Melioidosis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 Desember 2021 06.00 oleh Hanamanteo (bicara | kontrib) (+)
Melioidosis
Bisul melioidosis di perut
Informasi umum
SpesialisasiPenyakit menular Sunting ini di Wikidata
PenyebabBurkholderia pseudomallei spread by contact to soil or water[1]
Faktor risikoDiabetes mellitus, thalassaemia, alcoholism, chronic kidney disease[1]
Aspek klinis
Gejala dan tandaTiada, demam, radang paru-paru, beberapa bisul[1]
KomplikasiEncephalomyelitis, septic shock, acute pyelonephritis, septic arthritis, osteomyelitis[1]
Awal muncul1-21 hari setelah terjangkit[1]
DiagnosisMengembangkan bakteri di perantara kultur[1]
Kondisi serupaTuberculosis[2]
Tata laksana
PencegahanMencegah dari kontak dengan air yang terkontaminasi, profilaksis antibiotik[1]
PerawatanCeftazidime, meropenem, co-trimoxazole[1]
Distribusi dan frekuensi
Prevalensi165,000 orang tiap tahun[1]
Kematian89,000 orang tiap tahunr[1]

Melioidosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif bernama Burkholderia pseudomallei.[1] Kebanyakan orang yang dijangkiti Burkholderia pseudomallei tidak mengalami satupun gejala, tetapi mereka yang mengalami gejala memiliki tanda dan gejala dari gejala ringan seperti demam, perubahan kulit, radang paru-paru, dan bisul, hingga gejala berat seperti radang otak, radang sendi, dan tekanan darah rendah yang berbahaya yang menyebabkan kematian.[1] Sekitar 10% dari orang penderita melioidosis mengalami gejala yang berlangsung lebih dari dua bulan yang disebut melioidosis kronis.[1]

Manusia dijangkiti Burkholderia pseudomallei melalui kontak dengan air yang tercemar. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui luka, tarikan napas, atau penelanan. Penularan dari manusia ke manusia atau dari hewan ke manusia sangat jarang terjadi.[1] Infeksi ini masih ada di Asia Tenggara, khususnya di timur laut Thailand dan utara Australia.[1] Di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, kasus melioidosis umumnya diimpor dari negara-negara tempat melioidosis lebih sering terjadi.[3] Tanda dan gejala melioidosis menyerupai tuberkulosis dan sering terjadi kesalahan diagnosis.[4][2] Diagnosis biasanya dikonfirmasi oleh pertumbuhan Burkholderia pseudomallei dari darah atau cairan tubuh orang yang dijangkiti lainnya.[1] Mereka yang menderita melioidosis pertama-tama diobati dengan antibiotik intravena "fase intensif" (paling sering seftazidima) diikuti dengan pengobatan kotrimoksazol selama beberapa bulan.[1] Bahkan jika dirawat dengan cermat, sekitar 10% penderita melioidosis meninggal karenanya. Jika tidak ditangani dengan cermat, tingkat kematian bisa melonjak hingga 40%.[1]

Upaya pencegahan melioidosis antara lain memakai alat pelindung diri saat menangani air yang terkontaminasi, membiasakan kebersihan tangan, minum air matang, dan menghindari kontak langsung dengan tanah, air, atau hujan lebat. Antibiotik kotrimoksazol hanya digunakan sebagai pencegahan untuk individu yang berisiko tinggi terkena melioidosis setelah terpapar bakteri. Tiada vaksin untuk melioidosis yang telah disetujui.[1]

Sekitar 165 ribu orang dijangkiti melioidosis tiap tahun dan menewaskan 89 ribu orang. Diabetes adalah faktor risiko utama penyakit melioidosis dengan lebih dari setengah kasus melioidosis terjadi pada penderita diabetes.[1] Peningkatan curah hujan dikaitkan dengan lonjakan jumlah kasus melioidosis di daerah endemi.[2] Melioidosis pertama kali dideskripsikan oleh Alfred Whitmore pada tahun 1912 di wilayah yang saat ini bernama Myanmar.[5]

Tanda dan gejala

Akut

Schematic depiction of the signs of melioidosis
Chest X-ray showing opacity of the left middle and lower zones of the lung.
CT and MRI scans showing lesion of the right frontal lobe of the brain.
Septic arthritis of the left hip with joint destruction

Pajanan terhadap Burkholderia pseudomallei biasanya dapat menyebabkan antibodi diproduksi untuk melawan bakteri itu tanpa gejala apapun. Dari pasien yang menderita infeksi klinis, 85% pasien mengalami gejala akut dari pemerolehan bakteri terkini.[1][6][7] Masa inkubasi rata-rata melioidosis akut adalah 9 hari (kisaran 1–21 hari).[1] Walau begitu, gejala melioidosis dapat muncul dalam 24 jam bagi mereka yang dijangkiti saat hampir tenggelam di air yang terkontaminasi.[7] Mereka yang terkena melioidosis akan memunculkan gejala sepsis (terutama demam) dengan atau tanpa radang paru-paru, atau bisul atau fokus infeksi lainnya. Adanya tanda dan gejala yang tidak spesifik yang menyebabkan melioidosis dijuluki "peniru ulung".[1]

Orang yang menderita diabetes melitus atau pajanan bakteri secara teratur berada pada peningkatan risiko menderita melioidosis. Penyakit ini harus dipertimbangkan pada mereka yang tinggal di daerah endemi yang mengalami demam, radang paru-paru, atau bisul di hati, limpa, prostat, atau kelenjar parotid mereka. Manifestasi klinis penyakit ini dapat membentang dari perubahan kulit yang sederhana hingga masalah organ yang parah.[1] Perubahan kulit dapat berupa bisul atau tukak nonspesifik.[8] Di utara Australia, 60% dari anak-anak yang terjangkit hanya menunjukkan lesi kilit, sedangkan 20% dari anak-anak yang terjangkit menunjukkan radang paru-paru.[3] Organ yang paling sering terkena melioidosis adalah hati, limpa, paru-paru, prostat, dan ginjal. Di antara tanda-tanda klinis yang paling umum adalah adanya bakteri dalam darah (dalam 40% sampai 60% kasus), radang paru-paru (50%), dan syok septik (20%).[1] Orang yang hanya mengalami radang paru-paru pneumonia mungkin mengalami batuk yang menonjol dengan dahak dan sesak napas. Namun, mereka yang mengalami syok septik bersama dengan radang paru-paru mungkin mengalami batuk yang minimal.[2] Hasil sinar-X dada dapat membentang dari infiltrat nodular difus pada mereka yang mengalami syok septik hingga pemadatan paru-paru progresif di lobus atas pada mereka yang hanya mengalami radang paru-paru. Kelebihan cairan di rongga pleura dan pengumpulan nanah di dalam rongga lebih sering terjadi pada melioidosis yang memengaruhi lobus bawah paru-paru.[2] Dalam 10% kasus, orang menderita radang paru-paru sekunder yang disebabkan oleh bakteri lain setelah infeksi primer.[3]

