Otoritarianisme birokratis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Otoritarianisme birokratis (bureaucratic authoritarianism) adalah sebuah konsep otoritarianisme dimana sebagian besar kebijakannya dibuat oleh teknokrat.[1]

Otoritarianisme birokratis sering dipandang sebagai sebuah jenis rezim, tetapi definisi standar untuk istilah tersebut tidak hanya terbatas pada apa yang secara konvensional merupakan karakteristik rezim- kekuasaan militer, represi, demobilisasi, dan orientasi birokrasi- tetapi juga pada komposisi koalisi dan arah kebijakan publik yang diambil. Oleh sebab itu, label otoritarianisme birokratis lebih luas dari sebatas jenis rezim, yaitu merupakan sebuah bentuk negara atau sistem politik.[2] Negara otoriter birokratik bertujuan membuat keputusan yang sederhana, efektif, dan efisien, dengan menggunakan pendekatan 'teknokratik-birokratik', sehingga tidak memungkinkan adanya proses tawar-menawar yang lama. Negara otoriter birokratik didukung pula oleh unsur-unsur pendukung proses pembangunan yang efisien, yaitu militer, teknokrat sipil, dan pemilik modal.[3][4][5]

Model negara otoriter birokratik pertama kali dikemukakan oleh Dwight Y. King dan digunakan pada mulanya oleh Juan Linz dalam studinya mengenai Spanyol.[4] Lebih lanjut konsep otoritarianisme birokratis ini didalami oleh Guillermo O’Donnell pada tahun 1979 untuk memahami realitas masyarakat-masyarakat yang sedang melakukan pembangunan ekonomi-politik terutama di kawasan Amerika Selatan antara tahun 1960 - 1980an: Brazil pada 1964 – 1985; Argentina pada 1966 – 1973, yang disusul pada 1976 – 1983; Chili pada 1973 – 1990; dan Uruguay pada 1973 – 1985.[2][4][6] Koherensi kebijakan dari pemerintahan berbasis otoritarianisme birokratis di negara-negara berkembang pada tahun 1960 – 1970 itu diperlukan dalam proses industrialisasi yang berlangsung secara cepat dan menuntut biaya-biaya politik yang besar, melalui kontrol yang ketat terhadap aktivitas masyarakat dan melakukan represi terhadap serikat buruh, sehingga biaya produksi dapat ditekan serendah mungkin. Berdasarkan hasil pendalamannya, O’Donnel sampai pada suatu simpulan bahwa pemerintahan berbasis otoritarianisme birokratis secara kritis sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan ekonomi.[6]

Konsep Negara Otoriter Birokratik[sunting | sunting sumber]

Hipotesis awal mengenai konsep otoritarianisme birokratis ialah bahwa negara otoriter birokratik dibentuk oleh kaum elit militer dan ekonomi dengan tujuan spesifik mewujudkan stabilitas ekonomi dan politik jangka panjang, yang pada akhirnya akan menciptakan integrasi ekonomi secara vertikal. Seperangkat ekonomi, dimana integrasi vertikal merupakan salah satu unsurnya, merepresentasikan sumber represi serta kesempatan politik dalam negara otoriter birokratik.[2] Senada dengan rumusan tersebut, model negara berbasis otoritarianisme yang diperkenalkan Budiman (1991) dalam bukunya tentang perbandingan antara pembangunan di Indonesia dengan pembangunan di Korea Selatan, dijelaskan mempunyai ciri-ciri antara lain: bersifat otoriter, sangat mengandalkan birokrasi dalam mencapai tujuan, mencegah partisipasi masyarakat, menyelenggarakan politik dan ekonomi secara top-down (dari atas ke bawah), dan menerapkan ideologi teknokratik birokratis.[3] Kepemimpinan nasional didominasi oleh individu yang telah meningkat menjadi terkenal, bukan melalui karier politik, melainkan melalui karier birokrasi di organisasi besar publik atau swasta, termasuk agen internasional dan perusahaan transnasional. Sistem birokrasi ini umumnya disertai juga dengan adanya penindasan yang intens, yang pada beberapa kasus hingga mencapai taraf penindasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penindasan ditujukan pada gerakan buruh, partai politik yang memiliki asosiasi dengan buruh, dan sektor sosial lain yang gerakan mereka sebelumnya dianggap mengancam eksistensi sistem ekonomi politik.[2]

Otoritarianisme Birokratis di Asia Timur[sunting | sunting sumber]

