapat penanganan.[3] Hal ini sebagian dikarenakan pengobatan yang sesuai tidak tersedia atau berbiaya terlalu tinggi.[3]

Mortalitas

[sunting | sunting sumber]

Penderita epilepsi memiliki risiko kematian lebih tinggi.[90] Peningkatan risiko ini berkisar 1,6 sampai 4,1 kali lebih tinggi daripada penduduk biasa[91] dan sering kali berkaitan dengan: penyebab dasar kejang, status epileptikus, bunuh diri, trauma, dan kematian tak-diharapkan dalam epilepsi (SUDEP).[90] Kematian akibat status epileptikus terutama disebabkan oleh suatu masalah yang mendasari alih-alih terlewatinya dosis pengobatan.[90] Risiko bunuh diri meningkat dua sampai enam kali pada penderita epilepsi.[92][93] Penyebab hal ini belum diketahui secara pasti.[92] SUDEP tampaknya sebagian berkaitan dengan frekuensi kejang tonik-klonik umum[94] dan menjadi penyebab dari kurang lebih 15% kematian terkait epilepsi.[89] Cara menurunkan risiko ini belum diketahui secara pasti.[94] Peningkatan mortalitas tertinggi akibat epilepsi terjadi di kalangan lansia.[91] Mereka yang menderita epilepsi karena sebab yang tidak diketahui hanya mengalami kenaikan risiko yang kecil.[91] Di Inggris diperkirakan 40-60% kematian kemungkinan bisa dicegah.[15] Di dunia berkembang, banyak kasus kematian diakibatkan oleh epilepsi yang tidak ditangani yang lantas berujung dengan jatuhnya penderita atau status epileptikus.[10]

Epidemiologi

[sunting | sunting sumber]

Epilepsi merupakan salah satu gangguan saraf serius yang paling umum terjadi[95] yang mempengaruhi sekitar 65 juta orang di seluruh dunia.[6] Ia mempengaruhi 1% penduduk pada usia 20 tahun dan 3% penduduk pada usia 75 tahun.[8] Ia lebih jamak terjadi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi secara menyeluruh selisihnya cukup kecil.[10][36] Sebagian besar penderita (80%) tinggal di dunia berkembang.[3]

Angka penderita epilepsi aktif saat ini berkisar pada 5–10 per 1.000; epilepsi aktif diartikan sebagai penderita epilepsi yang pernah mengalami kejang paling tidak satu kali dalam lima tahun terakhir.[36][96] Epilepsi berawal setiap tahun dalam 40–70 per 100.000 di negara maju dan 80–140 per 100.000 di negara berkembang.[3] Kemiskinan merupakan sebuah risiko dan mencakup baik bertempat asal dari sebuah negara yang miskin maupun berstatus sebagai orang miskin relatif terhadap orang lain di dalam negara yang sama.[10] Di negara maju, epilepsi paling umum bermula pada orang muda atau orang lansia.[10] Di negara berkembang, awal epilepsi lebih umum terjadi pada anak-anak yang berusia lebih tua dan pada orang dewasa muda karena lebih tingginya angka trauma dan penyakit menular.[10] Di negara maju, jumlah kasus per tahun telah mengalami penurunan pada anak-anak dan peningkatan pada orang lansia antara tahun 1970-an dan 2003.[96] Hal ini sebagian disumbang oleh kesintasan pasca-stroke yang lebih baik pada orang lansia.[36]

Rekam medis tertua menunjukkan bahwa epilepsi telah mempengaruhi manusia semenjak awal mula sejarah tertulis.[97] Sepanjang sejarah kuno, gangguan tersebut diduga sebagai kondisi kerohanian.[97] Deskripsi mengenai kejang epilepsi yang tertua di dunia tercantum pada naskah dalam Akkadia (suatu bahasa yang dipakai di Mesopotamia kuno) yang ditulis sekitar 2000 SM.[1] Orang yang dideskripsikan dalam naskah tersebut didiagnosis berada dalam pengaruh dewa Bulan, dan oleh karena itu diselenggarakanlah upacara eksorsis(pengusiran roh jahat).[1] Dalam Hukum Hammurabi (sekitar 1790 SM), kejang epilepsi disebut sebagai alasan sah seorang budak belian boleh dikembalikan dengan ganti rugi,[1] lalu Papirus Edwin Smith (sekitar 1700 SM) mendeskripsikan kasus-kasus penderita konvulsi epilepsi.[1]

Catatan terperinci tertua yang diketahui mengenai gangguan itu sendiri tercantum dalam Sakikku, suatu naskah medis kuneiformis Babylonia yang berasal dari zaman 1067–1046 SM.[97] Naskah tersebut menyebut tanda-tanda dan gejala-gejala, penanganan rinci dan kemungkinan hasil yang diperoleh,[1] dan mendeskripsikan banyak ciri dari berbagai jenis kejang.[97] Karena orang Babylonia tidak mempunyai pemahaman biomedis mengenai sifat penyakit ini, mereka pun mempersalahkan roh-roh jahat sebagai penyebab terjadinya kejang dan berupaya menangani kondisi tersebut dengan cara-cara kerohanian.[97] Sekitar 900 SM, Punarvasu Atreya mendeskripsikan epilepsi sebagai kondisi hilang kesadaran;[98] definisi tersebut dipakai dalam naskah Ayurveda Charaka Samhita (sekitar 400 SM).[99]

Hippocrates, ukiran abad ke-17 oleh Peter Paul Rubens suatu patung dada antik.

