Rumpun dialek Arekan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 1 Agustus 2022 23.37 oleh Vinrama (bicara | kontrib)
Bahasa Dialek Arekan
  • Arèkan
  • ꦲꦫꦺꦏ꧀ꦏꦤ꧀
  • أريڪَن
Dituturkan diIndonesia
Wilayah Jawa Timur
EtnisJawa
Tionghoa
Penutur
± 25 juta
Lihat sumber templat}}
Alfabet Latin
Aksara Jawa
Abjad Pegon
Status resmi
Diakui sebagai
bahasa minoritas di
 Indonesia (sebagai bahasa daerah)
Diatur olehBalai Bahasa Provinsi Jawa Timur
Kode bahasa
ISO 639-3
Glottologarek1234  (Arekan)[1]
mala1493  (Malang-Pasuruan)[2]
sura1245  (Surabaya)[3]
Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode. Untuk pengenalan mengenai simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Rumpun dialek Arekan (bahasa Jawa: ꦲꦫꦺꦏ꧀ꦏꦤ꧀, translit. Arèkan, [ʔarɛʔan]) merupakan salah satu dialek bahasa Jawa yang dituturkan di wilayah Jawa Timur, terutama di Surabaya Raya, Malang Raya, Pasuruan, Lumajang, dan daerah-daerah di sekitarnya. Dialek ini bercabang dari dialek Jawa Timuran dan terdiri dari dialek Surabaya dan dialek Malang-Pasuruan.

Dialek Arekan memiliki fonologi yang sedikit berbeda dari bahasa Jawa Standar. Statusnya yang bukan merupakan bahasa baku membuat dialek ini tidak banyak digunakan secara tertulis. Dialek Arekan baru aktif digunakan dalam bentuk tulisan sejak abad ke-21, terutama setelah media sosial banyak digunakan untuk sarana komunikasi dalam bahasa informal. Perbedaan yang paling mencolok antara dialek Arekan dengan bahasa Jawa Standar terletak pada imbuhan dan pemilihan kosakata. Hal ini pula yang membuat dialek ini mendapatkan namanya, Arekan, yang berasal dari penggunaan kata arèk (anak) untuk menggantikan bocah dan juga dapat berarti guys dalam bahasa Inggris.

Persebaran

Dialek Arekan merupakan dialek bahasa Jawa yang umum digunakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa Timur. Cakupan wilayah penuturan dialek Arekan diperkirakan mencapai[butuh rujukan]:

Dialek Arekan yang dituturkan di wilayah Tapal Kuda dipengaruhi oleh bahasa Madura, baik dalam kosakata maupun intonasi[butuh rujukan]. Selain dialek Arekan, bahasa Jawa yang juga dituturkan di Jawa Timur bagian Timur adalah bahasa Jawa Tengger di Bromo-Tengger-Semeru dan bahasa Osing di Banyuwangi.

Fonologi

Pada dialek Arekan, terdapat cara pengucapan huruf vokal yang sedikit berbeda dari bahasa Jawa Standar.

Fonem /i/ pada suku kata tertutup berbunyi [ɪ][4] atau [e][5][6]. Fonem /i/ pada penultima terbuka umumnya juga berbunyi [ɪ] atau [e] jika ultima memiliki vokal /i/ atau /u/ tertutup[7][8].

Fonem /u/ pada suku kata tertutup berbunyi [ʊ][9] atau [o][5][6]. Fonem /u/ pada penultima terbuka umumnya juga berbunyi [ʊ] atau [o] jika ultima memiliki vokal /i/ atau /u/ tertutup[7][8].

