Lompat ke isi

Mubah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
SieBot (bicara | kontrib)
k bot Menambah: sv:Mubah
 
(27 revisi perantara oleh 23 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Ushul fiqih}}{{Ensiklopedia Islam|Muhammad}}
'''Mubah''' adalah sebuah status [[hukum]] terhadap suatu aktivitas dalam dunia [[Islam]]. Aktivitas yang berstatus hukum mubah boleh untuk dilakukan, bahkan lebih condong kepada dianjurkan (bersifat perintah), namun tidak ada janji berupa konsekuensi berupa pahala terhadapnya. Hukum ini cenderung diterapkan pada perkara yang lebih bersifat keduniaan.
'''Mubah''' ([[Bahasa Arab|Arab]]: مباح, "''mubāh''"; "boleh") adalah status [[hukum]] yang menyatakan suatu hal boleh untuk dilakukan [[manusia]] dalam [[syariat Islam]] sesuai dengan ketetapan [[Allah]]. Tidak ada tuntutan untuk mengerjakan ataupun tidak mengerjakan sesuatu yang bersifat mubah. Para ulama ushul fikih umumnya membagi mubah menjadi tiga jenis berdasarkan tindakan melaksanakan atau tidak melaksanakan terhadapa mudarat dari tindakan yang dipilih. Mubah merupakan salah satu kaidah [[istishhab]]. Hukum asal mubah berlaku pada [[makanan]] dan [[minuman]] hingga ada dalil yang mengharamkannya.


== Contoh aktivitas ==
== Kebahasaan ==
Mubah merupakan salah satu status hukum dalam [[syariat Islam]]. Status ini merupakan bagian dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh [[Allah (Islam)|Allah]] atas perbuatan [[manusia]].<ref>{{Cite book|last=Harisudin|first=M. Noor|date=2019|url=https://core.ac.uk/download/pdf/323044877.pdf|title=Pengantar Ilmu Fiqih|location=Surabaya|publisher=Pena Salsabila|isbn=978-602-9045-33-8|editor-last=Mawardi|editor-first=Ahmad Imam|pages=2|url-status=live}}</ref> Secara bahasa, mubah berarti diizinkan atau dibolehkan. Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fikih sebagai sesuatu yang pelaksanaannya diberikan pilihan.{{Sfn|Hikmatullah dan Hifni|2021|p=21}} Pilihan ini diberikan kepada mukallaf antara mengerjakan maupun tidak tidak mengerjakannya.<ref>{{Cite book|last=Rohidin|date=Agustus 2016|url=https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/02/Pengantar-Hukum-Islam-buku-ajar-rohidin-fh-uii.pdf.pdf|title=Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia|location=Lampung Timur|publisher=Lintang Rasi Aksara Books|isbn=978-602-7802-30-8|editor-last=Nasrudin|editor-first=M.|pages=18|url-status=live}}</ref>
* Makan dan minum

== Sifat ==
Dalam status mubah tidak ada tuntutan untuk mengerjakan maupun tidak mengerjakan, sehingga sifatnya mengandung [[kebebasan]] memilih. Kebebasan ini diberikan oleh Allah sebagai perintah memilih dari Allah kepada mukallaf. Hasil pilihannya tidak mendapat pujian maupun celaan.<ref>{{Cite book|last=Bahrudin|first=Moh.|date=Oktober 2019|url=http://repository.radenintan.ac.id/10167/1/Buku%20%26%20covernya%20Buku%20Ushul%20Fiqh%20Moh%20Bahrudin.pdf|title=Ilmu Ushul Fiqh|location=Bandar Lampung|publisher=AURA|isbn=978-623-211-103-5|pages=94-95|url-status=live}}</ref>  

== Jenis ==
Dari segi manfaat dan kerugian yang diterima oleh pelaksananya, mubah dibagi menjadi tiga jenis oleh [[ulama]] ushul fikih. Pertama, mubah yang dikerjakan maupun tidak dikerjakan, tidak memberikan mudarat. Misalnya pada kegiatan makan, minum, mengenakan pakaian dan berburu.  Kedua, mubah yang dikerjakan tidak memberikan mudarat, tetapi perbuatannya dinilai haram secara hukum asalnya. Perbuatan ini misalnya memakan daging babi dalam keadaan darurat. Ketiga, perbuatan yang menjadi mubah karena Allah memaafkan pelakunya, walaupun sifat perbuatan ini memberikan mudarat. Perbuatan ini miisalnya mengawini dua orang perempuan sekaligus yang statusnya bersaudara.{{Sfn|Hikmatullah dan Hifni|2021|p=22-23}}  

