Negara-negara Tentara Salib: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 158: Baris 158:
{{Further|Seni rupa Tentara Salib}}
{{Further|Seni rupa Tentara Salib}}
[[File:Crac des chevaliers syria.jpeg|thumb|[[Krak des Chevaliers]], puri Kesatria Penyantun dari abad ke-12 di Suriah]]
[[File:Crac des chevaliers syria.jpeg|thumb|[[Krak des Chevaliers]], puri Kesatria Penyantun dari abad ke-12 di Suriah]]
Menurut Prawer, tidak ada budayawan Barat terkemuka yang menetap di negara-negara Tentara Salib, tetapi bahwasanya orang-orang lain tergugah untuk berkunjung ke Timur berkat pengungkapan citraan di dalam karya-karya seni puisi Barat.{{sfn| Prawer|1972| p=468}} Para sejarawan meyakini bahwa arsitektur militer yang menunjukkan suatu sintesis tradisi Eropa, tradisi Romawi Timur, dan tradisi Muslim adalah capaian artistik asli Tentara Salib yang mengesankan. Puri merupakan lambang keberdaulatan golongan minoritas Peringgi atas golongan mayoritas bumiputra yang digunakan sebagai pusat tata usaha pemerintahan.{{sfn|Prawer|1972|pp=280–281}} Historiografi modern menolak konsensus abad ke-19 yang mengatakan bahwa orang-orang Barat mendapatkan dasar-dasar ilmu arsitektur militernya dari Timur Dekat. Pertumbuhan teknologi pertahanan sudah berlangsung di Eropa sebelum Perang Salib. Perkenalan dengan bangunan pertahanan Arab yang aslinya dibangun Romawi Timur memengaruhi perkembangan di Timur, tetapi tidak banyak bukti yang menunjukkan perbedaan budaya rancangan dan desakan situasi. Puri-puri Tentara Salib ditambahi unsur-unsur Timur semisal waduk besar, sedangkan unsur-unsur Barat semisal parit justru ditiadakan.{{sfn|Prawer|1972|pp=295–296}} Rancangan gereja berlanggam [[Arsitektur Romanesque Prancis|Romanik Prancis]] tampak pada bangunan baru Gereja Makam Kudus dari abad ke-12. Orang Peringgi mempertahankan unsur-unsur Romawi Timur bangunan lamanya, tetapi menambahkan bilik-bilik kapel dan pelengkung-pelengkung khas Prancis Utara, Akuitania, dan [[Provence|Provensya]]. Barisan [[Kapital (arsitektur)|saka guru]] pada muka bangunan di sisi selatan dibuat bercorak Suriah klasik, tetapi hanya sedikit bukti yang menunjukkan adanya pengaruh pribumi dalam seni pahat.{{sfn|Jotischky|2004|p=146}}
Menurut Prawer, tidak ada budayawan Barat terkemuka yang menetap di negara-negara Tentara Salib, tetapi bahwasanya orang-orang lain tergugah untuk berkunjung ke Timur berkat pengungkapan citraan di dalam karya-karya seni puisi Barat.{{sfn| Prawer|1972| p=468}} Para sejarawan meyakini bahwa arsitektur militer yang menunjukkan suatu sintesis tradisi Eropa, tradisi Romawi Timur, dan tradisi Muslim adalah capaian artistik asli Tentara Salib yang mengesankan. Puri merupakan lambang keberdaulatan golongan minoritas Peringgi atas golongan mayoritas bumiputra yang digunakan sebagai pusat tata usaha pemerintahan.{{sfn|Prawer|1972|pp=280–281}} Historiografi modern menolak konsensus abad ke-19 yang mengatakan bahwa orang-orang Barat mendapatkan dasar-dasar ilmu arsitektur militernya dari Timur Dekat. Pertumbuhan teknologi pertahanan sudah berlangsung di Eropa sebelum Perang Salib. Perkenalan dengan bangunan pertahanan Arab yang aslinya dibangun Romawi Timur memengaruhi perkembangan di Timur, tetapi tidak banyak bukti yang menunjukkan perbedaan budaya rancangan dan desakan situasi. Puri-puri Tentara Salib ditambahi unsur-unsur Timur semisal waduk besar, sedangkan unsur-unsur Barat semisal parit justru ditiadakan.{{sfn|Prawer|1972|pp=295–296}} Rancangan gereja berlanggam [[Arsitektur Romanesque Prancis|Romanik Prancis]] tampak pada bangunan baru Gereja Makam Kudus dari abad ke-12. Orang Peringgi mempertahankan unsur-unsur Romawi Timur dari bangunan lamanya, tetapi menambahkan bilik-bilik kapel dan pelengkung-pelengkung khas Prancis Utara, Akuitania, dan [[Provence|Provensya]]. Barisan [[Kapital (arsitektur)|saka guru]] pada muka bangunan di sisi selatan dibuat bercorak Suriah klasik, tetapi hanya sedikit bukti yang menunjukkan adanya pengaruh pribumi dalam seni pahat.{{sfn|Jotischky|2004|p=146}}
Budaya visual menampakkan sifat masyarakat negara-negara Tentara Salib. Hiasan pada tempat-tempat suci, lukisan, maupun produksi naskah memperlihatkan pengaruh para seniman bumiputra. Para perupa Peringgi meminjam kiat-kiat seniman Romawi Timur dan pribumi di bidang pembuatan ikon. Lukisan-lukisan monumental maupun lukisan-lukisan pada panel, mosaik-mosaik maupun iluminasi naskah-naskah mengadopsi gaya pribumi, dan melahirkan suatu sintesis budaya yang terlihat di Gereja Kelahiran. Seni mosaik penghias dinding tidak dikenal di Barat, tetapi tersebar luas di negara-negara Tentara Salib. Meskipun tidak diketahui apakah dikerjakan oleh tukang-tukang pribumi atau oleh tukang-tukang Peringgi yang mempelajarinya dari tukang-tukang pribumi, karya seni mosaik di negara-negara Tentara Salib memperlihatkan evolusi suatu gaya artistik yang asli dan khas.{{sfn|Jotischky|2004|pp=145–146}} Sanggar-sanggar kerja yang mewadahi pengrajin-pengrajin Italia, Prancis, Inggris, maupun pengrajin-pengrajin pribumi menghasilkan naskah-naskah berilustrasi yang memperlihatkan suatu perkawinan silang antargagasan dan antarteknik. Salah satu contohnya adalah [[Mazmur Melisenda]]. Gaya hasil kawin silang ini mungkin saja mencerminkan dan mungkin pula mempengaruhi selera pemesannya terhadap karya-karya seni rupa dengan imbas pengaruh Romawi Timur yang kian distilisasi. [[Ikon]]-ikon sebelumnya tidak dikenal orang Peringgi. Pembuatan karya-karya seni lukis semacam ini terus berlanjut, kadang-kadang dalam gaya Peringgi, menampilkan orang-orang kudus Gereja Barat, dan pada akhirnya melahirkan seni lukis panel Italia.{{sfn|Jotischky|2004|pp=147–149}} Merunut alur jejak rancangan ilustrasi dan puri sampai kepada sumber-sumbernya bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Lebih mudah melacak sumber-sumber karya tulis, yakni karya-karya tulis yang diterjemahkan di Antiokhia, yang terkenal tetapi tidak sepenting karya-karya tulis Muslim Spanyol dan karya-karya tulis yang dihasilkan kebudayaan hibrida di Sisilia.{{sfn|Asbridge|2012|pp=667–668}}
Budaya visual menampakkan sifat masyarakat negara-negara Tentara Salib. Hiasan pada tempat-tempat suci, lukisan, maupun produksi naskah memperlihatkan pengaruh para seniman bumiputra. Para perupa Peringgi meminjam kiat-kiat seniman Romawi Timur dan pribumi di bidang pembuatan ikon. Lukisan-lukisan monumental maupun lukisan-lukisan pada panel, mosaik-mosaik maupun iluminasi naskah-naskah mengadopsi gaya pribumi, dan melahirkan suatu sintesis budaya yang terlihat di Gereja Kelahiran. Seni mosaik penghias dinding tidak dikenal di Barat, tetapi tersebar luas di negara-negara Tentara Salib. Meskipun tidak diketahui apakah dikerjakan oleh tukang-tukang pribumi atau oleh tukang-tukang Peringgi yang mempelajarinya dari tukang-tukang pribumi, karya seni mosaik di negara-negara Tentara Salib memperlihatkan evolusi suatu gaya artistik yang asli dan khas.{{sfn|Jotischky|2004|pp=145–146}} Sanggar-sanggar kerja yang mewadahi pengrajin-pengrajin Italia, Prancis, Inggris, maupun pengrajin-pengrajin pribumi menghasilkan naskah-naskah berilustrasi yang memperlihatkan suatu perkawinan silang antargagasan dan antarteknik. Salah satu contohnya adalah [[Mazmur Melisenda]]. Gaya hasil kawin silang ini mungkin saja mencerminkan dan mungkin pula mempengaruhi selera pemesannya terhadap karya-karya seni rupa dengan imbas pengaruh Romawi Timur yang kian distilisasi. [[Ikon]]-ikon sebelumnya tidak dikenal orang Peringgi. Pembuatan karya-karya seni lukis semacam ini terus berlanjut, kadang-kadang dalam gaya Peringgi, menampilkan orang-orang kudus Gereja Barat, dan pada akhirnya melahirkan seni lukis panel Italia.{{sfn|Jotischky|2004|pp=147–149}} Merunut alur jejak rancangan ilustrasi dan puri sampai kepada sumber-sumbernya bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Lebih mudah melacak sumber-sumber karya tulis, yakni karya-karya tulis yang diterjemahkan di Antiokhia, yang terkenal tetapi tidak sepenting karya-karya tulis Muslim Spanyol dan karya-karya tulis yang dihasilkan kebudayaan hibrida di Sisilia.{{sfn|Asbridge|2012|pp=667–668}}