Manifestasi parah lainnya terjadi bergantung pada perjalanan infeksi. Sekitar 1% hingga 5% dari mereka yang terjangkit mengalami radang otak dan penutup otak atau kumpulan nanah di otak, 14% hingga 28% mengalami peradangan bakteri pada ginjal, bisul ginjal atau bisul prostat, 0% sampai 30% mengalami bisul leher atau kelenjar ludah, 10% hingga 33% mengalami bisul hati, limpa, atau paraintestinal, dan 4% sampai 14% mengalami artritis septik dan osteomielitis.[1] Manifestasi yang langka di antaranya penyakit kelenjar getah bening yang menyerupai tuberkulosis,[9] massa mediastinum, pengumpulan cairan di penutup jantung,[3] dilatasi abnormal pembuluh darah karena infeksi,[1] dan radang pankreas.[3] Di Australia, hingga 20% dari pria yang terjangkit mengalami bisul prostat yang ditandai dengan nyeri saat buang air kecil, kesulitan buang air kecil, dan retensi urin yang memerlukan kateterisasi.[1] Pemeriksaan rektum menunjukkan peradangan prostat.[3] Di Thailand, 30% dari anak-anak yang terjangkit mengalami bisul parotid.[1] Ensefalomielitis dapat terjadi pada orang sehat tanpa faktor risiko. Mereka yang menderita ensefalomielitis melioidosis cenderung memiliki pindaian tomografi terkomputasi normal, tetapi sinyal T2 oleh pencitraan resonansi magnetik sehingga meluas ke batak otak dan sumsum tulang belakang. Tanda-tanda klinis yaitu kelemahan anggota gerak neuron motorik atas unilateral, tanda-tanda serebelar, dan kelumpuhan saraf kranial (kelumpuhan saraf VI, VII, dan kelumpuhan bulbar). Beberapa kasus hanya mengalami kelumpuhan kulai.[3] Di utara Australia, semua kasus melioidosis beserta ensefalomielitis mengalami peningkatan sel darah putih dalam cairan serebrospinal (CSF), sebagian besar sel mononuklir dengan protein CSF yang meningkat.[9]

Kronis

Melioidosis kronis biasanya ditandai dengan gejala yang berlangsung lebih dari dua bulan dan terjadi pada sekitar 10% pesakit.[1] Penyajian klinis yaitu demam, penurunan berat badan, dan batuk berkelanjutan dengan atau tanpa dahak berdarah, yang mungkin menyerupai tuberkulosis. Selain itu, bisul di beberapa bagian tumbuh yang berlangsung lama juga dapat timbul.[2] Tuberkulosis harus diwaspadai jika kelenjar getah bening membesar di akar paru-paru. Melioidosis kronis dapat muncul dengan kavitasi radang paru-paru menyerupai tuberkulosis paru kronis.[10] Tidak seperti tuberkulosis, radang paru-paru yang disebabkan oleh melioidosis jarang menyebabkan jaringan parut dan pengapuran paru-paru, tidak seperti tuberkulosis.[9]

Laten

Dalam infeksi laten, orang yang imunokompeten dapat menghilangkan infeksi tanpa menunjukkan gejala apa pun, tetapi kurang dari 5% dari semua kasus melioidosis memiliki aktivasi setelah periode laten.[1] Pesakit melioidosis laten dapat saja bebas gejala selama beberapa dasawarsa.[11] Awalnya, periode terlama antara dugaan paparan dan presentasi klinis diperkirakan selama 62 tahun di tahanan perang Perang Dunia II di Burma-Thailand-Malaysia.[11] Genotipe isolat bakteri selanjutnya dari veteran Perang Vietnam menunjukkan bahwa isolat tersebut mungkin tidak berasal dari Asia Tenggara, melainkan Amerika Selatan.[12] Laporan ini membalikkan laporan lain yang menempatkan periode laten terpanjang untuk melioidosis yaitu 29 tahun.[13] Potensi inkubasi yang berkepanjangan diakui oleh prajurit Amerika Serikat yang terlibat dalam Perang Vietnam, sehingga melioidosis disebut sebagai "bom waktu Vietnam".[2][14] Di Australia, periode laten terpanjang yang tercatat adalah 24 tahun.[3] Berbagai komorbiditas seperti diabetes, gagal ginjal, dan alkoholisme dapat menjadi predisposisi reaktivasi melioidosis.[2]

Penyebab

Bakteri

B. pseudomallei with bipolar Gram staining showing safety-pin appearance

Melioidosis disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, motil, saprofit bernama Burkholderia pseudomallei. Bakteri ini juga dapat menjadi patogen intraseluler fakultatif oportunistik.[1] Bakteri ini juga aerobik dan positif berdasarkan uji oksidase. Sebuah vakuola di tengah bakteri membuatnya menyerupai “peniti” saat diwarnai dengan Gram.[2] Bakteri ini mengeluarkan bau tanah yang kuat setelah 24 hingga 48 jam pertumbuhan dalam kultur. Burkholderia pseudomallei menghasilkan kapsul polisakarida glikokaliks yang membuatnya resisten terhadap banyak jenis antibiotik.[15] Bakteri ini umumnya resisten terhadap gentamisin dan kolistin, tetapi peka terhadap asam klavulanat (co-amoxiclav). Burkholderia pseudomallei adalah patogen level keselamatan biologi 3, yang memerlukan penanganan laboratorium khusus.[2] Pada hewan, makhluk hidup serupa lainnya bernama Burkholderia mallei adalah agen penyebab penyakit glanders.[1] Burkholderia pseudomallei dapat dibedakan dari Burkholderia thailandensis yang berkerabat dekat tetapi kurang patogen lewat kemampuannya mengasimilasi arabinose.[9] Burkholderia pseudomallei sangat mudah beradaptasi dengan berbagai lingkungan inang mulai dari spora jamur mikoriza hingga ameba.[2] Kemampuan beradaptasinya dapat memberikan keuntungan bertahan hidup dalam tubuh manusia.[1]

Genom Burkholderia pseudomallei terdiri dari dua replikon, yaitu kromosom 1 mengodekan fungsi urus rumah bakteri seperti sintesis, mobilitas, dan metabolisme dinding sel serta kromosom 2 mengodekan fungsi yang memungkinkan bakteri beradaptasi dengan berbagai lingkungan. Transfer gen horizontal di antara bakteri telah menghasilkan genom yang sangat bervariasi pada Burkholderia pseudomallei. Australia diperkirakan sebagai reservoir awal bagi Burkholderia pseudomallei karena variabilitas genetik yang tinggi dari bakteri yang ditemukan di wilayah ini. Bakteri yang diisolasi dari Afrika serta Amerika Tengah dan Selatan tampaknya memiliki nenek moyang sama yang hidup pada abad ke-17 hingga ke-19.[1] Burkholderia mallei adalah klon dari Burkholderia pseudomallei yang telah kehilangan sebagian besar genomnya karena beradaptasi untuk hidup secara eksklusif pada mamalia.[3]