Merujuk pada kasus di luar Amerika Selatan, konsep otoritarianisme birokratis ini juga ditemukan di Asia Timur yang pada tahun 1980 mengalami apa yang disebut dengan fenomena keajaiban ekonomi karena keberhasilannya mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju dengan melakukan proses industrialisasi besar-besaran yang didukung dengan kebijakan ekonomi yang solid, penekanan pada efisiensi produktivitas dan ekspansi pasar. Negara-negara di Asia Timur yang terdiri dari Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong yang berhasil memajukan perekonomiannya itu kemudian disebut sebagai negara industrialisasi baru/New Industrializing Countries (NICs). Pertumbuhan industri NICs itu juga tidak lepas dari adanya pengaruh tiga faktor eksternal: 1) perang dingin dan hegemoni Amerika Serikat sejak Perang Dunia II, 2) sistem pembagian kerja internasional, serta 3) peran lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang memudahkan dalam pendanaan.[6]

Antara Indonesia dan Korea Selatan[sunting | sunting sumber]

Indonesia dan Korea Selatan memiliki persamaan sosok presiden yang memimpin masing-masing negara pada dekade 1960. Ialah mantan presiden Soeharto dan mantan presiden Park Chung Hee. Keduanya sama-sama berasal dari kalangan keluarga petani sederhana selepas masa kolonialisasi, dan sama-sama menjalankan pemerintahan berdasarkan otoritas kekuasaan personal yang tinggi. Meskipun cara memimpin dan menjalankan kekuasaan mereka sama, tidak demikian halnya dengan keluaran ekonomi dan politik yang dihasilkan. Park Chung Hee berhasil mengantarkan Korea Selatan menjadi negara kaya dengan kesatuan militer yang kuat. Sebaliknya, Soeharto relatif kurang berhasil dalam memajukan perekonomian Indonesia ke taraf yang lebih modern, walaupun di masa-masa awal kepemimpinannya telah ada kemajuan pembangunan yang signifikan dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

Indonesia dan Korea Selatan sama-sama mengadopsi sistem ekonomi liberal yang menekankan pada pasar bebas dan perusahaan swasta, dimana lingkungan persaingan mengambil peran dalam perkembangan dan kemajuan ekonomi, tetapi tetap membutuhkan campur tangan pemerintah dalam pembagian modal dan sumber daya alam serta manusia untuk melindungi industri domestik dari persaingan dengan industri asing. Agar terselenggara kesempatan berusaha yang sama dan untuk menghapus adanya monopoli, negara dengan segala kewenangannya dapat menyusun kebijakan melalui perangkat regulasi untuk mengawasi struktur, tingkah laku, dan kinerja para pelaku usaha. Park Chung Hee dengan keotoriteran rezimnya berhasil menumbuhkan kelompok wiraswasta tangguh yang dapat terus memutar roda pembangunan ekonomi di Korea Selatan. Dibutuhkan waktu hanya delapan belas tahun bagi Korea Selatan untuk mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi yang luar biasa, dimana hasil yang sama diperoleh Eropa setelah ratusan tahun perjuangan.

Sementara di Indonesia, keotoriteran negara digunakan untuk memperkaya para birokrat dan kelompok wiraswasta yang dekat dengan mereka. Kaum borjuis dan wiraswasta tangguh yang diharapkan dapat membangun perekonomian, menjadi tidak terbentuk atau tidak muncul ke permukaan. Campur tangan pemerintah yang kurang adil terhadap pasar dan telah menyimpang dari konsepnya semula juga menciptakan berbagai permasalahan krusial. Kolaborasi antara birokrat/penguasa dengan elit bisnis/pengusaha justru melahirkan persekongkolan bisnis yang meminggirkan rakyat dari arena demokrasi. Sebagai akibatnya tercipta kesenjangan sosial yang lebar, yang pada gilirannya memicu timbulnya berbagai gejolak sosial. Menanggapi keadaan yang demikian, respon mantan presiden Soeharto cenderung lebih memihak kepada elit bisnis/pengusaha, mengingat kelompok tersebut lebih berperan dan memiliki kekuatan dalam menopang keberjalanan kebijakan ekonomi dan politik yang dibuat.[1]