== Fungsi ==

=== Kaidah istishhab ===
Dalam kaidah [[istishhab]], mubah dijadikan sebagai kaidah kedua dari empat kaidahnya. Mubah ditetapkan sebagai hukum dasar sesuatu. Kaidah pertama dalam istishhab sendiri menetapkan bahwa hukum dasar sesuatu adalah ketetapannya seperti semula hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum dasar tersebut. Lalu kaidah ketiga berupa pernyataan bahwa keyakinan tidak akan pernah dirubah dengan keraguan. Sementara kaidah keempatnya menyatakan bahwa hukum dasar dari setiap satu urusan adalah kebebasan dari tanggung jawab, hak dan kewajiban.<ref>{{Cite book|last=Misbahuddin|date=Desember 2013|url=http://repositori.uin-alauddin.ac.id/380/1/Misbahuddin%201.pdf|title=Buku Daras: Ushul Fiqh I|location=Makassar|publisher=Alauddin University Press|pages=202-203|url-status=live}}</ref>

== Penentuan status ==

=== Kondisi darurat ===
Dalam keadaan darurat, status hukum lain dapat diubah menjadi mubah. Namun, status ini hanya berlaku dalam kadar pelaksanaan dan jangka [[waktu]] yang terbatas. Pada kondisi darurat, perubahan hukum dapat terjadi dari wajib menjadi mubah atau dari haram menjadi mubah.<ref>{{Cite book|last=Azhari|first=Fathurrahman|date=April 2015|url=https://idr.uin-antasari.ac.id/6804/1/QAWAID%20FIQHIYYAH.%20revisidocx.pdf|title=Qawaid Fiqhiyyah Muamalah|location=Banjarmasin|publisher=Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin|isbn=978-602-17662-9-3|pages=107|url-status=live}}</ref>

== Pemberlakuan ==

=== Makanan dan minuman ===
Dalam kaidah hukum Islam, segala jenis [[makanan]] dan [[minuman]] yang ada di [[dunia]] sifatnya mubah. Larangan untuk memakan atau meminum sesuatu hanya berlaku ketika ada [[dalil]] yang mengharamkannya. Dalil pengharaman ini diterima baik dalam bentuk isyarat, celaan atau secara jelas. Status hukum ini disebutkan dalam [[Surah Al-Ma’idah|Surah Al-Ma'idah]] ayat 87. Dalam ayat ini juga Allah menyatakan bahwa manusia yang melampaui batas ialah yang mengharamkan sesuatu tanpa alasan yang sesuai dengan syariat Islam.<ref>{{Cite book|last=Thawilah|first=Abdul Wahab Abdussalam|date=Juni 2012|url=https://www.google.co.id/books/edition/Fikih_Kuliner/-dcrEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&printsec=frontcover|title=Fikih Kuliner|location=Jakarta Timur|publisher=Pustaka Al-Kautsar|isbn=978-979-592-587-3|pages=2|translator-last=Fath, K., dan Solihin|url-status=live}}</ref>


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==

Status hukum lainnya:
* [[Wajib]]
* [[Wajib]]

* [[Sunnah (status hukum)]]
* [[Sunnah (status hukum)]]

* [[Makruh]]
* [[Makruh]]

* [[Haram]]
* [[Haram]]


== Referensi ==
== Referensi ==
*{{id}} [http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=236 Memahami hukum syariat dalam Islam, Kafemuslimah]


=== Catatan kaki ===
[[Kategori:Hukum Islam]]
{{Reflist}}


=== Daftar pustaka ===
[[bs:Mubah]]

[[en:Mubah]]
* {{Cite book|last=Hikmatullah dan Hifni, M.|date=Juni 2021|url=http://repository.uinbanten.ac.id/9336/2/Hukum%20Islam.pdf|title=Hukum Islam dalam Formulasi Hukum Indonesia|location=Serang|publisher=Penerbit A-Empat|isbn=978-623-6289-11-2|editor-last=Zulaikha|ref={{sfnref| Hikmatullah dan Hifni|2021}}|url-status=live}}
[[ru:Мубах]]

[[sv:Mubah]]
== Pranala luar ==
[[tr:Mübah]]
* {{id}} [http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=236 Memahami hukum syariat dalam Islam, Kafemuslimah] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070310204557/http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=236 |date=2007-03-10 }}

[[Kategori:Hukum Islam]]

Revisi terkini sejak 8 November 2023 01.03

Mubah (Arab: مباح, "mubāh"; "boleh") adalah status hukum yang menyatakan suatu hal boleh untuk dilakukan manusia dalam syariat Islam sesuai dengan ketetapan Allah. Tidak ada tuntutan untuk mengerjakan ataupun tidak mengerjakan sesuatu yang bersifat mubah. Para ulama ushul fikih umumnya membagi mubah menjadi tiga jenis berdasarkan tindakan melaksanakan atau tidak melaksanakan terhadapa mudarat dari tindakan yang dipilih. Mubah merupakan salah satu kaidah istishhab. Hukum asal mubah berlaku pada makanan dan minuman hingga ada dalil yang mengharamkannya.