Kata Bahasa Jawa
Standar
Dialek Arekan Arti
kirik [ki.rɪʔ] [kɪ.rɪʔ], [ke.reʔ] anak anjing
kukur [ku.kʊr] [kʊ.kʊr], [ko.kor] garuk
purik [pu.rɪʔ] [pʊ.rɪʔ], [po.reʔ] ambek
pikun [pi.kʊn] [pɪ.kʊn], [pe.kon] pikun

Alofon pada /i/ dan /u/ meluas hingga memiliki kesamaan bunyi dengan /e/ dan /o/. Hal ini membuat fonem /e/ yang berbunyi [e] dan /o/ yang berbunyi [o] yang terletak pada penultima dengan ultima /i/ atau /u/ tertutup terkadang dipahami sebagai fonem /i/ dan /u/.

éling [ʔe.lɪŋ] iling 'ingat'
kondur [kon.dʊr] kundur 'pulang'

Fonem /e/ pada penultima terbuka berbunyi [ɛ], kecuali jika kata tersebut memiliki ultima terbuka dengan vokal /e/ atau /o/[10] atau ultima tertutup dengan vokal /i/ atau /u/[6].

Kata Bahasa Jawa
Standar
Dialek Arekan Arti
éman [e.man] [ɛ.man] sayang
béda [be.dɔ] [bɛ.dɔ] beda
géndhong[b] [gen.ɖɔŋ] [gɛn.ɖɔŋ] gendong
mléngos [mle.ŋɔs] [mlɛ.ŋɔs] buang muka
pépé [pepe] [pepe] jemur
péso [peso] [peso] pisau

Fonem /a/ yang berbunyi [ɔ] umumnya tetap dibaca [ɔ] meski kata tersebut diberi akhiran, kecuali akhiran yang menyebabkan terjadinya sandi. Hal ini menandakan kemungkinan proses terbentuknya fonem /ɔ/ mandiri yang terpisah dari alofon /a/[11][12].

Kata Bahasa Jawa
Standar
Dialek Arekan Arti
kanca [kɔɲtʃɔ] [kɔɲtʃɔ] teman
kancané [kaɲtʃane] [kɔɲtʃɔne] temannya
ngancani [ŋaɲtʃani] [ŋaɲtʃani] menemani
jaga [dʒɔgɔ] [dʒɔgɔ] jaga
jagaen [dʒaga.nən] [dʒɔgɔ.ən] jagalah
njagakaké/njagakna [ɲdʒagaʔake] [ɲdʒagaʔnɔ] mengandalkan

Sistem penulisan

Dialek Arekan umum ditulis menggunakan alfabet Latin tanpa mematuhi pedoman penulisan bahasa Jawa. Hal ini membuat satu kata dapat memiliki beberapa variasi cara penulisan yang berbeda. Penulisan pada dialek Arekan cenderung mengikuti bunyi pengucapan kata[13].

Vokal

Secara umum, diakritik tidak digunakan pada penulisan huruf vokal[14][6] dan beberapa alofon direpresentasikan dengan huruf yang mendekati bunyinya. Hal ini membuat satu huruf dapat merepresentasikan beberapa fonem yang berbeda[15]. Pemilihan huruf vokal tidak selalu konsisten, sehingga fonem yang sama dapat ditulis dengan huruf yang berbeda antara satu kata dengan yang lain.

Fonem Bunyi Bahasa Jawa
Standar[16]
Dialek Arekan[15][14][17]
/i/ [i] <i> <i>
[ɪ] <i> <e>
[e] -[c]
/u/ [u] <u> <u>
[ʊ] <u> <o>
[o] -[d]
/e/ [e] <é> <e>
[ɛ] <è>
/o/ [o] <o> <o>
[ɔ]
/a/ [a] <a> <a>
[ɔ] <o>
/ə/ [ə] <e> <e>

Konsonan

Fonem /ɖ/ dan /ʈ/, yang dalam penulisan standar ditulis dengan digraf <dh> dan <th>[18], umum ditulis dengan huruf <d> dan <t>[13][15].

thithik [ʈiʈiʔ] → titik 'sedikit'
wedhi [wəɖi] → wedi 'pasir'
dhahar [ɖahar] → dahar 'makan'