Revisi per 24 April 2023 11.19

Negara-negara Tentara Salib pada tahun 1135

Negara-negara Tentara Salib, yang juga dikenal dengan sebutan Outremer, adalah empat negara Kristen Katolik di Timur Tengah yang berdiri dari tahun 1098 sampai 1291. Negara-negara feodal ini didirikan oleh para Panglima Tentara Salib Katolik Latin pada Perang Salib I melalui penaklukan dan intrik politik. Keempat negara tersebut adalah Kabupaten Edesa (tahun 1098–1150), Kepangeranan Antiokhia (tahun 1098–1287), Kabupaten Tripoli (tahun 1102–1289), dan Kerajaan Yerusalem (tahun 1099–1291). Kerajaan Yerusalem berdaulat atas kawasan yang kini menjadi wilayah negara Israel dan Palestina, daerah Tepi Barat, daerah Jalur Gaza, dan daerah-daerah sekitarnya. Tiga negara selebihnya berada di utara, dan berdaulat atas kawasan pesisir yang kini menjadi wilayah negara Suriah, kawasan tenggara wilayah Turki, dan wilayah negara Libanon. Sebutan "negara-negara Tentara Salib" bisa saja menimbulkan kesalahpahaman, karena dari tahun 1130 hanya segelintir dari populasi orang Peringgi yang menjadi anggota pasukan Tentara Salib. Istilah "Outremer", yang digunakan para penulis Abad Pertengahan maupun zaman modern sebagai sinonimnya, berasal dari istilah Prancis yang berarti tanah seberang.

Pada tahun 1098, rombongan ziarah bersenjata ke Yerusalem bergerak melintasi Suriah. Tentara Salib yang bernama Balduinus, putra bungsu Bupati Bonen, merebut tampuk pemerintahan Edesa dengan mengudeta penguasanya yang beragama Kristen Ortodoks Yunani, dan Tentara Salib yang bernama Bohemundus, Pangeran Taranto, menjadi Pangeran Antiokhia sesudah Tentara Salib berhasil merebut kota itu. Pada tahun 1099, Yerusalem berhasil direbut sesudah sebulan lebih dikepung. Konsolidasi wilayah kemudian dilakukan, antara lain dengan merebut Tripoli. Pada masa jayanya, wilayah kedaulatan negara-negara ini meliputi kawasan pesisir yang kini menjadi kawasan selatan wilayah Turki, wilayah Suriah, wilayah Libanon, serta wilayah Israel dan Palestina. Edesa direbut seorang panglima perang Turki pada tahun 1144, tetapi tiga negara selebihnya terus berdaulat sampai akhirnya ditumbangkan Kesultanan Mamluk pada abad ke-13. Antiokhia jatuh ke tangan musuh pada tahun 1268, dan Tripoli mengalami nasib yang sama pada tahun 1289. Sesudah Ako, ibu kota Kerajaan Yerusalem, jatuh ke tangan musuh pada tahun 1291, wilayah kedaulatan yang tersisa pun sirna dalam waktu singkat, dan warganya mengungsi ke Kerajaan Siprus (didirikan seusai Perang Salib III).

Kajian negara-negara Tentara Salib sebagai suatu bidang kajian mandiri, alih-alih sebagai cabang kajian Perang Salib, muncul pada abad ke-19 di Prancis sebagai analogi kiprah kolonial Prancis di Levans. Para sejarawan abad ke-20 menolak kajian tersebut. Menurut pandangan konsensus mereka, orang Peringgi, yakni orang-orang Eropa Barat, merupakan golongan minoritas yang tinggal di kota-kota, terisolasi dari masyarakat pribumi, dan memiliki tatanan kehakiman maupun keagamaan sendiri. Masyarakat pribumi adalah masyarakat Kristen dan Islam penutur bahasa Arab, Yunani, dan Suryani.

Outremer

Istilah "negara-negara Tentara Salib" maupun istilah "Outremer" (bahasa Prancis: outre-mer, "tanah seberang") dipakai untuk menyifatkan empat negara feodal yang didirikan seusai Perang Salib I di Levans sekitar tahun 1100, yakni (dari utara ke selatan) Negara-Kabupaten Edesa, Negara-Kepangeranan Antiokhia, Negara-Kabupaten Tripoli, dan Negara-Kerajaan Yerusalem. Istilah "Outremer" berasal dari Abad Pertengahan, sementara sejarawan-sejarawan modern memakai istilah "negara-negara Tentara Salib" sebagai padanannya, dan istilah "orang Peringgi" sebagai sebutan bagi para pendatang dari Eropa. Meskipun demikian, relatif sedikit saja pendatang Eropa yang mengikrarkan prasetia Tentara Salib.[1][2] Tawarikh-tawarikh Latin mengenai Perang Salib I, yang ditulis pada permulaan ke-11, menyamaratakan semua pendatang Kristen Barat dari Eropa dengan sebutan Franci (orang Peringgi) tanpa pandang bulu. Sumber-sumber pustaka Yunani Abad Pertengahan memakai istilah Frangkoi, dan sumber-sumber Arab memakai istilah Ifranji. Istilah alternatif yang dipakai di dalam tawarikh-tawarikh tersebut adalah Latini (orang Latin). Etnonim-etnonim Abad Pertengahan ini menunjukkan bahwa para pendatang Eropa dapat dibedakan dari masyarakat pribumi dari segi bahasa maupun agama.[3] Mayoritas orang Peringgi adalah umat Kristen Katolik-Roma penutur bahasa Prancis, sementara mayoritas orang pribumi adalah penutur bahasa Arab atau Yunani yang memeluk agama Islam, Kristen aliran lain, atau Yahudi.[2][4]

Gereja Makam Kudus di Yerusalem, salah satu petilasan yang paling disucikan oleh umat Kristen sedunia

Kerajaan Yerusalem berdaulat atas kawasan historis negeri Palestina, dan pada masa jayanya juga berdaulat atas beberapa daerah di sebelah timur Sungai Yordan. Negara-negara di utara berdaulat atas daerah-daerah yang kini menjadi bagian dari wilayah Suriah, tenggara Turki, dan Libanon, yakni daerah-daerah yang dikenal dalam catatan sejarah dengan nama Suriah (atau Syam dalam bahasa Arab) dan Mesopotamia Hulu. Wilayah Edesa membentang ke timur melewati Sungai Efrat. Pada Abad Pertengahan, negara-negara Tentara Salib juga dikenal dengan sebutan Latin Syria maupun padanan Prancisnya, Syrie.[5] Sejak tahun 1115, kepala negara Kerajaan Yerusalem digelari 'Raja orang Latin di Yerusalem'. Sejarawan Hans Eberhard Mayer yakin bahwa gelar tersebut menunjukkan bahwa orang Latin sajalah yang sempurna hak hukum dan hak politiknya di negara kerajaan itu, dan bahwasanya kesenjangan utama yang memecah-belah masyarakat bukanlah kesenjangan di antara ningrat dan jelata melainkan kesenjangan di antara Peringgi dan pribumi.[6] Meskipun adakalanya menerima sembah bakti dari, dan bertindak selaku wali atas, kepala-kepala negara Tentara Salib lainnya, Raja Yerusalem tidak memiliki status resmi sebagai rajadiraja, dan negara-negara tersebut secara hukum tetap berada di luar Kerajaan Yerusalem.[7]