Gerakan Masyarakat Sipil (Civil Society) di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Civil society memiliki peran yang penting pada proses maupun perubahan sistem politik.[7] Namun bagi negara otoriter birokratik, gerakan masyarakat sipil (civil society) merupakan salah satu unsur ancaman karena dapat mempengaruhi proses politik. Demikian di Indonesia dan negara-negara berkembang, atau negara-negara pascakolonial, civil society dihambat oleh negara. Negara tampil dengan kekuatan yang dominan dalam melakukan pengawasan, dengan tujuan untuk mencegah keterlibatan aktif massa di dalam politik, sehingga tidak mengganggu laju industrialisasi.[4] Restrukturisasi politik, ekonomi, serta sosial yang terjadi secara mendasar di awal masa pemerintahan Orde Baru memberikan dampak terhadap civil society. Akselerasi pembangunan melalui industrialisasi mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, dan pada saat yang sama, menyebabkan perubahan pada struktur sosial masyarakat yang ditandai dengan tergesernya pola-pola kehidupan masyarakat agraris, munculnya kelas-kelas sosial baru, terutama pada kelas menengah di wilayah urban, serta meningkatnya tuntutan atas perbaikan kualitas kehidupan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Dominasi negara yang sangat kuat di segala bidang tidak memberikan ruang bagi partisipasi maupun kemandirian politik anggota masyarakat. Dengan kata lain, tidak ada kebebasan dalam berpolitik, yang mengakibatkan tidak berkembangnya civil society sebagaimana seharusnya.[7]

Lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) sangat lemah saat berhadapan dengan kekuasaan negara. Ormas yang ingin bertahan harus bergabung dengan kooptasi negara. Demikian pula halnya dengan pers yang tidak diberikan ruang kebebasan untuk menstimulasi wacana kreatif dan dialog-dialog bebas bagi warga masyarakat.[4][8] Oleh sebab itu, civil society pada rezim Orde Baru sangat lemah dan tidak dapat menjadi kelompok kekuatan penyeimbang terhadap kekuatan negara.[4] Pun setelah jatuhnya rezim orde baru, gerakan masyarakat Sipil (civil society) di Indonesia masih belum menunjukkan peran sebagai penyeimbang kekuatan negara, sebagaimana hal tersebut berlaku di negara Barat, karena masih berkutat dengan permasalahan internal dan eksternal yang ada. Disorientasi para pelaku civil society merupakan salah satu contoh permasalahan internal yang muncul pascarezim Orde Baru. Tokoh-tokoh civil society banyak yang mengisi posisi-posisi puncak negara, baik pada lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun setelah mencapai posisi tersebut, sebagian mereka justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai civil society yang mereka perjuangkan dulu. Fragmentasi dan konflik politik di antara mantan pemimpin dan tokoh civil society juga semakin memperburuk keadaan.[4][7] Berbagai individu, kelompok, dan organisasi kemasyarakatan yang sangat instrumental bagi aktualisasi civil society juga mengalami disorientasi. Sebagian dari mereka ada yang tetap menjaga ketulusan sebagai bagian dari civil society sejati, dengan senantiasa menjalankan peran sebagai 'mitra kritis' negara (critical partners of the state), tetapi mereka sudah terlalu lemah untuk dapat berperan secara efektif. Sementara di pihak lain, sebagian civil society lainnya telah terekrut ke dalam negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak hanya terkooptasi, lebih jauh lagi, mereka telah menjadi perpanjangan tangan politik kekuasaan.[4][9]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b https://media.neliti.com/media/publications/125908-ID-komparatif-studi-pembangunan-negara.pdf
  2. ^ a b c d "Bureaucratic Authoritarianism (PDF Download Available)". ResearchGate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-04. 
  3. ^ a b http://4gussuryono.lecture.ub.ac.id/files/2012/03/Agus-Suryono-Pendekatan-Kultur-Struktur-Birokrasi.pdf
  4. ^ a b c d e f g h Rofieq, Ainur (2013-07-09). "Civil Society Pasca Negara Birokratik Otoritarian Orde Baru". Jurnal Kybernan (dalam bahasa Inggris). 3 (1). ISSN 2086-6259. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  5. ^ Mahfud MD, Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
  6. ^ a b c Kompasiana.com. "POLITIK INDUSTRIALISASI DAN REZIM OTORITER BIROKRATIS oleh Putri Nabila - Kompasiana.com". www.kompasiana.com. Diakses tanggal 2017-11-04. 
  7. ^ a b c http://download.portalgaruda.org/article.php?article=19496&val=1231
  8. ^ Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999
  9. ^ Azra, Azyumardi, “Civil Society dan Demokrasi Revisited”, Koran Tempo, 18 Juni 2001.