Media dalam kampanye pemilihan presiden 2014

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Media[sunting | sunting sumber]

Media adalah sebuah bentuk jamak dari medium, sebuah pemikiran yang berbeda dari pergantian kata untuk berpikir tentang itu. Dalam kaitannya, memiliki motivasi dan terhubung dengan kata-kata yang berkaitan dengan maknya yang sama seperti perantara atau mediasi atau median.[1] Media terdiri dari media analog dan digital. Media analog diantaranya media cetak seperti surat kabar, majalah, maupun buku. Sedangkan media digital misalnya adalah penggunaan komputer, televisi, maupun tablet. Perkembangan teknologi komunikasi membawa masyarakat pada era penggunaan media digital yang diakses melalui Internet, misalnya mengakses media sosial yang saat ini menjadi media baru dalam promosi, publikasi, maupun kampanye.

Internet[sunting | sunting sumber]

Internet adalah sebuah sistem global yang terkoneksi melalui jaringan komputer menggunakan Internet Protocol (IP) untuk menghubungkan ribuan perangkat di seluruh dunia. Internet adalah jaringan dari jaringan yang terdiri dari ribuan jaringan pribadi, publik, akademik, bisnis, dan pemerintahan mulai dari lokal hingga cakupan global, terhubung melalui teknologi jaringan elektronik, nirkabel, dan optik.[2]

Media Sosial[sunting | sunting sumber]

Media Sosial merupakan sebuah situs jaringan sosial yang menciptakan komunitas online dari pengguna Internet yang memungkinkan penggunanya menghilangkan batas waktu, jarak, dan perbedaan budaya. Media sosial dapat membuat penggunanya berinteraksi dengan pengguna lain yang sedang online dengan berbagi pendapat, pandangan, informasi, kesukaan, dan pengalaman. Pengguna dari media sosial menggunakan situs ini untuk berinteraksi dengan teman, anggota keluarga, kolega, maupun orang yang baru dikenalnya, situs ini pun dapat mengembangkan hubungan personal maupun hubungan profesional sesuai dengan kebutuhannya.[3]

Penguasaan Bisnis Media[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemilihan calon presiden 2014, capres-cawapres yang memiliki bisnis media meningkatkan citranya dalam segala bentuk pemberitaan di media yang dimiliki masing-masing. Para pemimpin bisnis media itu pun juga mendirikan partai yang mendukung pencalonannya ke jenjang pemilihan calon presiden 2014. Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia membentuk Partai Nasional Demokrat, Hari Tanoesudibjo dengan MNC Group, RCTI, dan Koran Seputar Indonesia membentuk Partai Hanura, serta Aburizal Bakrie dari Partai Golkar yang memiliki TV One. Capres-cawapres lain yang tidak memiliki media pada akhirnya berkoalisi dengan partai lain yang memiliki kedudukan media yang kuat. Partai PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi berkoalisi dengan Partai Nasdem demi mendukung pemberitaan Jokowi di media Metro TV dan Media Indonesia. Sedangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa didukung oleh media selain Metro TV yaitu TV One, RCTI, dan media MNC Group lainnya.[1] Pemimpin politik dan penguasaan media ini membawa pada sebuah media yang cenderung tidak netral pada masa itu. Media televisi dan surat kabar terbagi menjadi dua kubu besar dan keberpihakan dapat terlihat pada setiap pemberitaan terutama yang berkaitan dengan pemilihan calon presiden 2014, kampanye pemilihan presiden 2014, hingga proses voting penentuan presiden 2014.[2]

Hegemoni[sunting | sunting sumber]

Hegemoni adalah penggunaan media untuk menciptakan konsensus di antara beberapa ide, sehingga ide-ide tersebut dapat diterima sebagai akal sehat oleh masyarakat (Straubhaar, LaRose, Davenport, 2011). Dalam masyarakat media saat ini, ada kecenderungan bahwa penguasa atau pemimpin di masyarakat tertarik untuk juga membentuk sebuah konsensus, atau hegemoni, atau ideologi yang nantinya dapat membantu keberlangsungan dominasi mereka.[4] Salah satunya adalah dengan penguasaan media. Dalam pembahasan kampanye pemilihan presiden 2014 ini, para pemimpin bisnis juga berusaha untuk dapat menguasai politik demi tercapainya keberlangsungan dan penguasaan bisnisnya. Media dalam hal ini bisa menjadi penggerak massa dan dapat mengubah pandangan masyarakat tentang suatu hal. Termasuk di dalamnya adalah pembentukan citra seseorang melalui media. Pada kasus pencalonan Jokowi menjadi capres, keberhasilan Jokowi menjadi presiden salah satunya adalah dengan citra yang dibentuk melalui pemahaman yang terus menerus dipublikasikan oleh pendukungnya terutama melalui media.[3] Diarsipkan 2015-09-26 di Wayback Machine.

