Lompat ke isi

Audit kepabeanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Audit kepabeanan adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan buku, catatan dan dokumen serta persediaan barang perusahaan dalam rangka pengawasan terhadap pemenuhan ketentuan di bidang kepabeanan dan cukai.[1] Pelaksanaan ketentuan lainnya dibebankan kepada Dirjen Bea dan Cukai.[1] Audit kepabeanan bermanfaat dalam proses pemeriksaan bidang perpajakan dengan tujuan mengamankan hak - hak keuangan negara, menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan oleh dunia industri, seperti biaya ekonomi tinggi, adanya distorsi dalam kelancaran arus barang impor di pelabuhan.[1] Sistem audit yang diterapkan di bidang kepabeanan akan mengurangi ketidakefisienan, sehingga industri akan berkembang sesuai dengan yang telah direncanakan.[1]

Jenis audit

[sunting | sunting sumber]
  1. Audit umum adalah audit kepabeanan yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan secara lengkap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kewajian kepabeanan.[2] Audit umum meneliti mengenai struktur organisasi, pembukuan, perusahaan/komersial dan fiskal, sistem–sistem yang diterapkan inventaris, pembelian, penjualan, pembayaran, produksi, akuntansi, uraian tugas, buku besar, buku kas, bukti transfer, faktur penjualan, dan lainnya.[2]
  2. Audit khusus adalah audit kepabeanan yang memilki ruang lingkup pemeriksaan terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan tertentu.[2] Audit dilaksanakan atas permintaan dari direktorat yang menangani sengketa kepabeanan, atas ketetapan koreksi,melalui nota pembetulan dan sanksi administrasi berupa denda.[2]
  3. Audit investigasi adalah audit kepabeanan yang dilakukan untuk menyelidiki dugaan tindak pidana kepabeanan, dilaksanakan berkaitan dengan adanya laporan dari pihak ketiga mengenai penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu importir.[2]
  1. Untuk menentukan tingkat kepatuhan perusahaan sebagai importir, eksportir, badan hukum, yang memperoleh fasilitas dan lainnya terhadap undang - undang kepabeanan dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang berkaitan dengan kepabeanan.[2]
  2. Untuk mengawasi Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang diberitahukan atas nama perusahaan mengenai pengklasifisian, jumlah, jenis barang maupun kebenaran nilai transaksinya sebagai nilai pabean.[2]
  3. Untuk mengamankan hak - hak negara, berupa penerimaan negara.[2]

Sistematika

[sunting | sunting sumber]

Pada tahap pendahuluan audit, akan dilakukan penentuan objek audit yang dirinci di dalam Daftar Rencana Objek Audit (DROA).[3] Selanjutnya dibentuk suatu tim audit, yaitu tim yang diberi tugas untuk melaksanakan audit kepabeanan berdasarkan surat perintah dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai.[3] Audit dilakukan terhadap orang perseorangan atau badan hukum yang di sebut auditee.[3] Tim auditor terdiri dari:[3]

  1. Ketua auditor yang memperoleh sertifikat keahlian sebagai auditor bea dan cukai.
  2. Pengendali Teknis Audit (PTA) yang memperoleh sertifikat keahlian sebagai pengendali teknis audit bea dan cukai.
  3. Pengawas Mutu Audit (PMA) yang memperoleh sertifikat keahlian sebagai pengawas mutu audit bea dan cukai.

Dalam pelaksanaan audit kepabeanan, yang menjadi objek adalah perusahaan yang berkitan dengan kegiatan ekspor-impor, seperti importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha gudang berikat, perusahaan pengangkutan, kawasan industri terpadu, perusahaan yang menikmati fasilitas insentif otomotif, elektronika, alat-alat berat, toko bebas bea, impor sementara, pengusaha hasil tembakau,dan pengusaha minuman mengandung alkohol.[3]

Sasaran pengujian audit

[sunting | sunting sumber]
  1. Trading importer adalah para importir yang mengimpor barang dan jasa dengan tujuan untuk dijual kembali di dalam daerah pabean.[4] Pemeriksaan meliputi sistem pengendalian internal, persyaratan atas tata niaga, kebenaran pelunasan bea masuk dan pungutan dalam rangka impor, kebenaran jumlah barang impor, kebenaran jenis barang, kebenaran nilai pabean dan klasifikasi barang, kebenaran pembebasan bea masuk.[4]
  2. Manufacturing importer adalah orang yang memasukkan barang - barang berupa bahan baku, komponen, atau dalam keadaan terurai, dan selanjutnya diproses menjadi barang jadi.[4] Pemeriksaan meliputi kepatuhan terhadap sistem dan prosedur kepabeanan sesuai dengan perundang - undangan yang berlaku dan substansi, yaitu berupa pengujian saldo awal pemasukan, pengeluaran, dan perbandingan jumlah dan jenis barang yang seharusnya ada di gudang.[4]

Pelaksanaan

[sunting | sunting sumber]

Audit kepabeanan dilakukan berdasarkan surat perintah Direktorat Jenderal Bea Cukai dan dalam rangka pengawasan sebagi akibat diberlakukannya sistem self assessment.Untuk melaksanakan audit kepabeanan, pejabat Bea dan Cukai diberikan wewenang untuk:[5]

  1. Meminta laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan.
  2. Meminta keterangan lisan atau tertulis dari orang dan pihak lain yang terkait.
  3. Menyelidiki ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan, dokumen dasar pembukuan, serta surat yang berkaitan dengan persediaan barang yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha yang berkaiatan dengan kegiatan kepabeanan.
  4. Melakukan tindakan pengamanan terhadap ruangan penyimpanan dokumen yang berkaiatan dengan kegiatan kepabeanan.

Audit dapat dilakukan secara bersama-sama dengan instansi lain. Untuk kepentingan pelaksanaan audit, auditee wajib:[5]

  1. Menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, serta menunjukkan persediaan barangnya untuk diperiksa.
  2. Memberikan keterangan lisan atau tertulis.
  3. Menyediakan tenaga atau peralatan atas biaya auditee apabila penggunaan data elektronik memerlukan peralatan atau keahlian khusus.
  4. Jika pimpinan auditee tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban beralih kepada yang mewakilinya.
  5. Auditee yang tidak melaksanakan kewajiban dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Tim Pusat Pengkajian Perpajakan dan Keuangan. (1996). Beberapa Faktor Pendorong Keberhasilan Pungutan Pajak di Indonesia,Terbitan 18 dari Seri Kajian Fiskal & Moneter. Jakarta: Pusat Pengkajian Fiskal & Moneter. Hal 35-36.
  2. ^ a b c d e f g h M,Ali Purwito. (2006). Kepabeanan dan Cukai. Jakarta:M.Kajian Hukum Fiskal FHUI. Hal 13-14.
  3. ^ a b c d e Sugianto, SH.MM. (2004). Pengantar Kepabeanan & Cukai. Jakarta:Grasindo. ISBN 979-025-414-8, 9789790254145. Hal 36-37.
  4. ^ a b c d Rai,I Gusti Agung. (2008). Audit Kinerja pada Sektor Publik: Konsep, Praktik, Studi Kasus. Jakarta: Salemba. ISBN 979-691-499-9, 9789796914999. Hal 120-121.
  5. ^ a b Pudyatmoko, Sr.Y. (2005). Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak. Yogyakarta:Gramedia Pustaka. ISBN 979-22-1188-8, 9789792211887. Hal 35-37.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]