Penularan

Burkholderia pseudomallei biasanya ditemukan di tanah dan air permukaan serta paling banyak ditemukan di kedalaman tanah 10 cm hingga 90 cm.[1] Bakteri ini juga ditemukan di tanah, kolam, sungai, lubuk, genangan air, dan sawah.[2] Bakteri ini dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang miskin nutrisi seperti air suling, tanah gurun, dan tanah yang kekurangan nutrisi selama lebih dari 16 tahun. Bakteri ini juga dapat bertahan dalam larutan antiseptik dan deterjen, lingkungan asam (pH 4,5 selama 70 hari), dan lingkungan pada suhu berkisar antara 24°C hingga 32°C. Bakteri ini tidak bertahan hidup dengan adanya sinar ultraviolet.[1]

Bakteri dapat memasuki tubuh lewat luka, hirupan, dan menelan air yang tercemar.[1] Penularan dari orang ke orang sangat jarang terjadi.[2] Melioidosis adalah penyakit yang diakui terhadap hewan semisal kucing, anjing, kambing, domba, dan kuda. Sapi, kerbau, dan buaya dianggap relatif resisten terhadap melioidosis meskipun terus-menerus terpapar air dan tanah yang mengandung bakteri ini. Burung juga resisten terhadap melioidosis.[9][15] Penularan dari hewan ke manusia jarang terjadi.[1][2]

Klorinasi pasokan air yang tidak memadai dikaitkan dengan wabah Burkholderia pseudomallei di Australia Utara dan Barat. Bakteri ini juga ditemukan dalam pasokan air yang tidak diklorinasi di pedesaan Thailand. Cairan pengairan yang terkontaminasi dengan Burkholderia pseudomallei dikaitkan dengan infeksi luka nosokomial di rumah sakit.[1] Berdasarkan pengurutan keseluruhan genom bakteri ini, manusia mungkin berperan dalam memindahkan Burkholderia pseudomallei dari satu tempat ke tempat lain.[16] Pada Oktober 2021, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat mengonfirmasi wabah di Amerika Serikat yang dilacak dari semprotan aromaterapi yang diproduksi di India.[17]

Patogenesis

Diagram showing the pathogenesis of melioidosis
Ways of B. pseudomallei bacteria infecting human cells and blood stream.

Burkholderia pseudomallei memiliki kemampuan untuk menjangkiti pelbagai jenis sel dan menghindari respons imun manusia. Bakteri pertama-tama masuk ke dalam celah di kulit atau selaput lendir dan bereplikasi di sel epitel. Dari sana, bakteri ini menggunakan motilitas flagela untuk menyebar dan menjangkiti pelbagai jenis sel. Dalam aliran darah, bakteri ini dapat menjangkiti baik fagosit dan nonfagosit. Burkholderia pseudomallei menggunakan flagela untuk bergerak mendekati sel inang, kemudian menempel pada sel menggunakan pelbagai protein adhesi termasuk protein pilus tipe IV PilA dan protein adhesi BoaA dan BoaB. Selain itu, adhesi bakteri sebagian tergantung pada keberadaan reseptor-1 yang diaktifkan protease protein inang yang ada pada permukaan sel endotel, keping darah, dan monosit. Setelah terikat, bakteri ini memasuki sel inang melalui endositosis dan berakhir di dalam vesikel endositik. Saat vesikel menjadi asam, Burkholderia pseudomallei menggunakan sistem sekresi tipe 3 (T3SS) untuk menyuntikkan protein efektor ke dalam sel inang, sehingga mengganggu vesikel dan membiarkan bakteri keluar ke sitoplasma inang. Dalam sitoplasma inang, bakteri menghindari dari dibunuh oleh autofagi inang menggunakan pelbagai protein efektor T3SS. Bakteri ini bereplikasi di sitoplasma inang.[1][9]

Di dalam sel inang, Burkholderia pseudomallei bergerak dengan menginduksi polimerisasi aktin inang di belakangnya, sehingga mendorong bakteri ini ke depan.[1] Motilitas yang dimediasi aktin ini dicapai dengan autotransporter BimA yang berinteraksi dengan aktin di ujung ekor bakteri. Didorong oleh aktin, bakteri ini mendorong membran inang, sehingga menciptakan tonjolan yang meluas ke sel tetangga. Tonjolan ini menyebabkan sel-sel tetangga menyatu yang mengarah kepada pembentukan sel raksasa berinti banyak (MNGC). Ketika MNGC lisis, sel-sel tetangga membentuk plak (daerah bening pusat dengan cincin sel yang menyatu) yang menyediakan perlindungan bagi bakteri untuk replikasi lebih lanjut atau infeksi laten. Proses yang sama pada neuron yang terjangkit ini dapat memungkinkan bakteri melakukan perjalanan melalui akar saraf di sumsum tulang belakang dan otak yang menyebabkan peradangan otak dan sumsum tulang belakang. Selain menyebar dari sel ke sel, bakteri juga dapat menyebar melalui aliran darah sehingga menyebabkan sepsis. Bakteri ini dapat bertahan hidup dalam sel penyaji antigen dan sel dendritik. Dengan demikian, sel-sel ini bertindak sebagai kendaraan yang mengangkut bakteri ke dalam sistem limfatik, sehingga menyebabkan penyebaran bakteri secara luas dalam tubuh manusia.[1][9]

Manakala Burkholderia pseudomallei dapat bertahan hidup dalam sel fagosit, sel-sel fagosit ini dapat membunuh Burkholderia pseudomallei melalui beberapa mekanisme. Makrofag yang diaktifkan oleh interferon gamma menaikkan daya bunuh terhadap Burkholderiapseudomallei melalui produksi sintase oksida nitrat yang dapat diinduksi. Pengasaman endosom dan degradasi bakteri juga mungkin, tetapi kapsul bakteri dan LPS membuat Burkholderia pseudomallei resisten terhadap degradasi lisosom. Setelah Burkholderia pseudomallei lolos ke sitosol inang, bakteri ini dapat dikenali oleh reseptor pengenal pola seperti reseptor mirip NOD, sehingga memicu pembentukan inflamasom dan aktivasi kaspase 1 yang menginduksi kematian sel inang oleh piroptosis dan aktivasi lebih lanjut dari sel inang. sistem kekebalan tubuh. Beberapa pertahanan inang sistemik juga berkontribusi kepada respons imun. Burkholderia pseudomallei memicu sistem komplemen dan kaskade penggumpalan darah, namun kapsul bakteri yang tebal mencegah aksi kompleks serangan membran komplemen.[1][9]