Netralitas Media[sunting | sunting sumber]

Netralitas media adalah ketidakberpihakan media kepada salah satu pihak. Sesuai dengan kode etik jurnalistik yang sudah disebutkan di atas, media seharusnya tidak terikat dengan kepentingan apa pun. Netralitas media ini berhubungan dengan aturan kesamaan kesempatan yang terdapat dalam Communication Act No. 315 yang berisi tentang kesamaan kesempatan yang dimiliki kandidat dalam berkampanye di berbagai media penyiaran selama masa kampanye politik Jika sebuah media memberikan plot waktu 1 menit bagi 1 kandidat, maka media itu pun harus memberikan plot waktu yang sama bagi kandidat lainnya.[5]

Moral dan Etika pada Media[sunting | sunting sumber]

Moral adalah suatu sikap yang bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Moral pada kasus ini adalah bagaimana seorang individu bisa memilih dan memilah informasi yang diterima maupun yang akan disampaikan ke ranah publik, termasuk dapat menentukan sikap dalam berkampanye yang baik (Straubhaar, LaRose, Davenport, 2011).

Etika adalah sebuah keyakinan tentang perilaku yang benar atau yang salah dalam sebuah masyarakat (Reynolds, 2007). Etika dalam media bisa diterapkan dalam pemberitaan di media, penggunaan publikasi, maupun promosi.

Pada kampanye pemilihan umum presiden Indonesia 2014 terdapat dua kandidat pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yaitu Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dalam masa kampanye 4 Juni-5 Juli 2014 terdapat pemberitaan simpang siur dan kampanye hitam terhadap dua capres-cawapres tersebut [4]. Bahkan masyarakat pun terbagi menjadi dua kubu. Kubu satu membuat pemberitaan yang menjatuhkan kubu lawan dan sebaliknya. Jumlah netral pada masa kampanye ini jauh lebih sedikit dari masa pemilihan presiden sebelumnya.

Perkembangan teknologi komunikasi pada masyarakat Indonesia membuat kampanye pada masa ini berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa pemilihan presiden ini masyarakat dan publik pendukung lebih banyak menggunakan Internet maupun media sosial untuk berkampanye. Terdapat banyak perseteruan komentar dan status di media sosial seperti di Twitter dan Facebook dari pendukung yang menulis tentang dua capres-cawapres tersebut.[5]

Kode Etik Jurnalistik[sunting | sunting sumber]

Dalam pembuatan berita di media, seseorang harus memiliki pengetahuan kode etik jurnalistik sebagai acuan penulisan. Kode etik jurnalistik adalah pedoman etika yang dapat membantu individu untuk memutuskan sebuah permasalahan dengan etika. Kode etik jurnalistik adalah pedoman etika yang digunakan oleh para jurnalis dalam melakukan pekerjaan jurnalistiknya (Straubhaar, LaRose, Davenport, 2011).

Berikut diantaranya beberapa kode etik jurnalistik:

1. Mencari kebenaran dan melaporkannya

2. Meminimalisir kejahatan

3. Bertindak independen

Mencari kebenaran dan melaporkannya mengandung arti bahwa sebagai jurnalis harus jujur, adil, dan berani dalam mengumpulkan, menuliskan, dan menjelaskan informasi maupun berita yang didapat. Meminimalisir kejahatan memberikan pengertian bahwa etika jurnalistik memperlakukan nara sumber, subjek, dan kolega sebagai manusia yang pantas dihormati. Tidak menghormati mereka sama artinya dengan melakukan kejahatan. Bertindak independen berarti seorang jurnalis seharusnya tidak terikat dengan kepentingan apa pun, sehingga seorang jurnalis harus menghindari konflik kepentingan.