Baik umat Yahudi, umat Kristen, maupun umat Islam memuliakan negeri Palestina, yang mereka sebut Tanah Suci, sebagai petilasan suci istimewa. Ketiga-tiga golongan umat beragama tersebut mengaitkan negeri itu dengan riwayat hidup nabi-nabi Perjanjian Lama. Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, negeri Palestina dihadirkan sebagai ajang kiprah Yesus dan rasul-rasulnya. Agama Islam menyifatkan Yerusalem, kota utama di negeri Palestina, sebagai tempat berlangsungnya peristiwa Isra Mikraj Muhammad. Petilasan-petilasan yang dihubung-hubungkan dengan orang-orang suci berkembang menjadi tempat-tempat suci yang disambangi para peziarah dari negeri-negeri yang jauh, biasanya dalam rangka menjalankan laku tobat. Gereja Makam Kudus pun didirikan untuk mengenang peristiwa penyaliban dan kebangkitan Kristus di Yerusalem. Gereja Kelahiran dibangun menaungi petilasan yang dipercaya sebagai tempat Kristus dilahirkan di Betlehem. Kubah Sakrah dan Mesjid Aqsa dibangun untuk mengenang Isra Mikraj Muhammad.[8][9] Meskipun sebagian besar petilasan yang disucikan itu terletak di negeri Palestina, ada pula tempat-tempat suci yang dibangun di negeri tetangganya, Suriah.[10] Sebagai daerah perbatasan Dunia Islam, negeri Suriah merupakan medan laga utama jihad, perang suci Islam, kendati semangat jihad sudah memudar menjelang akhir abad ke-11.[11] Di lain pihak, ideologi perang suci Katolik Roma justru berkembang pesat, dan pada puncaknya melahirkan gagasan Perang Salib demi mendaulat wilayah bagi kepentingan agama Kristen.[10][12]

Latar belakang

Eropa Katolik

Mayoritas Tentara Salib berasal dari kawasan yang pernah menjadi wilayah Kekaisaran Kulawangsa Karling sekitar tahun 800 tarikh Masehi. Negara besar itu sudah pecah menjadi dua negara penerus yang renggang persatuannya, yaitu Kerajaan Prancis, dan Kekaisaran Romawi Suci yang berdaulat atas Jerman beserta Italia Utara dan sekitarnya. Jerman terbagi-bagi menjadi beberapa kadipaten semisal Lotharinggia Hilir dan Saksen. Para adipati Jerman pun tidak selalu patuh kepada kaisar. Prancis malah lebih renggang lagi persatuannya. Raja-raja Prancis hanya memerintah secara langsung di daerah pusat yang kecil, sementara daerah-daerah selebihnya diperintah oleh para bupati atau adipati. Beberapa di antara kepala-kepala daerah itu sangat kaya dan berkuasa, terutama Adipati Akuitania, Adipati Normandia, Bupati Andegavia, Bupati Kampania, Bupati Flandria, dan Bupati Tolosa. Jerman maupun Prancis dikelilingi banyak negara merdeka, masing-masing diperintah seorang raja, salah satunya adalah Inggris, negara monarki Eropa Barat dengan pemerintahan yang paling terpusat.[13][14]

Umat Kristen Barat dan umat Islam lebih sering berinteraksi lewat peperangan dan perdagangan. Sepanjang abad ke-8 dan ke-9, umat Islam giat melancarkan serangan, dan perhubungan niaga lebih menguntungkan Dunia Islam. Eropa masih udik dan terbelakang, hanya sedikit yang dapat ditawarkannya selain bahan baku dan budak belian sebagai ganti rempah-rempah, bahan sandang, dan barang-barang mewah lainnya dari Timur Tengah.[15][16] Perubahan iklim yang terjadi pada Zaman Hangat Abad Pertengahan mendatangkan dampak yang berbeda di Timur Tengah dan di Eropa Barat. Perubahan tersebut mengakibatkan kemarau panjang di Timur, tetapi melipatgandakan hasil panen di Barat. Peningkatan hasil panen mendorong pertumbuhan populasi, ekspansi niaga, serta munculnya golongan elit militer dan pengusaha yang makmur.[17]

Di Eropa Katolik, tata negara dan tata kemasyarakatan diselaraskan dengan pranata-pranata feodal. Kekayaan dalam bentuk lahan biasanya merupakan anugerah bumi lungguh, ganjaran atas jasa bakti yang akan diberikan si penerima anugerah atau kawula kepada si pemberi anugerah atau majikan. Kawula berutang bakti kepada majikan, dan diharapkan untuk menyumbangkan tenaga maupun pikiran dalam perjuangan majikannya.[18] Tindak kekerasan merajalela di mana-mana, dan muncul suatu golongan pejuang yang bertunggangan kuda, yakni golongan kesatria. Banyak kesatria membangun puri, dan perseteruan antarkesatria kerap menyengsarakan populasi yang tidak bersenjata. Geliat pertumbuhan golongan kesatria terjadi bersamaan dengan penundukan kaum tani merdeka menjadi kawula tani, tetapi keterkaitan di antara kedua proses tersebut tidaklah jelas.[19] Lantaran orang dapat menjadi majikan feodal dengan cara mendaulat lahan, kaum ningrat di Barat pun dengan sukarela melancarkan kampanye-kampanye militer ofensif, bahkan sampai ke tempat-tempat yang jauh.[20] Ekspansi Eropa Katolik di kawasan Laut Tengah bermula pada paro akhir abad ke-11. Panglima-panglima perang Norman merampas kawasan selatan Italia dari Kekaisaran Romawi Timur dan mendepak raja-raja Islam dari Sisilia. Bangsawan-bangsawan Prancis bergegas mendatangi Semenanjung Iberia untuk memerangi orang Moro di Andalus, dan armada-armada Italia melancarkan aksi serbu-jarah di bandar-bandar Afrika Utara. Perubahan arah angin kekuasaan ini menguntungkan kaum saudagar Eropa, khususnya saudagar-saudagar asal Amalfi, Genova, Pisa, dan Venesia, negara-negara kota di Italia. Kiprah mereka menggeser peran tengkulak-tengkulak Yahudi dan Islam di kancah perniagaan lintas Laut Tengah, dan armada-armada mereka menjadi angkatan-angkatan laut yang terkemuka di kawasan itu.[21][22]

Menjelang Perang Salib, sesudah seribu tahun lamanya para paus silih berganti memerintah tanpa jeda, kepausan merupakan lembaga tertua di Eropa. Para paus dipandang sebagai pengganti Rasul Petrus, dan sangat dihormati. Di Barat, Reformasi Gregorian membatasi pengaruh umat awam dalam kehidupan beragama dan menguatkan wewenang paus atas kaum rohaniwan.[23][24] Umat Kristen Timur tetap memandang paus tidak lebih daripada salah seorang di antara kelima pucuk pimpinan Gereja yang digelari "batrik", dan menolak gagasan supremasi paus. Penolakan terhadap supremasi paus serta berbagai macam ketidaksamaan di bidang teologi dan liturgi menimbulkan pertengkaran-pertengkaran sengit yang kian meruncing tatkala seorang utusan paus mengekskomunikasi Batrik Oikumene Konstantinopel pada tahun 1054. Batrik Aleksandria, Batrik Antiokhia, dan Batrik Yerusalem memihak Batrik Oikumene melawan lembaga kepausan, tetapi Skisma Timur–Barat belum sampai ke tahap tak-terelakkan, dan Gereja Katolik masih bersatu sempurna dengan Gereja Ortodoks.[25] Reformasi Gregorian menguatkan pengaruh paus terhadap perkara-perkara sekuler. Demi berbagai tujuan politik, para paus mengekskomunikasi lawan-lawan mereka, menempatkan seantero negeri di bawah interdiksi, dan menjanjikan pahala rohani sebagai ganti kerelaan orang untuk mengangkat senjata demi kepentingan mereka. Pada tahun 1074, Paus Gregorius VII malah menjajaki kemungkinan untuk memimpin sendiri suatu kampanye militer melawan orang Turki yang merongrong kedaulatan Romawi Timur di Anatolia.[26]