Unsur tambahan dari sistem imun diaktifkan oleh reseptor mirip tol inang seperti TLR2, TLR4, dan TLR5 yang mengenali bagian-bagian bakteri ini yang terlindung dari kerusakan seperti LPS dan flagela. Aktivasi ini menghasilkan produksi sitokin seperti interleukin 1 beta (IL-1β) dan interleukin-18 (IL-18). IL-18 meningkatkan produksi IFN melalui sel pembunuh alami, sedangkan IL-1β mengurangi produksi IFN. Molekul imun ini mendorong pendayagunaan sel imun lain seperti neutrofil, sel dendritik, sel B, dan sel T ke tempat infeksi. Sel T tampaknya sangat penting untuk mengendalikan Burkholderia pseudomallei; jumlah sel T meningkat pada orang yang bertahan hidup dan jumlah sel T yang rendah dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi akibat melioidosis. Meskipun demikian, infeksi HIV bukan merupakan faktor risiko melioidosis. Meskipun makrofag menunjukkan respons sitokin yang dideregulasi pada individu dengan infeksi HIV, internalisasi bakteri dan pembunuhan intraseluler masih efektif. Orang yang terinfeksi Burkholderia pseudomallei mengembangkan antibodi terhadap bakteri, dan orang yang tinggal di daerah endemik cenderung memiliki antibodi dalam darah mereka yang mengenali Burkholderia pseudomallei, tetapi efektivitas antibodi ini dalam mencegah melioidosis tidak jelas.[1][9]

Burkholderia pseudomallei tetap dapat laten dalam tubuh manusia dari 19 sampai 29 tahun sampai diaktifkan kembali selama imunosupresi atau respons stres. Tempat bakteri selama infeksi laten dan mekanisme bakteri menghindari pengenalan imun selama bertahun-tahun tidak jelas. Di antara mekanisme yang disarankan adalah berada di inti sel untuk mencegah dicerna, memasuki tahap pertumbuhan yang lebih lambat, resistensi antibiotik, dan adaptasi genetik dengan lingkungan inang. Granuloma (mengandung neutrofil, makrofag, limfosit, dan sel raksasa berinti banyak) yang terbentuk di tempat infeksi pada melioidosis telah dikaitkan dengan infeksi laten pada manusia.[1]

Diagnosis

Appearance of B. pseudomallei colonies on Ashdown's medium after four days of incubation.
Immunofluorescent microscopy showing the presence of B. pseudomallei.
Right-most slide showing positive latex agglutination for melioidosis

Kultur bakteri adalah diagnosis definitif melioidosis. Burkholderia pseudomallei tidak pernah menjadi bagian dari flora manusia. Oleh karena itu, setiap pertumbuhan bakteri adalah diagnostik melioidosis. Kultur darah adalah sampel yang paling umum untuk diagnosis karena bakteri dapat dideteksi dalam darah pada 50% hingga 60% kasus melioidosis. Sampel lain seperti tenggorokan, usap dubur, nanah dari bisul, dan dahak juga dapat digunakan untuk kultur. Ketika bakteri ini tidak tumbuh dari orang yang diduga kuat menderita melioidosis, kultur berulang harus dilakukan karena kultur berikutnya dapat menjadi positif.[1] Burkholderia pseudomallei dapat ditumbuhkan pada agar darah domba, agar MacConkey, media Ashdown (mengandung gentamisin),[1] atau kaldu Ashdown (mengandung kolistin).[3] Cawan agar untuk melioidosis harus diinkubasi pada suhu 37°C di udara dan diperiksa selama empat hari berturut-turut.[2] Pada cawan agar, Burkholderia pseudomallei membentuk koloni yang berkrim dan nonhemolitik setelah diinkubasi selama dua hari. Setelah diinkubasi selama empat hari, koloni bakteri tampak kering dan berkerut.[1] Koloni Burkholderia pseudomallei yang ditumbuhkan pada media Francis (modifikasi media Ashdown dengan konsentrasi gentamisin ditingkatkan menjadi 8 mg/l) berwarna kuning. Untuk laboratorium yang berlokasi di luar daerah endemik, agar selektif Burkholderia cepacia atau agar selektif Pseudomonas dapat digunakan jika media Ashdown tidak tersedia.[2] Penting untuk tidak salah penafsiran bahwa pertumbuhan bakteri sebagai Pseudomonas atau Bacillus spp. Alat pemeriksaan biokimia lainnya juga dapat digunakan untuk mendeteksi Burkholderia pseudomallei, termasuk alay biokimia API 20NE atau 20E yang dipadukan dengan pewarnaan Gram, uji oksidase, ciri-ciri pertumbuhan yang khas, dan resistensi terhadap antibiotik tertentu dari bakteri tersebut.[3] Metode molekuler seperti kuar 16S rDNA dan reaksi berantai polimerase juga dapat digunakan untuk mendeteksi Burkholderia pseudomallei dalam kultur, tetapi hanya tersedia di laboratorium penelitian dan referensi.[1]

Tes darah umum pada penderita melioidosis menunjukkan jumlah sel darah putih yang rendah (menunjukkan infeksi), peningkatan enzim hati, peningkatan kadar bilirubin (menunjukkan disfungsi hati), dan peningkatan kadar urea dan kreatinin (menunjukkan disfungsi ginjal). Glukosa darah rendah dan asidosis memperkirakan prognosis yang lebih buruk pada mereka dengan melioidosis. Namun, uji lain seperti protein C-reaktif dan kadar prokalsitonin tidak dapat diandalkan dalam memperkirakan keparahan infeksi melioidosis.[15]

Dengan mikroskop, Burkholderia pseudomallei terlihat sebagai Gram-negatif dan berbentuk batang dengan pewarnaan bipolar mirip dengan peniti. Bakteri ini kadang-kadang dapat dilihat secara langsung dalam sampel klinis dari orang yang terinfeksi, tetapi identifikasi dengan mikroskop cahaya tidak spesifik atau sensitif. Mikroskop imunofluoresensi sangat spesifik untuk mendeteksi bakteri langsung dari spesimen klinis, tetapi sensitivitasnya kurang dari 50%. Sebuah immunoasai aliran lateral telah dikembangkan tetapi tidak dievaluasi secara ekstensif.[1][3] Semakin banyak laboratorium yang menggunakan spektrometri massa desorpsi/ionisasi laser berbantuan Matrix untuk mengidentifikasi bakteri secara akurat.[9]