Fonem /g/ yang terletak pada akhir kata berbunyi [k][19], sehingga konsonan /g/ pada akhir kata umum ditulis dengan huruf <k>.

goblog [gɔblɔk] → goblok 'goblok'
papag [papak] → papak 'jemput'
grudug [grʊdʊk] → gruduk 'kerubung'

Fonem /d/ yang terletak pada akhir kata berbunyi [t][20], sehingga konsonan /d/ pada akhir kata terkadang ditulis dengan huruf <t>.

tangled [taŋlət] → tanglet 'tanya'
reged [rəgət] → reget 'kotor'
saged [sagət] → saget 'bisa'

Fonem /h/ yang terletak pada akhir kata dengan ultima bervokal /i/ atau /u/ terkadang tidak ditulis.

eruh [ʔərʊh] → ero 'tahu'
nyilih [ɲɪlɪh] → nyele 'meminjam'
misuh [mɪsʊh] → meso 'mengumpat'

Pembentukan homograf

Cara penulisan pada dialek Arekan terkadang membuat kata yang tadinya berbeda menjadi homograf.

Dialek Arekan Bahasa Jawa
Standar
Pengucapan Arti
ambek ambeg [ʔambək] napas
ambèk [ʔambɛʔ] dengan
loro lara [lɔrɔ] sakit
loro [loro] dua
embo embuh [ʔəmbʊh] tidak tahu
imbuh [ʔɪmbʊh] tambah
gatel gatel [gatəl] gatal
gathèl [gaʈɛl] penis
wedi wedi [wədi] takut
wedhi [wəɖi] pasir

Tata bahasa

Pronomina persona

Terdapat perbedaan dalam pemilihan kata untuk pronomina persona pada dialek Arekan. Beberapa kata atau frasa juga biasa digunakan untuk menyatakan bentuk jamak.

Glos Bentuk Bebas Awalan Akhiran
Ngoko Krama
1SG
'aku, saya'
aku kulo tak(-) -ku
1PL.EXCL
'kami'
kene - - -
1PL.INCL
'kita'
awakdewe, kene - - -
2SG
'kamu, Anda'
kon, awakmu, peno sampean, riko mbok(-) -mu
2PL
'kalian'
kon kabeh - - -
3SG
'dia, ia, beliau'
de'e, wonge, areke piambake,
tiange
di- -ne
3PL
'mereka'
de'e kabeh, wonge,
arek-arek
- - -

Awalan tak(-) dan mbok(-) biasa ditulis sebagai kata terpisah meski penggunaannya tetap sama seperti pada bahasa Jawa Standar[21]. Piambake dan tiange berasal dari kosakata krama, yaitu piyambak 'sendiri' (ngoko: dhéwé) dan tiyang 'orang' (ngoko: wong), yang ditambahkan akhiran ngoko -e (krama: -ipun). Akan tetapi, gelar lebih sering digunakan untuk menyebut orang ketiga dalam bahasa yang sopan dibandingkan dengan pronomina persona[22].

Demonstrativa

Terdapat sedikit berbedaan pada kata tunjuk yang digunakan di dialek Arekan. Hal ini dipengaruhi oleh sistem penulisannya yang tidak mematuhi pedoman penulisan bahasa Jawa.

Bahasa Jawa
Standar
Dialek Arekan Pengucapan Arti
(ika)[e] iko [ʔikɔ] itu
kono kunu [kono] situ
kana kono [kɔnɔ] sana
mrono mrunu [mrono] ke situ
mrana mrono [mrɔnɔ] ke sana
ngono ngunu [ŋono] begitu
ngana ngono [ŋɔnɔ] begitu (jauh)
semono sakmunu [saʔmono] sekian itu
semana sakmono [saʔmɔnɔ] sekian itu (jauh)

Penggunaan huruf <u> pada suku kata terbuka untuk menyatakan bunyi [o] hanya ditemui pada kata tunjuk. Hal ini menyimpang dari ketentuan bahwa vokal /u/ pada suku kata terbuka dibunyikan sebagai [u][23].