Levans

Anatolia pada permulaan Perang Salib I (tahun 1097)

Arus migrasi bangsa Turki memasuki kawasan Timur Tengah sejak abad ke-9. Laskar-laskar Muslim penyerbu perbatasan menawan warga kaum kelana Turki di daerah-daerah perbatasan Asia Tengah dan menjual mereka kepada para petinggi Muslim yang menjadikan mereka sebagai tentara budak. Tentara budak disebut gulam atau mamluk dan dibebaskan bilamana memeluk agama Islam. Mamluk dinilai tinggi terutama lantaran keterikatan nasibnya kepada seorang majikan melahirkan kesetiaan yang sangat dalam. Dalam konteks politik Timur Tengah, kesetiaan semacam itu membuat mereka menjadi pihak yang lebih dipercaya daripada kaum kerabat sendiri.[a] Beberapa orang keturunan mamluk pada akhirnya berjaya mengangkat derajatnya menjadi negarawan penentu suksesi kepemimpinan, bahkan ada pula yang menjadi wangsakarta.[27][28]

Pada pertengahan abad ke-11, sebuah puak kecil dari suku Turki Oghuz yang diberi nama "Seljuk" menurut nama leluhurnya yang terkenal sebagai seorang panglima perang dari negeri di seberang Sungai Oksos, sudah berhasil menguasai Khurasan, Iran, dan Bagdad. Di Bagdad, cucu Seljuk yang bernama Tughril dianugerahi sultan (kata Arab yang berarti "kuasa") oleh Khalifah Bani Abbas. Sang khalifah tetap dimuliakan selaku penguasa yang sah, tetapi kekuasaan politik berada di tangan pada sultan.[29][30] Wangsa Seljuk meraih kejayaannya dengan cara-cara kekerasan. Wangsa Seljuk membawa masuk gaya hidup kelana dalam masyarakat Levans yang sudah hidup menetap, dan menetapkan suatu pola acuan yang diikuti puak-puak kelana Turki lainnya semisal wangsa Danisymend dan wangsa Artuk. Kemaharajaan Seljuk Raja tidak terpusat, menuturkan aneka bahasa, dan terdiri atas beragam suku-bangsa. Generasi muda wangsa Seljuk yang mengepalai pemerintahan daerah yang dianugerahkan kepada mereka sebagai bumi lungguh diberi gelar malik, kata Arab yang berarti "raja".

Para panglima Mamluk yang menjadi pembimbing sekaligus pengasuh bagi pangeran-pangeran belia wangsa Seljuk memegang jabatan atabeg, kata Turki yang berarti "bapa panglima". Jika anak asuhnya dianugerahi daerah bumi lungguh, maka atabeglah yang menjalankan pemerintahan daerah itu selaku patih sang malik yang belum cukup umur. Adakalanya atabeg terus berkuasa sesudah anak asuhnya cukup umur atau wafat.[31][32] Wangsa Seljuk mengadopsi dan memperkuat sistem iqta', tata usaha penerimaan negara tradisional. Sistem ini menjamin kelancaran pembayaran upah para panglima pasukan melalui penganugerahan hak kepada mereka untuk memungut pajak bumi di wilayah kewenangan yang jelas batas-batasnya, tetapi membuat wajib pajak rentan menjadi korban keserakahan penguasa yang berhalangan hadir maupun perlakuan semena-mena dari para pegawainya.[33][34] Meskipun roda pemerintahan negara wangsa Seljuk berjalan lancar manakala ikatan kekeluargaan dan kesetiaan perorangan bertumpang tindih dengan ambisi pribadi kepala negara, anugerah iqta' yang berlimpah ruah ditambah lagi dengan persaingan di antara para malik, para atabeg, dan para panglima pasukan, berpeluang menimbulkan perpecahan pada masa-masa genting.[35]

Keberagaman suku-bangsa dan agama menciptakan keterkucilan pemerintah di tengah-tengah populasi rakyatnya. Di Suriah, wangsa Seljuk yang berpaham Suni memerintah masyarakat pribumi yang berpaham Syiah. Di Kilikia dan kawasan utara Suriah, pemerintah Romawi Timur, Arab, dan Turki menekan populasi bangsa Armenia. Kawasan selatan negeri Palestina menjadi wilayah yang diperebutkan wangsa Seljuk dan Mesir, negara tempat para penguasa Syiah memerintah rakyat yang mayoritas berpaham Suni melalui wazir-wazir tangguh yang sebagian besar adalah orang orang-orang berkebangsaan Turki atau Armenia, alih-alih berkebangsaan Mesir atau Arab.[36] Wangsa Seljuk dan Khilafah Bani Fatimah di Mesir saling membenci, lantaran wangsa Seljuk menganggap dirinya sebagai pembela Khilafah Bani Abas yang berpaham Suni, sementara Khilafah Bani Fatimah di Mesir adalah daulat Syiah terkuat di Dunia Islam.[37] Biang keladinya bukanlah konflik budaya maupun ras, melainkan perpecahan umat Islam yang timbul sepeninggal Muhammad. Golongan Suni mengusung suksesi khalifah yang bermula dari Abu Bakar, salah seorang sahabat Muhammad, sementara golongan Syiah mendukung suksesi imam yang bermula dari Ali, sepupu sekaligus menantu Muhammad.[38][39]

Hukum agama Islam memberikan status zimi (kaum yang dilindungi) kepada ahlul kitab (kaum berkitab) seperti umat Kristen dan umat Yahudi. Zimi adalah warna negara kelas dua, diwajibkan membayar pajak per kapita, yakni jizyah, tetapi diizinkan mengamalkan agamanya dan mempertahankan mahkamah peradilannya masing-masing.[40][41] Perbedaan-perbedaan di bidang teologi, liturgi, dan kebudayaan memunculkan berbagai denominasi Kristen yang saling bersaing di Levans sebelum bangsa Arab Muslim melancarkan aksi penaklukan pada abad ke-7. Masyarakat pribumi yang beragama Kristen Ortodoks Yunani, yakni umat Kristen Maliki, tetap bersatu dengan Gereja Kekaisaran Romawi Timur, dan para pemuka agama mereka sering kali adalah orang-orang asal Konstantinopel, ibu kota negara Romawi Timur. Pada abad ke-5, umat Kristen berakidah Nasathirah serta umat Kristen Yakubi, umat Kristen Armenia, dan umat Kristen Kubti yang berakidah monofisit memutuskan hubungan dengan Gereja negara Romawi Timur. Umat Kristen Mawarinah memiliki organisasi gerejawi tersendiri pada zaman daulat Islam.[42]

Pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11, Kekaisaran Romawi Timur bangkit menerjang, merebut kembali Antiokhia pada tahun 969, sesudah tiga abad lamanya dikuasai bangsa Arab, dan menginvasi Suriah.[43][44] Gerombolan-gerombolan penyamun Turki dan gerombolan-gerombolan yang sama dari Romawi Timur, yang disebut akritai dan sering kali juga terdiri atas orang-orang berkebangsaan Turki, melancarkan aksi-aksi penyerbuan lintas perbatasan. Pada tahun 1071, saat berusaha mengamankan garis perbatasan utara pada masa jeda perang melawan Khilafah Bani Fatimah, Sultan Alp Arslan mengalahkan Kaisar Romanos Diogenes dalam pertempuran di Manzikert. Penawanan atas diri Romanos disusul perpecahan antar golongan di Kekaisaran Romawi Timur melemahkan kendali Romawi Timur atas daerah perbatasannya. Situasi ini dimanfaatkan sejumlah besar laskar dan penggembala kelana Turki untuk menerobos masuk ke Anatolia. Sepupu Alp Arslan yang bernama Sulaiman bin Kutalmis merebut Kilikia dan memasuki Antiokhia pada tahun 1084. Dua tahun kemudian, ia tewas terbunuh dalam konflik dengan Kemaharajaan Seljuk Raya.[45] Antara tahun 1092 sampai 1094, Nizamul Muluk, alias Sultan Malik Syah dan Wazir Nizamul Muluk, maupun Khalifah Mustansir Billah dan Wazir Badrul Jamali, semuanya mangkat.[46][47] Adik Sultan Malik Syah yang bernama Tutus, Atabeg Halab, dan Atabeg Edesa tewas terbunuh dalam konflik suksesi, dan putra Sulaiman yang bernama Kilij Arslan menghidupkan kembali Kesultanan Rum yang dulu didirikan mendiang ayahnya di Anatolia. Suksesi Khilafah Bani Fatimah di Mesir menimbulkan perpecahan di kalangan pengikut mazhab Ismailiyah, salah satu cabang Islam Syiah. Kelompok yang memisahkan diri dipimpin oleh seorang da'i Persia bernama Hasani Sabah. Mereka membentuk mazhab Nizari, salah satu cabang Ismailiyah. Mazhab ini dikenal sebagai Dakwah Baru di Suriah dan tarekat Asasin di dalam historiografi Barat. Karena tidak memiliki kekuatan militer, tarekat Asasin menggunakan tindak pembunuhan bersasaran sebagai gantinya.[48]

Serbuan-serbuan Seljuk, keterpurukan Kekaisaran Romawi Timur maupun Khilafah Bani Fatimah yang diakibatkannya, dan perpecahan Kemaharajaan Seljuk menghidupkan kembali sistem negara kota khas Levans lama.[49] Kawasan Levans sudah sejak dulu merupakan kawasan dengan banyak kota, dan kelompok-kelompok masyarakat di kawasan itu ditata sedemikian rupa sehingga membentuk jejaring-jejaring permukiman yang saling bergantung, masing-masing berpusat pada satu kota besar atau satu kota kecil utama.[50] Jejaring-jejaring ini tumbuh menjadi daerah-daerah swatantra di bawah kepemimpinan seorang panglima perang Turki, Arab, atau Armenia, atau dewan kotapraja pada akhir abad ke-11.[51] Para kadi setempat mengambil alih pemerintahan Tirus dan Tripoli, kabilah Arab Bani Munqid merebut Saijar, sementara putra-putra Tutus yang bernama Duqaq dan Ridwan masing-masing memerintah atas Damsyik dan Halab, meskipun tata usaha pemerintahannya diselenggarakan oleh para atabeg mereka, Janatud-Dawla dan Togtekin. Abdi Ridwan yang bernama Sökmen bin Artuk memerintah Yerusalem, ayah mertua Ridwan yang bernama Yağısıyan memerintah Antiokhia, sementara seorang panglima perang bernama Toros merebut Edesa atas nama Kerajaan Romawi Timur.[52] Pada kurun waktu inilah perseteruan lama Suni-Syiah memicu umat Islam untuk saling memerangi, ketimbang memerangi umat Kristen.[53]

Sejarah

Pendirian

Kekaisaran Romawi Timur memperbesar angkatan perangnya dengan prajurit-prajurit upahan berkebangsaan Turki maupun Eropa. Kebijakan ini ditempuh demi menyiasati keterbatasan sumber daya manusia akibat hilangnya wilayah, khususnya di Jazirah Anatolia.[54] Pada tahun 1095, di dalam Konsili Piacenza, Kaisar Aleksius Komnenus meminta dukungan Paus Urbanus II untuk menghadapi ancaman Seljuk.[55] Kemungkinan besar yang diharapkan Kaisar hanyalah angkatan perang yang tidak seberapa besar, tetapi Sri Paus ternyata memberi bantuan yang melampaui harapan, yakni dengan menyerukan Perang Salib I dalam Konsili Clermont. Sri Paus mengembangkan doktrin bellum sacrum (perang suci), kemudian merukunkannya dengan ajaran Gereja dengan merujuk ayat-ayat Perjanjian Lama tentang tuntunan Allah yang menghantarkan orang-orang Ibrani menjemput kemenangan di dalam peperangan.[56] Ziarah bersenjata demi membebaskan umat Kristen Timur dan merebut kembali Tanah Suci yang diserukan Sri Paus menyalakan semangat juang yang belum pernah berkobar sedemikian besarnya di dalam sejarah Eropa Katolik. Dalam jangka waktu satu tahun, puluhan ribu orang, ningrat maupun jelata, bertolak menuju medan laga.[57] Motivasi yang menggerakkan tiap-tiap orang untuk turut berjuang tidaklah sama, tetapi kemungkinan besar beberapa orang bertolak meningkalkan Eropa dengan niat untuk menetap di Levans.[58]

Ekonomi

Uang logam keluaran Kerajaan Yerusalem koleksi Museum Inggris. Kiri: Dinar Eropa bergambar Makam Kudus (tahun 1162–1175). Tengah: Bezant emas bertulisan Arab kufi (tahun 1140–1180). Kanan: Bezant emas bergambar salib (dasawarsa 1250-an)

Negara-negara Tentara Salib merupakan pusat-pusat ekonomi yang menghambat usaha dagang Muslim, baik usaha dagang lewat laut dengan dunia Barat maupun usaha dagang lewat darat dengan Mesopotamia, Suriah, dan ekonomi perkotaan Sungai Nil. Perdagangan dilanjutkan dengan kota-kota pesisir yang menjadi pintu keluar barang-barang dari daerah-daerah Muslim di pedalaman, dan jumlah barang-barang pecah belah buatan Timur yang diekspor ke Eropa jauh lebih besar daripada yang sudah-sudah. Usaha dagang Romawi Timur-Muslim mungkin sudah bertumbuh pada abad ke-12 dan ke-13, tetapi agaknya Perang Salib mempercepat laju pertumbuhannya. Populasi dan ekonomi Eropa Barat sedang mengalami lonjakan, yang melahirkan suatu golongan masyarakat berkembang yang menginginkan barang-barang kerajinan dan barang-barang impor dari Timur. Armada-armada Eropa bertambah besar dengan kapal-kapal yang lebih baik, ilmu navigasi mengalami kemajuan, dan para peziarah yang membayar tarif angkut penumpang membantu meringankan biaya pelayaran. Usaha tani yang kebanyakan ditekuni masyarakat pribumi mengalami perkembangan sebelum Kerajaan Yerusalem perdana ditumbangkan pada tahun 1187, tetapi ditelantarkan sesudahnya. Orang Peringgi, Muslim, Yahudi, dan Kristen pribumi berjual beli hasta karya di suq, pasar khas Dunia Timur yang terdapat di kota-kota.[59]

Buah zaitun, buah anggur, gandum, dan jelai adalah hasil-hasil pertanian utama pada masa sebelum Salahudin melancarkan aksi-aksi penaklukannya. Pembuatan kaca dan produksi sabun merupakan usaha-usaha industri besar di kota-kota.[60] Orang-orang Italia, Provensya, dan Katala memonopoli bidang usaha angkutan laut, ekspor-impor barang, transportasi, dan perbankan. Hasil pungutan pajak dagang, pajak pasar, pajak peziarah, dan pajak industri, ditambah hasil pengusahaan tanah merupakan sumber penghasilan kaum ningrat dan Gereja orang Peringgi.[61] Monopoli tuan tanah atau hak ban mewajibkan penggarap lahan untuk menggunakan kilang, pemanggang roti, dan fasilitas-fasilitas lain milik tuan tanah. Keberadaan batu kilangan di sebagian besar hunian keluarga merupakan bukti usaha kawula tani untuk mengakali beberapa jenis monopoli tuan tanah.[62] Pusat-pusat produksi adalah Antiokhia, Tripoli, Tirus, dan Beirut. Bahan sandang, teristimewa sutra, kaca, aneka kain celupan, zaitun, minuman anggur, minyak wijen, dan gula merupakan komoditas ekspor.[63]