Uji serologi seperti hemaglutinasi tidak langsung telah digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap B. pseudomallei. Namun, kelompok orang yang berbeda memiliki tingkat antibodi yang sangat berbeda, jadi interpretasi tes ini bergantung pada lokasi. Di Australia, kurang dari 5% orang memiliki antibodi B. pseudomallei, sehingga keberadaan antibodi dalam jumlah yang relatif rendah tidak biasa dan dapat menunjukkan melioidosis. Di Thailand, banyak orang memiliki antibodi terhadap B. pseudomallei, sehingga hanya jumlah antibodi yang relatif tinggi dalam darah yang menunjukkan melioidosis.[1][3] Thailand juga menggunakan uji antibodi imunofluoresen langsung (IFAT) dan aglutinasi lateks. Dalam IFAT, antigen B. pseudomallei dan B. thailandensis dapat digunakan untuk mengukur jumlah antibodi yang dihasilkan terhadap bakteri. Oleh karena itu, hasil harus ditafsirkan dengan hati-hati karena reaksi positif palsu dapat ditemukan jika seseorang sebelumnya terpapar B. thailandensis nonpatogenik.[2] Aglutinasi lateks berguna dalam skrining untuk dugaan koloni B. pseudomallei colonies.[1] Alat ELISA komersial untuk melioidosis tidak lagi tersedia di pasaran karena sensitivitas yang rendah terhadap deteksi antibodi manusia.[9]

Berbagai modalitas pencitraan juga dapat membantu diagnosis melioidosis. Pada melioidosis akut dengan penyebaran bakteri melalui aliran darah, rontgen dada menunjukkan lesi nodular multifokal. Ini juga dapat menunjukkan penggabungan nodul atau kavitasi. Bagi mereka dengan melioidosis akut tanpa penyebaran ke aliran darah, rontgen dada menunjukkan konsolidasi lobus atas atau kavitasi. Pada melioidosis kronis, perkembangan lambat dari konsolidasi lobus atas paru-paru menyerupai tuberkulosis. Untuk abses yang terletak di bagian tubuh lain selain paru-paru, terutama di hati dan limpa, CT scan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan USG. Pada abses hati dan limpa, pemindaian ultrasound menunjukkan lesi "seperti target", sedangkan CT scan menunjukkan "tanda sarang lebah" pada abses hati. Untuk melioidosis yang melibatkan otak, MRI memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada CT scan dalam mendiagnosis lesi. MRI menunjukkan lesi yang meningkatkan cincin untuk melioidosis otak.[9]

Pencegahan

Melioidosis ialah penyakit yang harus dilaporkan di Australia. Ini memungkinkan Australia untuk memantau penyakit ini dan mengendalikan wabah. Melioidosis baru menjadi keadaan yang dapat dilaporkan di Thailand sejak Juni 2016. Walau begitu, Australia juga memulai kampanye kesadaran untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang penyakit ini.[9] Di Amerika Serikat, pekerja laboratorium dapat menangani spesimen klinis dalam keadaan BSL-2, sementara produksi massal makhluk hidup ini memerlukan tindakan pencegahan BSL-3.[18] Beberapa kasus jangkitan melioidosis di rumah sakit juga telah dilaporkan, sehingga penyedia layanan kesehatan dianjurkan untuk mempraktikkan kebersihan tangan dan kewaspadaan universal.[1]

Klorinasi air berskala besar telah berhasil mengurangi Burkholderia pseudomallei di perairan Australia. Di negara-negara berpenghasilan rendah, air harus direbus sebelum diminum. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, air dapat diolah dengan sinar ultraungu bagi mereka yang berisiko terjangkit melioidosis. Mereka yang berisiko tinggi berkontak dengan bakteri ini harus memakai alat pelindung seperti sepatu bot dan sarung tangan selama bekerja. Mereka yang tinggal di daerah endemik harus menghindari kontak langsung dengan tanah dan paparan luar ruangan terhadap hujan lebat atau awan debu. Air kemasan atau air matang lebih disarankan untuk diminum.[1]

Profilaksis pascapajanan

Setelah terpapar Burkholderia pseudomallei (terutama setelah kecelakaan laboratorium), dianjurkan melakukan pengobatan dengan kotrimoksazol. Sebagai alternatif, koamoksiklav dan doksisiklin dapat digunakan untuk mereka yang tidak toleran terhadap kotrimoksazol. Karena kotrimoksazol dapat menyebabkan efek samping yang parah, hanya individu berisiko tinggi yang cenderung menerima perawatan tersebut. Sebagai gantinya, individu berisiko rendah akan sering menerima pemantauan.[1]

Vaksinasi

Beberapa kandidat vaksin telah diuji pada model hewan. Walau demikian, tiada calon vaksin yang dicoba pada manusia. Hambatan utama vaksin adalah kemanjuran yang terbatas pada model hewan, menetapkan metode pemberian vaksin terbaik kepada manusia, serta masalah logistik dan keuangan dalam menetapkan uji coba pada manusia di daerah endemik.[9]

Perawatan

Pengobatan melioidosis dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap intensif intravena dan tahap pemberantasan untuk mencegah perburukan. Pilihan antibiotik tergantung kepada kerentanan bakteri ini terhadap berbagai antibiotik. Burkholderia pseudomallei umumnya rentan terhadap seftazidim, meropenem, imipenem, dan koamoksiklav. Obat-obatan ini dirancang untuk membunuh bakteri ini. Bakteri ini juga rentan terhadap doksisiklin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol. Obat-obatan ini dirancang untuk menghambat pertumbuhan bakteri ini. Bakteri ini but resisten terhadap penisilin, ampisilin, sefalosporin generasi pertama dan kedua, gentamisin, streptomisin, tobramisin, makrolida, dan polimiksin. Meskipun begitu, isolat Burkholderia pseudomallei dari Sarawak, Malaysia rentan terhadap gentamisin.[1]

Tahap intensif

Seftazidim intravena adalah obat pilihan saat ini untuk pengobatan melioidosis akut dan harus diberikan sedikitnya 10 hari.[1] Meropenem, imipenem, dan perpaduan sefoperazon-sulbaktam (Sulperazone) juga efektif.[1][19] Amoksisilin-klavulanat (koamoksiklav) intravena dapat digunakan jika tidak ada empat obat di atas yang tersedia; koamoksiklav mencegah kematian akibat melioidosis, seperti halnya seftazidim.[7] Antibiotik intravena diberikan minimal 10 hari. Median waktu pembersihan demam pada melioidosis adalah 9 hari.[1]