Bangsa Yunani kuno mempunyai pandangan kontradiktif tentang penyakit ini. Mereka menganggap epilepsi sebagai suatu bentuk kerasukan spiritual, tetapi juga mengaitkan kondisi ini dengan kejeniusan dan keilahian. Salah satu julukan yang diberikan pada penyakit ini adalah penyakit keramat. Epilepsi muncul dalam mitologi Yunani: dikaitkan dengan dewi Bulan Selene dan Artemis, yang menyerang orang yang mengganggu mereka. Bangsa Yunani menduga tokoh-tokoh penting seperti Julius Caesar dan Hercules menderita penyakit ini.[1] Perkecualian yang patut dicatat terhadap pandangan spiritual dan ilahi ini adalah dari kelompok Hippocrates. Dalam abad kelima SM, Hippocrates menolak pemikiran bahwa penyakit ini disebabkan oleh roh. Dalam karya monumentalnya On the Sacred Disease, dia mengusulkan bahwa epilepsi bukan berasal dari ilahi melainkan masalah otak yang dapat dirawat secara medis.[1][97] Dia menuduh orang-orang yang menghubungkan penyebab keramat terhadap penyakit ini menyebarkan kebodohan dengan mempercayai tahyul.[1] Hippocrates mengajukan bahwa keturunan merupakan sebab penting, menjelaskan hasil yang lebih buruk jika penyakit ini muncul pada usia muda, dan membuat catatan tentang karakteristik fisik serta rasa malu secara sosial yang terkait dengan penyakit ini.[1] Daripada menyebutnya sebagai penyakit keramat, dia menggunakan istilah penyakit hebat, mengawali bangkitnya istilah moderngrand mal, yang digunakan untuk epilepsi tergeneralisasi.[1] Walaupun karyanya merinci asal-usul fisik penyakit ini, pandangannya tidak diterima pada masa itu.[97] Roh jahat tetap disalahkan hingga setidaknya pada abad ke-17.[97]

Pada banyak kebudayaan, penderita epilepsi telah distigmatisasi, dijauhkan, bahkan dipenjarakan; dalam Salpêtrière, tanah kelahiran neurologi (ilmu saraf) modern, Jean-Martin Charcot menemukan penderita epilepsi ditempatkan bersama penderita sakit jiwa, yang menderita sifilis kronis, dan gila secara kriminal.[100] Pada masa Roma kuno, epilepsi dikenal sebagai Morbus Comitialis ('penyakit aula pertemuan') dan dianggap sebagai kutukan para dewa. Di Italia bagian Utara, epilepsi secara tradisional pernah dikenal sebagai penyakit Santo Valentine.[101]

Pada pertengahan 1800-an obat anti-kejang efektif yang pertama, bromida, diperkenalkan.[69] Perawatan modern pertama, fenobarbital, dikembangkan pada 1912, dengan fenitoin mulai digunakan pada 1938.[102]

Masyarakat dan budaya

[sunting | sunting sumber]

Stigma umum dialami oleh penderita epilepsi di seluruh dunia.[103] Hal ini dapat mempengaruhi orang secara ekonomi, sosial, dan budaya.[103] Di India dan Cina, epilepsi dapat digunakan sebagai penentu untuk menolak pernikahan.[3] Orang-orang di daerah tertentu masih percaya bahwa penderita epilepsi itu terkutuk.[10] Di Tanzania, seperti di bagian lain Afrika, epilepsi dihubungkan dengan kerasukan roh jahat, tenung, atau keracunan serta oleh banyak orang dipercayai dapat menular,[100] yang tidak ada buktinya.[10] Sebelum 1970 di Britania Raya ada hukum yang melarang penderita epilepsi untuk menikah.[3] Stigma yang ada dapat membuat penderita epilepsi menyangkal jika mereka pernah mengalami kejang.[36]

Kejang menyebabkan biaya ekonomi secara langsung sebesar sekitar satu miliar dolar di Amerika Serikat.[11] Epilepsi menimbulkan biaya ekonomi di Eropa sekitar 15,5 miliar Euro pada tahun 2004.[15] Di India biaya karena epilepsi diperkirakan mencapai sekitar USD 1,7 miliar atau 0,5% dari GDP.[3] Itu disebabkan oleh sekitar 1% kunjungan bagian darurat (2% untuk bagian darurat anak) di Amerika Serikat.[104]

Kendaraan

[sunting | sunting sumber]

Penderita epilepsi memiliki risiko dua kali lebih besar untuk terlibat dalam tabrakan kendaraan bermotor sehingga di berbagai belahan dunia mereka dilarang mengemudi atau hanya diizinkan untuk mengemudi jika beberapa syarat terpenuhi.[13] Di beberapa tempat, dokter diwajibkan oleh hukum untuk melaporkan ke badan penerbit izin jika seseorang menderita kejang sedangkan di tempat lain dokter diminta untuk menganjurkan yang bersangkutan untuk melaporkan sendiri kondisinya.[13] Negara yang mewajibkan dokter untuk melaporkan termasuk: Swedia, Austria, Denmark, dan Spanyol.[13] Negara yang mewajibkan penderitanya untuk melaporkan termasuk: Britania Raya, dan Selandia Baru dan dokter dapat melaporkan jika menganggap yang bersangkutan belum melaporkannya.[13] Di Kanada, Amerika Serikat, dan Australia persyaratan untuk melaporkan berbeda-beda tergantung provinsi atau negara bagiannya.[13] Jika kejangnya terkontrol dengan baik pada umumnya orang merasa cukup beralasan untuk diizinkan mengemudi.[105] Jumlah waktu bebas kejang untuk orang tertentu yang dipersyaratkan sebelum mereka diizinkan mengemudi berbeda tergantung negaranya.[105] Banyak negara yang mempersyaratkan satu atau tiga tahun tanpa kejang.[105] Di Amerika Serikat waktu tanpa kejang yang dibutuhkan bergantung pada negara bagiannya dan berkisar antara tiga bulan hingga satu tahun.[105]

