Buddhisme di Thailand
Bagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
Agama Buddha di Thailand sebagian besar dari ajaran Theravada. Hampir 95% penduduk Thailand adalah Buddha dari ajaran Theravada, meskipun Buddhisme di negara ini telah menjadi terintegrasi dengan kepercayaan rakyat.[1] Ciri khas utama agama Buddha di Thailand adalah tradisi penahbisan sementara setiap pria Thai untuk menjadi seorang bhikkhu dan eratnya keterkaitan agama Buddha dengan budaya dan bangsa Thai.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Masa awal
[sunting | sunting sumber]Sebagian besar ahli sejarah berpendapat bahwa agama Buddha sudah masuk ke wilayah Thailand sejak zaman maharaja Asoka penguasa Kemaharajaan Maurya dan milenium pertama Masehi.[3] Selama abad ke-5 hingga abad ke-13 Masehi, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara mendapatkan banyak pengaruh dari kebudayaan India dan mengikuti ajaran Buddha Mahayana. Biksu I Tsing dari Cina dalam catatan perjalanannya menyebutkan bahwa semua sekte utama Buddhisme berkembang dengan sangat pesat di wilayah Asia Tenggara.[4] Pada masa ini, Kemaharajaan Sriwijaya dan Kekaisaran Khmer bersaing untuk memberikan pengaruh mereka di wilayah Asia Tenggara serta menyebarkan kesenian mereka yang menampilkan keterkaitan yang erat antara Buddhisme Mahayana dengan kebudayaan kedua kemaharajaan tersebut.
Setelah menurunnya pengaruh agama Buddha di India, para bhikkhu Buddha dari Srilanka yang beraliran Theravada mulai menyebarkan ajaran Buddha Theravada kepada masyarakat suku Mon dan negara kota Pyu dan selama dua abad berikutnya ajaran Buddha Theravada tersebar ke seluruh wilayah Thailand, Laos, dan Kamboja menggantikan ajaran-ajaran Buddhisme sebelumnya.[5]
Abad ke-13 hingga ke-19 Masehi
[sunting | sunting sumber]Detail sejarah agama Buddha di Thailand pada abad ke-13 hingga abad ke-19 agak kurang jelas. Hal itu disebabkan oleh penghancuran manuskrip sejarah yang dilakukan oleh para tentara Burma pada saat peperangan antara kerajaan Burma dengan kerajaan Ayutthaya. Sejarawan dan ahli antropologi Stanley Jeyaraja Tambiah mengatakan bahwa terdapat suatu pola umum mengenai perkembangan agama Buddha pada zaman ini terutama perihal hubungan pemerintahan dengan sangha. Seperti kerajaan Buddha lainnya di Asia Tenggara, raja dipandang sebagai pelindung dan pembela agama (sasana) dan sangha dan sangha dipandang sebagai khazanah dan lambang kekuasaan raja.[6]
Era modern
[sunting | sunting sumber]Dengan berkuasanya Raja Mongkut pada tahun 1851, yang sudah menjadi bhikkhu selama dua puluh tujuh tahun, sangha, seperti kerajaan, menjadi makin lebih terpusat dan hierarkis, dan hubungannya dengan negara menjadi lebih terlembaga. Mongkut adalah seorang cendekiawan kitab suci agama Buddha Pali terkemuka. Selain itu, pada waktu itu imigrasi sejumlah bhikkhu dari Burma memperkenalkan karakteristik disiplin sangha Mon yang lebih ketat. Dipengaruhi oleh bangsa Mon dan dipandu oleh pemahaman mereka sendiri terhadap Tipitaka, Mongkut memulai gerakan reformasi yang kemudian menjadi dasar bagi ordo bhikkhu Dhammayuttika.
Pada awal tahun 1900-an, Ajahn Sao Kantasilo Mahathera dari Thailand dan muridnya, Mun Bhuridatta memimpin gerakan penghutanan-kembali Tradisi Hutan Thailand. Pada abad ke-20 praktisi terkemuka memasukkan Ajahn Thate, Ajahn Maha Bua dan Ajahn Chah.[7] Gerakan ini kemudian menyebar secara global karena murid-murid Ajahn Mun termasuk Ajahn Thate, Ajahn Maha Bua dan Ajahn Chah dan beberapa murid Barat, di antaranya yang paling senior adalah Luang Por Ajahn Sumedho.
Pengaruh
[sunting | sunting sumber]Terdapat tiga hal utama yang mempengaruhi perkembangan agama Buddha di Thailand. Pengaruh yang paling terlihat adalah ajaran Buddha Theravada. Hal tersebut dapat diketahui dengan penggunaan bahasa Pali sebagai bahasa keagamaan di Thailand, meskipun tidak banyak dimengerti oleh masyarakat Thailand pada umumnya. Kitab-kitab suci dituliskan dalam bahasa Pali dan beraksarakan aksara Thai ataupun aksara Khmer.
Hal lain yang mempengaruhi agama Buddha di Thailand adalah pengaruh Hinduisme dari Kamboja, terutama pada masa kerajaan Sukhothai. Agama Hindu mempunyai pengaruh yang sangat kuat terutama pada masa awal pembentukan institusi kerajaan Thailand. Selain itu, terdapat beberapa praktik agama Hindu yang masih dijalankan oleh sebagian besar masyarakat Thailand, yaitu pemujaan kepada dewa Brahma dan pengangkatan raja yang dipandu oleh para pandita Hindu.
Pengaruh lain terhadap agama Buddha di Thailand adalah kepercayaan asli masyarakat Thailand. Hal itu terjadi pada para bhikkhu di wilayah pedesaan yang memberikan larangan tertentu kepada masyarakat yang tidak berdasar kepada Vinaya, tetapi berdasarkan larangan dari kepercayaan lokal. Selain itu, astrologi, pembuatan dan pemeliharaan jimat dan mantra-mantra, serta numerologi mempunyai peran yang signifikan dama agama Buddha di Thailand, meskipun hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tercela oleh sang Buddha. (lihat Digha Nikaya 2, ff)
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ 'Lamphun's Little-Known Animal Shrines' in: Forbes, Andrew, and Henley, David, Ancient Chiang Mai Volume 1. Chiang Mai, Cognoscenti Books, 2012.
- ^ Bunker, Emma C. (1971). "Pre-Angkor Period Bronzes from Pra Kon Chai". Archives of Asian Art. 25: 67–76. ISSN 0066-6637. JSTOR 20111032.
- ^ "Some Aspects of Asian History and Culture" by Upendra Thakur p.157
- ^ Sujato, Bhante (2012), Sects & Sectarianism: The Origins of Buddhist Schools, Santipada, hlm. 72, ISBN 9781921842085
- ^ Gombrich, Richard F. (2006). Theravāda Buddhism : a social history from ancient Benares to modern Colombo (edisi ke-2nd). London: Routledge. hlm. 3. ISBN 978-0-415-36509-3.
- ^ Tuchrello, William P. "The Society and Its Environment" (Religion: Historical Background section). Thailand: A Country Study. Diarsipkan 2007-11-14 di Wayback Machine. Federal Research Division, Library of Congress; Barbara Leitch LePoer, ed. This article incorporates text from this source, which is in the public domain.[1] Diarsipkan 2012-07-10 di Archive.is
- ^ Tiyavanich, K. (1997), Forest Recollections: Wandering Monks in Twentieth-Century Thailand, University of Hawaii Press