Meropenem is the preferred antibiotic therapy for neurological melioidosis and those with septic shock admitted into intensive care units. Co-trimoxazole is recommended for neurological melioidosis, osteomyelitis, septic arthritis, skin and gastrointestinal infection, and deeply seated abscess. For deep-seated infections such as abscesses of internal organs, osteomyelitis, septic arthritis, and neurological melioidosis, the duration of antibiotics given should be longer (up to 4 to 8 weeks). The time taken for fever to be resolved can be more than 10 days in those with deep-seated infection. Resistance to ceftazidime, carbapenems, and co-amoxiclav are rare in the intensive phase, but are more prominent during eradication therapy. No differences are seen between using cefoperazone/sulbactam or ceftazidime to treat melioidosis, as both show similar death rates and disease progression following treatment.[2] For those with kidney impairment, the dosage of ceftazidime, meropenem, and co-trimoxazole should be lowered.[3] Once the clinical condition improved, meropenem can be switched back to ceftazidime.[1] Whether the ceftazidime or meropenem combination therapy reduces relapse rates in early phase of the therapy is unclear.[20]

Tahap pemberantasan

Following the treatment of the acute disease, eradication (or maintenance) treatment with co-trimoxazole is the drug of choice and should be used for at least 3 months. For those with neurological melioidosis and osteomyelitis, drugs should be given for more than 6 months. Co-amoxiclav and doxycycline are drugs of second choice. Co-trimoxazole should not be used in those with glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency, as it can cause haemolytic anemia. Other side effects, such as rash, hyperkalemia, renal dysfunction, and gastrointestinal symptoms, should prompt the reduction of co-trimoxazole doses. Chloramphenicol is no longer routinely recommended for this purpose. Co-amoxiclav is an alternative for patients unable to take co-trimoxazole and doxycycline (e.g. pregnant women and children under the age of 12), but is not as effective and has higher relapse rate. Single-agent treatment with fluoroquinolone (e.g., ciprofloxacin) or doxycycline for the oral maintenance phase is ineffective.[1]

In Australia, co-trimoxazole is used in children and pregnant mothers after the first 12 weeks of pregnancy. Meanwhile, in Thailand, co-amoxiclav is the drug of choice for children and pregnant women. However, B. pseudomallei often acquires resistance when co-amoxiclav is used. Cases have also been reported where melioidosis is successfully treated with co-trimoxazole for 3 months without going through intensive therapy provided that only skin manifestations are seen without the involvement of internal organs or sepsis.[1] Resistance to cotrimoxazole is rare in Australia.[2]

Pembedahan

Surgical drainage is indicated for single, large abscesses in the liver, muscle, and prostate. However, for multiple abscesses in the liver, spleen, and kidney, surgical drainage may not be possible or necessary. For septic arthritis, arthrotomy washout and drainage is required. Surgical debridement may be necessary. For those with mycotic aneurysm, urgent surgery is required for prosthetic vascular grafts. Life-long therapy with co-trimoxazole may be needed for those with prosthetic vascular grafts. Other abscesses rarely need to be drained because the majority of them can resolve with antibiotic treatment.[1] In Australia, prostate abscess may require routine imaging and drainage.[15]

Perawatan lain

Immunomodulating therapies such as granulocyte colony-stimulating factor,[9] Interleukin 7, and anti-PDI (programmed cell death) could be useful in melioidosis treatment, especially for those with septic shock. This is because these drugs could help to boost the human body immune function against the bacteria.[1]

Prognosis

In well-resourced settings, where the disease can be detected and treated early, the risk of death is 10%. In resource-poor settings, the risk of death from the disease is more than 40%.[1]

For those with incomplete treatment, reappearance of symptoms after a period of disease remission ("recrudescence") can occur. Then, hospital admission is needed for intravenous antibiotics. For those who have completed treatment successfully, recurrence can also occur due to recrudescence or new melioidosis infection. With better therapies, the recrudescence rate has reduced from 10 to 5%. The new infection is now more common than recrudescence. Risk factors of recrudescence include the severity of disease (patients with positive blood cultures or multifocal disease have a higher risk of relapse), choice of antibiotic for eradication therapy (doxycycline monotherapy and fluoroquinolone therapy are not as effective), poor compliance with eradication therapy and duration of eradication therapy less than 8 weeks.[1]

Underlying medical conditions such as diabetes mellitus, chronic kidney disease, and cancer can worsen the long-term survival and disability of those who recover from infection. The most severe complication of melioidosis is encephalomyelitis. It can cause quadriparesis (muscle weakness in all the limbs), partial flaccid paraparesis (muscle weakness of both legs), or foot drop. For those with previous melioidosis-associated bone and joint infections, complications such as sinus infection, bone and joint deformities with limited range of motion can occur.[1]

Epidemiology

Number of deaths by each country due to melioidosis in 2018

Melioidosis is an understudied disease that remains endemic in developing countries. In 2015, the International Melioidosis Society was formed to raise awareness of the disease.[1] In 2016, a statistical model was developed which showed that the number is 165,000 cases per year with 138,000 of those occurring in East and South Asia and the Pacific.[21] In about half of those cases (54% or 89,000), people will die.[1] Under-reporting is a common problem as only 1,300 cases were reported worldwide since 2010, which is less than 1% of the projected incidence based on the modeling.[1] Lack of laboratory diagnostic capabilities and lack of disease awareness amongst health care providers also causes underdiagnosis. Even if bacterial cultures turn positive for B. pesudomallei, they can be discarded as contaminants especially in laboratories in non-endemic areas.[1] As of 2018, melioidosis is not included in the WHO list of neglected tropical diseases.[1]

Melioidosis is endemic in parts of Southeast Asia (including Thailand,[22] Laos,[23] Singapore,[24] Brunei,[25] Malaysia,[26] Myanmar[27] and Vietnam[28]), southern China,[29] Taiwan[30] and northern Australia.[31] Heavy rainfall can increase its extent into central Australia.[31] India,[32] and sporadic cases in South America.[33] The true burden of melioidosis in Africa and Middle East remain unknown due to low amount of data. There were 24 African countries and three Middle Eastern countries predicted to be endemic with melioidosis, however not a single case was reported from them.[34] A total of 51 cases of melioidosis were reported in Bangladesh from 1961–2017. Nonetheless, lack of awareness and resources gives rise to underdiagnosis of the disease in the country.[35] In the United States, four states each saw one case in 2021, of which two were fatal, among patients with no recent history of international travel; the US CDC found B. pseudomallei in a scented "room spray" in one patient's home.[36] Earlier in the United States, two historical cases (1950 and 1971) and three recent cases (2010, 2011, 2013) were reported amongst people that did not travel overseas. Despite extensive investigations, the source of melioidosis was never confirmed. One possible explanation is that importation of medicinal plant products or exotic reptiles could have resulted in the introduction of melioidosis in the United States.[3] In Europe, more than half of the melioidosis cases are imported from Thailand.[37]