Dalam kampanye pemilihan presiden Indonesia 2014, selain dari berita yang ditulis berdasarkan fakta dan kode etik jurnalistik yang benar, ada juga berita-berita yang ditulis oleh penulis dadakan yang tidak diketahui identitasnya dan menulis tidak berdasarkan kode etik jurnalistik. Pemberitaan semacam ini disebut sebagai kampanye hitam. Teknologi Internet yang sudah berkembang di masyarakat membuat kampanye hitam saat ini menggunakan media sosial dan jaringan sosial dalam menyebarkan pemberitaan negatifnya.[6]

Etika dalam Jaringan Sosial di Internet[sunting | sunting sumber]

Teknologi Internet memungkinkan pertukaran berita, ide, pendapat, rumor, maupun informasi di seluruh dunia. Aksesibilitas yang luas, diskusi terbuka, dan anonimitas membuat Internet sebagai media komunikasi yang luar biasa. Ini memberikan kemudahan dengan biaya yang murah bagi pembicara untuk mengirim pesan banyak penerima, bahkan berpotensi ribuan atau jutaan orang di seluruh dunia. Selain itu, dengan adanya e-mail, pembicara dapat mengirim pesan dengan cepat. Teknologi ini yang kemudian bisa digunakan untuk menyebarkan publikasi, promosi, bahkan pengaruh kekuasaan dengan cepat. Oleh karena itu seorang individu harus sering membuat keputusan etis tentang bagaimana menggunakan teknologi tersebut terlepas dari kebebasan yang dimilikinya. Organisasi dan pemerintah pun turut membangun kebijakan dan hukum terkait penggunaan akses Internet (Reynolds, 2007).

Kemudahan dan kecepatan penggunaan teknologi Internet ini digunakan secara maksimal oleh dua kubu capres-cawapres dalam proses pemilihan dan kampanye. Ketika satu kubu mengeluarkan pemberitaan, dalam hitungan detik akan terlihat respon dari kubu lawan dan bahkan akan muncul berita tandingannya. Perang di media sosial di antara dua kubu seperti tidak ada hentinya. Satu bulan masa kampanye menjadi masa yang paling panjang dalam menghadapi media sosial di Internet bagi yang bukan merupakan pendukung fanatik salah satu kubu.[7]

Etika dalam Berkampanye di Media[sunting | sunting sumber]

Hak untuk kebebasan berekspresi dibatasi ketika ekspresi, apakah lisan atau ditulis, adalah tidak benar dan merugikan orang lain. Membuat pernyataan baik lisan atau tertulis, dugaan fakta palsu yang merugikan orang lain adalah pencemaran nama baik. Hal ini bisa berdampak pada bidang ekonomi yang bersifat keuangan, misalnya dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk mencari nafkah atau bekerja. Setiap individu memiliki hak untuk mengekspresikan pendapat namun tetap harus berhati-hati terutama dalam komunikasi online. Organisasi juga harus waspada dan siap untuk mengambil tindakan jika mereka percaya seseorang telah membuat pernyataan yang tidak benar terhadap organisasi (Reynolds, 2007).

Ada banyak cara dalam berkampanye di media, terlebih dengan adanya teknologi Internet yang saat ini bisa diakses dengan mudah kapan pun dan di mana pun, bahkan melalui telepon seluler. Baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo pada masa pemilihan presiden Indonesia 2014 memiliki relawan yang jumlahnya banyak dan mampu berkampanye dengan mudah melalui status yang ditulis di media sosial. Cara berkampanye di era Internet ini sangat bervariasi sehingga menguntungkan para pendukung untuk menyampaikan informasi dan materi kampanye dengan cepat. Semakin kreatif materi kampanye tersampaikan, maka semakin mendalam kesan atas informasi yang diterima. Dunia tanpa batas di Internet ini juga yang membuat kampanye pemilihan presiden Indonesia 2014 ini sulit dikendalikan. Masa kampanye yang hanya sebulan bahkan masih bisa diselipkan materi kampanye secara terselubung di media sosial di saat masa kampanye sudah berakhir. Disebutkan ada 33 laporan dugaan pelanggaran selama masa kampanye pemilihan umum presiden Indonesia 2014 yang didalamnya termasuk pelanggaran berkampanye dalam media sosial.[8] Diarsipkan 2015-09-26 di Wayback Machine.

Etika Personal Terhadap Pemberitaan Media[sunting | sunting sumber]

Menerapkan etika pada diri sendiri merupakan sebuah integritas. Integritas adalah melakukan hal yang benar, walaupun tidak ada orang yang melihatnya (Reynolds, 2007). Dimulai dari menerapkan etika pada diri sendiri, maka untuk selanjutnya seorang individu akan terbiasa melakukan etika di tempat kerja, pada kegiatan bisnis, maupun dalam setiap kegiatan sehari-hari yang dilakukan, termasuk akan terbiasa beretika di dunia maya saat mengakses Internet.