Para penderita epilepsi atau kejang biasanya ditolak untuk mendapatkan izin pilot.[106] Di Kanada jika seseorang pernah mengalami tidak lebih dari satu kali kejang, mereka dapat dipertimbangkan setelah lima tahun untuk mendapatkan izin terbatas jika semua tes lainnya normal.[107] Para penderita konvulsi dan kejang yang berhubungan dengan obat dapat pula dipertimbangkan.[107] Di Amerika Serikat, Federal Aviation Administration tidak mengizinkan penderita epilepsi mendapatkan izin pilot komersial.[108] Jarang dijumpai, pengecualian dapat diberikan kepada orang yang pernah kejang terisolasi atau konvulsi dan tetap bebas kejang hingga memasuki usia dewasa tanpa pengobatan.[109] Di Britania Raya, izin pilot pribadi nasional penuh membutuhkan standar yang sama seperti izin pengemudi profesional.[110] Ini mempersyaratkan sepuluh tahun bebas kejang tanpa pengobatan.[111] Bagi yang tidak memenuhi persyaratan ini bisa mendapatkan izin terbatas jika sudah bebas dari kejang selama lima tahun.[110]

Organisasi pendukung

[sunting | sunting sumber]

Terdapat sejumlah organisasi nirlaba yang menyediakan dukungan bagi orang dan keluarga yang terdampak oleh epilepsi. Di Britania Raya ini termasuk Dewan Epilepsi Gabungan dari Britania Raya dan Irlandia.[46] Purple day dibentuk pada tahun 2008 untuk meningkatkan kesadaran mengenai epilepsi dan muncul pada 28 Maret.[112] Usaha lain untuk meningkatkan pengetahuan termasuk kampanye "Out of the Shadows", usaha gabungan yang diadakan oleh World Health Organization, International League Against Epilepsy, dan International Bureau for Epilepsy.[3]

Penelitian

[sunting | sunting sumber]

Prediksi kejang merujuk pada usaha untuk memperkirakan kejang epileptik berdasarkan EEG sebelum hal itu terjadi.[113] Pada 2011, belum ada pengembangan mekanisme efektif untuk meramalkan kejang.[113] Kindling, yaitu paparan berulang terhadap kejadian yang dapat menyebabkan kejang pada akhirnya membuat kejang timbul lebih mudah, telah digunakan untuk menciptakan model binatang dari epilepsi.[114]

Terapi gen telah dipelajari pada jenis epilepsi tertentu.[115] Pengobatan yang mengubah fungsi kekebalan tubuh, seperti immunoglobulin intravena, kurang didukung dengan bukti.[116] Bedah radio stereotaktik non-invasif, pada 2012, saat ini tengah diperbandingkan dengan pembedahan standar untuk jenis epilepsi tertentu.[117]

Binatang lain

[sunting | sunting sumber]