Orang Peringgi membuka pasaran pakaian dan barang jadi.[64] Mereka mengadopsi sistem ekonomi pribumi yang lebih termonetisasi dengan menggunakan alat tukar bauran uang perak kawasan utara Italia dan uang perak kawasan selatan Prancis. Uang tembaga Peringgi dicetak dengan gaya Arab dan Romawi Timur, demikian pula dirham perak dan dinar emas. Selepas tahun 1124, orang Peringgi meniru dinar Mesir dan menciptakan bezant emas Yerusalem. Sesudah Kerajaan Yerusalem perdana ditumbangkan pada tahun 1187, perdagangan menggeser pertanian di bidang ekonomi, dan uang logam Barat lumrah digunakan di mana-mana. Sekalipun Tirus, Sidon, dan Beirut mengeluarkan uang perak pecahan kecil dan uang tembaga, tidak banyak bukti yang menunjukkan adanya usaha sistematis untuk menciptakan mata uang bersama.[65]

Tiga republik maritim di Jazirah Italia, yakni Pisa, Venesia, dan Genova, adalah negara-negara pejuang Perang Salib yang gigih. Negara-negara ini kaya berkat usaha dagangnya sehingga mampu menyediakan landasan finansial dan sumber daya angkatan laut bagi orang Peringgi.[66] Sebagai imbalannya, ketiga kota itu maupun kota-kota lainnya, semisal Amalfi, Barcelona, dan Masilia, mendapatkan hak menjalankan usaha dagang maupun akses ke pasar-pasar Timur. Seiring bergulirnya waktu, saudagar-saudagar Eropa membentuk kampung-kampung rantau menurut negara asal masing-masing, lengkap dengan harta kekayaan dan yurisdiksinya sendiri.[67] Kampung-kampung perantau Italia, Provensya, dan Katala, yang kebanyakan berlokasi di bandar Ako, Tirus, Tripoli, dan Sidon, memiliki budaya khasnya masing-masing, dan mengampu kekuasaan politik swatantra yang terpisah dari pemerintah Peringgi. Kampung-kampung rantau tersebut memelihara ikatan erat dengan kota-kota asalnya, yang memberi mereka monopoli atas usaha dagang, perbankan, dan angkutan laut luar negeri. Peluang-peluang untuk mendapatkan hak istimewa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, pada tahun 1124, orang-orang Venesia diberi sepertiga bagian dari kota Tirus berikut daerah bawahannya tanpa kewajiban membayar pajak sebagai balas jasa keikutsertaan Venesia dalam perjuangan merebut kota itu. Bandar-bandar tersebut tidak mampu menggeser kedudukan Aleksandria dan Konstantinopel sebagai pusat-pusat niaga utama, dan malah bersaing dengan kepala-kepala negara maupun satu sama lain demi mempertahankan keuntungan ekonomi. Jumlah kampung-kampung rantau tidak pernah melebihi angka ratusan. Kekuasaannya bersumber dari dukungan kota asal masing-masing. Memasuki pertengahan abad ke-13, para kepala kampung rantau tidak lagi mengindahkan wewenang pemerintah Peringgi, dan membagi wilayah Ako menjadi beberapa negara republik mini berpagar benteng.[68][69]

Seni rupa dan arsitektur

Krak des Chevaliers, puri Kesatria Penyantun dari abad ke-12 di Suriah

Menurut Prawer, tidak ada budayawan Barat terkemuka yang menetap di negara-negara Tentara Salib, tetapi bahwasanya orang-orang lain tergugah untuk berkunjung ke Timur berkat pengungkapan citraan di dalam karya-karya seni puisi Barat.[70] Para sejarawan meyakini bahwa arsitektur militer yang menunjukkan suatu sintesis tradisi Eropa, tradisi Romawi Timur, dan tradisi Muslim adalah capaian artistik asli Tentara Salib yang mengesankan. Puri merupakan lambang keberdaulatan golongan minoritas Peringgi atas golongan mayoritas bumiputra yang digunakan sebagai pusat tata usaha pemerintahan.[71] Historiografi modern menolak konsensus abad ke-19 yang mengatakan bahwa orang-orang Barat mendapatkan dasar-dasar ilmu arsitektur militernya dari Timur Dekat. Pertumbuhan teknologi pertahanan sudah berlangsung di Eropa sebelum Perang Salib. Perkenalan dengan bangunan pertahanan Arab yang aslinya dibangun Romawi Timur memengaruhi perkembangan di Timur, tetapi tidak banyak bukti yang menunjukkan perbedaan budaya rancangan dan desakan situasi. Puri-puri Tentara Salib ditambahi unsur-unsur Timur semisal waduk besar, sedangkan unsur-unsur Barat semisal parit justru ditiadakan.[72] Rancangan gereja berlanggam Romanik Prancis tampak pada bangunan baru Gereja Makam Kudus dari abad ke-12. Orang Peringgi mempertahankan unsur-unsur Romawi Timur dari bangunan lamanya, tetapi menambahkan bilik-bilik kapel dan pelengkung-pelengkung khas Prancis Utara, Akuitania, dan Provensya. Barisan saka guru pada muka bangunan di sisi selatan dibuat bercorak Suriah klasik, tetapi hanya sedikit bukti yang menunjukkan adanya pengaruh pribumi dalam seni pahat.[73]

Budaya visual menampakkan sifat masyarakat negara-negara Tentara Salib. Hiasan pada tempat-tempat suci, lukisan, maupun produksi naskah memperlihatkan pengaruh para seniman bumiputra. Para perupa Peringgi meminjam kiat-kiat seniman Romawi Timur dan pribumi di bidang pembuatan ikon. Lukisan-lukisan monumental maupun lukisan-lukisan pada panel, mosaik-mosaik maupun iluminasi naskah-naskah mengadopsi gaya pribumi, dan melahirkan suatu sintesis budaya yang terlihat di Gereja Kelahiran. Seni mosaik penghias dinding tidak dikenal di Barat, tetapi tersebar luas di negara-negara Tentara Salib. Meskipun tidak diketahui apakah dikerjakan oleh tukang-tukang pribumi atau oleh tukang-tukang Peringgi yang mempelajarinya dari tukang-tukang pribumi, karya seni mosaik di negara-negara Tentara Salib memperlihatkan evolusi suatu gaya artistik yang asli dan khas.[74] Sanggar-sanggar kerja yang mewadahi pengrajin-pengrajin Italia, Prancis, Inggris, maupun pengrajin-pengrajin pribumi menghasilkan naskah-naskah berilustrasi yang memperlihatkan suatu perkawinan silang antargagasan dan antarteknik. Salah satu contohnya adalah Mazmur Melisenda. Gaya hasil kawin silang ini mungkin saja mencerminkan dan mungkin pula mempengaruhi selera pemesannya terhadap karya-karya seni rupa dengan imbas pengaruh Romawi Timur yang kian distilisasi. Ikon-ikon sebelumnya tidak dikenal orang Peringgi. Pembuatan karya-karya seni lukis semacam ini terus berlanjut, kadang-kadang dalam gaya Peringgi, menampilkan orang-orang kudus Gereja Barat, dan pada akhirnya melahirkan seni lukis panel Italia.[75] Merunut alur jejak rancangan ilustrasi dan puri sampai kepada sumber-sumbernya bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Lebih mudah melacak sumber-sumber karya tulis, yakni karya-karya tulis yang diterjemahkan di Antiokhia, yang terkenal tetapi tidak sepenting karya-karya tulis Muslim Spanyol dan karya-karya tulis yang dihasilkan kebudayaan hibrida di Sisilia.[76]

