Tari Bines
Tari Bines merupakan tarian tradisional yang berasal dari kabupaten Aceh Tenggara Tarian Bines berkembang di Aceh Tengah kemudian dibawa ke Aceh Timur. Menurut sejarah tarian ini diperkenalkan oleh seorang ulama bernama "Syekh Saman" dari Tanoh Alas dalam rangka berdakwah. Tari ini ditarikan oleh para wanita dengan cara duduk berjajar sambil menyanyikan syair yang berisikan dakwah atau informasi pembangunan. Para penari melakukan gerakan dengan perlahan kemudian berangsur-angsur menjadi cepat dan akhirnya berhenti seketika secara serentak.
Tari ini juga merupakan bagian dari Tari Saman saat penampilannya. Hal yang menarik dari tari Bines adalah beberapa saat mereka diberi uang oleh pemuda dari desa undangan dengan menaruhnya di atas kepala perempuan yang menari.
Tari Bines biasanya di akhir acara akan di adakan pengambilan bunga dari kepala yang dalam istilah Gayo adalah Nuet Tajuk. Waktu pengambilan bunga, penari Bines biasanya diberikan uang sebagai ganti bunganya sebagai harga untuk bunga tersebut.
Sejarah Tari Bines
[sunting | sunting sumber]Menurut sejarahnya, tari Bines bermula dari 3 cerita rakyat yang berkembang di daerah Gayo, antara lain:
1. Cerita Rakyat “Ni Malelang Ode”
[sunting | sunting sumber]Alkisah ada seorang ibu yang mempunyai putri yang sangat disayangi, bernama Ni Malelang Ode. Namun karena telah berbuat zina dengan seorang pemuda di desanya, masyarakat yang merasa malu dengan aib tersebut, memutuskan untuk menghukum mati gadis tersebut. Sang Ibu sangat sedih hatinya dengan keputusan tersebut.
Sebelum dimakamkan, sang ibu menangis meratapi jenasah anaknya sambil meratap memilukan hati bagi siapapun yang mendengarnya. Berkali-kali tangannya menggoyangkan jenasah itu seolah – olah ingin membangunkannya dan sesekali menghentakkan kakinya. Keadaan itu menimbulkan simpati para tetangganya dan mereka berkumpul di dekat jenasah seraya menghibur hati sang ibu. Dari adegan tersebut, dalam tari Bines terdapat syair yang berisi ratapan yang bernuansa sedih serta gerak menghentakkan kaki yang diadopsi dari kejadian itu.
2. Cerita rakyat “Ibu yang kehilangan putra satu-satunya”
[sunting | sunting sumber]Versi asal mula tari Bines lainnya, adalah kisah tentang seorang ibu yang mempunyai 7 anak, 6 perempuan dan 1 laki-laki. Mereka bertujuh saudara sangat akrab dan saling menyayangi. Pada suatu hari putra semata wayang itu meninggal dunia. Begitu cintanya kepada saudara laki-lakinya itu, 6 gadis itu setiap malam secara bersama-sama mengelilingi jenasah sambil menangis meratapi kematiannya. Ratapan mereka terdengar indah meskipun memilukan. Formasi duduk mereka ketika meratap, menjadi formasi dasar tari Bines, yaitu dua di atas kepala, 2 di samping kanan dan 2 di samping kiri.
Situasi itu terlihat oleh seorang ulama penyebar agama Islam di daerah itu, yakni Syekh Abdul Karim. Dengan penuh kearifan dan kelembutan beliau mengingatkan bahwa meratapi orang yang sudah meninggal itu bertentangan dengan ajaran Islam, dan sebaiknya syair ratapan itu akan lebih baik jika diperdengarkan bagi yang hidup. Maka sejak saat itu dalam tari Bines terdapat syair ratapan, dan gerak menelungkup. Namun dalam perkembangannya syair ratapan tersebut mulai ditinggalkan.
3. Cerita Rakyat Tentang ” Gajah Putih ”
[sunting | sunting sumber]Cerita rakyat ketiga yang beredar di tengah masyarakat Gayo sebagai cikal bakal adanya Tari Bines, adalah tentang kisah Gajah Putih.
Alkisah pada suatu hari di alun-alun kerajaan yang diperintah oleh Raja Lingge terlihat ada seekor gajah putih mengamuk mengobrak-abrik bangunan disekitarnya. Tidak ada seorangpun yang mampu menundukkannya. Maka salah seorang putra Raja Lingge yang bernama Sengeda memberanikan diri mohon kepada ayahandanya agar diijinkan menaklukkan amukan gajah itu. Atas ijin sang raja, mulailah dijalankan siasatnya. Sebenarnya Sengeda sudah tahu bahwa Gajah Putih itu adalah jelmaaan Bener Meriah kakak kandungnya yang sudah lama diasingkan karena fitnah teman-temannya.