Epilepsi terjadi pada sejumlah binatang lain termasuk anjing dan kucing serta merupakan kelainan otak yang paling umum dijumpai pada anjing.[118] Kelainan ini biasanya dirawat dengan antikonvulsan seperti fenobarbital atau bromida pada anjing dan fenobarbital pada kucing.[119] Sementara diagnosis kejang tergeneralisasi pada kuda cukup mudah ditegakkan, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis kejang yang tidak tergeneralisasi dan EEG mungkin dapat membantu.[120]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k Magiorkinis E, Kalliopi S, Diamantis A (January 2010). "Hallmarks in the history of epilepsy: epilepsy in antiquity". Epilepsy & behavior : E&B. 17 (1): 103–108. doi:10.1016/j.yebeh.2009.10.023. PMID 19963440. 
  2. ^ a b Chang BS, Lowenstein DH (2003). "Epilepsi". N. Engl. J. Med. 349 (13): 1257–66. doi:10.1056/NEJMra022308. PMID 14507951. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s "Epilepsi". Fact Sheets. World Health Organization. October 2012. Diakses tanggal January 24, 2013. 
  4. ^ a b Fisher R, van Emde Boas W, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, Engel J (2005). "Epileptic seizures and epilepsi: definitions proposed by the International League Against Epilepsi (ILAE) and the International Bureau for Epilepsi (IBE)". Epilepsia. 46 (4): 470–2. doi:10.1111/j.0013-9580.2005.66104.x. PMID 15816939. 
  5. ^ a b c Eadie, MJ (December 2012). "Shortcomings in the current treatment of epilepsi". Expert review of neurotherapeutics. 12 (12): 1419–27. doi:10.1586/ern.12.129. PMID 23237349. 
  6. ^ a b c d e f Thurman, DJ (September 2011). "Standards for epidemiologic studies and surveillance of epilepsy". Epilepsia. 52 Suppl 7: 2–26. doi:10.1111/j.1528-1167.2011.03121.x. PMID 21899536. 
  7. ^ Brodie, MJ (November 2009). "Epilepsi in later life". Lancet neurology. 8 (11): 1019–30. doi:10.1016/S1474-4422(09)70240-6. PMID 19800848. 
  8. ^ a b Holmes, Thomas R. Browne, Gregory L. (2008). Handbook of epilepsi (edisi ke-4th). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 7. ISBN 978-0-7817-7397-3. 
  9. ^ Wyllie's treatment of epilepsi : principles and practice (edisi ke-5th). Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins. 2010. ISBN 978-1-58255-937-7. 
  10. ^ a b c d e f g h i j k l Newton, CR (29 September 2012). "Epilepsy in poor regions of the world". Lancet. 380 (9848): 1193–201. doi:10.1016/S0140-6736(12)61381-6. PMID 23021288. 
  11. ^ a b c d e f Wilden, JA (15 August 2012). "Evaluation of first nonfebrile seizures". American family physician. 86 (4): 334–40. PMID 22963022. 
  12. ^ Berg, AT (2008). "Risk of recurrence after a first unprovoked seizure". Epilepsia. 49 Suppl 1: 13–8. doi:10.1111/j.1528-1167.2008.01444.x. PMID 18184149. 
  13. ^ a b c d e f L Devlin, A (December 2012). "Epilepsy and driving: current status of research". Epilepsy research. 102 (3): 135–52. doi:10.1016/j.eplepsyres.2012.08.003. PMID 22981339. 
  14. ^ a b Duncan, JS (1 April 2006). "Adult epilepsi" (PDF). Lancet. 367 (9516): 1087–100. doi:10.1016/S0140-6736(06)68477-8. PMID 16581409.  [pranala nonaktif permanen]
  15. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v National Institute for Health and Clinical Excellence (January 2012). "Chapter 1: Introduction". The Epilepsies: The diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care (PDF). National Clinical Guideline Centre. hlm. 21–28. 
  16. ^ a b c d e f g h i j k l m Hammer, edited by Stephen J. McPhee, Gary D. (2010). "7". Pathophysiology of disease : an introduction to clinical medicine (edisi ke-6th ed.). New York: McGraw-Hill Medical. ISBN 978-0-07-162167-0. 
  17. ^ Hughes, JR (August 2009). "Absence seizures: a review of recent reports with new concepts". Epilepsi & behavior : E&B. 15 (4): 404–12. doi:10.1016/j.yebeh.2009.06.007. PMID 19632158. 
  18. ^ a b c d Shearer, Peter. "Seizures and Status Epilepticus: Diagnosis and Management in the Emergency Department". Emergency Medicine Practice. 
  19. ^ a b c d Bradley, Walter G. (2012). "67". Bradley's neurology in clinical practice (edisi ke-6th ed.). Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders. ISBN 978-1-4377-0434-1. 
  20. ^ a b c d e f g h i j k l National Institute for Health and Clinical Excellence (January 2012). "Chapter 9: Classification of seizures and epilepsy syndromes". The Epilepsies: The diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care (PDF). National Clinical Guideline Centre. hlm. 119–129. 
  21. ^ a b c Engel, Jerome (2008). Epilepsi : a comprehensive textbook (edisi ke-2nd ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 2797. ISBN 978-0-7817-5777-5. 