Imbuhan

Terdapat beberapa erbedaan pada penggunaan imbuhan antara dialek Arekan dengan bahasa Jawa Standar.

Akhiran -no[f] [nɔ] menggantikan seluruh penggunaan akhiran -aké.

lali [lali] 'lupa' + N-/-no → nglalekno [ŋlalɛʔnɔ] 'melupakan'
tuku [tuku] 'beli' + N-/-no → nukokno [nukɔʔnɔ] 'membelikan'
jodo [dʒoɖo] 'jodoh' + tak(-)/-no → tak jodokno [taʔ dʒɔɖɔʔnɔ] 'kujodohkan'
gowo [gɔwɔ] 'bawa' + di-/-no → digawakno [digawaʔnɔ] 'dibawakan'
dewe [ɖewe] 'sendiri' + di-/-no → didewekno [diɖɛwɛʔnɔ] 'disendirikan'

Akhiran -e diwujudkan dengan alomorf -ne jika dipasangkan pada kata dengan akhir vokal[24]. Akan tetapi, alomorf -e terkadang dapat juga digunakan.

bojo [bodʒo] 'suami/istri' + -e → bojoe [bodʒo.e] 'pasangannya'
mlaku [mlaku] 'berjalan' + -e → mlakue [mlaku.e] 'jalannya'
mburi [mburi] 'belakang' + -e → mburie [mburi.e] 'belakangnya'

Awalan sak- menggantikan seluruh penggunaan awalan sa- serta alomorf se-, kecuali yang terdapat pada angka[g].

piring [pɪrɪŋ] 'piring' + sak- → sakpiring [saʔpɪrɪŋ] 'sepiring'
penak [pɛnaʔ] 'enak' + sak-/-e → sakpenake [saʔpɛnaʔe] 'seenaknya'
omah [ʔomah] 'rumah' + sak- → sakomah [saʔomah] 'serumah'

Sisipan -u- digunakan untuk memberikan penekanan dengan makna ‘sangat’ pada suatu kata[25]. Sisipan ini berbeda dengan pendiftongan pada bahasa Jawa Standar yang memiliki fungsi serupa[26], karena sisipan -u- tidak menghasilkan diftong dan tidak terbatas pada kata sifat. Pada kata yang diawali vokal, sisipan -u- diletakkan di awal kata dan dapat diwujudkan dengan alomorf -u-, -w-, atau -uw-. Pada kata yang diawali konsonan, sisipan -u- diletakkan sebelum vokal pada suku kata pertama dan dapat diwujudkan dengan alomorf -u- atau -uw-. Jika vokal yang mengikuti sisipan adalah /u/, sisipan selalu diwujudkan dengan alomorf -uw-.

akeh [ʔa.kɛh] 'banyak' + -u- → uakeh [ʔu.a.kɛh] 'sangat banyak'
adoh [ʔa.dɔh] 'jauh' + -w- → wadoh [wa.dɔh] 'sangat jauh'
enak [ʔɛ.naʔ] 'enak' + -uw- → uwenak [ʔu.wɛ.naʔ] 'sangat enak'
lapo [la.pɔ] 'sedang apa' + -u- → luapo [lu.a.pɔ] 'sedang apa (heran)'
ngguyu [ŋgu.ju] 'tertawa' + -uw- → ngguwuyu [ŋgu.wu.ju] 'tertawa terbahak-bahak'