Agama

Tidak ada bukti tertulis yang menunjukkan bahwa orang Peringgi atau umat Kristen pribumi menyadari perbedaan-perbedaan agamawi di antara mereka sampai abad ke-13th, ketika para ahli hukum mulai menggunakan frasa-frasa seperti orang-orang yang tidak mengikuti aturan Roma. [77] Tentara Salib memangku jabatan-jabatan gerejawi Ortodoks Yunani yang lowong. Sebagai contoh, ketika Batrik Simeon II wafat, seorang rohaniwan Peringgi bernama Arnulfus menjadi Batrik Yerusalem menggantikannya. Pengangkatan uskup-uskup Latin tidak menimbulkan dampak yang berarti terhadap umat Kristen Ortodoks penutur bahasa Arab. Uskup-uskup mereka sebelumnya pun adalah orang-orang asing, yakni orang-orang Romawi Timur berkebangsaan Yunani. Orang-orang Yunani dijadikan uskup-uskup bantu untuk melayani umat pribumi yang tidak memiliki rohaniwan, dan melakukannya dalam bahasa Latin. Umat Kristen Ortodoks pun kerap saling berbagi rumah ibadat. Di Antiokhia, orang-orang Yunani kadang-kadang diangkat menggantikan batrik-batrik Latin. Toleransi terus berjalan, kendati ada pula tindakan campur tangan dari pihak pro-Paus yang dilakukan Yakobus, Uskup Ako. Umat Kristen Armenia, Kubti, Yakubi, dan Mawarinah memiliki keswatantraan yang lebih besar dalam urusan pengangkatan uskup secara mandiri, karena dianggap bukan bagian dari Gereja Katolik.[78] Orang Peringgi memberlakukan undang-undang diskriminatif terhadap umat Yahudi dan umat Islam yang menghalangi terjadinya asimilasi. Secara keseluruhan, kedudukan hukum mereka adalah suatu hasil adaptasi Kristen Latin dari sistem zimi.[79] Mereka dilarang bertempat tinggal di Yerusalem, ada undang-undang pembatasan belanja yang melarang mereka untuk mengenakan pakaian Peringgi, dan hukuman de iure terhadap hubungan seksual antarumat beragama Islam-Kristen adalah mutilasi. Umat Yahudi dan umat Islam berpegang teguh kepada tatanan hukum agamanya masing-masing. Mereka didiskriminasi di dalam hukum sipil maupun hukum yang mengatur hubungan antarumat beragama, dan diwajibkan membayar pajak per kapita (capitātiō).[80] Umat Islam diketepikan dari kehidupan kota, tetapi umat Islam pedesaan di wilayah kedaulatan Tentara Salib tampaknya sama sejahteranya dengan, bahkan mungkin lebih sejahtera daripada, saudara-saudara seiman mereka di negeri-negeri Muslim, dan orang-orang Badawi memiliki status istimewa.[80] Sejumlah mesjid diubah menjadi gereja ritus Latin, khususnya mesjid-mesjid besar, tetapi sebagian besar mesjid tetap menjadi milik umat Islam. Di tempat-tempat tertentu, umat Islam kadang-kadang diperbolehkan untuk beribadat di sebagian dari lingkungan rumah ibadat bekas mesjid,[80] seperti yang dialami sendiri oleh Usamah bin Munqid pada awal dasawarsa 1140-an.[81] Umat Islam tidak dipaksa masuk Kristen, karena orang Peringgi ingin supaya mereka tetap berstatus hamba tani.[82] Disamping itu, Tentara Salib sendiri tampaknya tidak berminat untuk mengubah kepercayaan umat Yahudi, umat Islam, maupun umat Kristen Miafisit menjadi agama Kristen Latin. Para pemeluk agama yang berbeda-beda pun diperbolehkan untuk berbaur di dalam kegiatan pengamalan kepercayaan rakyat yang bersifat lintas agama, misalnya di Gua Para Pitarah yang sekarang ini sudah dibagi menjadi lingkungan peribadatan Islam dan lingkungan peribadatan Yahudi.[83]

Warisan sejarah

Mengingat kebiasaan orang Peringgi yang terus mengamalkan adat-istiadat negeri asal mereka, yakni adat-istiadat Eropa Barat, dapat dimaklumi jika hanya segelintir inovasi mereka yang sanggup bertahan menyintasi zaman. Tiga kekecualian yang menonjol adalah tarekat-tarekat militer, inovasi di bidang peperangan, dan inovasi di bidang perbentengan. Tidak ada penyair, teolog, sarjana, maupun sejarawan besar Eropa yang menetap di Levans, kendati citraan-citraan dan gagasan-gagasan baru di bidang seni puisi Barat dapat ditelusuri asal-usulnya sampai kepada beberapa tokoh yang berkunjung ke Levans dalam rangka berziarah. Sekalipun mereka sendiri tidak bermigrasi ke Timur, karya-karya mereka kerap menggugah orang-orang lain untuk berkunjung ke Levans sebagai peziarah.[84] Para sejarawan yakin bahwa arsitektur Tentara Salib memperlihatkan suatu sintesis dari tradisi Eropa, tradisi Romawi Timur, dan tradisi Islam, juga bahwasanya arsitektur Tentara Salib merupakan capaian artistik Tentara Salib yang paling memukau.[71]

Sesudah Ako jatuh ke tangan Mamluk, tarekat Kesatria Penyantun pertama-tama memindahkah markasnya ke Siprus, kemudian menaklukkan dan memerintah Rodos (tahun 1309–1522) dan Malta (tahun 1530–1798). Tarekat Militer Berdaulat Malta masih bertahan sampai sekarang. Kemungkinan besar alasan-alasan keuangan dan politiklah yang mendorong Raja Philippe Rupawan untuk menentang tarekat Kesatria Haikal. Akibat tekanannya pula Paus Klemens V membubarkan tarekat Kesatria Haikal pada tahun 1312 lantaran terbukti bersalah melakukan tindak pidana semburit, sihir, dan bidat, yang kemungkinan besar hanyalah dalih belaka yang direkayasa untuk menjatuhkan nama baik mereka.[85] Pembentukan dan pengangkutan pasukan, serta penyelenggaraan perbekalan untuk angkatan bersenjata mendorong munculnya perniagaan antara Eropa dan negara-negara Tentara Salib. negara-negara kota Genova dan Venesia di Italia menjadi makmur berkat komune-komune dagang penghasil laba.[86][87] Banyak sejarawan berpendapat bahwa interaksi antara umat Kristen Barat dan kebudayaan Islam adalah pengaruh penting dan positif yang turut andil dalam perkembangan peradaban Eropa dan Renaisans.[88] Perhubungan antara orang Eropa dan Dunia Islam merentang sepanjang bentangan Laut Tengah, sehingga menyulitkan para sejarawan untuk mengidentifikasi mana saja hasil kawin-silang budaya yang berasal dari negara-negara Tentara Salib, yang berasal dari Sisilia, dan yang berasal dari Spanyol.[76]

Historiografi

Pada abad ke-19, negara-negara Tentara Salib dijadikan sebuah bidang studi tersendiri, terpisah dari bidang studi Perang Salib, terutama di Prancis. Narasi-narasi hebat dari Joseph François Michaud secara khusus mengulik topik-topik perang, penaklukan, dan pemukiman, secara terang-terangan dikait-kaitkan dengan ambisi-ambisi kolonial Prancis di Levans. Les colonies franques de Syrie aux XIIme et XIIIme siècles karya Emmanuel Rey menyifatkan permukiman-permukiman Peringgi di Levans sebagai koloni, tempat anak-anak hasil kawin campur mengadopsi adat-istiadat setempat. Sejarawan Perang Salib pertama dari Amerika, Dana Carleton Munro, memaparkan jerih payah orang Peringgi untuk ‘’memikat hati bumiputra’’. Para sejarawan menolak pendekatan ini pada abad ke-20. menurut R. C. Smail, pendekatan tersebut mengidentifikasi sebuah masyarakat teritegrasi yang tidak pernah maujud demi membenarkan kolonialisme Prancis. Menurut konsensus baru, masyarakat Peringgi di Levans sesungguhnya tersegregasi, dengan pertukaran sosial dan budaya yang terbatas. Berfokus pada bukti kerangka kerja sosial, hukum, dan politik di Yerusalem, Joshua Prawer dan Jonathan Riley-Smith menyajikan pandangan yang berterima luas, yakni pandangan bahwa masyarakat Peringgi di Levans adalah masyarakat yang sangat bersifat perkotaan, terisolasi dari masyarakat pribumi, dengan tatanan kehakiman dan keagamaannya sendiri. Karya tulis Prawer yang terbit tahun 1972, The Latin Kingdom of Jerusalem: European Colonialism in the Middle Ages, memperluas analisis tersebut dengan mengatakan bahwa ketiadaan integrasi berpangkal pada bidang ekonomi, manakala kedudukan orang Peringgi bergantung kepada masyarakat bumiputra yang tertaklukkan dan ternafikan hak-haknya. Motivasi-motivasi utama orang Peringgi adalah motivasi-motivasi ekonomi. Menurut sejarawan agama Islam, Carole Hillenbrand, masyarakat Islam menanggapinya dengan rasa dongkol, curiga, dan penolakan terhadap orang Peringgi.[89] Pandangan tersebut belakangan ini disanggah para sejarawan semisal Ronnie Ellenblum dengan menggunakan penelitian arkeologis, tetapi belum ada model alternatif yang diterima.[90] Christopher Tyerman menunjukkan bahwa langkah tersebut bukanlah tindakan berbalik kepada teori-teori lama karena sumber-sumber yang sama jua yang digunakan dan arkeologi tidak dapat dipastikan kebenarannya. Di mata spesialis Denys Pringle, langkah ini tidak berkontradiksi dengan pandangan sebelumnya. Hans Eberhard Mayer sebelumnya sudah menganjurkan supaya jumlah orang Peringgi yang tinggal di daerah pedesaan jangan disepelekan.[91] Teori-teori tersebut mendukung gagasan bahwa negara-negara Tentara Salib merupakan bagian dari ekspansi Eropa Barat yang lebih besar, didorong oleh gerakan pembaruan agamawi dan kekuasaan paus yang kian menanjak. Meskipun demikian, para sejarawan berpendapat bahwa tidak ada gerakan pembaruan Gereja di Timur maupun aniaya terhadap orang Yahudi dan Ahli bidat sebagai konsekuensinya. Sejumlah pihak menganggap regulasi-regulasi Konsili Nablus tahun 1120 sebagai kekecualian, dan Benjamin Z. Kedar yakin bahwa regulasi-regulasi tersebut mengikuti preseden yang ada di Gereja Bizantin, alih-alih preseden yang ada di Gereja Barat pascapembaruan.[92] Perdebatan telah mendorong para sejarawan semisal Claude Cahen, Jean Richard, dan Christopher MacEvitt untuk berpendapat bahwa sejarah negara-negara Tentara Salib pada hakikatnya berbeda dari sejarah Perang Salib, sehingga terbuka ruang bagi penerapan teknik-teknik analisis lain yang menempatkan negara-negara Laskar Salib di dalam konteks percaturan politik Timur Dekat. Gagasan-gagasan ini masih sedang diartikulasikan oleh para sejarawan modern.[93]