  22. ^ a b Simon, David A. Greenberg, Michael J. Aminoff, Roger P. (2012). "12". Clinical neurology (edisi ke-8th ed.). New York: McGraw-Hill Medical. ISBN 978-0-07-175905-2. 
  23. ^ a b Steven C. Schachter, ed. (2008). Behavioral aspects of epilepsi : principles and practice (edisi ke-[Online-Ausg.].). New York: Demos. hlm. 125. ISBN 978-1-933864-04-4. 
  24. ^ Xue, LY (March 2006). "Reflex seizures and reflex epilepsi". American journal of electroneurodiagnostic technology. 46 (1): 39–48. PMID 16605171. 
  25. ^ Malow, BA (November 2005). "Sleep and epilepsi". Neurologic Clinics. 23 (4): 1127–47. doi:10.1016/j.ncl.2005.07.002. PMID 16243619. 
  26. ^ Tinuper, P (August 2007). "Movement disorders in sleep: guidelines for differentiating epileptic from non-epileptic motor phenomena arising from sleep". Sleep medicine reviews. 11 (4): 255–67. doi:10.1016/j.smrv.2007.01.001. PMID 17379548. 
  27. ^ Holmes, Thomas R. (2008). Handbook of epilepsi (edisi ke-4th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 34. ISBN 978-0-7817-7397-3. 
  28. ^ a b c Panayiotopoulos, CP (2010). A clinical guide to epileptic syndromes and their treatment based on the ILAE classifications and practice parameter guidelines (edisi ke-Rev. 2nd ed.). [London]: Springer. hlm. 445. ISBN 978-1-84628-644-5. 
  29. ^ James W. Wheless, ed. (2009). Advanced therapy in epilepsi. Shelton, Conn.: People's Medical Pub. House. hlm. 443. ISBN 978-1-60795-004-2. 
  30. ^ Larner, Andrew J. (2010). A dictionary of neurological signs (edisi ke-3rd ed.). New York: Springer. hlm. 348. ISBN 978-1-4419-7095-4. 
  31. ^ Stefan, Hermann (2012). Epilepsi Part I: Basic Principles and Diagnosis E-Book: Handbook of Clinical Neurology (edisi ke-Volume 107 of Handbook of Clinical Neurology). Newnes. hlm. 471. ISBN 978-0-444-53505-4. 
  32. ^ Plioplys S, Dunn DW, Caplan R (2007). "10-year research update review: psychiatric problems in children with epilepsi". J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 46 (11): 1389–402. doi:10.1097/chi.0b013e31815597fc. PMID 18049289. 
  33. ^ Reilly CJ (May–June 2011). "Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) in Childhood Epilepsi". Research in Developmental Disabilities: A Multidisciplinary Journal. 32 (3): 883–93. doi:10.1016/j.ridd.2011.01.019. PMID 21310586. 
  34. ^ Levisohn PM (2007). "The autism-epilepsi connection". Epilepsia. 48 (Suppl 9): 33–5. doi:10.1111/j.1528-1167.2007.01399.x. PMID 18047599. 
  35. ^ Berg, AT (April 2010). "Revised terminology and concepts for organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on Classification and Terminology, 2005–2009". Epilepsia. 51 (4): 676–85. doi:10.1111/j.1528-1167.2010.02522.x. PMID 20196795. 
  36. ^ a b c d e f g Neligan, A (2012). "The epidemiology of the epilepsies". Handbook of clinical neurology. 107: 113–33. doi:10.1016/B978-0-444-52898-8.00006-9. PMID 22938966. 
  37. ^ a b c d e f Pandolfo, M. (Nov 2011). "Genetics of epilepsy". Semin Neurol. 31 (5): 506–18. doi:10.1055/s-0031-1299789. PMID 22266888. 
  38. ^ Dhavendra Kumar, ed. (2008). Genomics and clinical medicine. Oxford: Oxford University Press. hlm. 279. ISBN 978-0-19-972005-7. 
  39. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Bhalla, D.; Godet, B.; Druet-Cabanac, M.; Preux, PM. (Jun 2011). "Etiologies of epilepsy: a comprehensive review". Expert Rev Neurother. 11 (6): 861–76. doi:10.1586/ern.11.51. PMID 21651333. 
  40. ^ Simon D. Shorvon (2011). The Causes of Epilepsy: Common and Uncommon Causes in Adults and Children. Cambridge University Press. hlm. 467. ISBN 978-1-139-49578-3. 
  41. ^ Sellner, J (2012 Oct). "Seizures and epilepsy in herpes simplex virus encephalitis: current concepts and future directions of pathogenesis and management". Journal of neurology. 259 (10): 2019–30. doi:10.1007/s00415-012-6494-6. PMID 22527234. 
  42. ^ Somjen, George G. (2004). Ions in the Brain Normal Function, Seizures, and Stroke. New York: Oxford University Press. hlm. 167. ISBN 978-0-19-803459-9. 
  43. ^ a b Goldberg, EM (May 2013). "Mechanisms of epileptogenesis: a convergence on neural circuit dysfunction". Nature reviews. Neuroscience. 14 (5): 337–49. doi:10.1038/nrn3482. PMID 23595016. 
  44. ^ Oby, E (November 2006). "The blood-brain barrier and epilepsy". Epilepsia. 47 (11): 1761–74. doi:10.1111/j.1528-1167.2006.00817.x. PMID 17116015. 
  45. ^ a b Jerome Engel, Jr., Timothy A. Pedley, ed. (2008). Epilepsy : a comprehensive textbook (edisi ke-2nd ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 483. ISBN 978-0-7817-5777-5. 
  46. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa National Institute for Health and Clinical Excellence (January 2012). "Chapter 4: Guidance". The Epilepsies: The diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care (PDF). National Clinical Guideline Centre. hlm. 57–83. 