Penggunaan

Dialek Arekan mempunyai ciri khas tersendiri seperti nada bicara yang menurut sebagian orang dianggap kasar, lugas dan tegas, berbeda dengan dialek Mataraman yang cenderung halus, lembek dan mempunyai unggah-ungguh. Di lain sisi, dialek Arekan juga punya unggah-ungguh, tapi juga terkenal agak kasar itu dapat diartikan sebagai tanda persahabatan. Orang dari Tlatah Arekan apabila telah lama tidak bertemu dengan sahabatnya, jika bertemu kembali pasti ada kata jancuk yang terucap, contoh: "Jancok! Yok-åpå kabaré, Rèk? Suwe gak ketemu! (Jancuk! Bagaimana kabarnya, Kawan? Lama tidak bertemu!)". Jancuk juga merupakan tanda seberapa dekatnya orang Wetanan dengan temannya yang ditandai apabila ketika kata jancuk diucapkan akan membuat obrolan semakin hangat. Contoh: "Yå gak ngunu cuk, critané. (Ya tidak begitu cuk, ceritanya.)".

Banyak media lokal yang menggunakan dialek Arekan sebagai bahasa pengantar mereka[butuh rujukan].

Kosakata

Beberapa kosakata khas Arekan:

  • "pongor, gibeng, santap, jotos, tempéléng, gasak (istilah untuk pukul atau hantam);
  • "kadhemen/kathuken/katisen" berarti "kedinginan" (bahasa Jawa standar: kadhemen);
  • "durung/gurung" berarti "belum" (bahasa Jawa standar: durung);
  • "duduk/guduk" berarti "bukan" (bahasa Jawa standar: dudu);
  • "dèkèk/dèlèh" berarti "taruh/letak" (dèlèhen/dèkèken=letakkan) (bahasa Jawa standar: dokok/sèlèh);
  • "kèk" berarti "beri" (dikèki=diberi, kèkånå=berilah) (bahasa Jawa standar: wènèhi);
  • "" berarti "saja" (bahasa Jawa standar: waé);
  • "gak/enggak/ogak" berarti "tidak" (bahasa Jawa standar: ora);
  • "arèk" berarti "anak" (bahasa Jawa standar: bocah);
  • "cak" berarti "kakang" atau "kakak laki-laki" (bahasa Jawa standar: kakang);
  • "katé/apè" berarti "akan" atau "mau" (bahasa Jawa standar: arep);
  • "lapå" singkatan dari kata "lagi åpå" yang berarti "sedang apa" atau "ngapain" (bahasa Jawa standar: lagi åpå);
  • på'å/Kenèk åpå" berarti "mengapa" (bahasa Jawa standar: nyapå, ngåpå, genéyå);
  • "soalé/polaè" berarti "karena" (bahasa Jawa standar: amergå);
  • "athik" (diucapkan "athík") berarti "dengan/memakai"
  • "longor/bénto" berarti "tolol" (bahasa Jawa standar: goblog);
  • "cèk/cikbèn/cík" berarti "agar/supaya" (bahasa Jawa standar: bèn);
  • "licik/jerih" berarti "takut/pengecut" (bahasa Jawa standar: ajrih);
  • "mantep pol/ènak pol/ènak temen" berarti "enak luar biasa" (bahasa Jawa standar: ènak pol/ènak banget/ènak tenan);
  • "rusuh/reged" berarti "kotor" (bahasa Jawa standar: rêgêd);
  • "gaé/gawé/kanggo" berarti "pakai/untuk/buat" (bahasa Jawa standar: pakai/untuk=kanggo, buat=gawé);
  • "andhok" berarti "makan di tempat selain rumah" (misal warung);
  • "cangkruk/jagong" berarti "nongkrong";
  • "babah" berarti "biar/masa bodoh"; (bahasa Jawa standar: bèn)
  • "matèk, bångkå" berarti "mati" (bahasa Jawa standar: mati);
  • "sampèk" berarti "sampai/hingga" (bahasa Jawa standar: nganti);
  • "barèkan/ambèkan" berarti "tuh kan";
  • "masiyå" berarti "walaupun";