Kebahasaan

[sunting | sunting sumber]

Mubah merupakan salah satu status hukum dalam syariat Islam. Status ini merupakan bagian dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah atas perbuatan manusia.[1] Secara bahasa, mubah berarti diizinkan atau dibolehkan. Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fikih sebagai sesuatu yang pelaksanaannya diberikan pilihan.[2] Pilihan ini diberikan kepada mukallaf antara mengerjakan maupun tidak tidak mengerjakannya.[3]

Dalam status mubah tidak ada tuntutan untuk mengerjakan maupun tidak mengerjakan, sehingga sifatnya mengandung kebebasan memilih. Kebebasan ini diberikan oleh Allah sebagai perintah memilih dari Allah kepada mukallaf. Hasil pilihannya tidak mendapat pujian maupun celaan.[4]  

Dari segi manfaat dan kerugian yang diterima oleh pelaksananya, mubah dibagi menjadi tiga jenis oleh ulama ushul fikih. Pertama, mubah yang dikerjakan maupun tidak dikerjakan, tidak memberikan mudarat. Misalnya pada kegiatan makan, minum, mengenakan pakaian dan berburu.  Kedua, mubah yang dikerjakan tidak memberikan mudarat, tetapi perbuatannya dinilai haram secara hukum asalnya. Perbuatan ini misalnya memakan daging babi dalam keadaan darurat. Ketiga, perbuatan yang menjadi mubah karena Allah memaafkan pelakunya, walaupun sifat perbuatan ini memberikan mudarat. Perbuatan ini miisalnya mengawini dua orang perempuan sekaligus yang statusnya bersaudara.[5]  

Kaidah istishhab

[sunting | sunting sumber]

Dalam kaidah istishhab, mubah dijadikan sebagai kaidah kedua dari empat kaidahnya. Mubah ditetapkan sebagai hukum dasar sesuatu. Kaidah pertama dalam istishhab sendiri menetapkan bahwa hukum dasar sesuatu adalah ketetapannya seperti semula hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum dasar tersebut. Lalu kaidah ketiga berupa pernyataan bahwa keyakinan tidak akan pernah dirubah dengan keraguan. Sementara kaidah keempatnya menyatakan bahwa hukum dasar dari setiap satu urusan adalah kebebasan dari tanggung jawab, hak dan kewajiban.[6]

Penentuan status

[sunting | sunting sumber]

Kondisi darurat

[sunting | sunting sumber]

Dalam keadaan darurat, status hukum lain dapat diubah menjadi mubah. Namun, status ini hanya berlaku dalam kadar pelaksanaan dan jangka waktu yang terbatas. Pada kondisi darurat, perubahan hukum dapat terjadi dari wajib menjadi mubah atau dari haram menjadi mubah.[7]

Pemberlakuan

[sunting | sunting sumber]

Makanan dan minuman

[sunting | sunting sumber]

Dalam kaidah hukum Islam, segala jenis makanan dan minuman yang ada di dunia sifatnya mubah. Larangan untuk memakan atau meminum sesuatu hanya berlaku ketika ada dalil yang mengharamkannya. Dalil pengharaman ini diterima baik dalam bentuk isyarat, celaan atau secara jelas. Status hukum ini disebutkan dalam Surah Al-Ma'idah ayat 87. Dalam ayat ini juga Allah menyatakan bahwa manusia yang melampaui batas ialah yang mengharamkan sesuatu tanpa alasan yang sesuai dengan syariat Islam.[8]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Harisudin, M. Noor (2019). Mawardi, Ahmad Imam, ed. Pengantar Ilmu Fiqih (PDF). Surabaya: Pena Salsabila. hlm. 2. ISBN 978-602-9045-33-8. 
  2. ^ Hikmatullah dan Hifni 2021, hlm. 21.
  3. ^ Rohidin (Agustus 2016). Nasrudin, M., ed. Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia (PDF). Lampung Timur: Lintang Rasi Aksara Books. hlm. 18. ISBN 978-602-7802-30-8. 
  4. ^ Bahrudin, Moh. (Oktober 2019). Ilmu Ushul Fiqh (PDF). Bandar Lampung: AURA. hlm. 94–95. ISBN 978-623-211-103-5. 
  5. ^ Hikmatullah dan Hifni 2021, hlm. 22-23.
  6. ^ Misbahuddin (Desember 2013). Buku Daras: Ushul Fiqh I (PDF). Makassar: Alauddin University Press. hlm. 202–203. 
  7. ^ Azhari, Fathurrahman (April 2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (PDF). Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin. hlm. 107. ISBN 978-602-17662-9-3. 
  8. ^ Thawilah, Abdul Wahab Abdussalam (Juni 2012). Fikih Kuliner. Diterjemahkan oleh Fath, K., dan Solihin. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 2. ISBN 978-979-592-587-3. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]