  47. ^ "Global Campaign against Epilepsy: Out of the Shadows". WHO. Diakses tanggal 6 January 2014. 
  48. ^ Robert S. Fisher, Walter van Emde Boas, Warren Blume, Christian Elger, Pierre Genton, Phillip Lee & Jerome Jr Engel (April 2005). "Epileptic seizures and epilepsy: definitions proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE)". Epilepsia. 46 (4): 470–472. doi:10.1111/j.0013-9580.2005.66104.x. PMID 15816939. 
  49. ^ Panayiotopoulos, CP (December 2011). "The new ILAE report on terminology and concepts for organization of epileptic seizures: a clinician's critical view and contribution". Epilepsia. 52 (12): 2155–60. doi:10.1111/j.1528-1167.2011.03288.x. PMID 22004554. 
  50. ^ Simon D. Shorvon (2004). The treatment of epilepsy (edisi ke-2nd). Malden, Mass.: Blackwell Pub. ISBN 978-0-632-06046-7. 
  51. ^ Wallace, ed. by Sheila J. (2004). Epilepsy in children (edisi ke-2nd ed). London: Arnold. hlm. 354. ISBN 978-0-340-80814-6. 
  52. ^ Luef, G (October 2010). "Hormonal alterations following seizures". Epilepsy & behavior : E&B. 19 (2): 131–3. doi:10.1016/j.yebeh.2010.06.026. PMID 20696621. 
  53. ^ a b Ahmad S, Beckett MW (2004). "Value of serum prolactin in the management of syncope". Emergency medicine journal : EMJ. 21 (2): e3. doi:10.1136/emj.2003.008870. PMC 1726305alt=Dapat diakses gratis. PMID 14988379. 
  54. ^ Shukla G, Bhatia M, Vivekanandhan S; et al. (2004). "Serum prolactin levels for differentiation of nonepileptic versus true seizures: limited utility". Epilepsy & behavior : E&B. 5 (4): 517–21. doi:10.1016/j.yebeh.2004.03.004. PMID 15256189. 
  55. ^ Chen DK, So YT, Fisher RS (2005). "Use of serum prolactin in diagnosing epileptic seizures: report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology". Neurology. 65 (5): 668–75. doi:10.1212/01.wnl.0000178391.96957.d0. PMID 16157897. 
  56. ^ Brodtkorb, E (2013). "Common imitators of epilepsy". Acta neurologica Scandinavica. Supplementum (196): 5–10. doi:10.1111/ane.12043. PMID 23190285. 
  57. ^ a b c John A. Marx, ed. (2010). Rosen's emergency medicine : concepts and clinical practice (edisi ke-7th ed.). Philadelphia: Mosby/Elsevier. hlm. 2228. ISBN 978-0-323-05472-0. 
  58. ^ a b Jerome, Engel (2013). Seizures and epilepsy (edisi ke-2nd ed.). New York: Oxford University Press. hlm. 462. ISBN 9780195328547. 
  59. ^ a b c d Michael, GE.; O'Connor, RE. (Feb 2011). "The diagnosis and management of seizures and status epilepticus in the prehospital setting". Emerg Med Clin North Am. 29 (1): 29–39. doi:10.1016/j.emc.2010.08.003. PMID 21109100. 
  60. ^ James W. Wheless, James Willmore, Roger A. Brumback (2009). Advanced therapy in epilepsy. Shelton, Conn.: People's Medical Pub. House. hlm. 144. ISBN 9781607950042. 
  61. ^ a b c National Institute for Health and Clinical Excellence (January 2012). "Chapter 3: Key priorities for implementation". The Epilepsies: The diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care (PDF). National Clinical Guideline Centre. hlm. 55–56. 
  62. ^ Elaine Wyllie (2012). Wyllie's Treatment of Epilepsy: Principles and Practice. Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 187. ISBN 978-1-4511-5348-4. 
  63. ^ Steven R. Flanagan, Herb Zaretsky, Alex Moroz,, ed. (2010). Medical aspects of disability; a handbook for the rehabilitation professional (edisi ke-4th ed.). New York: Springer. hlm. 182. ISBN 978-0-8261-2784-6. 
  64. ^ Nolan, SJ (23 August 2013). "Phenytoin versus valproate monotherapy for partial onset seizures and generalised onset tonic-clonic seizures". The Cochrane database of systematic reviews. 8: CD001769. doi:10.1002/14651858.CD001769.pub2. PMID 23970302. 
  65. ^ Tudur Smith, C (2002). "Carbamazepine versus phenytoin monotherapy for epilepsy". The Cochrane database of systematic reviews (2): CD001911. doi:10.1002/14651858.CD001911. PMID 12076427. 
  66. ^ Powell, G (20 January 2010). "Immediate-release versus controlled-release carbamazepine in the treatment of epilepsy". The Cochrane database of systematic reviews (1): CD007124. doi:10.1002/14651858.CD007124.pub2. PMID 20091617. 
  67. ^ Ilangaratne, NB (2012 Dec 1). "Phenobarbital: missing in action". Bulletin of the World Health Organization. 90 (12): 871–871A. doi:10.2471/BLT.12.113183. PMID 23284189. 
  68. ^ Moshé, edited by Simon Shorvon, Emilio Perucca, Jerome Engel Jr. ; foreword by Solomon (2009). The treatment of epilepsy (edisi ke-3rd ed.). Chichester, UK: Wiley-Blackwell. hlm. 587. ISBN 9781444316674. 
  69. ^ a b c d e f Perucca, P (September 2012). "Adverse effects of antiepileptic drugs". Lancet neurology. 11 (9): 792–802. doi:10.1016/S1474-4422(12)70153-9. PMID 22832500. 