  • "nang" berarti "ke" atau terkadang juga "di" (bahasa Jawa standar: menyang);
  • "mari/mantun" berarti "selesai"; (bahasa Jawa standar: rampung); acapkali dituturkan sebagai kesatuan dalam pertanyaan "wis mari ta?" yang berarti "sudah selesai kah?" Pengertian ini sangat berbeda dengan "mari" dalam bahasa Jawa standar. Selain penutur dialek Arèkan, "mari" berarti "sembuh";
  • "mené/sésuk" berarti "besok" (bahasa Jawa standar: sésuk);
  • "maeng/mau" berarti "tadi";
  • "koên/kowên/kohên" (diucapkan "ko-ên") berarti "kamu" (bahasa Jawa standar: kowé). Kadang kala sebagai pengganti "kon", kata "awakmu" juga digunakan. Misalnya "awakmu wis mangan ta?" ("Kamu sudah makan kah?") Dalam bahasa Jawa standar, awakmu berarti "badanmu/dirimu" (awak=badan/diri);
  • "lugur/rotúh/ceblok" berarti "jatuh" (bahasa Jawa standar: ceblok)
  • "dhukur" berarti "tinggi" (bahasa Jawa standar: dhuwur);
  • "thithik" berarti "sedikit" (bahasa Jawa standar: thithik); (bahasa Jawa Mataraman: sithik)
  • "iwak" berarti "lauk/ikan/daging" (bahasa Jawa standar: iwak berarti hanya untuk ikan dan daging saja);
  • "temen" berarti "sangat" (bahasa Jawa standar: banget);
  • "engko/engkok" berarti "nanti" (bahasa Jawa standar: mengko);
  • "ênggék/gèk/ndhèk" berarti "di" (bahasa Jawa standar: "ing" atau "ning"; dalam bahasa Jawa standar, kata "ndhèk" digunakan untuk makna "pada waktu tadi", seperti dalam kata "ndhèk èsuk" (=tadi pagi), "ndhèk wingi" (=kemarin));
  • "nontok/ndontok" lebih banyak dipakai daripada "nonton";
  • "yok-åpå/yok-nåpå" berarti "bagaimana" (bahasa Jawa standar: "piyé/kepiyé/kepriyé"; sebenarnya kata "yok-åpå" berasal dari kata "kåyåk åpå" yang dalam bahasa Jawa standar berarti "seperti apa");
  • "péyan/sampéyan" berarti "kamu";
  • "Jancok/Jancuk", kata makian yang sering dipakai seperti "fuck" dalam bahasa Inggris; merupakan singkatan dari bentuk pasif "diancuk/diêncuk"; dan versi agak halus : jiamput/diamput
  • "waras" berarti sembuh dari sakit (dalam bahasa Jawa Tengah sembuh dari penyakit jiwa);
  • "èmbong/dalan" berarti jalan besar/jalan raya (bahasa Jawa standar: ratan gedhé (Surakarta), dalan gedhé (Yogyakarta dan Semarang));
  • "nyelang/nyilih" berarti pinjam sesuatu;
  • "cidhek/cedhek/parek/carek" berarti dekat;
  • "ndingkik" berarti mengintip;
  • "semlohé" berarti seksi (khusus untuk perempuan);
  • "dulin/dolén" berarti main (bahasa Jawa standar: dolan);
  • "hohohihè", istilah sopan yang dipopulerkan oleh acara berita dari stasiun televisi JTV yang merujuk pada perbuatan hubungan intim

Perbedaan

Perbedaan antara bahasa Jawa standar dengan bahasa Jawa dialek Arekan tampak sangat jelas berbeda dalam beberapa kalimat dan ekspresi seperti berikut:

Bahasa Jawa Arekan: Yåk-åpå kabaré rèk?
Bahasa Jawa standar: Piyé kabaré cah?
Bahasa Indonesia: Apa kabar kawan?

Bahasa Jawa Arekan: Arèk iki tambah mbois ae cùk!
Bahasa Jawa standar: Cah ki tambah bagus waé pèh!
Bahasa Indonesia: Anak ini tambah kece aja njir!