Semua orang yang semula mengeroyok gajah putih tersebut diminta untuk mundur dan menghentikan serangannya. Sebagai gantinya dibunyikanlah alat-alat musik seperti rebana, canang, dan gong. Sedangkan para ibu membunyikan musik lesung secara serentak. Demi mendengar bunyi tetabuhan itu sang gajah yang semula bersikap garang berangsur-angsur tenang. Selanjutnya Sengeda memerintahkan tiga puluh pemuda membentuk formasi setengah lingkaran mengelilingi gajah sembari bertepuk tangan dengan irama yang beraturan dan melantunkan puji-pujian atas sifat baik Bener Meriah. Dengan gerak perlahan, Sengeda menari dihadapan gajah, sehingga merangsang gajah ikut bergerak maju mundur berirama. Menurut cerita tutur, gerak itulah yang melahirkan tari Bines.
Fungsi dan Makna Tari Bines
[sunting | sunting sumber]Tari Bines secara garis besar mempunyai fungsi, sebagai berikut:
1. Sebagai Sarana Komunikasi
[sunting | sunting sumber]Setiap tari Bines selalu dilantunkan syair yang mengandung pesan yang dikomunikasikan kepada penontonnya.Syair tersebut biasanya berisi ajaran moral, perilaku manusia yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ajaran agama, dan juga ajakan untuk senantiasa hidup rukun dan damai.
2. Sarana Hiburan
[sunting | sunting sumber]Disamping pesan moral, tari Bines juga menampilkan bagian yang bersifat menghibur, bahkan memungkinkan untuk mengajak penonton perempuan untuk ikut bergabung.Bersifat spontanitas dan bebas karena geraknnya mudah diikuti.
3. Sarana Publikasi
[sunting | sunting sumber]Biasanya tari Bines juga menyajikan syair yang menyatakan bahwa tarian ini berasal dari daerah Gayo Lues.Dengan demikian penonton memperoleh informasi tentang dari daerah asal tari Bines ini.
4. Sarana Mediasi
[sunting | sunting sumber]Bahwa perselisihan antar kampung yang terjadi, tidak jarang bisa diredam dengan pementasan bersama tari Binnes ini dengan syair yang menyejukkan kedua belah pihak yang sedang bersengketa. Adanya kesadaran bahwa tari ini merupakan milik sesama orang Gayo Lues yang harus dijaga kelestariannnya, maka sangat dimungkinkan berfungsi juga sebagai perekat.
Pertunjukan Tari Bines
[sunting | sunting sumber]Tari Bines merupakan tradisi berkesenian para perempuan Gayo Lues yang memang tidak diperbolehkan menari Saman yang keras dan dinamis. sebagai gantinya diciptakan tari yang cocok dengan jiwa dan karakter perempuan yang lebih lembut dan anggun. Beberapa unsur yang melekat pada tari Bines dan tidak bisa dipisahkan, yaitu penari, gerak tari, syair, penangkat, dan busana tari. Jumlah penari pada umumnya berjumlah genap bisa 6, 8,10, 12 hingga 16 orang. Mereka membawakan ragam gerak yang sama dan dilakukan secara serempak dari awal hingga akhir. Adapun ragam gerak yang biasa ditampilkan secara garis besar dapat disebutkan di sini, antara lain: Surang saring: dimaksudkan bahwa dari awal hingga akhir tarian ini dibawakan secara serempak dengan ragam gerak yang tidak berbeda antara penari satu dengan yang lain; Alih: gerak tangan yang berubah dari tepuk tangan ke gerak tangan yang lain; Langkah: gerak langkah untuk membentuk pola lantai huruf U dan berbanjar; Tepok: bertepuk tangan ; Kertek: gerakan petik jari.
Busana Penari Bines
[sunting | sunting sumber]Busana tari Bines sejak dahulu sampai sekarang tidak banyak berubah karena terikat dengan pakem.Seperti halnya dengan tarian tradisi pada umumnya busana tari menjadi salah satu bagian yang sangat dipegang teguh agar terjaga “keasliannya”. Dari busana tari yang dikenakan oleh para penari menunjukkan ciri dan identitas daerah yang memudahkan penonton bisa dengan mudah dapat mengenalinya. Untuk itulah biasanya busana tari tradisi yang ada tetap dipertahankan. Adapun busana tari Bines terdiri atas:
Baju Lukup bermotif tabur, atau disebut Baju Tabur; Kain Sarung; Kain Panjang atau Upuh Kerawang dengan dihias Renggiep di pinggirnya; Sanggul yang dihiasi daun kepies.Bisa juga diganti dengan daun bambu, daun pandan. Bahkan tidak jarang dengan hiasan kepala berwarna-warni; Hiasan leher berupa Belgong; Ikat Pinggang berupa Genit Rante yang dihiasi dengan Renggiep; Toping Gelang dan Sensim Metep.
Tari Bines Aceh Diarsipkan 2018-02-16 di Wayback Machine.