  70. ^ a b Kamyar, M.; Varner, M. (Jun 2013). "Epilepsy in pregnancy". Clin Obstet Gynecol. 56 (2): 330–41. doi:10.1097/GRF.0b013e31828f2436. PMID 23563876. 
  71. ^ Lawrence S. Neinstein, ed. (2008). Adolescent health care : a practical guide (edisi ke-5th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 335. ISBN 978-0-7817-9256-1. 
  72. ^ Duncan, JS (1 April 2006). "Adult epilepsy". Lancet. 367 (9516): 1087–100. doi:10.1016/S0140-6736(06)68477-8. PMID 16581409. 
  73. ^ a b c d e Duncan, JS (April 2007). "Epilepsy surgery". Clinical medicine (London, England). 7 (2): 137–42. PMID 17491501. 
  74. ^ Birbeck GL, Hays RD, Cui X, Vickrey BG. (2002). "Seizure reduction and quality of life improvements in people with epilepsy". Epilepsia. 43 (5): 535–538. doi:10.1046/j.1528-1157.2002.32201.x. PMID 12027916. 
  75. ^ a b Bergey, GK (June 2013). "Neurostimulation in the treatment of epilepsy". Experimental neurology. 244: 87–95. doi:10.1016/j.expneurol.2013.04.004. PMID 23583414. 
  76. ^ a b c Levy, RG (14 March 2012). "Ketogenic diet and other dietary treatments for epilepsy". The Cochrane database of systematic reviews. 3: CD001903. doi:10.1002/14651858.CD001903.pub2. PMID 22419282. 
  77. ^ [editor], Bernard L. Maria (2009). Current management in child neurology (edisi ke-4th ed.). Hamilton, Ont.: BC Decker. hlm. 180. ISBN 978-1-60795-000-4. 
  78. ^ Arida, RM (March 2009). "Is physical activity beneficial for recovery in temporal lobe epilepsy? Evidences from animal studies". Neuroscience and biobehavioral reviews. 33 (3): 422–31. doi:10.1016/j.neubiorev.2008.11.002. PMID 19059282. 
  79. ^ Arida, RM (2008). "Physical activity and epilepsy: proven and predicted benefits". Sports medicine (Auckland, N.Z.). 38 (7): 607–15. PMID 18557661. 
  80. ^ Verrotti, A (November 2005). "Human photosensitivity: from pathophysiology to treatment". European journal of neurology : the official journal of the European Federation of Neurological Societies. 12 (11): 828–41. doi:10.1111/j.1468-1331.2005.01085.x. PMID 16241971. 
  81. ^ Doherty, MJ (23 January 2007). "Wag the dog: skepticism on seizure alert canines". Neurology. 68 (4): 309. doi:10.1212/01.wnl.0000252369.82956.a3. PMID 17242343. 
  82. ^ Tan, G (July 2009). "Meta-analysis of EEG biofeedback in treating epilepsy". Clinical EEG and neuroscience : official journal of the EEG and Clinical Neuroscience Society (ENCS). 40 (3): 173–9. PMID 19715180. 
  83. ^ Cheuk, DK (8 October 2008). "Acupuncture for epilepsy". The Cochrane database of systematic reviews (4): CD005062. doi:10.1002/14651858.CD005062.pub3. PMID 18843676. 
  84. ^ Ramaratnam, S (16 July 2008). "Psychological treatments for epilepsy". The Cochrane database of systematic reviews (3): CD002029. doi:10.1002/14651858.CD002029.pub3. PMID 18646083. 
  85. ^ Ranganathan, LN (18 April 2005). "Vitamins for epilepsy". The Cochrane database of systematic reviews (2): CD004304. doi:10.1002/14651858.CD004304.pub2. PMID 15846704. 
  86. ^ Ramaratnam, S (2000). "Yoga for epilepsy". The Cochrane database of systematic reviews (3): CD001524. doi:10.1002/14651858.CD001524. PMID 10908505. 
  87. ^ Gloss, D (13 June 2012). "Cannabinoids for epilepsy". The Cochrane database of systematic reviews. 6: CD009270. doi:10.1002/14651858.CD009270.pub2. PMID 22696383. 
  88. ^ Brigo, F (13 June 2012). "Melatonin as add-on treatment for epilepsy". The Cochrane database of systematic reviews. 6: CD006967. doi:10.1002/14651858.CD006967.pub2. PMID 22696363. 
  89. ^ a b Kwan, Patrick (2012). Fast facts : epilepsy (edisi ke-5th ed.). Abingdon, Oxford, UK: Health Press. hlm. 10. ISBN 1-908541-12-1. 
  90. ^ a b c Hitiris N, Mohanraj R, Norrie J, Brodie MJ (2007). "Mortality in epilepsy". Epilepsy Behavior. 10 (3): 363–376. doi:10.1016/j.yebeh.2007.01.005. PMID 17337248. 
  91. ^ a b c Moshé, edited by Simon Shorvon, Emilio Perucca, Jerome Engel Jr. ; foreword by Solomon (2009). The treatment of epilepsy (edisi ke-3rd ed.). Chichester, UK: Wiley-Blackwell. hlm. 28. ISBN 978-1-4443-1667-4. 
  92. ^ a b Bagary, M (April 2011). "Epilepsy, antiepileptic drugs and suicidality". Current opinion in neurology. 24 (2): 177–82. doi:10.1097/WCO.0b013e328344533e. PMID 21293270. 
  93. ^ Mula, M (August 2013). "Suicide risk in people with epilepsy taking antiepileptic drugs". Bipolar disorders. 15 (5): 622–7. doi:10.1111/bdi.12091. PMID 23755740. 
  94. ^ a b Ryvlin, P (May 2013). "Prevention of sudden unexpected death in epilepsy: a realistic goal?". Epilepsia. 54 Suppl 2: 23–8. doi:10.1111/epi.12180. PMID 23646967. 
  95. ^ Hirtz D, Thurman DJ, Gwinn-Hardy K, Mohamed M, Chaudhuri AR, Zalutsky R (2007-01-30). "How common are the 'common' neurologic disorders?". Neurology. 68 (5): 326–37. doi:10.1212/01.wnl.0000252807.38124.a3. PMID 17261678. 