Melioidosis is found in all age groups.[1] For Australia and Thailand, the median age of infection is at 50 years; 5 to 10% of the patients are less than 15 years.[1] The single most important risk factor for developing melioidosis is diabetes mellitus, followed by hazardous alcohol use, chronic kidney disease, and chronic lung disease.[38] Greater than 50% of people with melioidosis have diabetes; diabetics have a 12-fold increased risk of contracting melioidosis. Diabetes decreases the ability of macrophages to fight the bacteria and reduces T helper cell production. Excessive release of tumor necrosis factor alpha and interleukin 12 by mononuclear cells increases the risk of septic shock. The diabetes drug glibenclamide can also blunt monocyte's inflammatory responses.[1] Other risk factors include thalassaemia, occupational exposure (e.g. rice paddy farmers),[9] recreational exposure to soil, water, being male, age greater than 45 years, and prolonged steroid use/immunosuppression,[1] but 8% of children and 20% of adults with melioidosis have no risk factors.[1] HIV infection does not predispose to melioidosis.[9] Infant cases have been reported possibly due to mother-to-child transmission, community-acquired infection, or healthcare-associated infection.[1] Those who are well may also be infected with B. pseudomallei. For example, 25% of children staying in endemic areas started producing antibodies against B. pseudomallei between 6 months and 4 years old, suggesting they were exposed to it over this time. This means that many people without symptoms will test positive in serology tests in endemic areas.[2] In Thailand, the seropositivity rate exceeds 50%, while in Australia, the seropositivity rate is only 5%.[3] The disease is clearly associated with increased rainfall, with the number of cases rising following increased precipitation. Severe rainfall increases the concentration of the bacteria in the topsoil, thus increasing the risk of transmitting the bacteria through the air.[9]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs bt bu bv bw bx by bz ca Wiersinga WJ, Virk HS, Torres AG, Currie BJ, Peacock SJ, Dance DA, Limmathurotsakul D (February 2018). "Melioidosis". Nature Reviews. Disease Primers. 4 (17107): 17107. doi:10.1038/nrdp.2017.107. PMC 6456913alt=Dapat diakses gratis. PMID 29388572. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Foong YC, Tan M, Bradbury RS (30 October 2014). "Melioidosis: a review". Rural and Remote Health. 14 (4): 2763. PMID 25359677. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Currie BJ (February 2015). "Melioidosis: evolving concepts in epidemiology, pathogenesis, and treatment". Seminars in Respiratory and Critical Care Medicine. 36 (1): 111–25. doi:10.1055/s-0034-1398389alt=Dapat diakses gratis. PMID 25643275. 
  4. ^ Brightman, Christopher; Locum (2020). "Melioidosis: the Vietnamese time bomb". Trends in Urology & Men's Health (dalam bahasa Inggris). 11 (3): 30–32. doi:10.1002/tre.753alt=Dapat diakses gratis. ISSN 2044-3749. 
  5. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Whitmore 1912
  6. ^ Currie BJ, Ward L, Cheng AC (2010). "The epidemiology and clinical spectrum of melioidosis: 540 cases from the 20 year Darwin prospective study". PLOS Negl Trop Dis. 4 (11): e900. doi:10.1371/journal.pntd.0000900. PMC 2994918alt=Dapat diakses gratis. PMID 21152057. 
  7. ^ a b c Bennett JE, Raphael D, Martin JB, Currie BJ (2015). "223". Mandell, Douglas, and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases (edisi ke-Eighth). Elsevier. hlm. 2541–2549. ISBN 978-1-4557-4801-3. 
  8. ^ Fertitta L, Monsel G, Torresi J, Caumes E (February 2019). "Cutaneous melioidosis: a review of the literature". International Journal of Dermatology. 58 (2): 221–227. doi:10.1111/ijd.14167. hdl:11343/284394alt=Dapat diakses gratis. PMID 30132827. 
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Gassiep I, Armstrong M, Norton R (March 2020). "Human Melioidosis". Clinical Microbiology Reviews. 33 (2). doi:10.1128/CMR.00006-19. PMC 7067580alt=Dapat diakses gratis. PMID 32161067. 
  10. ^ Brightman, Christopher; Locum (2020). "Melioidosis: the Vietnamese time bomb". Trends in Urology & Men's Health (dalam bahasa Inggris). 11 (3): 30–32. doi:10.1002/tre.753alt=Dapat diakses gratis. ISSN 2044-3749. 
  11. ^ a b Ngauy V, Lemeshev Y, Sadkowski L, Crawford G (February 2005). "Cutaneous melioidosis in a man who was taken as a prisoner of war by the Japanese during World War II". Journal of Clinical Microbiology. 43 (2): 970–2. doi:10.1128/JCM.43.2.970-972.2005. PMC 548040alt=Dapat diakses gratis. PMID 15695721. 
  12. ^ Gee JE, Gulvik CA, Elrod MG, Batra D, Rowe LA, Sheth M, Hoffmaster AR (July 2017). "Phylogeography of Burkholderia pseudomallei Isolates, Western Hemisphere". Emerging Infectious Diseases. 23 (7): 1133–1138. doi:10.3201/eid2307.161978. PMC 5512505alt=Dapat diakses gratis. PMID 28628442. 
  13. ^ Chodimella U, Hoppes WL, Whalen S, Ognibene AJ, Rutecki GW (May 1997). "Septicemia and suppuration in a Vietnam veteran". Hospital Practice. 32 (5): 219–21. doi:10.1080/21548331.1997.11443493. PMID 9153149. 
  14. ^ Brightman, Christopher; Locum (2020). "Melioidosis: the Vietnamese time bomb". Trends in Urology & Men's Health (dalam bahasa Inggris). 11 (3): 30–32. doi:10.1002/tre.753alt=Dapat diakses gratis. ISSN 2044-3749. 
  15. ^ a b c d Cheng AC, Currie BJ (April 2005). "Melioidosis: epidemiology, pathophysiology, and management". Clinical Microbiology Reviews. 18 (2): 383–416. doi:10.1128/CMR.18.2.383-416.2005. PMC 1082802alt=Dapat diakses gratis. PMID 15831829. 
  16. ^ Baker A, Pearson T, Price EP, Dale J, Keim P, Hornstra H, et al. (March 2011). "Molecular phylogeny of Burkholderia pseudomallei from a remote region of Papua New Guinea". PLOS ONE. 6 (3): e18343. Bibcode:2011PLoSO...618343B. doi:10.1371/journal.pone.0018343alt=Dapat diakses gratis. PMC 3069084alt=Dapat diakses gratis. PMID 21483841.  publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  17. ^ "2021 Multistate outbreak of melioidosis | Melioidosis | CDC". www.cdc.gov (dalam bahasa Inggris). 2021-11-04. Diakses tanggal 2021-11-08. 
  18. ^ Centers for Disease Control and Prevention (2009). Biosafety in Microbiological and Biomedical Laboratories (edisi ke-5th). Atlanta, Georgia: National Institutes of Health. 