Bahasa Jawa Arekan: Rèk, koen gak mbadhog ta?
Bahasa Jawa standar: Cah, kowé ra pådhå mangan tå?
Bahasa Indonesia: Kalian tidak makan?

Bahasa Jawa Arekan: Ton (nama orang), celuknå Ida (nama orang) på'å.
Bahasa Jawa standar: Ton, celukaké Ida.
Bahasa Indonesia: Ton, panggilkan Ida dong.

Bahasa Jawa Arekan: Cak, njalùk tùlùng penå jukuknå montor nang bèngkèl
Bahasa Jawa standar: Kang, njaluk tulung sampeyan jupukake mobil ning bengkel
Bahasa Indonesia: Bang, minta tolong kamu ambilin mobil di bengkel

Bahasa Jawa Arekan: Pak sampèyan kajengé teng pundi?
Bahasa Jawa standar: Pak panjenengan badhé dhateng pundi?
Bahasa Indonesia: Pak anda mau kemana?

Lihat pula

Rujukan

Catatan

  1. ^ Bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat Situbondo dan Bondowoso adalah bahasa Madura.
  2. ^ Dalam bahasa Jawa, huruf vokal yang terletak sebelum pertemuan antara konsonan sengau dengan konsonan homorganiknya diperlakukan sebagai vokal terbuka meskipun berada dalam suku kata tertutup.
  3. ^ Fonem /i/ pada bahasa Jawa Standar tidak memiliki alofon [e].
  4. ^ Fonem /u/ pada bahasa Jawa Standar tidak memiliki alofon [o].
  5. ^ Kata kaé lebih umum digunakan dalam percakapan, sedangkan ika digunakan pada bahasa sastra.
  6. ^ Dalam bahasa Jawa Standar ditulis -na.
  7. ^ Awalan sa- beserta alomorfnya terdapat pada angka sepuluh 'sepuluh', sewelas 'sebelas', selawe 'dua puluh lima', seket 'lima puluh', suwidak 'enam puluh', satus 'seratus', dan sewu 'seribu'.

Referensi

  1. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Arekan". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. 
  2. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Malang-Pasuruan". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. 
  3. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Surabaya". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. 
  4. ^ Wedhawati, dkk 2001, hlm. 35.
  5. ^ a b Krauße 2017, hlm. 26.
  6. ^ a b c d Yannuar, Hoogervorst & Klamer 2022, hlm. 20.
  7. ^ a b Krauße 2017, hlm. 13.
  8. ^ a b Yannuar, Hoogervorst & Klamer 2022, hlm. 21.
  9. ^ Wedhawati, dkk 2001, hlm. 37.
  10. ^ Krauße 2017, hlm. 27.
  11. ^ Krauße 2017, hlm. 12, 26.
  12. ^ Yannuar, Hoogervorst & Klamer 2022, hlm. 26-28.
  13. ^ a b Krauße 2017, hlm. 30.
  14. ^ a b Krauße 2017, hlm. 29-30.
  15. ^ a b c Hoogervorst 2014, hlm. 111.
  16. ^ Arifin 2006, hlm. 2.
  17. ^ Yannuar, Hoogervorst & Klamer 2022, hlm. 5.
  18. ^ Arifin 2006, hlm. 3.
  19. ^ Wedhawati, dkk 2001, hlm. 62-63.
  20. ^ Wedhawati, dkk 2001, hlm. 52-53.
  21. ^ Krauße 2017, hlm. 35.
  22. ^ Krauße 2017, hlm. 34-35.
  23. ^ Wedhawati, dkk 2001, hlm. 36.
  24. ^ Wedhawati, dkk 2001, hlm. 404-405.
  25. ^ Krauße 2017, hlm. 41.
  26. ^ Wedhawati, dkk 2001, hlm. 145.

Daftar Pustaka

Pranala luar


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "ib", tapi tidak ditemukan tag <references group="ib"/> yang berkaitan