Baca juga

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^ Wazir dan kepala pemerintahan efektif Kemaharajaan Seljuk Raya, Nizamul Muluk, menjabarkannya secara tertulis di dalam sebuah kitab pedoman kepemimpinan Islami.

Sumber

  1. ^ Asbridge 2012, hlm. 115, 698 (keterangan no. 49).
  2. ^ a b Murray 2013, hlm. 291–292.
  3. ^ Buck 2020, hlm. 274–276, 279.
  4. ^ Buck 2020, hlm. 297.
  5. ^ Murray 2006, hlm. 910.
  6. ^ Mayer 1978, hlm. 175–176.
  7. ^ Murray & Nicholson 2006, hlm. 671.
  8. ^ Cobb 2016, hlm. 33–34.
  9. ^ Jotischky 2004, hlm. 34, 122.
  10. ^ a b Cobb 2016, hlm. 34–35.
  11. ^ Hillenbrand 1999, hlm. 100–103.
  12. ^ Tyerman 2019, hlm. 28–29.
  13. ^ Jaspert 2006, hlm. 2–3.
  14. ^ Tyerman 2007, hlm. 8–9, 15–18.
  15. ^ Cobb 2016, hlm. 16, 19–22.
  16. ^ Tyerman 2007, hlm. 57, 61–62.
  17. ^ Tyerman 2007, hlm. 47, 53.
  18. ^ Jaspert 2006, hlm. 3, 88.
  19. ^ Jaspert 2006, hlm. 16–17.
  20. ^ Tyerman 2007, hlm. 54.
  21. ^ Jaspert 2006, hlm. 24–25.
  22. ^ Tyerman 2007, hlm. 57, 62.
  23. ^ Tyerman 2007, hlm. 4–6.
  24. ^ Jaspert 2006, hlm. 25–26.
  25. ^ Jotischky 2004, hlm. 28–29.
  26. ^ Jaspert 2006, hlm. 25–27.
  27. ^ Findley 2005, hlm. 65–68.
  28. ^ Holt 1986, hlm. 6–7.
  29. ^ Findley 2005, hlm. 68–69.
  30. ^ Holt 1986, hlm. 222, 224.
  31. ^ Findley 2005, hlm. 71.
  32. ^ Holt 1986, hlm. 66–67.
  33. ^ Holt 1986, hlm. 68–69.
  34. ^ Cobb 2016, hlm. 27.
  35. ^ Cobb 2016, hlm. 82–83.
  36. ^ Tyerman 2007, hlm. 12.
  37. ^ Barber 2012, hlm. 19, 46.
  38. ^ Barber 2012, hlm. 46.
  39. ^ Cobb 2016, hlm. 42–43.
  40. ^ Cobb 2016, hlm. 18, 30.
  41. ^ Asbridge 2012, hlm. 18.
  42. ^ MacEvitt 2008, hlm. 8–10.
  43. ^ Jotischky 2004, hlm. 42–46.
  44. ^ Asbridge 2012, hlm. 27.
  45. ^ Holt 1986, hlm. 167–168.
  46. ^ Hillenbrand 1999, hlm. 33.
  47. ^ Cobb 2016, hlm. 85–86.
  48. ^ Holt 1986, hlm. 12, 14–15.
  49. ^ Köhler 2013, hlm. 8–9.
  50. ^ Cobb 2016, hlm. 20–21.
  51. ^ Köhler 2013, hlm. 8–19.
  52. ^ Köhler 2013, hlm. 11–19.
  53. ^ Asbridge 2004, hlm. 115-116.
  54. ^ Tyerman 2019, hlm. 46–47.
  55. ^ Barber 2012, hlm. 9.
  56. ^ Asbridge 2004, hlm. 23-24.
  57. ^ Asbridge 2012, hlm. 33–47.
  58. ^ Jotischky 2004, hlm. 12–14.
  59. ^ Prawer 1972, hlm. 382.
  60. ^ Boas 1999, hlm. 76.
  61. ^ Prawer 1972, hlm. 352–354.
  62. ^ Boas 1999, hlm. 61.
  63. ^ Prawer 1972, hlm. 392–393.
  64. ^ Prawer 1972, hlm. 396–397.
  65. ^ Tyerman 2019, hlm. 120–121.
  66. ^ Holt 1986, hlm. 25.
  67. ^ Jotischky 2004, hlm. 152, 165.
  68. ^ Prawer 1972, hlm. 85–93.
  69. ^ Jotischky 2004, hlm. 151–152.
  70. ^ Prawer 1972, hlm. 468.
  71. ^ a b Prawer 1972, hlm. 280–281.
  72. ^ Prawer 1972, hlm. 295–296.
  73. ^ Jotischky 2004, hlm. 146.
  74. ^ Jotischky 2004, hlm. 145–146.
  75. ^ Jotischky 2004, hlm. 147–149.
  76. ^ a b Asbridge 2012, hlm. 667–668.
  77. ^ MacEvitt 2008, hlm. 138.
  78. ^ Jotischky 2004, hlm. 134–143.
  79. ^ Nikolas Jaspert, Die Kreuzzüge, 91.
  80. ^ a b c Daniella Talmon Heller, "Muslims in Outremer", The Crusades to the Holy Land: The Essential Reference Guide, 178.
  81. ^ Jamie Byrom, Michael Riley, Enquiring History - The Crusades: Conflict and Controversy, 1095-1291.
  82. ^ Jotischky 2004, hlm. 127–129.
  83. ^ Maribel Dietz, Wandering Monks, Virgins, and Pilgrims, 218.
  84. ^ Prawer 1972, hlm. 252, 468.
  85. ^ Davies 1997, hlm. 359.
  86. ^ Housley 2006, hlm. 152–154.
  87. ^ Davies 1997, hlm. 359–360.
  88. ^ Nicholson 2004, hlm. 96.
  89. ^ MacEvitt 2008, hlm. 14–17.
  90. ^ MacEvitt 2008, hlm. 13–14.
  91. ^ Tyerman 2011, hlm. 174–176.
  92. ^ MacEvitt 2008, hlm. 18–21.
  93. ^ Tyerman 2011, hlm. 177–178.

Kepustakaan

Bahan bacaan lanjutan

Pranala luar