  19. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Matthew 2018
  20. ^ Samuel M, Ti TY, et al. (Cochrane Infectious Diseases Group) (2002-10-21). "Interventions for treating melioidosis". The Cochrane Database of Systematic Reviews (4): CD001263. doi:10.1002/14651858.CD001263. PMC 6532693alt=Dapat diakses gratis. PMID 12519552. 
  21. ^ Limmathurotsakul D, Golding N, Dance DA, Messina JP, Pigott DM, Moyes CL, et al. (January 2016). "Burkholderia pseudomallei and burden of melioidosis". Nature Microbiology. 1 (1): 15008. doi:10.1038/nmicrobiol.2015.8. PMC 4746747alt=Dapat diakses gratis. PMID 26877885. 
  22. ^ Hinjoy S, Hantrakun V, Kongyu S, Kaewrakmuk J, Wangrangsimakul T, Jitsuronk S, et al. (8 April 2018). "Melioidosis in Thailand: Present and Future". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (2): 38. doi:10.3390/tropicalmed3020038alt=Dapat diakses gratis. PMC 5928800alt=Dapat diakses gratis. PMID 29725623. 
  23. ^ Dance DA, Luangraj M, Rattanavong S, Sithivong N, Vongnalaysane O, Vongsouvath M, Newton PN (February 2018). "Melioidosis in the Lao People's Democratic Republic". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (1): 21. doi:10.3390/tropicalmed3010021alt=Dapat diakses gratis. PMC 6136615alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274419. 
  24. ^ Sim SH, Ong CE, Gan YH, Wang D, Koh VW, Tan YK, et al. (March 2018). "Melioidosis in Singapore: Clinical, Veterinary, and Environmental Perspectives". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (1): 31. doi:10.3390/tropicalmed3010031alt=Dapat diakses gratis. PMC 6136607alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274428. 
  25. ^ Pande K, Abd Kadir KA, Asli R, Chong VH (February 2018). "Melioidosis in Brunei Darussalam". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (1): 20. doi:10.3390/tropicalmed3010020alt=Dapat diakses gratis. PMC 6136610alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274418. 
  26. ^ Nathan S, Chieng S, Kingsley PV, Mohan A, Podin Y, Ooi MH, et al. (February 2018). "Melioidosis in Malaysia: Incidence, Clinical Challenges, and Advances in Understanding Pathogenesis". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (1): 25. doi:10.3390/tropicalmed3010025alt=Dapat diakses gratis. PMC 6136604alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274422. 
  27. ^ Win MM, Ashley EA, Zin KN, Aung MT, Swe MM, Ling CL, et al. (March 2018). "Melioidosis in Myanmar". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (1): 28. doi:10.3390/tropicalmed3010028alt=Dapat diakses gratis. PMC 6136617alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274425. 
  28. ^ Trinh TT, Nguyen LD, Nguyen TV, Tran CX, Le AV, Nguyen HV, et al. (April 2018). "Melioidosis in Vietnam: Recently Improved Recognition but still an Uncertain Disease Burden after Almost a Century of Reporting". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (2): 39. doi:10.3390/tropicalmed3020039alt=Dapat diakses gratis. PMC 6073866alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274435. 
  29. ^ Zheng X, Xia Q, Xia L, Li W (February 2019). "Endemic Melioidosis in Southern China: Past and Present". Tropical Medicine and Infectious Disease. 4 (1): 39. doi:10.3390/tropicalmed4010039alt=Dapat diakses gratis. PMC 6473618alt=Dapat diakses gratis. PMID 30823573. 
  30. ^ Hsueh PT, Huang WT, Hsueh HK, Chen YL, Chen YS (February 2018). "Transmission Modes of Melioidosis in Taiwan". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (1): 26. doi:10.3390/tropicalmed3010026alt=Dapat diakses gratis. PMC 6136622alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274423. 
  31. ^ a b Smith S, Hanson J, Currie BJ (March 2018). "Melioidosis: An Australian Perspective". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (1): 27. doi:10.3390/tropicalmed3010027alt=Dapat diakses gratis. PMC 6136632alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274424. 
  32. ^ Mukhopadhyay C, Shaw T, Varghese GM, Dance DA (May 2018). "Melioidosis in South Asia (India, Nepal, Pakistan, Bhutan and Afghanistan)". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (2): 51. doi:10.3390/tropicalmed3020051alt=Dapat diakses gratis. PMC 6073985alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274447. 
  33. ^ Rolim DB, Lima RX, Ribeiro AK, Colares RM, Lima LD, Rodríguez-Morales AJ, et al. (June 2018). "Melioidosis in South America". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (2): 60. doi:10.3390/tropicalmed3020060alt=Dapat diakses gratis. PMC 6073846alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274456. 
  34. ^ Steinmetz I, Wagner GE, Kanyala E, Sawadogo M, Soumeya H, Teferi M, et al. (June 2018). "Melioidosis in Africa: Time to Uncover the True Disease Load". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (2): 62. doi:10.3390/tropicalmed3020062alt=Dapat diakses gratis. PMC 6073667alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274458. 
  35. ^ Chowdhury FR, Jilani MS, Barai L, Rahman T, Saha MR, Amin MR, et al. (April 2018). "Melioidosis in Bangladesh: A Clinical and Epidemiological Analysis of Culture-Confirmed Cases". Tropical Medicine and Infectious Disease. 3 (2): 40. doi:10.3390/tropicalmed3020040alt=Dapat diakses gratis. PMC 6073520alt=Dapat diakses gratis. PMID 30274436. 
  36. ^ Division of High-Consequence Pathogens and Pathology (October 22, 2021). "2021 Multistate outbreak of melioidosis". www.cdc.gov (dalam bahasa Inggris). Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Diseases. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-23. Diakses tanggal 2021-10-24. 
  37. ^ Le Tohic S, Montana M, Koch L, Curti C, Vanelle P (August 2019). "A review of melioidosis cases imported into Europe". European Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases. 38 (8): 1395–1408. doi:10.1007/s10096-019-03548-5. PMID 30949898. 
  38. ^ Suputtamongkol Y, Chaowagul W, Chetchotisakd P, Lertpatanasuwun N, Intaranongpai S, Ruchutrakool T, et al. (August 1999). "Risk factors for melioidosis and bacteremic melioidosis". Clinical Infectious Diseases. 29 (2): 408–13. doi:10.1086/520223alt=Dapat diakses gratis. PMID 10476750. 

Pranala luar

Klasifikasi
Sumber luar

Templat:Infeksi kulit bakteri