Etika personal dapat dilakukan dengan Proses Pendekatan Etika Potter Box yaitu sebuah proses pendekatan yang dilakukan untuk menentukan tindakan etis, dikembangkan oleh seorang Profesor dari Harvard bernama Ralph Potter. Proses ini terdiri dari empat tahap model yang di setiap tahapnya akan membantu menjelaskan sebuah aspek dari permasalahan etis dengan mudah. Potter merepresentasikan tahap-tahap tersebut dalam empat kuadran pada sebuah kotak (Straubhaar, LaRose, Davenport, 2011).

  • Menjelaskan situasi
  • Mengidentifikasi nilai-nilai
  • Prinsip-prinsip hikmah yang berharga
  • Prinsip-prinsip kepatuhan untuk kebaikan

Kuadran 1

Jika dikaitkan dengan kampanye pemilihan umum presiden Indonesia 2014, menjelaskan situasi dengan mengindentifikasi fakta dari sebuah situasi misalnya saat membaca pemberitaan seputar kampanye di media massa atau media sosial. Untuk mengetahui kebenaran dari fakta tersebut sebaiknya terlebih dahulu memeriksa sumber beritanya dan tidak langsung menyetujui isi dari pemberitaan tersebut sebelum yakin akan kebenarannya.

Kuadran 2

Mengidentifikasi nilai-nilai dengan menentukan pilihan dan memikirkan beberapa etika. Ketika membaca pemberitaan negatif, sebaiknya tanyakan pada diri sendiri apakah pemberitaan tersebut akan memberikan efek kejut yang berpengaruh pada orang lain atau masyarakat secara luas? Apakah pemberitaan tersebut merupakan pilihan yang buruk, mencederai sensibilitas masyarakat, dan jauh dari nilai-nilai moderat?

Kuadran 3

Menerapkan prinsip-prinsip hikmah yang berharga dengan melihat nilai-nilai umum yang mendasari pilihan-pilihan. Berdasarkan nilai-nilai utilitas atau situasi etika, seseorang dapat berargumen lebih baik tercipta sebuah kebaikan dengan mengutamakan keselamatan publik daripada menyebarluaskan pemberitaan negatif yang telah dibaca melalui media. Hikmah yang lebih berharga akan tercipta jika seorang individu mampu untuk berpikir etis dan mempertimbangkan nilai-nilai dasar yang berlaku di masyarakat.

Kuadran 4

Menerapkan prinsip-prinsip kepatuhan untuk kebaikan dengan mengklarifikasi kepatuhan. Apakah seorang individu lebih memilih menjelaskan kebenaran terhadap nilai-nilai diri sendiri atau memikirkan efektivitas dari pemberitaan? Apakah masyarakat lebih tertarik dengan sesuatu yang kekinian atau malah lebih suka dengan sesuatu yang klasik, atau apakah pemberitaan ini terlalu berlebihan? Apakah pemberitaan tersebut akan memberikan kebaikan pada diri sendiri atau kepada masyarakat luas?

Dari masing-masing kuadran itu akan terjawab bagaimana seharusnya berperilaku dan bertindak sesuai dengan etika dan moral. Potter Box bukan sebuah solusi, semua tahap itu hanya sebuah proses yang akan membantu seseorang untuk berpikir tentang pilihan-pilihan yang ada dengan lebih jelas lagi. Proses ini pun terfokus pada etika dan isu moral, bukan tentang hukum yang baku. Bagaimanapun manusia akan selalu dihadapkan pada dilema etika di mana hukum, pelatihan profesional, atau aturan organisasi tidak selalu jelas. Potter Box membantu individu untuk berpikir melalui perilaku yang dilakukan (p. 477).

Dengan membangun etika dan moral yang dimulai dari diri sendiri, semakin lama akan terbangun juga etika dan moral yang baik di masyarakat. Dalam penggunaannya pada media Internet, seorang pengguna yang baik harus memiliki etika dan moral dalam menggunakan semua media dan fasilitasnya. Seorang individu harus menghindari kejahatan atau menyakiti individu lainnya, tidak memutarbalikkan fakta atau salah dalam menggambarkan diri sendiri atau orang lain, tidak mengganggu privasi individu lain, serta tidak menggunakan sumber di Internet untuk melakukan plagiat dengan cara meminta izin terlebih dahulu terhadap semua materi yang akan digunakan pada media apa pun (p. 477).

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hassan, R. 2004. Media Politics and the Network Society. Open University Press.
  2. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
  3. ^ Reynolds, G. 2007. Ethics in Information Technology. Second Edition. Course.
  4. ^ Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks. New York: International Publishers.
  5. ^ Dominick, J. R. (2008). The Dynamics of Mass Communication: Media in the Digital Age, Tenth Edition, McGraw-Hill, International Edition.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]