  96. ^ a b Sander JW (2003). "The epidemiology of epilepsy revisited". Current Opinion in Neurology. 16 (2): 165–70. doi:10.1097/00019052-200304000-00008. PMID 12644744. 
  97. ^ a b c d e f g h Saraceno, B; Avanzini, G; Lee, P, ed. (2005). Atlas: Epilepsy Care in the World (PDF). World Health Organization. ISBN 92-4-156303-6. Diakses tanggal 20 December 2013. 
  98. ^ Mervyn J. Eadie; Peter F. Bladin (2001). A Disease Once Sacred: A History of the Medical Understanding of Epilepsy. John Libbey Eurotext. ISBN 978-0-86196-607-3. 
  99. ^ "Epilepsy: An historical overview". World Health Organization. Feb 2001. Diakses tanggal 27 December 2013. 
  100. ^ a b Jilek-Aall, L (1999). "Morbus sacer in Africa: some religious aspects of epilepsy in traditional cultures". Epilepsia. 40 (3): 382–6. doi:10.1111/j.1528-1157.1999.tb00723.x. PMID 10080524. 
  101. ^ Illes, Judika (2011-10-11). Encyclopedia of Mystics, Saints & Sages. HarperCollins. hlm. 1238. ISBN 978-0-06-209854-2. Diakses tanggal 26 February 2013. Saint Valentine is invoked for healing as well as love. He protects against fainting and is requested to heal epilepsy and other seizure disorders. In northern Italy, epilepsy was once traditionally known as Saint Valentine's Malady. 
  102. ^ E. Martin Caravati (2004). Medical toxicology (edisi ke-3. ed.). Philadelphia [u.a.]: Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 789. ISBN 978-0-7817-2845-4. 
  103. ^ a b de Boer, HM (Dec 2010). "Epilepsy stigma: moving from a global problem to global solutions". Seizure : the journal of the British Epilepsy Association. 19 (10): 630–6. doi:10.1016/j.seizure.2010.10.017. PMID 21075013. 
  104. ^ Martindale, JL (February 2011). "Emergency department seizure epidemiology". Emergency medicine clinics of North America. 29 (1): 15–27. doi:10.1016/j.emc.2010.08.002. PMID 21109099. 
  105. ^ a b c d Jerome Engel, Jr., Timothy A. Pedley, ed. (2008). Epilepsy : a comprehensive textbook (edisi ke-2nd ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 2279. ISBN 978-0-7817-5777-5. 
  106. ^ Bor, Robert (2012). Aviation Mental Health: Psychological Implications for Air Transportation. Ashgate Publishing. hlm. 148. ISBN 978-1-4094-8491-2. 
  107. ^ a b "Seizure Disorders". Transport Canada. Government of Canada. Diakses tanggal 29 December 2013. 
  108. ^ Wilner, Andrew N. (2008). Epilepsy 199 answers : a doctor responds to his patients' questions (edisi ke-3rd ed.). New York: Demos Health. hlm. 52. ISBN 978-1-934559-96-3. 
  109. ^ "Guide for Aviation Medical Examiners". Federal Aviation Administration. Diakses tanggal 29 December 2013. 
  110. ^ a b "National PPL (NPPL) Medical Requirements". Civil Aviation Authority. Diakses tanggal 29 December 2013. 
  111. ^ Drivers Medical Group (2013). "For Medical Practitioners: At a glance Guide to the current Medical Standards of Fitness to Drive" (PDF). hlm. 8. Diakses tanggal 29 December 2013. 
  112. ^ Canada. Parliament. Senate (2010). Debates of the Senate: Official Report (Hansard)., Issues 1-23. Queen's Printer. hlm. 165. 
  113. ^ a b Carney, PR.; Myers, S.; Geyer, JD. (Dec 2011). "Seizure prediction: methods". Epilepsy Behav. 22 Suppl 1: S94–101. doi:10.1016/j.yebeh.2011.09.001. PMID 22078526. 
  114. ^ Jerome Engel, ed. (2008). Epilepsy : a comprehensive textbook (edisi ke-2nd ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 426. ISBN 9780781757775. 
  115. ^ Walker, MC.; Schorge, S.; Kullmann, DM.; Wykes, RC.; Heeroma, JH.; Mantoan, L. (Sep 2013). "Gene therapy in status epilepticus". Epilepsia. 54 Suppl 6: 43–5. doi:10.1111/epi.12275. PMID 24001071. 
  116. ^ Walker, L (27 June 2013). "Immunomodulatory interventions for focal epilepsy syndromes". The Cochrane database of systematic reviews. 6: CD009945. doi:10.1002/14651858.CD009945.pub2. PMID 23803963. 
  117. ^ Quigg, M (Jan 2012). "Radiosurgery for epilepsy: clinical experience and potential antiepileptic mechanisms". Epilepsia. 53 (1): 7–15. doi:10.1111/j.1528-1167.2011.03339.x. PMID 22191545. 
  118. ^ Thomas, WB (January 2010). "Idiopathic epilepsy in dogs and cats". Veterinary Clinics of North America, Small Animal Practice. 40 (1): 161–79. doi:10.1016/j.cvsm.2009.09.004. PMID 19942062. 
  119. ^ Thomas, WB (2010 Jan). "Idiopathic epilepsy in dogs and cats". The Veterinary clinics of North America. Small animal practice. 40 (1): 161–79. doi:10.1016/j.cvsm.2009.09.004. PMID 19942062. 
  120. ^ van der Ree, M (2012). "A review on epilepsy in the horse and the potential of Ambulatory EEG as a diagnostic tool". The Veterinary quarterly. 32 (3-4): 159–67. doi:10.1080/01652176.2012.744496. PMID 23163553. 

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]